Share

Bab 6. Mayat Hidup

“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”

Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.

“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.

Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.

Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.

Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.

Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.

“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.

Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.

“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”

Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.

Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyelimutinya, persis seperti yang ia lakukan saat Rana kecil dulu.

“Ingat ya, Nak. Mama selalu ada di sini kalau Rana butuh,” tutur Ambar lembut sambil mengusap puncak kepala putrinya.

Rana mengangguk. “Makasih, Ma.”

Ambar tak langsung beranjak dari sana. Ia menunggu mungkin Rana mau sedikit membicarakan alasan ia menangis tadi.

Namun saat Ambar tak menemukan tanda-tanda bahwa Rana akan mulai bicara, akhirnya ia menghela nafas panjang dan membiarkan Rana beristirahat.

Begitu pintu tertutup, Rana meringkuk di bawah selimut. Ia kembali menangis, menumpahkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang menghimpit dadanya.

Bayangan Zayyan dan Asha bercumbu mesra terus berkelebat dalam benaknya. Menyayat hatinya, menghancurkannya hingga tak bersisa.

Rana bisa mentolerir sikap dingin dan ketus Zayyan. Tapi ia tak bisa mentolerir saat suaminya berani menyentuh wanita lain. Dan fakta bahwa ia bahkan tak pernah disentuh seperti itu oleh Zayyan, membuat luka itu seperti disiram garam. Pedih luar biasa.

Sementara itu di apartemen Zayyan, pria itu terduduk di sofa, Asha masih ada di sana.

“Rana sudah pergi, Mas?” Asha bertanya, mengusap pundak Zayyan lembut.

Zayyan tak menggubris, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa, tatapan Rana yang begitu terluka terus melekat di benaknya.

“Nah, sekarang sudah nggak ada yang ganggu kita,” ucap Asha, suaranya terdengar sedikit genit.

Ia juga memajukan tubuhnya, sengaja menempelkannya ke tubuh Zayyan.

“Minggir,” desis Zayyan dingin.

Asha terkesiap, menatap Zayyan tak percaya. “Mas, kamu kenapa?”

Zayyan menghela nafas berat. “Minggir, Sha. Jangan ganggu aku.” Suaranya melunak, tapi ia masih tak menoleh pada Asha.

Kedua alis Asha bertaut mendengar permohonan Zayyan. “Jadi kamu menganggapku ganggu kamu?”

“Bukan gitu….” Zayyan menghembuskan nafas berat. “Aku lagi nggak mood.”

Asha memicingkan matanya kesal. “Kenapa? Gara-gara Rana lihat kita berduaan? Kamu merasa bersalah sama dia?” tanyanya ketus.

Zayyan tak menjawab selama beberapa saat, mencoba mengenali perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Apa yang membuat hatinya terasa berat setelah melihat Rana menangis, meledak, dan menatapnya dengan sorot mata penuh luka.

“Kamu tuh cintanya cuma sama aku, Mas. Ngapain kamu merasa bersalah sama dia?” Suara Asha mulai melengking, ia kesal, tak suka melihat Zayyan mulai memikirkan Rana.

Zayyan menggeleng. “Tolong jangan bikin aku tambah pusing.”

“Jadi kamu menganggapku cuma beban sekarang?!” Asha meradang, berdiri.

“Sha, tolong ngerti. Aku lagi pusing.” Zayyan memelas.

“Gara-gara Rana memergoki kita berciuman dan kamu merasa bersalah?”

“Aku nggak tahu, tapi tolong jangan bikin kepalaku semakin sakit.” Zayyan mendesah berat, memijit pelipisnya.

Asha tertawa sinis, menyambar tasnya di atas sofa. “Aku pulang!”

“Mau ke mana, Sha?” Zayyan mendongak, mengernyit melihat Asha akan pergi.

“Buat apa aku di sini sementara kamu memikirkan perempuan lain?” jawab Asha ketus.

“Rana maksud kamu? Dia bukan perempuan lain, dia istriku. Wajar kal–”

“Aku pulang!” Asha memotong kalimat Zayyan, menghentakkan kakinya ke lantai kuat-kuat sambil beranjak pergi.

Zayyan ingin menahan Asha agar tidak pergi, tapi entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak.

Sampai Asha membanting pintu apartemennya, Zayyan masih tak beranjak.

Pria itu menghela nafas panjang dan lelah, menyandarkan tubuhnya ke sofa.

“Apa yang sudah aku lakukan?” lirihnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

***

“Makanan tuh jangan cuma dilihatin, dimakan,” tegur Arga saat melihat Rana hanya menatap piring di depannya.

Rana mendongak, tersenyum tipis, kemudian mulai mengambil sendok. Gerakannya lambat dan lemah, seolah ia tak punya tenaga untuk sekedar makan.

Ambar melirik putrinya. “Hari ini ngampus?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

Rana menggeleng.

“Nggak ada kuliah atau janjian sama dosen pembimbing?”

Rana menggeleng lagi, menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Ia kembali meletakkan sendok ke piring.

“Ran, kamu kenapa sih?” Arga sudah tak sabar.

Ambar menyentuh lengan Arga, menyuruhnya berhenti dan tidak memprovokasi Rana untuk sementara.

Arga mendengkus kasar. Ia menurut, tapi tidak setelah sarapan.

Begitu sarapan berakhir, Arga langsung menyusul adiknya ke kamar.

“Cerita nggak?” tuntutnya tanpa basa-basi.

“Cerita apa, Kak?” Rana menjawab malas, duduk di atas kasur dan mengambil buku.

“Kamu tahu nggak sih kalau kamu tuh kayak mayat hidup sekarang? Makan cuma sesuap dua suap, diajak bicara cuma geleng-geleng atau angguk-angguk. Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak!” Arga duduk di sebelah Rana, menatap adik bungsunya lekat.

“Nggak ada cerita apa-apa, Kak.” Rana tak mengalihkan tatapannya dari novel yang ia baca.

“Ran, kamu kira kamu bisa membodohi Kakak? Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak. Ada apa? Ada kaitannya sama Zayyan?”

Nafas Rana tertahan seketika, matanya kembali memanas saat adegan panas di sofa apartemen itu kembali berkelebat.

Rana menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.”

Namun sayang, Arga sudah terlanjur menangkap reaksi Rana. “Jadi ada kaitannya sama Zayyan? Kenapa? Berulah apa lagi suamimu itu?”

“Bukan apa-apa, Kak.” Rana bersikeras, berusaha terlihat baik-baik saja.

Arga menyambar buku di tangan adiknya. “Kamu pikir Kakak percaya? Zayyan nggak ikut ke sini aja udah jadi tanda tanya besar, belum lagi kamu yang kayak mayat hidup ini, Kakak tahu ada sesuatu.”

Helaan nafas berat dan lelah lolos dari bibir Rana. “Udahlah, Kak. Jangan pedulikan Rana.”

“Kamu pikir semua orang kayak suamimu yang nggak peduli sama kamu? Kakak peduli sama kamu, makanya cerita sekarang.”

Rana terdiam, menatap kakaknya lekat.

Tiba-tiba, air matanya kembali menetes. Dadanya kembali terasa sesak.

Melihat sorot terluka di mata adiknya, Arga segera memeluk Rana. “Cerita, Ran. Biar Kakak bisa bantu,” bisiknya lirih.

Tubuh kurus Rana berguncang pelan di pelukan kakaknya.

“Aku… aku mau cerai aja, Kak. Aku nggak sanggup lagi. Aku mau melepas mas Zayyan, Kak. Aku nggak mau menggenggam dia erat-erat di pernikahan ini yang justru bikin tanganku sakit dan berdarah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status