BAB 1: EKSPEDISI DI HUTAN MISTIS

BAB 1: EKSPEDISI DI HUTAN MISTIS

 

Matahari pagi seharusnya sudah bersinar terang, namun ketika Raka dan tim arkeolognya memasuki hutan lebat di Jawa Tengah, cahayanya tampak enggan menembus dedaunan yang rapat. Udara di sini berbeda—lebih dingin, lebih berat, seolah menyimpan rahasia-rahasia yang tak ingin dibagikan kepada pendatang. Suara alam yang biasanya ramai dengan kicauan burung atau derik serangga justru terdengar sunyi, hanya sesekali terdengar desiran angin yang meliuk-liuk di antara pepohonan tua.

 

Raka menghentikan langkahnya sesaat, tangannya meraih buku catatan lapangan dari tas punggungnya. Ia mencatat beberapa hal penting tentang kondisi lingkungan sekitar: kelembapan tinggi, tanaman endemik yang jarang ditemui di tempat lain, serta jejak-jejak kuno yang samar di tanah. Timnya tersebar di belakangnya, masing-masing fokus pada tugas mereka sendiri. Ada Andini , ahli botani yang sedang mengambil sampel lumut; Budi , fotografer dokumentasi yang sibuk memotret setiap sudut hutan; dan Agus , geolog muda yang membawa peralatan GPS untuk memetakan area tersebut.

 

"Raka, apa kita yakin ini lokasinya?" tanya Agus dengan nada ragu. Suaranya terdengar samar di antara desiran angin yang meliuk-liuk di antara pepohonan. Ia menunjukkan layar GPS-nya yang berkedip-kedip tak stabil. "Sinyalnya hilang begitu saja. Ini aneh."

 

Raka menyeringai tipis, mencoba mencairkan ketegangan meski dalam hati ia juga merasa ada sesuatu yang tidak biasa. "Kalau semuanya mudah ditemukan, kita bukan arkeolog, kan?"

 

Namun, dalam hatinya, Raka tidak bisa sepenuhnya meyakinkan dirinya sendiri. Sebagai seorang arkeolog, ia selalu percaya bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan dengan logika—bahwa mitos dan cerita rakyat hanyalah interpretasi manusia atas fenomena alam yang belum dipahami. Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Getaran halus di udara, seperti denyut energi yang tak terlihat, membuatnya merasa seperti sedang diawasi oleh sesuatu yang tak kasat mata.

 

"Andini, bagaimana dengan flora di sini?" tanya Raka, mencoba mengalihkan perhatian dari ketidakstabilan teknologi mereka.

 

Andini mendekat, membawa sepotong kulit kayu yang aneh. "Ini tidak biasa," katanya, suaranya rendah tapi serius. "Lihat pola ukirannya. Ini mirip dengan motif yang pernah kubaca di naskah-naskah kuno tentang Kerajaan Mataram Kuno."

 

Raka mengambil kulit kayu itu, matanya menyipit saat memeriksanya. Memang benar, ada pola geometris yang rumit, seperti simbol-simbol spiritual yang digunakan dalam ritual zaman dahulu. "Menarik," gumamnya. "Apa mungkin gua yang kita cari ada hubungannya dengan kerajaan itu?"

 

Sebelum ada yang bisa menjawab, cuaca tiba-tiba berubah drastis. Langit yang tadinya cerah mulai tertutup awan gelap, padahal tidak ada tanda-tanda badai sama sekali. Angin bertiup kencang, menggoyangkan cabang-cabang pohon dengan gerakan liar. Burung-burung berterbangan menjauh, meninggalkan kesunyian yang menyesakkan. Bahkan daun-daun yang berguguran terlihat seperti dipengaruhi oleh gravitasi yang salah, berputar lambat di udara sebelum akhirnya jatuh.

 

"Ada yang aneh," bisik Budi, suaranya nyaris hilang ditelan angin. "Ini bukan cuaca normal."

 

Raka menoleh ke sekelilingnya. Semua anggota tim tampak tegang, bahkan Andini yang biasanya tenang mulai menunjukkan raut khawatir. Namun, sebagai pemimpin, Raka tahu ia harus tetap tenang. "Jangan panik," katanya dengan nada mantap. "Kita lanjutkan pencarian. Mungkin ini hanya fenomena alam biasa."

 

Namun, dalam hati, ia juga merasakan sesuatu yang tidak wajar. Ada getaran halus di udara, seperti denyut energi yang tak terlihat. Instingnya berkata bahwa mereka sedang mendekati sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin seharusnya tidak ditemukan.

 

"Baiklah," kata Raka akhirnya, menutup buku catatannya. "Kita lanjutkan ke arah barat laut. Data satelit menunjukkan ada formasi batuan besar di sana. Siapa tahu itu pintu masuk gua."

 

Tim mengangguk, meski masih tampak ragu-ragu. Mereka melanjutkan perjalanan, melangkah hati-hati melewati akar-akar besar dan semak-semak tebal. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah hutan itu sendiri mencoba menahan mereka agar tidak maju lebih jauh.

 

Di tengah kegelapan yang semakin pekat, Raka tak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi oleh sesuatu—atau seseorang—yang tak terlihat. Ia menoleh ke belakang, memastikan semua anggota tim masih mengikutinya. Namun, pandangannya tiba-tiba tertambat pada sebuah bayangan samar di antara pepohonan. Bayangan itu bergerak cepat, menghilang sebelum ia sempat memastikan apakah itu manusia, hewan, atau sesuatu yang lain.

 

"Kalian lihat itu?" tanyanya pelan, berusaha tidak menimbulkan kepanikan.

 

"Lihat apa?" tanya Andini, menoleh ke arah yang sama. "Tidak ada apa-apa."

 

Raka menggeleng pelan. "Mungkin cuma perasaanku." Namun, ia tahu bahwa ini bukan sekadar imajinasinya. Ada sesuatu di hutan ini—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

 

Angin kembali bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih aneh—seperti dupa yang terbakar. Raka berhenti sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa mereka sudah sangat dekat dengan sesuatu yang besar. Apakah itu gua yang mereka cari? Atau sesuatu yang lebih misterius?

 

"Kita hampir sampai," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada tim. "Tapi waspada. Ada sesuatu di sini yang tidak kita pahami."

 

Tiba-tiba, suara gemericik air terdengar samar-samar dari kejauhan. Budi menunjuk ke arah sumber suara. "Itu... air terjun?"

 

Raka menyipitkan mata, mencoba melihat melalui pepohonan yang rapat. "Sepertinya iya. Mari kita periksa."

 

Mereka bergerak menuju suara itu, dan tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik semak-semak. Di balik air terjun, ada celah gelap yang tampak seperti mulut gua. Dinding gua itu dipenuhi ukiran kuno yang sama dengan yang mereka temukan pada kulit kayu.

 

"Inilah gua yang kita cari," kata Raka, matanya berbinar penuh rasa penasaran. Namun, di balik rasa penasarannya, ada firasat yang mengganggu—seolah gua ini bukan sekadar tempat biasa, melainkan pintu menuju dunia lain.