“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”
Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat. “Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut. Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun. Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana. Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda. Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya. “Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan. Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya. “Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?” Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar. Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyelimutinya, persis seperti yang ia lakukan saat Rana kecil dulu. “Ingat ya, Nak. Mama selalu ada di sini kalau Rana butuh,” tutur Ambar lembut sambil mengusap puncak kepala putrinya. Rana mengangguk. “Makasih, Ma.” Ambar tak langsung beranjak dari sana. Ia menunggu mungkin Rana mau sedikit membicarakan alasan ia menangis tadi. Namun saat Ambar tak menemukan tanda-tanda bahwa Rana akan mulai bicara, akhirnya ia menghela nafas panjang dan membiarkan Rana beristirahat. Begitu pintu tertutup, Rana meringkuk di bawah selimut. Ia kembali menangis, menumpahkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang menghimpit dadanya. Bayangan Zayyan dan Asha bercumbu mesra terus berkelebat dalam benaknya. Menyayat hatinya, menghancurkannya hingga tak bersisa. Rana bisa mentolerir sikap dingin dan ketus Zayyan. Tapi ia tak bisa mentolerir saat suaminya berani menyentuh wanita lain. Dan fakta bahwa ia bahkan tak pernah disentuh seperti itu oleh Zayyan, membuat luka itu seperti disiram garam. Pedih luar biasa. Sementara itu di apartemen Zayyan, pria itu terduduk di sofa, Asha masih ada di sana. “Rana sudah pergi, Mas?” Asha bertanya, mengusap pundak Zayyan lembut. Zayyan tak menggubris, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa, tatapan Rana yang begitu terluka terus melekat di benaknya. “Nah, sekarang sudah nggak ada yang ganggu kita,” ucap Asha, suaranya terdengar sedikit genit. Ia juga memajukan tubuhnya, sengaja menempelkannya ke tubuh Zayyan. “Minggir,” desis Zayyan dingin. Asha terkesiap, menatap Zayyan tak percaya. “Mas, kamu kenapa?” Zayyan menghela nafas berat. “Minggir, Sha. Jangan ganggu aku.” Suaranya melunak, tapi ia masih tak menoleh pada Asha. Kedua alis Asha bertaut mendengar permohonan Zayyan. “Jadi kamu menganggapku ganggu kamu?” “Bukan gitu….” Zayyan menghembuskan nafas berat. “Aku lagi nggak mood.” Asha memicingkan matanya kesal. “Kenapa? Gara-gara Rana lihat kita berduaan? Kamu merasa bersalah sama dia?” tanyanya ketus. Zayyan tak menjawab selama beberapa saat, mencoba mengenali perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Apa yang membuat hatinya terasa berat setelah melihat Rana menangis, meledak, dan menatapnya dengan sorot mata penuh luka. “Kamu tuh cintanya cuma sama aku, Mas. Ngapain kamu merasa bersalah sama dia?” Suara Asha mulai melengking, ia kesal, tak suka melihat Zayyan mulai memikirkan Rana. Zayyan menggeleng. “Tolong jangan bikin aku tambah pusing.” “Jadi kamu menganggapku cuma beban sekarang?!” Asha meradang, berdiri. “Sha, tolong ngerti. Aku lagi pusing.” Zayyan memelas. “Gara-gara Rana memergoki kita berciuman dan kamu merasa bersalah?” “Aku nggak tahu, tapi tolong jangan bikin kepalaku semakin sakit.” Zayyan mendesah berat, memijit pelipisnya. Asha tertawa sinis, menyambar tasnya di atas sofa. “Aku pulang!” “Mau ke mana, Sha?” Zayyan mendongak, mengernyit melihat Asha akan pergi. “Buat apa aku di sini sementara kamu memikirkan perempuan lain?” jawab Asha ketus. “Rana maksud kamu? Dia bukan perempuan lain, dia istriku. Wajar kal–” “Aku pulang!” Asha memotong kalimat Zayyan, menghentakkan kakinya ke lantai kuat-kuat sambil beranjak pergi. Zayyan ingin menahan Asha agar tidak pergi, tapi entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak. Sampai Asha membanting pintu apartemennya, Zayyan masih tak beranjak. Pria itu menghela nafas panjang dan lelah, menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Apa yang sudah aku lakukan?” lirihnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. *** “Makanan tuh jangan cuma dilihatin, dimakan,” tegur Arga saat melihat Rana hanya menatap piring di depannya. Rana mendongak, tersenyum tipis, kemudian mulai mengambil sendok. Gerakannya lambat dan lemah, seolah ia tak punya tenaga untuk sekedar makan. Ambar melirik putrinya. “Hari ini ngampus?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik. Rana menggeleng. “Nggak ada kuliah atau janjian sama dosen pembimbing?” Rana menggeleng lagi, menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Ia kembali meletakkan sendok ke piring. “Ran, kamu kenapa sih?” Arga sudah tak sabar. Ambar menyentuh lengan Arga, menyuruhnya berhenti dan tidak memprovokasi Rana untuk sementara. Arga mendengkus kasar. Ia menurut, tapi tidak setelah sarapan. Begitu sarapan berakhir, Arga langsung menyusul adiknya ke kamar. “Cerita nggak?” tuntutnya tanpa basa-basi. “Cerita apa, Kak?” Rana menjawab malas, duduk di atas kasur dan mengambil buku. “Kamu tahu nggak sih kalau kamu tuh kayak mayat hidup sekarang? Makan cuma sesuap dua suap, diajak bicara cuma geleng-geleng atau angguk-angguk. Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak!” Arga duduk di sebelah Rana, menatap adik bungsunya lekat. “Nggak ada cerita apa-apa, Kak.” Rana tak mengalihkan tatapannya dari novel yang ia baca. “Ran, kamu kira kamu bisa membodohi Kakak? Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak. Ada apa? Ada kaitannya sama Zayyan?” Nafas Rana tertahan seketika, matanya kembali memanas saat adegan panas di sofa apartemen itu kembali berkelebat. Rana menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.” Namun sayang, Arga sudah terlanjur menangkap reaksi Rana. “Jadi ada kaitannya sama Zayyan? Kenapa? Berulah apa lagi suamimu itu?” “Bukan apa-apa, Kak.” Rana bersikeras, berusaha terlihat baik-baik saja. Arga menyambar buku di tangan adiknya. “Kamu pikir Kakak percaya? Zayyan nggak ikut ke sini aja udah jadi tanda tanya besar, belum lagi kamu yang kayak mayat hidup ini, Kakak tahu ada sesuatu.” Helaan nafas berat dan lelah lolos dari bibir Rana. “Udahlah, Kak. Jangan pedulikan Rana.” “Kamu pikir semua orang kayak suamimu yang nggak peduli sama kamu? Kakak peduli sama kamu, makanya cerita sekarang.” Rana terdiam, menatap kakaknya lekat. Tiba-tiba, air matanya kembali menetes. Dadanya kembali terasa sesak. Melihat sorot terluka di mata adiknya, Arga segera memeluk Rana. “Cerita, Ran. Biar Kakak bisa bantu,” bisiknya lirih. Tubuh kurus Rana berguncang pelan di pelukan kakaknya. “Aku… aku mau cerai aja, Kak. Aku nggak sanggup lagi. Aku mau melepas mas Zayyan, Kak. Aku nggak mau menggenggam dia erat-erat di pernikahan ini yang justru bikin tanganku sakit dan berdarah.”Zayyan sedang mematut dirinya di depan cermin, bersiap berangkat kerja. Wajahnya terlihat lelah, ia tak bisa tidur nyenyak semalam.Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya, menyadari betapa heningnya apartemen ini setelah ditinggal pergi oleh Rana. Tidak ada lagi aroma masakan yang biasanya sudah tercium sepagi ini.Namun Zayyan menggeleng kepalanya cepat, mengenyahkan pikiran dan perasaan bersalah yang terus menghantuinya sejak semalam. Ia harus fokus bekerja hari ini, urusan Rana bisa dipikirkan nanti.Tepat ketika Zayyan menyambar tas kerjanya, pintu apartemennya berbunyi.“Siapa datang jam segini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu. “Apa jangan-jangan Rana pulang?” Ia mempercepat langkah, membuka pintu dengan cepat.Belum juga Zayyan menyadari siapa datang, sebuah tinju melayang menghantam wajahnya.Zayyan yang tidak punya persiapan menyambut serangan, terhuyung mundur dan terjatuh ke lantai.“Ap–”Kalimat Zayyan kembali terbungkam ketika sebuah bogem mentah kembali mendarat di
“Aku harus ke rumah sakit,” lirih Zayyan sambil menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil.Pada akhirnya ia diusir dari rumah Rana oleh Jagat. Jagat murka, mertuanya itu sama sekali tidak mentolerir perselingkuhan.Dan ketika Zayyan menyetir pulang, kepalanya kembali terasa nyeri. Ia sampai harus menepi agar tidak menabrak, saking nyerinya sakit yang ia rasakan.Zayyan mengemudikan mobilnya ke rumah sakit saat rasa nyeri di kepalanya mulai berkurang. Ia melakukannya tanpa pikir panjang, karena rasa sakit yang mendera kepalanya sudah benar-benar tak tertahankan.“Nggak apa-apa, saya bayar berapapun asal nggak usah pake nunggu,” kata Zayyan pada petugas pendaftaran rumah sakit. Kepalanya sudah terlalu sakit.“Kalau gitu masuk UGD saja, Pak. Nanti bisa dikonsulkan ke spesialis saraf.”“Oke.”Tanpa menunggu apa-apa lagi, Zayyan bergegas ke UGD. Ia berbicara dengan dokter dan perawat yang bertugas, baru kemudian dipersilakan untuk menunggu di atas brankar.Saat menunggu, ia menatap ke langit-
“Ini… beneran?” tanya Zayyan terbata saat menerima surat gugatan cerai yang diberikan Arga padanya.“Buka aja.”Zayyan membuka amplop cokelat itu dan membaca isinya. Rupanya Rana benar-benar ingin bercerai darinya. Rana bahkan tak segan-segan mencantumkan bahwa Zayyan berselingkuh sebagai alasan untuk menggugat Zayyan.Salah satu alasan yang menguatkan gugatan Rana.Zayyan mengusap wajahnya kasar. “Aku belum bisa menyetujui gugatan ini, Ga.”Arga tampak tak senang. “Kenapa?”“Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Kamu ada waktu?”“Soal apa?”“Kita bicara sambil makan siang. Kamu sudah makan?” Zayyan memberi penawaran.Arga tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. “Ya udah ayo, makan di depan aja.”Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit, menuju sebuah rumah makan yang berada di depan rumah sakit tempat Arga bekerja.“Jadi mau bicara apa?” tanya Arga setelah mereka memesan makanan.Zayyan memasukkan amplop berisi surat gugatan cerai itu ke dalam tasnya, seolah be
“Mas, aku telepon kamu dari tadi tapi nggak diangkat sama sekali. Kamu dari mana?” Asha sudah menunggu di depan apartemen Zayyan saat pria itu pulang ke rumah dengan wajah lesu dan hati yang begitu berat.Zayyan menatap Asha sekilas. Perbuatannya dan Asha beberapa hari lalu kembali berkelebat, tatapan terluka Rana padanya, membuat pundak Zayyan semakin berat rasanya.“Aku habis dari rumah sakit,” Zayyan menjawab pendek sambil membuka pintu apartemennya, masuk ke dalam.Asha segera mengekor, wajahnya tampak khawatir. “Kamu sakit, Mas? Sakit apa?”Zayyan tak langsung menjawab. Ia berjalan ke dapur, meneguk air mineral untuk sedikit memperbaiki suasana hatinya.“Kamu sakit? Sudah beberapa hari ini kamu ke kampus cuma ngajar terus langsung pulang. Kamu baik-baik aja, Mas?” Asha menatap Zayyan khawatir, tangannya terulur, mengusap lengan Zayyan lembut.Zayyan mengusap wajahnya, menyingkir ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya di sana.Asha mengekor, duduk di sebelah Zayyan. Tangannya kem
“Sha, kamu ke sini naik apa?”Asha mengernyit saat tiba-tiba Zayyan mengganti topik pembicaraan. “Aku naik taksi, kenapa?”“Aku antar pulang, ya?” Zayyan menawarkan.“Kenapa? Kamu nggak mau kita menghabiskan waktu berdua? Waktu itu kita kan juga nggak jadi melanjutkan?” tanya Asha, merujuk pada kejadian mereka bercumbu mesra yang dipergoki oleh Rana itu.Zayyan menggeleng tegas. “Nggak ada yang perlu kita lanjutkan, Sha. Aku menginginkan pernikahan ini, jadi seharusnya sebagai wanita yang baik kamu nggak mengusik rumah tanggaku.”Air mata Asha kembali meleleh. “Sekarang menyalahkan aku? Kamu mencampakkan aku setelah apa yang kita lakukan bersama? Kamu juga yang setuju untuk tetap berhubungan denganku, Mas,” lirihnya pilu.“Aku bukan mencampakkanmu, Sha. Sejak awal kita memang salah. Harusnya setelah menikah dengan Rana, aku memutus hubungan denganmu. Tapi aku justru mempermainkan pernikahanku.”“Karena itu ceraikan Rana, Mas. Ayo kita bangun hidup kita berdua.” Asha memohon, memelas d
Rana buru-buru naik ke atas. Tapi ternyata, gerakan Rana ini terlihat dan terdengar oleh Zayyan.“Rana! Rana, tunggu! Ayo kita bicara!” Ia berseru lantang, nyaris menerobos Ambar yang menghalangi pintu.“Jangan jadi nggak sopan kamu, Zayyan!” hardik Ambar keras.Rana terus berlari masuk ke dalam kamar, menghilang di balik pintu.“Ma, tolong, Ma. Biarkan saya bicara sama Rana. Besok saya harus ke Malang, saya harus bertemu Rana malam ini.” Zayyan memohon, memelas di hadapan ibu mertuanya.Ambar menggeleng kuat. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu bertemu dengan putriku. Sekarang pulang, Zayyan, tidak ada gunanya kamu di sini.”“Ma, saya mohon. Saya tahu saya salah, karena itu saya
Beberapa menit kemudian, Zayyan tampak membaik.Asha kembali membawa makanan dan minuman. “Minum dulu, Mas,” katanya lembut dan manis.Zayyan berusaha duduk, bersandar di headboard kasur dan menerima botol air yang sudah dibuka tutupnya.Ia meneguknya beberapa tegukan.“Makan dulu, ya? Habis itu minum obat. Udah aku pesenkan obat sakit kepala.” Asha duduk di tepi ranjang, membuka bungkusan makanan .“Kita di mana?”“Aku pesenkan kamar di penginapan terdekat dari alun-alun, Mas. Kamu kelihatan kesakitan banget tadi. Sekarang ayo makan dulu,” ucap Asha sambil menyodorkan sesendok nasi.Zayyan menatap Asha sekilas. “Kita balik ke villa aja. Aku sudah merasa jauh lebih baik.”“Eh, tunggu, Mas.” Asha menahan gerakan Zayyan yang hendak bangkit dari posisi duduknya. “Setidaknya habiskan ini dulu,” imbuhnya sambil menunjuk bungkus makanan yang sudah terlanjur ia buka.Zayyan terdiam sejenak, menimbang. Kemudian ia mengan
“Apa yang kita lakukan?” Zayyan menatap Asha tak percaya saat ia terbangun keesokan paginya dan mendapati dirinya tidur tanpa busana dengan Asha.“Mas, kamu lupa?” Asha memasang wajah sendu. “Kita… kita… mel–”“Berhenti.” Zayyan mengangkat tangan. Ia menatap Asha yang tubuhnya terbalut selimut. Zayyan menggeleng tegas. “Kita nggak mungkin melakukan itu kan?”Asha menghela nafas pendek. “Kita melakukannya, Mas. Kamu yang memulainya, aku tidak bisa menahanmu, Mas.”“Nggak mungkin. Nggak mungkin.” Zayyan berseru marah.“Tapi kita benar-benar melakukannya, Mas.” Asha mengulurkan tangan, hendak menyentuh Asha, namun segera ditepis oleh Zayyan.“Jangan sentuh aku dulu, Sha. Jangan.” Zayyan menatap Asha ngeri.Ia segera turun dari kasur dan memakai kembali pakaiannya. Kemudian kembali terduduk di tepi ranjang, membelakangi Asha.Melihat pemandangan itu, Asha segera mendekat dan memeluk Zayyan dari belakang.
“Gavin ditangkap kemarin di apartemennya,” ujar Faisal saat kumpul bersama anggota PPI di rumah Ara.“Oh ya? Syukur deh kalau gitu,” seru Vivi lega. Ia memang menjadi salah satu yang paling menunggu-nunggu saat Gavin ditangkap. “Biar tahu rasa. Enak aja main ngasih anak orang obat perangsang.”Rana meringis saat Vivi mengatakan ‘obat perangsang’ tanpa beban. Ia masih selalu ngeri setiap kali mengingat saat Gavin hampir memerkosanya. “Udah ah nggak usah bahas itu lagi. Kita sekarang lagi seneng-seneng, jadi nggak boleh bahas yang sedih-sedih.” Ara menimpaliSetiap bulan, para anggota PPI memang akan berkumpul di rumah Ara. Entah sekedar makan bersama, membahas proyek, atau ada acara tertentu. Dan hari ini, acaranya adalah makan-makan biasa.Masing-masing anggota PPI membawa makanan, lalu mereka akan mengumpulkan semua makanan di tengah-tengah ruangan dan mereka bebas mencicipi makanan punya siapa saja. Semacam potluck.Dan karena Rana masih belum kembali ke apartemennya, jadi ia hanya
“Ka, jangan kasih tahu Papa dulu.” Rana memohon di telepon.Arga terdengar menghembuskan nafas kasar. “Nggak bisa, Ran. Kakak harus bilang sama Papa supaya Papa bantu kasus ini ke polisi. Kamu tahu Papa punya banyak koneksi di kepolisian dan kejaksaan. Papa bisa minta bantuan mereka buat berkomunikasi dengan kepolisian Rotterdam.”Rana menggigit bibir, ia bisa membayangkan bagaimana reaksi papanya saat mengetahui putri bungsunya hampir diperkosa oleh Gavin. Bisa dipastikan, Gavin masih bernyawa saja sudah untung.“Kamu nggak bisa menghalangi kakak buat bilang ke Papa, Ran. Papa berhak tahu.” Arga berkata tegas. “Dan kamu jangan ketemu dia sampai polisi menindaklanjuti kasusmu, oke?”“Iya, Kak. Aku udah tinggal bareng Kak Ara sejak kasus itu. Aku juga selalu bareng Vivi ke kampus dan menghindari kelas yang sama dengan Gavin.” Rana mencoba menjelaskan agar kakaknya tak terlalu khawatir.Arga terdengar menghembuskan nafas berat sekali lagi. “Untungnya kamu masih selamat, Ran.”“Iya, aku
“Mas, kamu bicara apa sih?” Asha tersenyum canggung, masih berusaha mengelak.Zayyan mengangkat ponselnya yang sejak tadi ia genggam dan menyalakan rekaman audio yang ia ambil saat Asha bertelepon dengan Gavin tadi. “Sebaiknya kamu mengaku sekarang sebelum aku berikan rekaman audio ini ke bagian akademik,” ancam Zayyan.“Mas, aku mohon jangan.” Asha berusaha mengambil ponsel Zayyan, tapi gerakan Zayyan jelas jauh lebih cepat.“Kalau kamu mau karirmu sebagai dosen masih aman, sekarang mengakulah, Sha. Aku sudah punya dua alasan kuat untuk menghancurkan karirmu. Sebelum aku benar-benar melakukannya, sebaiknya kamu menurut padaku,” ucap Zayyan tegas, tanpa kompromi.“A-apa maksud kamu, Mas? Kamu nggak mungkin benar-benar akan melapor–”“Aku serius, Asha!” Zayyan mendesis. “Pertama, soal kebohonganmu yang berpura-pura mengandung anakku. Dan sekarang, kamu menjadi dalang dari kasus upaya pemerkosaan. Kamu nggak layak jadi seorang dosen, Asha.”Tatapan Asha berubah horor. “Mas, aku mohon j
“Maaf karena nggak dengerin peringatan kamu.” Rana berkata pelan. “Dan makasih karena sudah berusaha menyelamatkan aku kamu jauh banget di sana.”Zayyan menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Dadanya terasa ngilu saat melihat wajah Rana yang pucat dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Gadis itu pasti tidak bisa tidur.“Padahal kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku, Mas. Kita udah nggak punya hubungan apa-apa.” Rana tertunduk, tak berani menatap Zayyan.“Aku nggak peduli meski kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak akan membiarkan kamu mengalami kesulitan, Ran.” Zayyan berkata lembut.Di tempat Rana masih siang, semenara di Jakarta sudah mulai gelap.“Aku bener-bener makasih, Mas.” Rana akhirnya mendongak, menatap Zayyan dengan mata berkaca-kaca. “Kalau bukan karena kamu, pasti sekarang aku sudah … aku pasti sud–”“Sshh … Ran, sudah. Jangan diingat.” Zayyan menegur dengan nada lembut, menatap Rana prihatin. “Sekarang kamu aman, oke? Kamu aman. Kamu di rumah Ara, kan
“Ran, kamu nggak apa-apa?” Vivi, tetangga apartemen Rana datang keesokan harinya. “Aku udah denger dari Kak Ara, temen-temen PPI juga sudah pada tahu jadi sekarang mereka pasti bakal bantu jauhin kamu dari Gavin.”“Temen-temen PPI tahu?” Rana membulatkan matanya. Ia menghela nafas pelan, merasa malu.Vivi menangkap gestur itu dan menggengam tangan Rana lembut. “Ran, kamu korban. Harusnya yang merasa malu itu si Gavin brengsek itu, bukan kamu.”“Tapi tetep aja, Vi. Itu memalukan.” Rana tersenyum sendu.Vivi memeluk Rana erat. “Tenang aja, jangan malu, ya? Temen-temen PPI nggak akan meledek kamu. Mereka justru prihatin dan mau bantuin kamu menjauhi Gavin. Dia sudah keterlaluan, Ran. Masa mencekoki kamu dengan obat perangsang?”Rana membalaskan pelukan Vivi erat, ia selalu bergetar ketakutan saat teringat kejadian itu. Ia tak pernah menyangka Gavin akan melakukan hal seperti itu padanya.“Aku jijik sama diriku sendiri, Vi. Aku … dipegang-pegang begitu….” Rana tak berhasil menyelesaikan k
Gavin tak menjawab dan langsung menerkam Rana. Kali ini ia jadi semakin brutal.“Nggak usah sok suci kamu, Ran. Si Zayyan itu pasti sudah pernah mencicipi tubuhmu kan? Nah, apa bedanya kalau aku juga merasakannya? Sekarang aku pacarmu kan?”Rana mulai menitikkan air mata ketika tubuh Gavin kembali menindihnya hingga ia kesulitan bergerak. Cengkraman tangan Gavin di pergelangan tangan Rana mencengkram sangat kuat hingga membuatnya meringis menahan sakit.Rana sudah melakukan segala cara untuk bebas dari laki-laki ini, tapi tubuhnya yang semakin kehilangan kendali karena obat perangsang yang dimasukkan Gavin ke dalam cokelat itu membuat usaha Rana untuk lepas semakin berkurang.Saat Rana mulai merasa putus asa, sebuah ketukan di pintu terdengar. Namun Gavin tak memedulikannya.Ia terus menyerang Rana, menciumi gadis itu meski Rana terus meronta.Namun ketukan di pintu juga semakin kencang dan datang berkali-kali.“Gavin, buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam!” Suara seorang wanita t
“Kenapa, Ran?” tanya Gavin sambil memegangi kedua bahu Rana.Rana menggelengkan kepalanya, berusaha tetap sadar sepenuhnya. Namun kepalanya terasa berat dan tubuhnya terus memanas.“Aku harus pulang,” ucap rana sambil berdiri. Namun tubuhnya langsung oleng.Beruntung, Gavin sigap menangkapnya. “Mau ke mana, Ran?” Ia melingkarkan lengannya di pinggang Rana, mendekapnya erat.“Mau pulang, Vin. Kayaknya aku nggak enak badan. Biarin aku pulang.” Rana berusaha meronta di pelukan Gavin, tapi dekapan lengan Gavin sangat erat hingga membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Ini udah malem, Ran. Kamu kayaknya nggak akan bisa jalan pulang. Udah, istirahat di sini aja,” kata Gavin persuasif.Rana menggeleng. Di tengah-tengah usahanya untuk tetap sadar, ia kembali teringat kalimat Zayyan.“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran. Jangan berduaan dengannya terutama di apartemennya.”“Aku harus pulang, Vin.” Rana meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.Tapi sekali lagi, cengkraman Gavin di tubuh Rana begitu e
“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran.” Begitu kalimat pertama Zayyan ketika Rana bertanya soal apa maksud pesan Zayyan di kartu ucapan itu.“Memangnya Gavin bilang apa, Mas?” tanya Rana dengan wajah mengernyit.“Aku nggak tahu kamu akan percaya atau enggak kalau aku beri tahu kamu, tapi aku berharap kamu nggak pernah membiarkan Gavin berduaan denganmu di apartemennya sendiri atau di hotel, atau di apartemenmu. Pokoknya jangan berduaan sama Gavin.”Kernyitan di antara kedua alis Rana tampak semakin kentara. “Aku dan Gavin pacaran, Mas. Sudah sewajarnya kami sering menghabiskan waktu berdua. Kamu nggak bisa mengatur-atur hidup aku, Mas!”Terdengar helaan nafas Zayyan di ujung telepon. “Aku tahu kamu nggak akan percaya padaku.” Suaranya terdengar sendu. “Karena itu aku memilih buat berhenti mengirimkan bunga untukmu. Tapi kamu harus ingat, Ran, aku melakukannya karena aku nggak mau Gavin berbuat macam-macam denganmu.”Rana mulai kehilangan kesabaran. Ia mengetatkan rahangnya saking kesalnya
“Jangan berani-berani kamu melakukan itu, Gavin!” Zayyan juga menghardik murka. Bayangan Gavin menyentuh Rana dengan tidak senonoh membuat darah Zayyan mendidih.Gavin tertawa seperti iblis. “Atau apa?” tantangnya. “Kamu tidak bisa melakukan apapun, Zay. Kamu jauh di Indonesia sana, sementara aku di sini menjadi kekasih Rana. Cepat atau lambat, aku akan menidurinya.”“Jangan berani-berani kamu menyentuh Rana seujung kuku pun, Gavin!” Zayyan berteriak murka, darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.Tawa Gavin kembali terdengar. “Teruslah berteriak, Zay. Tidak akan ada yang mendengarmu.”“Aku serius, Gavin!”“Aku juga serius, Zayyan. Berhenti mengirim bunga untuk Rana, atau aku akan benar-benar meniduri Rana dan mengirimkan videonya padamu.”Tanpa menunggu respons dari Zayyan, Gavin segera menutup sambungan telepon dan kembali ke apartemen Rana.“Gimana?” sambut Rana begitu Gavin masuk.Senyum manis Gavin mengembang, hilang sudah aura mengancam yang tadi mengelilingi dirinya saat ia bicar