BAB 2: GUA TERSEMBUNYI

BAB 2: GUA TERSEMBUNYI

 

Air terjun kecil itu mengalir dengan gemericik halus, menyembunyikan celah gelap di baliknya. Raka dan tim berdiri di tepi kolam dangkal yang terbentuk oleh aliran air, memandang gua tersebut dengan campuran rasa penasaran dan waspada. Dinding gua dipenuhi ukiran kuno yang rumit—motif geometris, gambar dewa-dewi, serta simbol-simbol spiritual yang tampak asing bagi sebagian besar anggota tim.

 

"Inilah yang kita cari," kata Raka pelan, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh air terjun. Matanya menyipit saat ia memeriksa ukiran-ukiran itu lebih dekat. "Ini... tulisan Jawa Kuno. Sangat kuno."

 

"Kuno bagaimana?" tanya Budi, fotografer tim, sambil mengarahkan kameranya ke dinding gua. Lensa kameranya berkilat menangkap cahaya redup dari luar gua.

 

"Bukan hanya kuno," jawab Raka, tangannya menyentuh salah satu ukiran dengan hati-hati. "Ini berasal dari zaman pra-Majapahit, mungkin bahkan lebih tua. Tidak banyak catatan tentang periode ini."

 

Andini, ahli botani, mendekat dengan langkah ragu-ragu. "Raka, aku tidak yakin kita harus masuk ke sana," katanya, suaranya terdengar lebih rendah daripada biasanya. "Ada sesuatu yang aneh... rasanya seperti ada beban di udara."

 

Agus, geolog muda yang biasanya tenang, juga tampak gelisah. "Aku merasakannya juga," katanya, melirik ke dalam gua dengan ekspresi waspada. "Seperti gravitasi di sini lebih berat. Aneh sekali."

 

Raka menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus timnya. Ia tahu bahwa mereka semua merasakan hal yang sama—energi tak terlihat yang membuat bulu kuduk mereka meremang. Namun, sebagai pemimpin tim, ia tidak bisa mundur begitu saja. Terlebih lagi, ada sesuatu di gua ini yang memanggilnya, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa itu.

 

"Kita sudah sampai sejauh ini," katanya akhirnya, suaranya mantap meski dalam hati ia juga merasa gugup. "Kita tidak bisa pulang tanpa tahu apa yang ada di dalam sana. Ini mungkin penemuan penting."

 

Budi mengangguk setuju, meski wajahnya masih pucat. "Aku akan tetap di sini untuk mengambil foto dari luar. Kalau ada sesuatu yang tidak beres, aku bisa memanggil bantuan."

 

Andini dan Agus saling bertukar pandang, lalu akhirnya mengangguk pelan. Mereka sepakat untuk mengikuti Raka masuk ke gua, meskipun jelas-jelas mereka tidak nyaman.

 

---

Di Dalam Gua

Langkah pertama Raka ke dalam gua terasa seperti melangkah ke dunia lain. Udara di dalam lebih dingin, lebih pekat, dan membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Cahaya dari luar hanya mampu menembus beberapa meter ke dalam, meninggalkan sisa ruangan dalam kegelapan total. Raka mengeluarkan senter dari tasnya, sinarnya memotong kegelapan dan menerangi dinding gua yang dipenuhi ukiran serupa dengan yang di luar.

 

"Wow," gumam Andini, matanya melebar saat melihat detail ukiran-ukiran itu. "Ini... luar biasa. Sepertinya ini bukan sekadar dekorasi. Ada cerita di sini."

 

Raka mengangguk, matanya bergerak cepat membaca simbol-simbol yang tertulis di dinding. "Ini adalah narasi," katanya pelan. "Tentang sebuah kerajaan kuno yang hilang... Kerajaan Gilingwesi."

 

"Gilingwesi?" ulang Agus, suaranya penuh ketidakpercayaan. "Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya."

 

"Itu karena tidak ada catatan resmi tentang kerajaan ini," jawab Raka. "Hanya ada legenda lokal, tapi tidak ada bukti konkret. Sampai sekarang." Ia berhenti sejenak, matanya tertambat pada salah satu bagian ukiran. "Menurut narasi ini, Gilingwesi adalah kerajaan yang dikuasai oleh para pemimpin dengan kekuatan spiritual tinggi. Mereka diyakini sebagai keturunan dewa dan memiliki hubungan dengan dunia gaib."

 

"Tapi kenapa tidak ada catatan tentang mereka?" tanya Andini, suaranya bergetar.

 

"Narasi ini mengatakan bahwa kerajaan ini lenyap dari sejarah karena sebuah artefak mistis yang disebut 'Gerbang Kala,'" lanjut Raka, nadanya semakin serius. "Artefak itu dikatakan bisa membuka pintu waktu, tapi juga membawa malapetaka bagi siapa pun yang menggunakannya tanpa izin."

 

Semakin dalam mereka masuk, semakin berat energi yang mereka rasakan. Langkah-langkah mereka terdengar bergema di dalam gua, seolah-olah suara itu diserap oleh dinding batu yang hidup. Di beberapa titik, mereka menemukan patung-patung kecil yang tersembunyi di ceruk-ceruk gua—patung dewa-dewi dengan mata yang tampak seperti menatap langsung ke dalam jiwa mereka.

 

"Raka..." bisik Andini, suaranya bergetar. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi."

 

Raka berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. "Aku juga merasakannya," katanya jujur. "Tapi kita tidak bisa berbalik sekarang. Lihat, ada sesuatu di ujung sana."

 

Mereka melanjutkan perjalanan, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua. Ruangan itu dipenuhi ukiran yang lebih rumit daripada yang sebelumnya, dan di tengah ruangan, ada sebuah altar batu besar. Di atas altar, tergeletak sebuah cermin perunggu kuno dengan ukiran dewa-dewi dan simbol-simbol mistis yang berdenyut lembut, seolah bernyawa.

 

"Cermin ini..." gumam Raka, matanya terpaku pada artefak itu. "Ini bukan sekadar benda biasa. Ada energi di dalamnya."

 

Agus melangkah mundur, wajahnya pucat. "Raka, kita harus pergi dari sini. Ini tidak normal."

 

Namun, Raka tidak mendengarkannya. Ia terlalu penasaran. Saat ia mendekati altar, ia melihat bayangan samar di permukaan cermin—bukan bayangannya sendiri, melainkan sosok seorang pria dalam pakaian kuno yang menatapnya dengan mata penuh rahasia. Ia juga mendengar bisikan lembut yang memanggil namanya.

 

"Raka..." bisik suara itu, seperti angin yang menyusup ke telinganya.

 

"Jangan sentuh itu!" teriak Andini, suaranya memecah keheningan gua.

 

Tapi sudah terlambat. Begitu jari Raka menyentuh permukaan cermin, cahaya menyilaukan meledak dari artefak itu. Angin kencang tiba-tiba bertiup dari dalam gua, menghempaskan semua orang ke belakang. Suara gemuruh menggema di seluruh ruangan, dan dalam sekejap, Raka merasa tubuhnya seperti terseret ke dalam pusaran waktu.

 

Di luar gua, Budi melihat cahaya aneh menyembur keluar dari mulut gua. Ia berteriak memanggil nama Raka, tapi tidak ada jawaban. Ketika ia mencoba mendekat, tanah di sekitar gua mulai runtuh, menutupi pintu masuk sepenuhnya.