Raka, seorang arkeolog, memimpin timnya yang terdiri dari Andini (ahli botani), Budi (fotografer dokumentasi), dan Agus (geolog) dalam ekspedisi ke hutan mistis di Jawa Tengah. Mereka mencari gua misterius yang diyakini memiliki hubungan dengan Kerajaan Mataram Kuno. Namun, saat mereka berhasil menemukan gua tersebut, tiba terjadi sesuatu yang miterius. Raka seolah tersapu badai dan terpisah dari timnya lalu pingsan.
Raka membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat seolah baru saja melewati badai magnetik. Ia mencoba duduk, tetapi tubuhnya masih lemah, seperti habis berlari maraton tanpa henti. Cahaya matahari yang menembus dedaunan di atasnya membuatnya menyipitkan mata. Napasnya tersengal-sengal, dan ia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di gua—atau bahkan di tempat yang sama dengan timnya.
"Di mana aku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin yang meliuk-liuk di antara pepohonan.
Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Gambar-gambar kilat muncul di benaknya—cermin perunggu, cahaya menyilaukan, angin kencang, dan suara misterius yang memanggil namanya. Namun, ingatan itu kabur, seperti mimpi yang sulit dipegang erat. Yang jelas, ia tahu satu hal: ia tidak lagi berada di dunia modern.
Raka meraba-raba tas punggungnya, mencari ponsel atau alat GPS-nya. Tapi ketika ia menyalakan ponselnya, layar hanya menampilkan kegelapan total. Teknologi modernnya sepertinya telah mati, seolah energi di tempat ini tidak kompatibel dengan perangkat elektronik. Ia mencoba menyalakan senter, tapi hasilnya sama—tidak ada yang bekerja.
"Apa yang terjadi?" gumamnya, rasa panik mulai merayap ke dalam pikirannya. "Ini... bukan mungkin."
Saat ia berdiri, ia menyadari bahwa lingkungan di sekitarnya sangat berbeda dari hutan tempat mereka melakukan ekspedisi. Pepohonan di sini lebih tinggi, daun-daunnya lebih lebat, dan udara terasa lebih berat, seolah menyimpan rahasia-rahasia kuno. Ada jejak-jejak aktivitas manusia di sekitarnya—perapian yang sudah padam, alat-alat batu yang tersebar di tanah, dan patung-patung kecil dewa-dewi yang tampak aneh namun akrab. Aroma tanah basah bercampur dengan dupa yang samar-samar memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang asing namun juga magis.
"Ini... Kerajaan Gilingwesi," gumam Raka pelan, menyadari bahwa ia mungkin telah terseret ke masa lalu. Ia pernah membaca legenda tentang kerajaan ini—kerajaan yang lenyap dari sejarah karena sebuah artefak mistis. Apakah cermin perunggu itu yang membawanya ke sini?
Raka berjalan perlahan, mencoba memahami situasi yang aneh ini. Di bawah salah satu pohon besar, ia menemukan patung kecil dewa Brahma dengan ukiran rumit yang mirip dengan yang ia lihat di gua. Patung itu tampak sangat tua, seolah telah ada selama ribuan tahun. Saat ia menyentuhnya, kilatan gambar singkat muncul di benaknya—ritual besar di tepi sungai mistis, api yang menyala-nyala, dan wajah seorang wanita muda dengan mata penuh kesedihan. Gambar itu lenyap secepat datangnya, meninggalkan Raka dengan rasa penasaran yang semakin besar.
"Kita benar-benar di masa lalu," gumamnya, suaranya penuh campuran antara ketakutan dan rasa penasaran.
Namun, saat ia melanjutkan perjalanan, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh—seolah ada yang mengamati setiap langkahnya. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin terdengar seperti bisikan, dan bayangan-bayangan samar terlihat bergerak di antara pepohonan. Raka berhenti sejenak, menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Siapa di sana?" teriaknya, suaranya bergema di antara pepohonan. Tidak ada jawaban.
Di dalam hatinya, Raka merasakan konflik batin yang hebat. Ia tahu bahwa ia adalah seorang arkeolog—seseorang yang terbiasa memecahkan misteri dari masa lalu. Tapi kali ini, ia tidak hanya mempelajari sejarah; ia hidup di dalamnya. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa kembali ke dunia modern, atau apakah ia akan terjebak di sini selamanya. Namun, ia juga merasa tertantang. Dunia ini asing baginya, tetapi ia memiliki pengetahuan yang mungkin bisa membantunya bertahan.
"Saya harus tetap tenang," gumamnya dalam hati. "Ada pola di sini. Ada sejarah. Saya hanya perlu memahaminya.
Ia mencoba melanjutkan perjalanan, tetapi semakin jauh ia berjalan, semakin kuat perasaan bahwa ia sedang diikuti. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada mencari tanda-tanda kehidupan manusia. Mungkin ia bisa menemukan cara untuk kembali ke dunia modern—atau setidaknya memahami di mana ia berada.
Setelah beberapa saat, ia mendengar suara air mengalir di kejauhan. Ia mengikuti suara itu, berharap menemukan sungai atau pemukiman penduduk. Ketika ia tiba di tepi sungai kecil yang jernih, ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut—seorang anak kecil berpakaian kuno sedang bermain di tepi sungai, mengumpulkan kerang dan batu-batu kecil.
"Anak kecil!" panggil Raka, berusaha ramah meskipun hatinya dipenuhi oleh ketidakpastian.
Anak itu menoleh, matanya melebar karena terkejut. Sebelum Raka sempat mendekat, anak itu berteriak dalam bahasa yang tidak ia kenali, lalu berlari masuk ke dalam hutan. Namun, sebelum menghilang, anak itu menunjuk ke arah utara, seolah memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan Raka selanjutnya.
"Jangan pergi!" teriak Raka, tetapi anak itu sudah hilang di balik pepohonan.
Raka menghela napas panjang, menyadari bahwa ia tidak akan mudah mendapatkan jawaban di tempat ini. Namun, ia tahu satu hal: ia harus terus bergerak. Dunia ini asing baginya, tetapi ia adalah seorang arkeolog—dan jika ada satu hal yang ia kuasai, itu adalah memecahkan misteri.
Raka melanjutkan perjalanannya dengan langkah hati-hati, berusaha mengikuti arah yang ditunjuk oleh anak kecil tadi. Pepohonan tinggi di sekitarnya semakin rapat, dan udara terasa semakin dingin meskipun matahari masih bersinar di atas kepala. Suara alam—desiran angin, gemericik air, dan kicau burung—menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Raka tidak bisa sepenuhnya merasa aman. Perasaan bahwa ia sedang diikuti semakin kuat, seolah ada banyak pasang mata yang mengamati setiap gerakannya dari balik bayang-bayang pepohonan.Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan. Langkah-langkah itu cepat dan teratur, seperti milik orang-orang yang terlatih. Raka berhenti sejenak, tubuhnya membeku. Ia mencoba bersembunyi di balik pohon besar, berharap tidak terlihat. Namun, suara itu semakin dekat, dan tak lama kemudian, sekelompok prajurit muncul dari balik pepohonan.Prajurit-prajurit itu mengenakan pakaian kuno—baju besi ringan yang terbuat dari kulit dan logam, serta celana
Prajurit-prajurit itu semakin mengepung Raka, tombak mereka teracung ke arahnya dengan sikap defensif. Raka mencoba menjelaskan dirinya sekali lagi, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh protes dan bisikan prajurit yang semakin curiga. Cahaya samar dari kamera di tangan salah satu prajurit masih memancar, membuat suasana semakin mencekam."Kalian harus percaya padaku!" seru Raka putus asa, suaranya bergetar. "Aku bukan penyihir atau mata-mata! Aku hanya tersesat!"Namun, kata-katanya tidak dihiraukan. Prajurit pemimpin kelompok itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk segera menangkap Raka. "Cukup! Bawa dia ke istana. Resi Agung Darmaja akan memutuskan apakah dia layak hidup atau tidak."Beberapa prajurit langsung maju, menahan lengan Raka dengan erat. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya masih lemah setelah perjalanan panjang di dunia asing ini. Saat ia merasa semua harapan hilang, sebuah suara tegas memecah ketegangan."Hentikan!" teriak seseorang dari balik
Setelah kejadian di hutan, Dyah Sulastri memimpin rombongan menuju istana Kerajaan Gilingwesi. Raka berjalan di belakangnya, diapit oleh dua prajurit yang tetap waspada meskipun ia telah diselamatkan oleh sang putri. Meski begitu, Raka merasa sedikit lega karena tidak lagi dalam ancaman langsung. Namun, rasa penasaran dan ketidakpastian tentang nasibnya terus menghantui pikirannya.Selama perjalanan, Raka mulai memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan lebih saksama. Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan membuka jalan menuju dataran luas yang subur, dikelilingi oleh sawah-sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir tenang. Di tepi sungai, beberapa penduduk desa tampak melakukan ritual kecil—menyusun sesaji dari bunga dan daun di atas tikar anyaman, lalu meletakkannya di pinggir air. Mereka menyanyikan doa-doa lembut yang mengiringi aktivitas harian mereka, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat."Apakah itu istanamu?" tanya Raka kepada Dyah Sulastri, mencoba memecah keheningan saat
Raka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah marun dengan bordir emas yan
Angin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada jarak tak terlihat a
Matahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya."Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara rendah dan berat, sepert
Pagi itu, udara di istana Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman-halaman dalam, menciptakan suasana yang hening dan misterius. Raka berjalan menyusuri jalan setapak menuju candi kecil di tepi hutan, tempat Dyah Sulastri mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan salah satu makhluk gaib penjaga kerajaan—Buto Ijo.“Kau yakin ini aman?” tanya Raka, memandang Dyah dengan ekspresi ragu. Ia masih ingat betapa menyeramkannya Banaspati yang ia lihat selama ritual suci beberapa hari lalu. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang dunia baru ini, tetapi ia juga merasa ada sesuatu yang penting yang harus ia pahami.Dyah tersenyum tipis, matanya yang gelap penuh ketenangan. “Aku sudah memberikan perintah padanya untuk tidak menyakitimu,” katanya sambil melangkah maju. “Selama kau tidak berniat buruk, Buto Ijo tidak akan menyerang.”Raka mengangguk pelan, meskipun rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang. Ia memperhatikan sekelilingnya—pohon-pohon ting
Malam itu, istana Gilingwesi terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu minyak yang menyala di sepanjang koridor memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding batu. Raka duduk di tepi ranjang kayunya, memandangi cermin perunggu kuno yang ia simpan di sudut ruangan. Cermin itu tampak begitu sederhana, tetapi bagi Raka, ia adalah satu-satunya penghubungnya dengan dunia asalnya—dunia yang kini terasa semakin jauh.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan. Dyah Sulastri masuk dengan langkah ringan, mengenakan selendang sutra tipis yang melingkar anggun di tubuhnya. Ia membawa sebuah gulungan naskah tua dan duduk di kursi kecil di dekat meja kayu Raka. Angin malam masuk melalui celah jendela, membawa aroma bunga melati dari taman istana."Kau belum tidur?" tanyanya lembut, suaranya seperti bisikan angin malam.Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangan mendadaknya. "Aku... hanya memikirkan banyak hal," jawabnya, mencoba tersenyum. "Sulit untuk tidur."Dyah men
Di balik pepohonan lebat yang menutupi tepi hutan, Ki Jagabaya duduk di atas batu besar yang tertutup lumut. Cahaya redup dari obor kecil menciptakan bayangan dramatis di wajahnya yang penuh tekad. Di sekitarnya, pasukan bayangannya berdiri dalam diam, mata mereka bersinar seperti bara api di kegelapan.Angin dingin berdesir lembut, membawa aroma belerang dan daun basah. Suara gesekan ranting kecil terdengar di kejauhan, tetapi tidak ada makhluk hidup lain di sekitar—hanya kegelapan dan keheningan yang menggema.Di sampingnya, penyihir gelap dengan jubah hitam panjang dan topeng perak berdiri tegak. Suaranya serak, penuh otoritas. "Kita tidak punya banyak waktu lagi," katanya dingin. "Raka dan Dyah Sulastri semakin kuat. Mereka mulai memperkuat aliansi dengan makhluk gaib."Ki Jagabaya mengangguk pelan, matanya menyipit dengan sinis. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus bertindak cepat. Aku sudah merencanakan serangan mendadak ke istana—tepat ketika mereka lenga
Malam semakin larut, dan suasana di sekitar istana Gilingwesi dipenuhi oleh energi yang tidak biasa. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma tanah basah, dedaunan segar, dan sedikit asap dari api unggun yang menyala di halaman istana. Di kejauhan, suara-suara aneh mulai terdengar—suara dahan pohon yang bergetar tanpa angin, deru napas berat, dan langkah-langkah berat yang menggema di bumi.Para prajurit loyalis yang berjaga di luar istana mulai merasakan kehadiran makhluk-makhluk gaib. Mata mereka menyipit, mencoba melihat lebih jelas ke dalam kegelapan malam. Tiba-tiba, cahaya redup muncul dari balik pepohonan, memperlihatkan siluet-siluet besar yang mendekat perlahan.Buto Ijo, raksasa hijau dengan tubuh berotot dan mata yang bersinar seperti bara api, muncul pertama kali. Langkah-langkahnya yang berat membuat tanah berguncang ringan. Di belakangnya, Banaspati melayang dengan tubuhnya yang transparan, mengeluarkan cahaya oranye kemerahan seperti api abadi. Gender
Nafas malam semakin larut, dan suasana di istana Gilingwesi dipenuhi oleh ketegangan yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma asap kayu bakar dari api unggun yang menyala di halaman istana. Para prajurit loyalis berkumpul dalam formasi rapi, sementara makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo mulai berkumpul di sekitar istana, siap untuk melindungi kerajaan. Namun, firasat buruk menggelayuti setiap orang—ancaman besar sudah sangat dekat. Di tengah kegelapan malam, angin bertiup lebih kencang, membuat nyala api unggun berkedip-kedip tidak menentu. Bayangan-bayangan dramatis terbentuk di dinding-dinding istana, menciptakan ilusi bahwa sesuatu yang mengerikan sedang mengintai dari balik bayang-bayang itu sendiri. Suara gemuruh halus terdengar dari tanah di bawah kaki mereka, seolah-olah bumi merasakan kedatangan ancaman besar. Burung malam yang biasanya berkicau dengan tenang tiba
Langit di kerajaan Gilingwesi tampak semakin gelap, meskipun matahari masih tinggi di langit. Udara dipenuhi dengan energi aneh—sebuah perpaduan antara kekuatan spiritual dan getaran kegelapan yang mendekat. Setelah kehilangan Resi Agung Darmaja dan kemunculan Leak yang misterius, suasana di istana menjadi semakin tegang. Semua orang menyadari bahwa waktu untuk bersiap menghadapi badai besar telah tiba. Namun, kali ini, alam gaib mulai memberikan jawaban. Makhluk-makhluk gaib, baik yang melindungi maupun yang memusuhi manusia, mulai berkumpul di sekitar istana. Ini adalah tanda jelas bahwa pertempuran besar akan segera dimulai.Di tepi hutan lebat yang mengelilingi istana, para prajurit loyalis melihat sesosok api besar bergerak mendekat. Itu adalah Banaspati , roh api pelindung kerajaan. Tubuhnya seperti nyala api yang hidup, matanya bersinar seperti bara panas. Ia datang deng
Langit pagi di kerajaan Gilingwesi tampak mendung, seolah-olah alam pun merasakan ketidakpastian yang melingkupi istana. Setelah pertemuan dengan Banaspati dan Buto Ijo, serta persiapan intens untuk menghadapi Ki Jagabaya dan penyihir gelap, suasana di istana semakin tegang. Namun, ketegangan ini mencapai puncaknya ketika salah satu tokoh kunci dalam cerita—Resi Agung Darmaja—tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kepergian Resi Agung Darmaja bukan hanya meninggalkan kekosongan spiritual, tetapi juga memicu berbagai spekulasi tentang motif sebenarnya. Rakai Wisesa, raja bijaksana namun keras, mulai curiga bahwa pendeta kerajaan itu memiliki agenda tersembunyi yang belum terungkap.Pagi itu dimulai seperti biasa di istana. Para prajurit loyalis sibuk berlatih, para pemimpin spiritual berkumpul untuk ritual, dan Raka, Dyah Sulastri, serta Arya Kertajaya sedang membahas strategi lebih lanjut untuk menghadapi ancaman
Langit di kerajaan Gilingwesi mulai berubah menjadi warna oranye saat matahari perlahan tenggelam di balik pegunungan. Namun, suasana di istana jauh dari kedamaian senja. Setelah informasi penting dari Arya Kertajaya tentang rencana Ki Jagabaya dan penyihir gelap, seluruh istana dipenuhi oleh aktivitas yang intens. Prajurit loyalis sibuk memperkuat pertahanan, sementara para pemimpin spiritual berkumpul untuk merancang strategi melawan ancaman gaib.Raka, Dyah Sulastri, dan tim kecil mereka tahu bahwa ini adalah momen kritis. Mereka harus bersiap menghadapi serangan besar-besaran dalam waktu singkat. Tidak hanya itu, mereka juga menyadari bahwa aliansi dengan makhluk gaib seperti Banaspati dan Buto Ijo akan menjadi kunci kesuksesan mereka.Di ruang singgasana, Rakai Wisesa duduk di singgasananya dengan ekspresi serius. Di sekitarnya, Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan beberapa penasihat senior berkumpul untuk membahas strategi."Kita tidak pu
Langit pagi di kerajaan Gilingwesi tampak mendung, seolah-olah alam pun merasakan ketegangan yang melingkupi istana. Pasca pertempuran besar melawan pasukan bayangan dan penyihir gelap, suasana di istana masih dipenuhi oleh rasa waspada. Banyak penduduk lokal mulai mempertanyakan keberadaan Raka sebagai pemimpin spiritual, sementara para prajurit loyalis terus berlatih untuk menghadapi ancaman baru.Namun, hari itu membawa kabar penting. Arya Kertajaya, panglima perang yang sempat hilang dari pandangan publik setelah pertempuran besar, tiba-tiba muncul kembali di gerbang istana. Ia datang dengan wajah lelah namun penuh tekad, membawa informasi yang bisa mengubah nasib kerajaan.Prajurit penjaga gerbang langsung melapor kepada Rakai Wisesa tentang kedatangan Arya Kertajaya. Tidak menunggu lama, sang raja memerintahkan agar Arya Kertajaya dibawa ke ruang singgasana untuk memberikan laporan langsung.Saat memasuki ruangan, Arya Kertajaya tampak lebih kurus daripada terakhir kali ia terli
Malam itu, udara di sekitar sungai suci terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis mulai merayap di permukaan air yang tenang, memantulkan cahaya bulan purnama dengan kilauan perak yang mistis. Raka dan Dyah Sulastri berjalan bersama menuju tepi sungai setelah mendengar desas-desus tentang kemunculan makhluk gaib besar—Naga Niskala."Kau yakin kita harus ke sini?" tanya Dyah Sulastri, suaranya sedikit gemetar. "Konon, hanya mereka yang dipilih oleh dewa yang bisa bertemu dengannya."Raka menggenggam tangannya erat-erat, mencoba menenangkan ketegangannya. "Jika dia benar-benar memiliki jawaban tentang takdir kerajaan ini, maka kita tidak punya pilihan lain. Kita harus mencari tahu."Saat mereka mendekati sungai, airnya mulai bergelombang meskipun tidak ada angin. Cahaya bulan tiba-tiba redup, digantikan oleh cahaya biru kehijauan yang misterius. Dari kedalaman sungai, sesosok raksasa muncul—Naga Niskala, makhluk mitologi yang legendaris.Tubuh Naga Niskala panjang dan melingkar sep
Malam semakin larut, dan suasana di istana Gilingwesi terasa semakin tegang. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma asap kayu bakar dari api unggun yang menyala di halaman istana. Para prajurit tampak waspada, sementara penduduk lokal mulai merasakan firasat tidak enak tentang sesuatu yang mendekat. Di tengah ketegangan itu, sebuah kehadiran gaib tiba-tiba muncul—Banaspati, roh api pelindung kerajaan.Api di sekitar istana tiba-tiba menyala lebih terang, memancarkan cahaya kemerahan yang aneh. Udara di sekitarnya bergetar seperti gelombang panas, dan dari dalam nyala api tersebut muncul wujud besar Banaspati—makhluk setengah manusia, setengah api. Tubuhnya tampak seperti dipahat dari bara api yang hidup, dengan aliran magma kecil mengalir di permukaan kulitnya. Rambutnya menyala-nyala seperti lidah api liar, dan matanya bersinar seperti dua bola matahari yang terbakar. Setiap kali ia bergerak, udara di sekitarnya bergetar, menciptakan suara gemuruh yang mirip dengan ledakan jauh.