BAB 5: HILANGNYA RAKA

BAB 5: HILANGNYA RAKA

 

Keheningan yang menyesakkan menyelimuti gua setelah cahaya menyilaukan itu memudar. Andini dan Agus masih terdiam, tubuh mereka gemetar karena ketakutan dan kelelahan. Udara di dalam gua semakin berat, seolah gravitasi sendiri telah berubah. Mereka mencoba mengatur napas, tetapi rasa takut akan apa yang baru saja terjadi membuat jantung mereka berdebar kencang.

 

"Raka..." bisik Andini pelan, suaranya penuh ketidakpercayaan. Matanya tertuju pada altar batu yang kosong—cermin perunggu itu tampak mati, tidak lagi berdenyut seperti sebelumnya. "Dia... dia benar-benar hilang."

 

Agus tidak menjawab. Ia hanya menatap altar dengan mata kosong, pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih lemah akibat ledakan energi dari cermin, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk terpaku. Gua ini tidak aman—tanah di bawah kaki mereka retak-retak, dan suara gemuruh dari langit-langit mulai terdengar lagi.

 

"Kita harus keluar dari sini," kata Agus akhirnya, suaranya bergetar. "Gua ini akan runtuh sepenuhnya."

 

Andini mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. Mereka berusaha bangkit, langkah mereka goyah saat meninggalkan altar batu. Namun, sesaat sebelum mereka melangkah lebih jauh, Andini menoleh sekali lagi ke arah cermin. Ia merasakan firasat buruk—seolah artefak itu masih hidup, hanya menunggu korban berikutnya.

 

"Kenapa kita tidak bisa menyentuhnya?" gumam Andini pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa hanya Raka?"

 

Agus mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh permukaan cermin. Namun, begitu jarinya hampir menyentuhnya, sebuah gelombang energi dingin menyengat kulitnya, membuatnya mundur dengan cepat.

 

"Itu tidak akan bekerja," katanya, wajahnya pucat pasi. "Artefak ini... hanya merespons Raka."

 

Andini menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Lalu... apa yang akan terjadi padanya?"

 

Agus tidak menjawab. Ia tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu adalah bahwa mereka tidak punya waktu lagi. Suara gemuruh semakin keras, dan tanah di bawah kaki mereka mulai berguncang hebat. Batu-batu besar mulai jatuh dari langit-langit, memaksa mereka berlari menuju pintu masuk gua.

 

---

Di Luar Gua

Budi masih berusaha menggali reruntuhan yang menutupi pintu masuk gua. Tangannya penuh luka akibat batu-batu tajam, tetapi ia tidak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: menyelamatkan timnya.

 

"ANDINI! AGUS! RAKA!" teriaknya sekali lagi, suaranya penuh keputusasaan. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyakitkan.

 

Tiba-tiba, guncangan hebat terjadi lagi. Budi terjatuh ke belakang, debu tebal memenuhi udara. Saat ia mencoba bangkit, ia melihat dua sosok muncul dari balik reruntuhan—Andini dan Agus. Wajah mereka penuh ketakutan, tubuh mereka lemah dan gemetar.

 

"Budi!" seru Andini, suaranya bergetar. "Kita harus pergi dari sini!"

 

"Raka? Di mana Raka?" tanya Budi, matanya penuh harapan.

 

Andini menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Dia... dia hilang," katanya pelan. "Cermin itu... membawanya pergi."

 

Budi terdiam. Matanya tertuju pada reruntuhan gua, pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Tidak mungkin..." gumamnya pelan. "Bagaimana bisa?"

 

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan!" teriak Agus, suaranya penuh ketegangan. "Gua ini akan runtuh sepenuhnya. Kita harus pergi sekarang!"

 

Budi mengangguk pelan, meski hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah. Ia mengikuti Andini dan Agus menjauh dari gua, meninggalkan reruntuhan yang kini sepenuhnya tertutup oleh tanah dan batu. Saat mereka berlari, suara gemuruh terakhir terdengar dari dalam gua—langit-langitnya akhirnya runtuh sepenuhnya, menutupi segala jejak tentang apa yang baru saja terjadi.

 

Namun, saat mereka berdiri di tepi hutan, sesuatu yang aneh terjadi. Dari arah reruntuhan gua, muncul cahaya samar yang berdenyut lembut, seperti detak jantung. Angin dingin bertiup dari arah itu, membawa aroma dupa yang sama seperti yang mereka rasakan di dalam gua. Andini menatap cahaya itu dengan mata berkaca-kaca, seolah artefak itu masih "hidup" meskipun tertimbun.

 

"Apakah kalian melihat itu?" bisik Andini pelan, suaranya bergetar. "Cahaya itu... seolah cermin itu masih ada."

 

Budi dan Agus menoleh ke arah yang sama, wajah mereka penuh ketakutan. Cahaya itu perlahan memudar, meninggalkan kegelapan total di tempat reruntuhan gua.

 

"Apa artinya ini?" tanya Budi, suaranya penuh kebingungan. "Apakah Raka... masih di sana?"

 

Andini tidak menjawab. Ia hanya menatap reruntuhan gua dengan tatapan kosong, seolah mencoba memecahkan teka-teki yang tidak mungkin dipecahkan.

 

---

Setelah Kejadian

Tim berdiri di tepi hutan, napas mereka tersengal-sengal. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan bayangan panjang di tanah. Semua orang terdiam, pikiran mereka dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.

 

"Apa yang baru saja terjadi?" tanya Budi akhirnya, suaranya penuh kebingungan. "Ke mana Raka pergi?"

 

Andini menatap reruntuhan gua dengan mata berkaca-kaca. "Cermin itu... itu membawanya ke tempat lain," katanya pelan. "Aku melihat gambar-gambar... ritual-ritual aneh, istana megah, dan seorang wanita muda dengan mata penuh kesedihan."

 

"Apa maksudmu?" tanya Budi, suaranya semakin tinggi. "Kamu melihat semua itu?"

 

Andini mengangguk pelan. "Aku tidak tahu apa artinya, tapi aku yakin... Raka ada di sana. Di tempat lain. Di masa lain."

 

Agus menatap Andini dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan skeptisisme. "Masa lain? Apa kamu serius?"

 

Andini tidak menjawab. Ia hanya menatap reruntuhan gua dengan tatapan kosong, seolah mencoba memecahkan teka-teki yang tidak mungkin dipecahkan.

 

Budi menghela napas panjang, matanya penuh rasa bersalah. "Aku... aku seharusnya bisa menyelamatkannya," gumamnya pelan. "Ini semua salahku."

 

"Tidak ada yang bisa kita lakukan," kata Agus, suaranya datar namun penuh ketegangan. "Kita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

 

Andini menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Kita harus mencari tahu," katanya pelan. "Ada legenda tentang Kerajaan Gilingwesi... mungkin itu bisa membantu kita memahami apa yang terjadi pada Raka."

 

Budi dan Agus saling bertukar pandang, wajah mereka penuh keraguan. Namun, mereka tahu bahwa Andini benar—mereka tidak bisa meninggalkan Raka begitu saja.