Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya.
“Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan. “Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar. Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.” “Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?” “Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya. Jagat mendesah pendek. “Coba kalau kamu juga kuliah kedokteran, kamu bisa minta diajari kakakmu supaya skripsimu lebih lancar dan mendapat nilai sempurna.” Sudut hati Rana terasa nyeri, seperti dicubit kecil. Namun, ia hanya bisa menunduk dan tersenyum getir. “Maaf, Pa,” lirihnya. Zayyan yang duduk di sebelah Rana hanya melirik istrinya sekilas, kemudian lanjut menikmati makan malam. “Sudahlah, Mas, tidak perlu diungkit-ungkit lagi soal itu.” Ambar mencoba mengingatkan suaminya karena suasana makan malam mulai terasa canggung. “Aku masih kecewa, Ma. Kalau kuliah ekonomi, memangnya setelah lulus sarjana mau jadi apa? Sekarang sarjana ekonomi itu banyak, menjamur di mana-mana. Coba kalau dia bisa jadi dokter seperti kakaknya, dia bisa bekerja di rumah sakit kita. Dihormati, dihargai, setelah itu lanjut sekolah spesialis seperti kakaknya.” Jagat menghela nafas berat, menggeleng-geleng. “Aku masih tidak habis pikir. Padahal dia sekolah dan ikut les di tempat yang sama dengan Arga, tapi bisa-bisanya dia tidak lolos tes masuk kedokteran? Aku tidak mengerti di mana letak kesalahannya.” lanjut Jagat lagi. Ambar menggigit bibir, melirik putri bungsunya yang masih menunduk. Di sisi lain, Arga cepat tanggap dan mengusap pelan lengan adik bungsunya sembari menggumamkan kata ‘sabar’ berkali-kali. “Setelah lulus sarjana, Rana bisa bekerja di start up atau lanjut S2 dan menjadi dosen. Ada banyak pilihan, kok, Mas,” ucap Ambar, mencoba mengutarakan pendapatnya. Jagat menggeleng, menghembuskan nafas berat. “Kamu beruntung bisa menjadi istri Zayyan, Rana. Dia salah satu dosen yang karirnya melesat cepat. Ayahnya sahabat karib Papa sejak dulu. Jadilah istri yang baik untuk Zayyan. Layani suamimu dengan baik dengan mencontoh ibumu.” Rana mendongak sekilas, mengangguk. “Baik, Pa.” Zayyan melirik istrinya lagi, tapi kali ini dengan dahi yang mengernyit. Rana yang ceria dan suka seenaknya itu kini hilang, meninggalkan Rana yang menciut ketakutan seperti anak ayam kehilangan induk. Makan malam itu tetap berlanjut hingga selesai. Namun, Rana tidak lagi bisa menikmati makanannya. Setelah selera makannya lenyap, makanannya pun terasa hambar di lidah. Usai makan malam, Ambar menghampiri Rana dan memeluknya erat. “Maafkan papamu, ya?” bisiknya lirih. Rana membalas pelukan ibunya, mengangguk. “Iya, Ma. Wajar papa kecewa begitu, memang Rana yang salah.” “Kamu tidak salah, Nak. tidak ada yang salah dengan memilih jurusan yang berbeda dengan kakakmu. Hanya saja, papamu sepertinya masih kecewa berat. Tolong bersabar sedikit lagi, semoga papamu bisa menerima dengan lapang kekecewaannya itu.” Rana mengangguk lagi. Nyeri di hatinya perlahan-lahan memudar. Pelukan mamanya selalu menjadi obat paling manjur untuk kesedihannya. “Kamu mau menginap di sini?” tanya Ambar setelah pelukannya terlepas. “Eh?” Rana tertegun. Pertanyaan ibunya memunculkan ide cemerlang di kepalanya. Bibirnya seketika melengkungkan senyum lebar. “Iya, Ma. Malam ini aku sama mas Zayyan akan menginap kok.” Padahal mereka sama sekali tak membicarakan rencana soal menginap sebelum berangkat tadi. Beberapa menit kemudian, Rana keluar dari kamar mandi usai mencuci muka dan menggosok gigi. Ia melirik Zayyan yang duduk di atas kasur dengan bersandar ke headboard. Pria itu terlihat sibuk dengan tablet di tangannya. Rana menelan ludah, gugup. Sebab, ini merupakan kali kedua bagi mereka untuk tidur satu kamar. Yang pertama adalah ketika setelah akad nikah. Mereka tidur sekamar, tapi tidak seranjang, karena Zayyan tidur di sofa kamar hotel yang cukup luas dan empuk. Lalu yang kedua adalah sekarang. Rana pikir ini adalah kesempatan yang bagus, karena kamar Rana tidak memiliki sofa dan hanya ada satu ranjang ukuran queen yang diletakkan di tengah ruangan. “Kenapa kamu langsung setuju saat disuruh menginap di sini?” tanya Zayyan dingin. Rana duduk di sisi ranjang yang berlawanan dengan Zayyan. “Kenapa harus tidak setuju?” Zayyan menggeram kesal, “Kita tidak pernah sepakat buat nginap.” “Memang,” sahut Rana santai. “Namun, tidak ada salahnya juga kan menginap di sini? Besok juga weekend.” “Justru karena besok weekend.” “Kenapa? Kamu ingin pergi dengan Asha? Pergi aja. Pamit sendiri kepada papa mama.” tantang Rana. Zayyan memicingkan mata curiga. “Kamu sengaja melakukan ini agar aku tidak bisa pergi dengan Asha?” “Menurutmu?” Rana menatap Zayyan lekat, menantang. “Aku istrimu, Mas. Kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi bersama perempuan lain? Jangan harap.” “Kamu tidak bisa melarangku.” Zayyan mendesis. “Aku tidak melarang kok? Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk kamu pamit sendiri ke papa dan mama?” Wajah Zayyan mengeras. “Lihat saja, aku akan tetap pergi” “Silakan.” Rana menjawab santai sambil berbaring di atas kasur. “Mau tidur nggak?” kata Rana lagi sembari menepuk kasur di sebelahnya. Zayyan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sebelum kemudian mengambil bed-cover yang tadinya menyelimuti Rana. “Aku tidur di lantai. Tidak usah menyalakan AC agar kamu tidak perlu pake selimut.” “Memangnya kenapa kalau kita tidur seranjang? Kita kan sudah menjadi suami istri?’ Zayyan mendengus. “Aku yang tidak sudi tidur di sampingmu.”“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan.Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah.Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha.“Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis.“Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.”“Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan
Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil. Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha. Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin. “Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah. Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.” Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya. “Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas. “Iya, pergi saja.” Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun
“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang.“Mas Zayyan?”“Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas.Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab.Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar.“Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah.Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulan
“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyeli
“Aku tidak sudi disentuh olehmu!" Perkataan Zayyan membuat Rana mencengkram handuk basah di tangannya dengan erat. Ia lalu menarik nafas dalam agar air mata yang mulai menggenang tidak tumpah ke pipi. Ternyata, perkataan Zayyan tetap sangat menyakitkan untuknya meski sudah sering ia dengar.“Aku juga sudah telepon Asha, dia akan datang untuk mengurusku”.Asha lagi.. Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit. Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun. Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi. Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah. Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menci