BAB 3: CERMIN PERUNGGU
Raka terbaring di tanah gua, napasnya tersengal-sengal setelah ledakan cahaya yang menyilaukan itu. Tubuhnya terasa seperti baru saja melewati badai magnetik—setiap syaraf dalam tubuhnya berdenyut, seolah masih bergulat dengan energi yang tak terlihat. Cahaya yang membutakan perlahan memudar, meninggalkan kegelapan yang pekat. Namun, meskipun matanya buta sementara oleh cahaya tadi, ia bisa merasakan bahwa sesuatu di ruangan itu telah berubah.
"Cermin itu..." gumamnya pelan, suaranya terdengar asing bahkan bagi dirinya sendiri.
Ia mencoba bangkit, lututnya gemetar saat ia berdiri. Senter yang ia bawa jatuh entah ke mana, tetapi cahaya samar dari cermin perunggu kuno itu cukup untuk menerangi ruangan. Permukaannya masih berdenyut lembut, seperti detak jantung yang lambat dan teratur. Raka menatap artefak itu dengan campuran rasa penasaran dan ketakutan. Ia tidak pernah melihat benda seperti ini sebelumnya—bukan hanya karena ukiran dewa-dewi dan simbol-simbol mistis yang rumit, tapi karena aura magisnya yang begitu nyata, hampir seperti makhluk hidup.
"Raka!" teriak Andini dari belakang, suaranya penuh kepanikan. "Kamu baik-baik saja?"
Raka menoleh. Andini dan Agus berusaha bangkit dari lantai gua, tubuh mereka tampak lemah dan wajah mereka pucat. Mereka juga terkena dampak ledakan energi dari cermin itu, meskipun tidak separah Raka. Di luar gua, suara gemuruh masih terdengar samar-samar—tanah yang runtuh sepertinya semakin mempersempit pintu masuk.
"Kita harus keluar dari sini!" kata Agus, suaranya bergetar. "Gua ini akan runtuh!"
"Tidak," jawab Raka dengan nada mantap, meski dalam hati ia juga merasa ragu. "Aku tidak bisa meninggalkan cermin ini."
Andini mendekat, langkahnya goyah. "Raka, apa yang terjadi? Apa yang kamu lihat?"
Raka tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada permukaan cermin yang berdenyut lembut. Saat ia menatap lebih dekat, ia melihat bayangan samar di dalamnya—bukan pantulan dirinya sendiri, melainkan sosok seorang pria dalam pakaian kuno. Pria itu mengenakan jubah panjang dengan bordir emas, wajahnya tegas namun penuh rahasia. Matanya menatap Raka seolah menembus jiwa.
"Apa... siapa kamu?" bisik Raka, tangannya terulur tanpa sadar, ingin menyentuh permukaan cermin sekali lagi.
"Jangan!" teriak Andini, menahan lengannya. "Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi!"
Namun, Raka tidak bisa menahan diri. Ada tarikan kuat yang datang dari dalam cermin, seolah artefak itu memanggilnya. Ia menyentuh permukaan cermin lagi, dan kali ini, efeknya langsung terasa. Tubuhnya diselimuti oleh sensasi dingin yang menusuk tulang, seolah ia tenggelam dalam air es. Kilatan-kilatan gambar mulai berkelebat di benaknya—potongan-potongan masa depan yang belum terjadi. Ia melihat dirinya sendiri berdiri di sebuah istana megah, dikelilingi oleh orang-orang dengan pakaian kuno. Di antara mereka, ada seorang wanita muda dengan mata yang penuh kesedihan—Putri Dyah Sulastri.
"Kau yang dipilih," kata suara itu, datang dari dalam cermin. Suaranya dalam dan resonan, seperti gema dari ribuan tahun lalu. "Takdirmu adalah membuka Gerbang Kala."
"Gerbang Kala?" ulang Raka, suaranya bergetar. "Apa maksudmu?"
Suara itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, cermin itu mulai bersinar lagi, kali ini dengan cahaya yang lebih lembut namun lebih intens. Gambar-gambar mulai muncul di permukaannya—seperti film yang diproyeksikan, tetapi gambar-gambar itu bukan sekadar ilusi. Mereka hidup, bergerak, dan bercerita.
Raka melihat adegan-adegan yang tampak seperti potongan sejarah: sebuah kerajaan megah yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sungai mistis; para pemimpin spiritual yang berbicara dengan roh-roh gaib; ritual-ritual besar yang melibatkan api dan air; dan akhirnya, sebuah malapetaka besar yang menghancurkan segalanya. Dalam satu adegan terakhir, ia melihat dirinya sendiri—berdiri di tengah istana kuno, diapit oleh dua kekuatan besar yang saling bertentangan.
"Kerajaan Gilingwesi," gumam Raka, menyadari bahwa inilah kerajaan yang disebutkan dalam ukiran di dinding gua. "Ini... masa lalu?"
"Tidak hanya masa lalu," kata suara itu lagi, kali ini lebih dekat, seolah datang dari tepi telinganya. "Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua terhubung melalui Gerbang Kala."
"Kenapa aku?" tanya Raka, suaranya penuh ketidakpercayaan. "Apa hubunganku dengan semua ini?"
Di dalam hatinya, Raka merasakan konflik batin yang hebat. Ia tahu bahwa artefak ini adalah kunci untuk memecahkan misteri Kerajaan Gilingwesi—kerajaan yang selama ini hanya legenda. Tapi ia juga merasakan firasat buruk bahwa menyentuh cermin ini mungkin membawa konsekuensi besar bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
"Raka, kita harus pergi sekarang!" teriak Agus, menarik lengan Andini.
"Tidak!" balas Raka, matanya masih terpaku pada cermin. "Aku tidak bisa meninggalkan ini!"
"Raka, kita akan mati jika tetap di sini!" seru Andini, suaranya penuh keputusasaan.
Namun, Raka tidak mendengarkannya. Ia merasakan tarikan kuat dari cermin itu, seolah artefak itu menyerap energinya. Cahaya dari cermin semakin terang, sampai akhirnya seluruh ruangan diliputi oleh cahaya putih yang menyilaukan. Raka merasa tubuhnya seperti melayang, ditarik ke dalam pusaran waktu yang tak terlihat.
Sebelum ia lenyap sepenuhnya, ia melihat bayangan-bayangan lain di tepi pandangannya—makhluk-makhluk mitologi Jawa seperti Buto Ijo dan Naga Niskala yang mengamati dari kejauhan, seolah menunggu kedatangannya.
"RAKA!" teriak Andini dan Agus bersamaan.
Namun, sudah terlambat. Dalam sekejap, Raka lenyap dari pandangan mereka, tertelan oleh cahaya yang memenuhi gua. Ketika cahaya itu akhirnya memudar, gua kembali gelap, dan cermin perunggu itu tampak mati, tidak lagi berdenyut.
Di luar gua, Budi yang masih berusaha mencari cara masuk mendengar jeritan Andini dan Agus. Ia berteriak memanggil nama Raka, tetapi tidak ada jawaban. Yang tersisa hanyalah keheningan yang menyesakkan.
Andini dan Agus mencoba menyentuh cermin, berharap bisa menyelamatkan Raka, tetapi artefak itu sama sekali tidak bereaksi. Gua mulai runtuh sepenuhnya, memaksa mereka mundur dengan tergesa-gesa.
BAB 4: KEPUTUSAN FATALCahaya putih yang menyilaukan itu datang tanpa peringatan. Begitu jari Raka menyentuh permukaan cermin perunggu, energi yang terpendam di dalam artefak itu meledak dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Cahaya itu bukan sekadar cahaya biasa—ia hidup, berdenyut seperti nadi raksasa yang memenuhi seluruh ruangan gua. Raka merasakan tubuhnya seperti ditarik ke dalam pusaran waktu, seolah gravitasi alam semesta tiba-tiba runtuh dan hanya ada satu arah: ke dalam."RAKA!" teriak Andini, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh angin kencang yang tiba-tiba bertiup dari dalam cermin. Angin itu dingin menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan dupa yang aneh. Ia mencoba menahan lengan Raka, tapi tarikan energi dari cermin terlalu kuat. Tubuh Raka terangkat beberapa sentimeter dari tanah, matanya terpejam erat seolah berusaha melawan sensasi yang menghancurkan akal sehatnya.Agus berteriak panik, mencoba meraih tangan Raka, tetapi angin kencang yang berputar di sekitar
BAB 5: HILANGNYA RAKAKeheningan yang menyesakkan menyelimuti gua setelah cahaya menyilaukan itu memudar. Andini dan Agus masih terdiam, tubuh mereka gemetar karena ketakutan dan kelelahan. Udara di dalam gua semakin berat, seolah gravitasi sendiri telah berubah. Mereka mencoba mengatur napas, tetapi rasa takut akan apa yang baru saja terjadi membuat jantung mereka berdebar kencang."Raka..." bisik Andini pelan, suaranya penuh ketidakpercayaan. Matanya tertuju pada altar batu yang kosong—cermin perunggu itu tampak mati, tidak lagi berdenyut seperti sebelumnya. "Dia... dia benar-benar hilang."Agus tidak menjawab. Ia hanya menatap altar dengan mata kosong, pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih lemah akibat ledakan energi dari cermin, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya waktu untuk terpaku. Gua ini tidak aman—tanah di bawah kaki mereka retak-retak, dan suara gemuruh dari langit-langit mulai terdengar lagi."Kita harus keluar dari sini," kata Agus ak
BAB 6: DUNIA BARURaka membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat seolah baru saja melewati badai magnetik. Ia mencoba duduk, tetapi tubuhnya masih lemah, seperti habis berlari maraton tanpa henti. Cahaya matahari yang menembus dedaunan di atasnya membuatnya menyipitkan mata. Napasnya tersengal-sengal, dan ia menyadari bahwa ia tidak lagi berada di gua—atau bahkan di tempat yang sama dengan timnya."Di mana aku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin yang meliuk-liuk di antara pepohonan.Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Gambar-gambar kilat muncul di benaknya—cermin perunggu, cahaya menyilaukan, angin kencang, dan suara misterius yang memanggil namanya. Namun, ingatan itu kabur, seperti mimpi yang sulit dipegang erat. Yang jelas, ia tahu satu hal: ia tidak lagi berada di dunia modern.Raka meraba-raba tas punggungnya, mencari ponsel atau alat GPS-nya. Tapi ketika ia menyalakan ponselnya, layar hanya menampilkan kegelapan total. Te
BAB 7: PERTEMUAN DENGAN PRAJURITRaka melanjutkan perjalanannya dengan langkah hati-hati, berusaha mengikuti arah yang ditunjuk oleh anak kecil tadi. Pepohonan tinggi di sekitarnya semakin rapat, dan udara terasa semakin dingin meskipun matahari masih bersinar di atas kepala. Suara alam—desiran angin, gemericik air, dan kicau burung—menciptakan harmoni yang menenangkan, tetapi Raka tidak bisa sepenuhnya merasa aman. Perasaan bahwa ia sedang diikuti semakin kuat, seolah ada banyak pasang mata yang mengamati setiap gerakannya dari balik bayang-bayang pepohonan.Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan. Langkah-langkah itu cepat dan teratur, seperti milik orang-orang yang terlatih. Raka berhenti sejenak, tubuhnya membeku. Ia mencoba bersembunyi di balik pohon besar, berharap tidak terlihat. Namun, suara itu semakin dekat, dan tak lama kemudian, sekelompok prajurit muncul dari balik pepohonan.Prajurit-prajurit itu mengenakan pakaian kuno—baju besi ringan yang terbuat d
BAB 8: PENYELAMATAN OLEH DYAH SULASTRIPrajurit-prajurit itu semakin mengepung Raka, tombak mereka teracung ke arahnya dengan sikap defensif. Raka mencoba menjelaskan dirinya sekali lagi, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh protes dan bisikan prajurit yang semakin curiga. Cahaya samar dari kamera di tangan salah satu prajurit masih memancar, membuat suasana semakin mencekam."Kalian harus percaya padaku!" seru Raka putus asa, suaranya bergetar. "Aku bukan penyihir atau mata-mata! Aku hanya tersesat!"Namun, kata-katanya tidak dihiraukan. Prajurit pemimpin kelompok itu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk segera menangkap Raka. "Cukup! Bawa dia ke istana. Resi Agung Darmaja akan memutuskan apakah dia layak hidup atau tidak."Beberapa prajurit langsung maju, menahan lengan Raka dengan erat. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya masih lemah setelah perjalanan panjang di dunia asing ini. Saat ia merasa semua harapan hilang, sebuah suara tegas memecah ketegangan.
BAB 9: MENUJU ISTANASetelah kejadian di hutan, Dyah Sulastri memimpin rombongan menuju istana Kerajaan Gilingwesi. Raka berjalan di belakangnya, diapit oleh dua prajurit yang tetap waspada meskipun ia telah diselamatkan oleh sang putri. Meski begitu, Raka merasa sedikit lega karena tidak lagi dalam ancaman langsung. Namun, rasa penasaran dan ketidakpastian tentang nasibnya terus menghantui pikirannya.Selama perjalanan, Raka mulai memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan lebih saksama. Hutan yang mereka lalui perlahan-lahan membuka jalan menuju dataran luas yang subur, dikelilingi oleh sawah-sawah hijau dan sungai kecil yang mengalir tenang. Di tepi sungai, beberapa penduduk desa tampak melakukan ritual kecil—menyusun sesaji dari bunga dan daun di atas tikar anyaman, lalu meletakkannya di pinggir air. Mereka menyanyikan doa-doa lembut yang mengiringi aktivitas harian mereka, menciptakan atmosfer spiritual yang kuat."Apakah itu istanamu?" tanya Raka kepada Dyah Sulastri, mencoba me
BAB 10: ISTANA GILINGWESIRaka melangkah masuk ke dalam istana dengan hati-hati, diiringi oleh Dyah Sulastri dan para prajurit yang tetap waspada. Udara di dalam istana terasa lebih dingin dibandingkan dengan panas matahari di luar, namun ada sesuatu yang lain—sebuah aura berat yang sulit dijelaskan. Aroma dupa dan rempah-rempah menyelimuti ruangan, menciptakan atmosfer spiritual yang kental. Dinding-dinding istana dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan dewa-dewi, pahlawan legendaris, dan adegan-adegan spiritual yang tampak hidup seolah mereka bercerita tentang masa lalu kerajaan ini. Cahaya dari lampu minyak memantul di permukaan logam dan perunggu, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di dinding.Mereka memasuki ruang utama istana, sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di ujung ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan postur tegak dan wajah yang tegas namun bijaksana. Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah ma
BAB 11: RITUAL SUCIAngin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada
BAB 63: RITUAL PEMBEBASAN Persiapan Ritual di Hutan MistisMalam semakin larut, dan hutan mistis yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi spiritual yang luar biasa. Udara dingin menyelimuti setiap sudut, sementara kabut tebal mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Di tengah hutan, sebuah altar batu kuno telah disiapkan untuk ritual pembebasan Buto Ijo. Api unggun kecil berkedip-kedip di sekitar altar, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding pepohonan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di sekitar altar, masing-masing dengan perasaan tegang dan penuh harap. Di belakang mereka, sosok besar Buto Ijo—masih dalam wujud makhluk mitologi—menatap altar dengan mata penuh kerinduan. Ia tampak seperti makhluk yang sudah lama menunggu momen ini.
BAB 62: KUTUKAN BUTO IJOPenemuan Rahasia Buto IjoMatahari mulai tenggelam, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya jingga yang lembut. Udara semakin dingin, dan kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di depan sebuah altar batu kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Di atas altar itu, ada relief tua yang menggambarkan seorang ksatria bersenjata lengkap dikelilingi oleh simbol-simbol dewa."Buto Ijo pernah menjadi manusia?" tanya Arya, suaranya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap relief tersebut. "Aku selalu menganggapnya hanya makhluk mitologi."Dyah mengangguk pelan, matanya memindai relief dengan penuh konsentrasi. "Ini lebih dari sekada
BAB 61: SYARAT BUTO IJOPertemuan di Tepi Sungai SuciMatahari mulai terbit, menyinari hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara pagi terasa dingin dan segar, namun ketegangan masih membayangi setiap langkah Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya saat mereka mendekati tepi sungai suci. Air sungai itu tampak jernih seperti kristal, memantulkan sinar matahari dengan kilauan aneh, seolah menyimpan rahasia besar di dalamnya."Apakah ini sungai yang dimaksud Buto Ijo?" tanya Arya pelan, matanya menyipit mencermati lingkungan sekitar.Dyah mengangguk, tangannya meraba permukaan air yang dingin. "Ya, aku bisa merasakan energi spiritual yang kuat di sini. Ini pasti tempatnya."Raka berdiri agak jauh dari sungai, matany
BAB 60: HUTAN MISTISAdegan Pembuka: Memasuki Hutan MistisMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya oranye yang redup. Udara di sekitar terasa lebih dingin dan berat, seolah membawa beban misteri yang tak terucapkan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melangkah hati-hati melewati pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan membentuk kanopi alami yang menutupi langit."Tempat ini... penuh dengan energi aneh," gumam Raka pelan, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno yang selalu ia bawa. Cermin itu mulai bersinar redup, seolah merespons kekuatan gaib di sekitarnya.Dyah mengangguk, matanya waspada. "Ini adalah wilayah makhluk gaib. Kita harus berhati-hati."
BAB 59: PENGKHIANATAN KI JAGABAYA TERUNGKAPArya Menyelidiki Lebih DalamMatahari mulai terbit di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam kelompok Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tetap tegang. Setelah berlari semalaman, mereka akhirnya mencapai tempat perlindungan rahasia yang ditunjukkan oleh peta Arya—sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara tebing curam dan pepohonan rimbun.Raka duduk di sudut gua, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno. Matanya menatap api kecil yang mereka nyalakan untuk menghangatkan tubuh. "Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi," gumamnya pelan.Dyah mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu, Raka?"
BAB 58: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA LAGIAdegan Pembuka: Kejaran di HutanMalam semakin larut, dan udara di hutan terasa semakin dingin. Raka dan Dyah Sulastri berlari sekuat tenaga, napas mereka tersengal-sengal, sementara suara langkah kaki prajurit loyalis terdengar semakin dekat. Pohon-pohon tinggi yang menjulang di sekitar mereka menciptakan bayang-bayang gelap yang menyeramkan, dan angin malam membawa bisikan-bisikan gaib yang samar."Kita harus berhenti sebentar," kata Raka dengan suara bergetar, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu. "Aku tidak tahu ke mana kita harus pergi."Dyah menggeleng pelan, matanya penuh ketakutan. "Tidak, Raka. Jika kita berhenti, mereka akan menangkap kita. Kita harus terus bergerak."
BAB 57: DYAH SULASTRI MEMBERONTAKKeputusan yang BeraniMalam semakin larut, dan udara di istana terasa semakin dingin. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa mulai membubarkan diri setelah ritual korban Dyah Sulastri ditunda sementara karena kemarahan Banaspati.Dyah Sulastri berdiri di kamarnya, matanya penuh air mata. Ia tahu bahwa ritual ini adalah takdirnya—tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa melanjutkannya. Hatinya dipenuhi oleh rasa takut, harapan, dan keberanian. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin perunggu kuno yang diberikan Raka padanya sebagai hadiah simbolis."Aku tidak bisa melakukannya," gumam Dyah pelan, suaranya penuh keteg
BAB 56: RESI AGUNG DARMAJA MENGGUNGKAP AGENDA TERSEMBUNYIKedatangan Resi Agung DarmajaMalam semakin larut, dan udara di istana terasa semakin dingin. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa mulai membubarkan diri setelah ritual korban Dyah Sulastri ditunda sementara karena kemarahan Banaspati.Raka berdiri di halaman utama istana, matanya memandang altar batu besar dengan penuh kemarahan. Ia merasakan sensasi aneh di tubuhnya—seolah-olah ada kekuatan gaib yang mencoba masuk ke dalam dirinya. Cermin perunggu yang ia bawa mulai bersinar redup, seolah memberikan peringatan.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Raka menoleh dan meli
BAB 55: RAKA MELAWAN TAKDIRKetegangan di IstanaMatahari mulai tenggelam, dan bayang-bayang panjang menutupi alun-alun istana. Udara dingin berhembus lembut, membawa aroma dupa dan bunga melati yang tersebar di sekitar altar batu besar. Api-api kecil yang ditinggalkan oleh Banaspati masih menyala di beberapa sudut istana, menciptakan suasana mencekam yang semakin tebal. Penduduk desa berkumpul di sekitar altar, wajah mereka penuh dengan campuran harapan dan ketakutan.Raka berdiri di tepi kerumunan, matanya memandang altar dengan penuh kemarahan. Ia tahu bahwa ritual korban ini adalah kesalahan besar—tapi bagaimana cara meyakinkan orang-orang yang sudah terlanjur percaya pada takhayul? Di sisi lain, Rakai Wisesa duduk di singgasana se