“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”
Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat. “Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut. Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun. Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana. Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda. Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya. “Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan. Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya. “Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?” Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar. Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyelimutinya, persis seperti yang ia lakukan saat Rana kecil dulu. “Ingat ya, Nak. Mama selalu ada di sini kalau Rana butuh,” tutur Ambar lembut sambil mengusap puncak kepala putrinya. Rana mengangguk. “Makasih, Ma.” Ambar tak langsung beranjak dari sana. Ia menunggu mungkin Rana mau sedikit membicarakan alasan ia menangis tadi. Namun saat Ambar tak menemukan tanda-tanda bahwa Rana akan mulai bicara, akhirnya ia menghela nafas panjang dan membiarkan Rana beristirahat. Begitu pintu tertutup, Rana meringkuk di bawah selimut. Ia kembali menangis, menumpahkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang menghimpit dadanya. Bayangan Zayyan dan Asha bercumbu mesra terus berkelebat dalam benaknya. Menyayat hatinya, menghancurkannya hingga tak bersisa. Rana bisa mentolerir sikap dingin dan ketus Zayyan. Tapi ia tak bisa mentolerir saat suaminya berani menyentuh wanita lain. Dan fakta bahwa ia bahkan tak pernah disentuh seperti itu oleh Zayyan, membuat luka itu seperti disiram garam. Pedih luar biasa. Sementara itu di apartemen Zayyan, pria itu terduduk di sofa, Asha masih ada di sana. “Rana sudah pergi, Mas?” Asha bertanya, mengusap pundak Zayyan lembut. Zayyan tak menggubris, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa, tatapan Rana yang begitu terluka terus melekat di benaknya. “Nah, sekarang sudah nggak ada yang ganggu kita,” ucap Asha, suaranya terdengar sedikit genit. Ia juga memajukan tubuhnya, sengaja menempelkannya ke tubuh Zayyan. “Minggir,” desis Zayyan dingin. Asha terkesiap, menatap Zayyan tak percaya. “Mas, kamu kenapa?” Zayyan menghela nafas berat. “Minggir, Sha. Jangan ganggu aku.” Suaranya melunak, tapi ia masih tak menoleh pada Asha. Kedua alis Asha bertaut mendengar permohonan Zayyan. “Jadi kamu menganggapku ganggu kamu?” “Bukan gitu….” Zayyan menghembuskan nafas berat. “Aku lagi nggak mood.” Asha memicingkan matanya kesal. “Kenapa? Gara-gara Rana lihat kita berduaan? Kamu merasa bersalah sama dia?” tanyanya ketus. Zayyan tak menjawab selama beberapa saat, mencoba mengenali perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Apa yang membuat hatinya terasa berat setelah melihat Rana menangis, meledak, dan menatapnya dengan sorot mata penuh luka. “Kamu tuh cintanya cuma sama aku, Mas. Ngapain kamu merasa bersalah sama dia?” Suara Asha mulai melengking, ia kesal, tak suka melihat Zayyan mulai memikirkan Rana. Zayyan menggeleng. “Tolong jangan bikin aku tambah pusing.” “Jadi kamu menganggapku cuma beban sekarang?!” Asha meradang, berdiri. “Sha, tolong ngerti. Aku lagi pusing.” Zayyan memelas. “Gara-gara Rana memergoki kita berciuman dan kamu merasa bersalah?” “Aku nggak tahu, tapi tolong jangan bikin kepalaku semakin sakit.” Zayyan mendesah berat, memijit pelipisnya. Asha tertawa sinis, menyambar tasnya di atas sofa. “Aku pulang!” “Mau ke mana, Sha?” Zayyan mendongak, mengernyit melihat Asha akan pergi. “Buat apa aku di sini sementara kamu memikirkan perempuan lain?” jawab Asha ketus. “Rana maksud kamu? Dia bukan perempuan lain, dia istriku. Wajar kal–” “Aku pulang!” Asha memotong kalimat Zayyan, menghentakkan kakinya ke lantai kuat-kuat sambil beranjak pergi. Zayyan ingin menahan Asha agar tidak pergi, tapi entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak. Sampai Asha membanting pintu apartemennya, Zayyan masih tak beranjak. Pria itu menghela nafas panjang dan lelah, menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Apa yang sudah aku lakukan?” lirihnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. *** “Makanan tuh jangan cuma dilihatin, dimakan,” tegur Arga saat melihat Rana hanya menatap piring di depannya. Rana mendongak, tersenyum tipis, kemudian mulai mengambil sendok. Gerakannya lambat dan lemah, seolah ia tak punya tenaga untuk sekedar makan. Ambar melirik putrinya. “Hari ini ngampus?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik. Rana menggeleng. “Nggak ada kuliah atau janjian sama dosen pembimbing?” Rana menggeleng lagi, menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Ia kembali meletakkan sendok ke piring. “Ran, kamu kenapa sih?” Arga sudah tak sabar. Ambar menyentuh lengan Arga, menyuruhnya berhenti dan tidak memprovokasi Rana untuk sementara. Arga mendengkus kasar. Ia menurut, tapi tidak setelah sarapan. Begitu sarapan berakhir, Arga langsung menyusul adiknya ke kamar. “Cerita nggak?” tuntutnya tanpa basa-basi. “Cerita apa, Kak?” Rana menjawab malas, duduk di atas kasur dan mengambil buku. “Kamu tahu nggak sih kalau kamu tuh kayak mayat hidup sekarang? Makan cuma sesuap dua suap, diajak bicara cuma geleng-geleng atau angguk-angguk. Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak!” Arga duduk di sebelah Rana, menatap adik bungsunya lekat. “Nggak ada cerita apa-apa, Kak.” Rana tak mengalihkan tatapannya dari novel yang ia baca. “Ran, kamu kira kamu bisa membodohi Kakak? Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak. Ada apa? Ada kaitannya sama Zayyan?” Nafas Rana tertahan seketika, matanya kembali memanas saat adegan panas di sofa apartemen itu kembali berkelebat. Rana menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.” Namun sayang, Arga sudah terlanjur menangkap reaksi Rana. “Jadi ada kaitannya sama Zayyan? Kenapa? Berulah apa lagi suamimu itu?” “Bukan apa-apa, Kak.” Rana bersikeras, berusaha terlihat baik-baik saja. Arga menyambar buku di tangan adiknya. “Kamu pikir Kakak percaya? Zayyan nggak ikut ke sini aja udah jadi tanda tanya besar, belum lagi kamu yang kayak mayat hidup ini, Kakak tahu ada sesuatu.” Helaan nafas berat dan lelah lolos dari bibir Rana. “Udahlah, Kak. Jangan pedulikan Rana.” “Kamu pikir semua orang kayak suamimu yang nggak peduli sama kamu? Kakak peduli sama kamu, makanya cerita sekarang.” Rana terdiam, menatap kakaknya lekat. Tiba-tiba, air matanya kembali menetes. Dadanya kembali terasa sesak. Melihat sorot terluka di mata adiknya, Arga segera memeluk Rana. “Cerita, Ran. Biar Kakak bisa bantu,” bisiknya lirih. Tubuh kurus Rana berguncang pelan di pelukan kakaknya. “Aku… aku mau cerai aja, Kak. Aku nggak sanggup lagi. Aku mau melepas mas Zayyan, Kak. Aku nggak mau menggenggam dia erat-erat di pernikahan ini yang justru bikin tanganku sakit dan berdarah.”Zayyan sedang mematut dirinya di depan cermin, bersiap berangkat kerja. Wajahnya terlihat lelah, ia tak bisa tidur nyenyak semalam.Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya, menyadari betapa heningnya apartemen ini setelah ditinggal pergi oleh Rana. Tidak ada lagi aroma masakan yang biasanya sudah tercium sepagi ini.Namun Zayyan menggeleng kepalanya cepat, mengenyahkan pikiran dan perasaan bersalah yang terus menghantuinya sejak semalam. Ia harus fokus bekerja hari ini, urusan Rana bisa dipikirkan nanti.Tepat ketika Zayyan menyambar tas kerjanya, pintu apartemennya berbunyi.“Siapa datang jam segini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu. “Apa jangan-jangan Rana pulang?” Ia mempercepat langkah, membuka pintu dengan cepat.Belum juga Zayyan menyadari siapa datang, sebuah tinju melayang menghantam wajahnya.Zayyan yang tidak punya persiapan menyambut serangan, terhuyung mundur dan terjatuh ke lantai.“Ap–”Kalimat Zayyan kembali terbungkam ketika sebuah bogem mentah kembali mendarat di
“Aku harus ke rumah sakit,” lirih Zayyan sambil menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil.Pada akhirnya ia diusir dari rumah Rana oleh Jagat. Jagat murka, mertuanya itu sama sekali tidak mentolerir perselingkuhan.Dan ketika Zayyan menyetir pulang, kepalanya kembali terasa nyeri. Ia sampai harus menepi agar tidak menabrak, saking nyerinya sakit yang ia rasakan.Zayyan mengemudikan mobilnya ke rumah sakit saat rasa nyeri di kepalanya mulai berkurang. Ia melakukannya tanpa pikir panjang, karena rasa sakit yang mendera kepalanya sudah benar-benar tak tertahankan.“Nggak apa-apa, saya bayar berapapun asal nggak usah pake nunggu,” kata Zayyan pada petugas pendaftaran rumah sakit. Kepalanya sudah terlalu sakit.“Kalau gitu masuk UGD saja, Pak. Nanti bisa dikonsulkan ke spesialis saraf.”“Oke.”Tanpa menunggu apa-apa lagi, Zayyan bergegas ke UGD. Ia berbicara dengan dokter dan perawat yang bertugas, baru kemudian dipersilakan untuk menunggu di atas brankar.Saat menunggu, ia menatap ke langit-
“Ini… beneran?” tanya Zayyan terbata saat menerima surat gugatan cerai yang diberikan Arga padanya.“Buka aja.”Zayyan membuka amplop cokelat itu dan membaca isinya. Rupanya Rana benar-benar ingin bercerai darinya. Rana bahkan tak segan-segan mencantumkan bahwa Zayyan berselingkuh sebagai alasan untuk menggugat Zayyan.Salah satu alasan yang menguatkan gugatan Rana.Zayyan mengusap wajahnya kasar. “Aku belum bisa menyetujui gugatan ini, Ga.”Arga tampak tak senang. “Kenapa?”“Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Kamu ada waktu?”“Soal apa?”“Kita bicara sambil makan siang. Kamu sudah makan?” Zayyan memberi penawaran.Arga tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. “Ya udah ayo, makan di depan aja.”Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit, menuju sebuah rumah makan yang berada di depan rumah sakit tempat Arga bekerja.“Jadi mau bicara apa?” tanya Arga setelah mereka memesan makanan.Zayyan memasukkan amplop berisi surat gugatan cerai itu ke dalam tasnya, seolah be
“Mas, aku telepon kamu dari tadi tapi nggak diangkat sama sekali. Kamu dari mana?” Asha sudah menunggu di depan apartemen Zayyan saat pria itu pulang ke rumah dengan wajah lesu dan hati yang begitu berat.Zayyan menatap Asha sekilas. Perbuatannya dan Asha beberapa hari lalu kembali berkelebat, tatapan terluka Rana padanya, membuat pundak Zayyan semakin berat rasanya.“Aku habis dari rumah sakit,” Zayyan menjawab pendek sambil membuka pintu apartemennya, masuk ke dalam.Asha segera mengekor, wajahnya tampak khawatir. “Kamu sakit, Mas? Sakit apa?”Zayyan tak langsung menjawab. Ia berjalan ke dapur, meneguk air mineral untuk sedikit memperbaiki suasana hatinya.“Kamu sakit? Sudah beberapa hari ini kamu ke kampus cuma ngajar terus langsung pulang. Kamu baik-baik aja, Mas?” Asha menatap Zayyan khawatir, tangannya terulur, mengusap lengan Zayyan lembut.Zayyan mengusap wajahnya, menyingkir ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya di sana.Asha mengekor, duduk di sebelah Zayyan. Tangannya kem
“Sha, kamu ke sini naik apa?”Asha mengernyit saat tiba-tiba Zayyan mengganti topik pembicaraan. “Aku naik taksi, kenapa?”“Aku antar pulang, ya?” Zayyan menawarkan.“Kenapa? Kamu nggak mau kita menghabiskan waktu berdua? Waktu itu kita kan juga nggak jadi melanjutkan?” tanya Asha, merujuk pada kejadian mereka bercumbu mesra yang dipergoki oleh Rana itu.Zayyan menggeleng tegas. “Nggak ada yang perlu kita lanjutkan, Sha. Aku menginginkan pernikahan ini, jadi seharusnya sebagai wanita yang baik kamu nggak mengusik rumah tanggaku.”Air mata Asha kembali meleleh. “Sekarang menyalahkan aku? Kamu mencampakkan aku setelah apa yang kita lakukan bersama? Kamu juga yang setuju untuk tetap berhubungan denganku, Mas,” lirihnya pilu.“Aku bukan mencampakkanmu, Sha. Sejak awal kita memang salah. Harusnya setelah menikah dengan Rana, aku memutus hubungan denganmu. Tapi aku justru mempermainkan pernikahanku.”“Karena itu ceraikan Rana, Mas. Ayo kita bangun hidup kita berdua.” Asha memohon, memelas d
Rana buru-buru naik ke atas. Tapi ternyata, gerakan Rana ini terlihat dan terdengar oleh Zayyan.“Rana! Rana, tunggu! Ayo kita bicara!” Ia berseru lantang, nyaris menerobos Ambar yang menghalangi pintu.“Jangan jadi nggak sopan kamu, Zayyan!” hardik Ambar keras.Rana terus berlari masuk ke dalam kamar, menghilang di balik pintu.“Ma, tolong, Ma. Biarkan saya bicara sama Rana. Besok saya harus ke Malang, saya harus bertemu Rana malam ini.” Zayyan memohon, memelas di hadapan ibu mertuanya.Ambar menggeleng kuat. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu bertemu dengan putriku. Sekarang pulang, Zayyan, tidak ada gunanya kamu di sini.”“Ma, saya mohon. Saya tahu saya salah, karena itu saya
Beberapa menit kemudian, Zayyan tampak membaik.Asha kembali membawa makanan dan minuman. “Minum dulu, Mas,” katanya lembut dan manis.Zayyan berusaha duduk, bersandar di headboard kasur dan menerima botol air yang sudah dibuka tutupnya.Ia meneguknya beberapa tegukan.“Makan dulu, ya? Habis itu minum obat. Udah aku pesenkan obat sakit kepala.” Asha duduk di tepi ranjang, membuka bungkusan makanan .“Kita di mana?”“Aku pesenkan kamar di penginapan terdekat dari alun-alun, Mas. Kamu kelihatan kesakitan banget tadi. Sekarang ayo makan dulu,” ucap Asha sambil menyodorkan sesendok nasi.Zayyan menatap Asha sekilas. “Kita balik ke villa aja. Aku sudah merasa jauh lebih baik.”“Eh, tunggu, Mas.” Asha menahan gerakan Zayyan yang hendak bangkit dari posisi duduknya. “Setidaknya habiskan ini dulu,” imbuhnya sambil menunjuk bungkus makanan yang sudah terlanjur ia buka.Zayyan terdiam sejenak, menimbang. Kemudian ia mengan
“Apa yang kita lakukan?” Zayyan menatap Asha tak percaya saat ia terbangun keesokan paginya dan mendapati dirinya tidur tanpa busana dengan Asha.“Mas, kamu lupa?” Asha memasang wajah sendu. “Kita… kita… mel–”“Berhenti.” Zayyan mengangkat tangan. Ia menatap Asha yang tubuhnya terbalut selimut. Zayyan menggeleng tegas. “Kita nggak mungkin melakukan itu kan?”Asha menghela nafas pendek. “Kita melakukannya, Mas. Kamu yang memulainya, aku tidak bisa menahanmu, Mas.”“Nggak mungkin. Nggak mungkin.” Zayyan berseru marah.“Tapi kita benar-benar melakukannya, Mas.” Asha mengulurkan tangan, hendak menyentuh Asha, namun segera ditepis oleh Zayyan.“Jangan sentuh aku dulu, Sha. Jangan.” Zayyan menatap Asha ngeri.Ia segera turun dari kasur dan memakai kembali pakaiannya. Kemudian kembali terduduk di tepi ranjang, membelakangi Asha.Melihat pemandangan itu, Asha segera mendekat dan memeluk Zayyan dari belakang.
Sudah satu jam berlalu, Zayyan masih mengendarai mobilnya mengitari jalanan ibukota. Ponselnya berdering entah sudah yang keberapa kali.Telepon dari Asha, kemudian dari papanya.Tapi tak ada satu pun yang diangkat olehnya. Zayyan tidak memblokir nomor mereka, tapi ia juga tak menjawab pesan dan telepon mereka.Hati Zayyan hancur, pikirannya berkecamuk. Ia tak punya tempat untuk mendamaikan semua kekacauan di kepala dan hatinya.“Rana.” Nama itu meluncur begitu saja dari bibir Zayyan.Ia ingin bertemu Rana. Ia ingin mendekap gadis itu. Berharap bisa menenangkan hatinya yang gundah.Tapi sejak tadi, yang ia lakukan hanya terus berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota
Satu hari sebelum pernikahan Zayyan dan Asha.Zayyan gelisah bukan main. Ini hari Sabtu, tapi seharian ini ia hanya berdiam diri di rumah. Pesan-pesan Asha tidak ada yang ia balas sejak tadi pagi. Dan ia justru terus-menerus membuka pesan-pesan terakhirnya dengan Rana.Dan Zayyan kembali menyadari betapa dingin dan kejamnya ia pada mantan istrinya itu.Pria itu sedang duduk di sofa, sofa yang sama yang menjadi saksi atas betapa bejat dirinya saat itu. Ia menyerah saat Asha menggodanya terus-menerus. Tanpa peduli bahwa istri sahnya sedang terbaring pingsan di dalam kamar.Zayyan meremas rambutnya sendiri. Kesal bukan main pada dirinya sendiri karena melakukan hal bodoh itu.Seharusnya, meski ia tak menyukai Rana waktu itu, ia
Rana mengurung diri seharian penuh. Ambar dan Arga sudah berusaha untuk membujuknya membuka pintu, tapi Rana bergeming. Pintu kamar Rana tetap tertutup rapat hingga matahari tergelincir ke arah barat.“Ran, kamu belum makan dari pagi loh.” Ambar berusaha membujuk lagi.Tak ada jawaban dari dalam kamar.Arga juga berdiri di depan pintu kamar Rana, berusaha membujuk adik semata wayangnya itu.Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat Rana membuka pintu.Sampai akhirnya, Jagat pulang ke rumah dan menghampiri mereka. “Kenapa Rana?” tanyanya dengan kerutan di dahi.Arga dan Ambar saling pandang. “Sejak pulang dari kampus tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.” Ambar mengadu.Kernyitan di dahi Jagat tampak semakin dalam. “Coba minggir.”Arga dan Ambar menurut dan segera menyingkir, memberi ruang pada Jagat untuk mengetuk pintu kamar putrinya.“Rana? Ini Papa. Kamu bisa keluar sebenta
“Kamu bilang sama Rana kalau kamu hamil?” tanya Zayyan begitu ia dan Asha duduk di dalam mobil menuju rumah sakit tempat papa Asha dirawat.“Iya.” Asha menyahut pendek sambil mengetatkan rahang.“Buat apa?” balas Zayyan tajam, wajahnya merengut tak suka.“Biar dia tahu kalau sekarang kamu sudah punya aku, Mas.”Zayyan mencengkram kemudi amat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Untung Rana berbaik hati nggak menyebarkan gosip kalau dosennya hamil di luar nikah,” desisnya sinis.Asha tertegun mendengar nada bicara dan kalimat Zayyan. “Kenapa kamu jadi nyalahin aku?”“Ya jelas nyalahin kamu. Apa gunanya kamu ngasih tahu Rana soal itu? Mau bikin dia cemburu? Mau bikin dia makin sakit hati padahal aku sudah cukup bikin hati dia hancur? Atau kamu sengaja biar dia makin benci sama aku?” Zayyan meradang, suaranya naik satu oktaf.Asha mengernyit bingung. “Aku cuma mau dia tahu fakta itu supaya nggak ganggu kamu lagi.”
Jika biasanya ujian skripsi hanya memakan waktu satu jam, hari ini Rana baru keluar dari ruang ujian skripsi satu setengah jam kemudian.“Gimana, gimana?” tanya Tiya heboh yang mengerti soal hubungan Asha dan Rana.“Aman.” Rana menjawab dengan senyum masam.“Kamu dibantai, ya?” Tiya bertanya hati-hati.“Udah ah, yang penting lulus,” kata Rana sambil menggamit lengan Tiya dan mengajaknya pergi.Benar, Rana memang lulus. Tapi jika umumnya mahasiswa lain lulus dengan nilai A atau B, Asha memberi Rana nilai B-. Ini menyakitkan bagi Rana mengingat ia berusaha keras untuk skripsi ini. Bahkan ketika ia masih menjadi istri Zayyan, Rana tak pernah menyepelekan skripsinya.Tapi hanya karena masalah pribadi, Asha tega memberi Rana nilai kecil.Tiya dan Rana berjalan bersisian menuju lift. Namun langkah mereka terhenti ketika pintu lift terbuka, lalu Zayyan keluar dari sana.Rana dan Zayyan bertatapan, mereka memb
Zayyan menghentikan langkahnya begitu melihat Rana menahan wajah Gavin. Ia juga bisa melihat Rana mengucapkan kata maaf. Bagi Zayyan, itu sudah cukup untuk menerbitkan sebuah senyum di bibirnya. Zayyan segera berbalik. Dadanya yang terasa panas dan sesak perlahan-lahan menjadi lega. Kenyataan bahwa Rana menolak Gavin membuat Zayyan senang bukan kepalang. Tanpa menunggu kelanjutan dari adegan Rana dan Gavin, Zayyan segera pergi dari sana sebelum mereka memergokinya. Sementara di dekat mobil Gavin, Rana kembali meminta maaf. “Maaf, Vin.” Gavin tersenyum, mengangkat kepala Rana yang tertunduk. “Aku yang minta maaf. Aku terlalu terburu-buru, ya?” Rana menarik nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar. Ia belum pernah berciuman sebelumnya dan juga, ia tak tahu apakah hatinya sudah siap menerima cinta baru. “Aku janji aku bakal pelan-pelan, Ran.” Gavin
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Rana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha dan