Share

Bab 2. Undangan Makan Malam

Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya. 

“Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. 

Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. 

Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan.

“Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar.

Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.”

“Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?”

“Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” 

Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya.

Jagat mendesah pendek. “Coba kalau kamu juga kuliah kedokteran, kamu bisa minta diajari kakakmu supaya skripsimu lebih lancar dan mendapat nilai sempurna.”

Sudut hati Rana terasa nyeri, seperti dicubit kecil. Namun, ia hanya bisa menunduk dan tersenyum getir. 

“Maaf, Pa,” lirihnya.

Zayyan yang duduk di sebelah Rana hanya melirik istrinya sekilas, kemudian lanjut menikmati makan malam.

“Sudahlah, Mas, tidak perlu diungkit-ungkit lagi soal itu.” Ambar mencoba mengingatkan suaminya karena suasana makan malam mulai terasa canggung.

“Aku masih kecewa, Ma. Kalau kuliah ekonomi, memangnya setelah lulus sarjana mau jadi apa? Sekarang sarjana ekonomi itu banyak, menjamur di mana-mana. Coba kalau dia bisa jadi dokter seperti kakaknya, dia bisa bekerja di rumah sakit kita. Dihormati, dihargai, setelah itu lanjut sekolah spesialis seperti kakaknya.” Jagat menghela nafas berat, menggeleng-geleng. 

“Aku masih tidak habis pikir. Padahal dia sekolah dan ikut les di tempat yang sama dengan Arga, tapi bisa-bisanya dia tidak lolos tes masuk kedokteran? Aku tidak mengerti di mana letak kesalahannya.” lanjut Jagat lagi.

Ambar menggigit bibir, melirik putri bungsunya yang masih menunduk. 

Di sisi lain, Arga cepat tanggap dan mengusap pelan lengan adik bungsunya sembari menggumamkan kata ‘sabar’ berkali-kali.

“Setelah lulus sarjana, Rana bisa bekerja di start up atau lanjut S2 dan menjadi dosen. Ada banyak pilihan, kok, Mas,” ucap Ambar, mencoba mengutarakan pendapatnya.

Jagat menggeleng, menghembuskan nafas berat. 

“Kamu beruntung bisa menjadi istri Zayyan, Rana. Dia salah satu dosen yang karirnya melesat cepat. Ayahnya sahabat karib Papa sejak dulu. Jadilah istri yang baik untuk Zayyan. Layani suamimu dengan baik dengan mencontoh ibumu.”

Rana mendongak sekilas, mengangguk. “Baik, Pa.”

Zayyan melirik istrinya lagi, tapi kali ini dengan dahi yang mengernyit. 

Rana yang ceria dan suka seenaknya itu kini hilang, meninggalkan Rana yang menciut ketakutan seperti anak ayam kehilangan induk.

Makan malam itu tetap berlanjut hingga selesai. Namun, Rana tidak lagi bisa menikmati makanannya.

Setelah selera makannya lenyap, makanannya pun terasa hambar di lidah.

Usai makan malam, Ambar menghampiri Rana dan memeluknya erat. “Maafkan papamu, ya?” bisiknya lirih.

Rana membalas pelukan ibunya, mengangguk. “Iya, Ma. Wajar papa kecewa begitu, memang Rana yang salah.”

“Kamu tidak salah, Nak. tidak ada yang salah dengan memilih jurusan yang berbeda dengan kakakmu. Hanya saja, papamu sepertinya masih kecewa berat. Tolong bersabar sedikit lagi, semoga papamu bisa menerima dengan lapang kekecewaannya itu.”

Rana mengangguk lagi. Nyeri di hatinya perlahan-lahan memudar. Pelukan mamanya selalu menjadi obat paling manjur untuk kesedihannya.

“Kamu mau menginap di sini?” tanya Ambar setelah pelukannya terlepas.

“Eh?” Rana tertegun. Pertanyaan ibunya memunculkan ide cemerlang di kepalanya. Bibirnya seketika melengkungkan senyum lebar. “Iya, Ma. Malam ini aku sama mas Zayyan akan menginap kok.”

Padahal mereka sama sekali tak membicarakan rencana soal menginap sebelum berangkat tadi. 

Beberapa menit kemudian, Rana keluar dari kamar mandi usai mencuci muka dan menggosok gigi. Ia melirik Zayyan yang duduk di atas kasur dengan bersandar ke headboard. 

Pria itu terlihat sibuk dengan tablet di tangannya.

Rana menelan ludah, gugup. Sebab, ini merupakan kali kedua bagi mereka untuk tidur satu kamar. 

Yang pertama adalah ketika setelah akad nikah. Mereka tidur sekamar, tapi tidak seranjang, karena Zayyan tidur di sofa kamar hotel yang cukup luas dan empuk. 

Lalu yang kedua adalah sekarang. 

Rana pikir ini adalah kesempatan yang bagus, karena kamar Rana tidak memiliki sofa dan hanya ada satu ranjang ukuran queen yang diletakkan di tengah ruangan.

“Kenapa kamu langsung setuju saat disuruh menginap di sini?” tanya Zayyan dingin.

Rana duduk di sisi ranjang yang berlawanan dengan Zayyan. “Kenapa harus tidak setuju?”

Zayyan menggeram kesal, “Kita tidak pernah sepakat buat nginap.”

“Memang,” sahut Rana santai. “Namun, tidak ada salahnya juga kan menginap di sini? Besok juga weekend.”

“Justru karena besok weekend.”

“Kenapa? Kamu ingin pergi dengan Asha? Pergi aja. Pamit sendiri kepada  papa mama.” tantang Rana.

Zayyan memicingkan mata curiga. “Kamu sengaja melakukan ini agar aku tidak bisa pergi dengan Asha?”

“Menurutmu?” Rana menatap Zayyan lekat, menantang. “Aku istrimu, Mas. Kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi bersama perempuan lain? Jangan harap.”

“Kamu tidak bisa melarangku.” Zayyan mendesis.

“Aku tidak melarang kok? Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk kamu pamit sendiri ke papa dan mama?”

Wajah Zayyan mengeras. “Lihat saja, aku akan tetap pergi”

“Silakan.” Rana menjawab santai sambil berbaring di atas kasur. “Mau tidur nggak?” kata Rana lagi sembari menepuk kasur di sebelahnya.

Zayyan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sebelum kemudian mengambil bed-cover yang tadinya menyelimuti Rana. 

“Aku tidur di lantai. Tidak usah menyalakan AC agar kamu tidak perlu pake selimut.”

“Memangnya kenapa kalau kita tidur seranjang? Kita kan sudah menjadi suami istri?’

Zayyan mendengus. “Aku yang tidak sudi tidur di sampingmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status