“Mas, aku telepon kamu dari tadi tapi nggak diangkat sama sekali. Kamu dari mana?” Asha sudah menunggu di depan apartemen Zayyan saat pria itu pulang ke rumah dengan wajah lesu dan hati yang begitu berat.Zayyan menatap Asha sekilas. Perbuatannya dan Asha beberapa hari lalu kembali berkelebat, tatapan terluka Rana padanya, membuat pundak Zayyan semakin berat rasanya.“Aku habis dari rumah sakit,” Zayyan menjawab pendek sambil membuka pintu apartemennya, masuk ke dalam.Asha segera mengekor, wajahnya tampak khawatir. “Kamu sakit, Mas? Sakit apa?”Zayyan tak langsung menjawab. Ia berjalan ke dapur, meneguk air mineral untuk sedikit memperbaiki suasana hatinya.“Kamu sakit? Sudah beberapa hari ini kamu ke kampus cuma ngajar terus langsung pulang. Kamu baik-baik aja, Mas?” Asha menatap Zayyan khawatir, tangannya terulur, mengusap lengan Zayyan lembut.Zayyan mengusap wajahnya, menyingkir ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya di sana.Asha mengekor, duduk di sebelah Zayyan. Tangannya kem
“Sha, kamu ke sini naik apa?”Asha mengernyit saat tiba-tiba Zayyan mengganti topik pembicaraan. “Aku naik taksi, kenapa?”“Aku antar pulang, ya?” Zayyan menawarkan.“Kenapa? Kamu nggak mau kita menghabiskan waktu berdua? Waktu itu kita kan juga nggak jadi melanjutkan?” tanya Asha, merujuk pada kejadian mereka bercumbu mesra yang dipergoki oleh Rana itu.Zayyan menggeleng tegas. “Nggak ada yang perlu kita lanjutkan, Sha. Aku menginginkan pernikahan ini, jadi seharusnya sebagai wanita yang baik kamu nggak mengusik rumah tanggaku.”Air mata Asha kembali meleleh. “Sekarang menyalahkan aku? Kamu mencampakkan aku setelah apa yang kita lakukan bersama? Kamu juga yang setuju untuk tetap berhubungan denganku, Mas,” lirihnya pilu.“Aku bukan mencampakkanmu, Sha. Sejak awal kita memang salah. Harusnya setelah menikah dengan Rana, aku memutus hubungan denganmu. Tapi aku justru mempermainkan pernikahanku.”“Karena itu ceraikan Rana, Mas. Ayo kita bangun hidup kita berdua.” Asha memohon, memelas d
Rana buru-buru naik ke atas. Tapi ternyata, gerakan Rana ini terlihat dan terdengar oleh Zayyan.“Rana! Rana, tunggu! Ayo kita bicara!” Ia berseru lantang, nyaris menerobos Ambar yang menghalangi pintu.“Jangan jadi nggak sopan kamu, Zayyan!” hardik Ambar keras.Rana terus berlari masuk ke dalam kamar, menghilang di balik pintu.“Ma, tolong, Ma. Biarkan saya bicara sama Rana. Besok saya harus ke Malang, saya harus bertemu Rana malam ini.” Zayyan memohon, memelas di hadapan ibu mertuanya.Ambar menggeleng kuat. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu bertemu dengan putriku. Sekarang pulang, Zayyan, tidak ada gunanya kamu di sini.”“Ma, saya mohon. Saya tahu saya salah, karena itu saya
Beberapa menit kemudian, Zayyan tampak membaik.Asha kembali membawa makanan dan minuman. “Minum dulu, Mas,” katanya lembut dan manis.Zayyan berusaha duduk, bersandar di headboard kasur dan menerima botol air yang sudah dibuka tutupnya.Ia meneguknya beberapa tegukan.“Makan dulu, ya? Habis itu minum obat. Udah aku pesenkan obat sakit kepala.” Asha duduk di tepi ranjang, membuka bungkusan makanan .“Kita di mana?”“Aku pesenkan kamar di penginapan terdekat dari alun-alun, Mas. Kamu kelihatan kesakitan banget tadi. Sekarang ayo makan dulu,” ucap Asha sambil menyodorkan sesendok nasi.Zayyan menatap Asha sekilas. “Kita balik ke villa aja. Aku sudah merasa jauh lebih baik.”“Eh, tunggu, Mas.” Asha menahan gerakan Zayyan yang hendak bangkit dari posisi duduknya. “Setidaknya habiskan ini dulu,” imbuhnya sambil menunjuk bungkus makanan yang sudah terlanjur ia buka.Zayyan terdiam sejenak, menimbang. Kemudian ia mengan
“Apa yang kita lakukan?” Zayyan menatap Asha tak percaya saat ia terbangun keesokan paginya dan mendapati dirinya tidur tanpa busana dengan Asha.“Mas, kamu lupa?” Asha memasang wajah sendu. “Kita… kita… mel–”“Berhenti.” Zayyan mengangkat tangan. Ia menatap Asha yang tubuhnya terbalut selimut. Zayyan menggeleng tegas. “Kita nggak mungkin melakukan itu kan?”Asha menghela nafas pendek. “Kita melakukannya, Mas. Kamu yang memulainya, aku tidak bisa menahanmu, Mas.”“Nggak mungkin. Nggak mungkin.” Zayyan berseru marah.“Tapi kita benar-benar melakukannya, Mas.” Asha mengulurkan tangan, hendak menyentuh Asha, namun segera ditepis oleh Zayyan.“Jangan sentuh aku dulu, Sha. Jangan.” Zayyan menatap Asha ngeri.Ia segera turun dari kasur dan memakai kembali pakaiannya. Kemudian kembali terduduk di tepi ranjang, membelakangi Asha.Melihat pemandangan itu, Asha segera mendekat dan memeluk Zayyan dari belakang.
“Rana?” Zayyan mematung di tempatnya berdiri begitu melihat Rana ada di apartemennya.Ia nyaris tak bisa berkata-kata saking bahagianya. Namun begitu menyadari apa yang Rana lakukan, dada Zayyan mendadak terasa seperti ditusuk sembilu.Rana sedang mengemasi barang-barangnya. Ada dua pria yang keluar masuk apartemen Zayyan sejak tadi. Mereka adalah dari agen pindah rumah yang dipanggil Rana untuk membantunya.“Rana, apa-apaan ini?” Zayyan berusaha menghentikan Rana yang sedang mengangkat kardus.Rana tak menggubris dan terus berjalan. Bahkan sama sekali tak melihat ke arah Zayyan.“Rana, tunggu!” Zayyan meraih pergelangan tangan Rana, yang justru membuat kardus di tangan Rana jatuh dan barang-barang di dalamnya berserakan.Rana melemparkan tatapan tajam, kemudian menunduk dan memungut barang-barangnya sendiri tanpa bicara.Melihat itu, Zayyan jadi merasa bersalah dan membantu Rana.Namun baru saja Zayyan ingin me
“Kenapa Rana tidak datang?” Zayyan mencegah kuasa hukum Rana setelah sidang ditutup. “Karena klien kami sudah mantap bercerai.” Pria itu menjawab mantap. “Tapi… kenapa?” Zayyan masih terlihat kebingungan. Ia tak menyangka Rana benar-benar mantap bercerai dengannya. Kuasa hukum Rana menatap Zayyan lekat, tatapannya seolah merendahkan. “Harusnya Anda tanyakan itu pada diri Anda sendiri. Saya sebagai laki-laki saja tidak habis pikir dengan kelakukan Anda.” Kernyitan di dahi Zayyan tampak semakin kentara. “Apa maksudnya?” Pria itu mengeluarkan sebuah dokumen yang berisi foto-foto Zayyan dan Asha di kamar penginapan itu. “Ini yang membuat Rana mantap bercerai.” Zayyan membeku di tempat, tangannya bergetar menerima dokumen itu. “Dari mana kamu mendapatkan ini?” “Itu tidak penting. Tapi keaslian foto-foto ini sudah dikonfirmasi, Anda tidak bisa mengelak,” kata sang kuasa hukum dingin. “Saya permisi.” Tanpa menu
Berminggu-minggu penuh Zayyan habiskan untuk berusaha berbicara pada Rana. Tapi hasilnya nihil. Bahkan meski Zayyan berusaha menemui Rana setelah mengajar di kampus, Rana seperti langsung menghilang ditelan bumi.Rana menutup seluruh akses, seolah benar-benar ingin menghapus Zayyan dari hidupnya.Zayyan frustasi dibuatnya. Tubuhnya semakin kurus dan kusut, ia seperti kehilangan separuh jiwanya.Dan penampilan pria itu semakin berantakan saat surat pemanggilan untuk sidang perceraian lanjutan tiba di mejanya. Meski begitu, di sisi lain ia berharap sidang ini bisa mempertemukan Zayyan dengan Rana. Setidaknya ia bisa membujuk Rana di sidang terakhir ini.Namun sayang seribu sayang, Rana tetap tidak hadir pada sidang lanjutan dan mengirim kuasa hukumnya untuk mewakili dirinya.“Kenapa Rana tidak datang?” tanya Zayyan lesu, nyaris memelas saat kuasa hukum Rana masuk ruang sidang seorang diri.“Dia sudah mantap bercerai. Semua bukti ju
Sudah satu jam berlalu, Zayyan masih mengendarai mobilnya mengitari jalanan ibukota. Ponselnya berdering entah sudah yang keberapa kali.Telepon dari Asha, kemudian dari papanya.Tapi tak ada satu pun yang diangkat olehnya. Zayyan tidak memblokir nomor mereka, tapi ia juga tak menjawab pesan dan telepon mereka.Hati Zayyan hancur, pikirannya berkecamuk. Ia tak punya tempat untuk mendamaikan semua kekacauan di kepala dan hatinya.“Rana.” Nama itu meluncur begitu saja dari bibir Zayyan.Ia ingin bertemu Rana. Ia ingin mendekap gadis itu. Berharap bisa menenangkan hatinya yang gundah.Tapi sejak tadi, yang ia lakukan hanya terus berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota
Satu hari sebelum pernikahan Zayyan dan Asha.Zayyan gelisah bukan main. Ini hari Sabtu, tapi seharian ini ia hanya berdiam diri di rumah. Pesan-pesan Asha tidak ada yang ia balas sejak tadi pagi. Dan ia justru terus-menerus membuka pesan-pesan terakhirnya dengan Rana.Dan Zayyan kembali menyadari betapa dingin dan kejamnya ia pada mantan istrinya itu.Pria itu sedang duduk di sofa, sofa yang sama yang menjadi saksi atas betapa bejat dirinya saat itu. Ia menyerah saat Asha menggodanya terus-menerus. Tanpa peduli bahwa istri sahnya sedang terbaring pingsan di dalam kamar.Zayyan meremas rambutnya sendiri. Kesal bukan main pada dirinya sendiri karena melakukan hal bodoh itu.Seharusnya, meski ia tak menyukai Rana waktu itu, ia
Rana mengurung diri seharian penuh. Ambar dan Arga sudah berusaha untuk membujuknya membuka pintu, tapi Rana bergeming. Pintu kamar Rana tetap tertutup rapat hingga matahari tergelincir ke arah barat.“Ran, kamu belum makan dari pagi loh.” Ambar berusaha membujuk lagi.Tak ada jawaban dari dalam kamar.Arga juga berdiri di depan pintu kamar Rana, berusaha membujuk adik semata wayangnya itu.Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat Rana membuka pintu.Sampai akhirnya, Jagat pulang ke rumah dan menghampiri mereka. “Kenapa Rana?” tanyanya dengan kerutan di dahi.Arga dan Ambar saling pandang. “Sejak pulang dari kampus tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.” Ambar mengadu.Kernyitan di dahi Jagat tampak semakin dalam. “Coba minggir.”Arga dan Ambar menurut dan segera menyingkir, memberi ruang pada Jagat untuk mengetuk pintu kamar putrinya.“Rana? Ini Papa. Kamu bisa keluar sebenta
“Kamu bilang sama Rana kalau kamu hamil?” tanya Zayyan begitu ia dan Asha duduk di dalam mobil menuju rumah sakit tempat papa Asha dirawat.“Iya.” Asha menyahut pendek sambil mengetatkan rahang.“Buat apa?” balas Zayyan tajam, wajahnya merengut tak suka.“Biar dia tahu kalau sekarang kamu sudah punya aku, Mas.”Zayyan mencengkram kemudi amat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Untung Rana berbaik hati nggak menyebarkan gosip kalau dosennya hamil di luar nikah,” desisnya sinis.Asha tertegun mendengar nada bicara dan kalimat Zayyan. “Kenapa kamu jadi nyalahin aku?”“Ya jelas nyalahin kamu. Apa gunanya kamu ngasih tahu Rana soal itu? Mau bikin dia cemburu? Mau bikin dia makin sakit hati padahal aku sudah cukup bikin hati dia hancur? Atau kamu sengaja biar dia makin benci sama aku?” Zayyan meradang, suaranya naik satu oktaf.Asha mengernyit bingung. “Aku cuma mau dia tahu fakta itu supaya nggak ganggu kamu lagi.”
Jika biasanya ujian skripsi hanya memakan waktu satu jam, hari ini Rana baru keluar dari ruang ujian skripsi satu setengah jam kemudian.“Gimana, gimana?” tanya Tiya heboh yang mengerti soal hubungan Asha dan Rana.“Aman.” Rana menjawab dengan senyum masam.“Kamu dibantai, ya?” Tiya bertanya hati-hati.“Udah ah, yang penting lulus,” kata Rana sambil menggamit lengan Tiya dan mengajaknya pergi.Benar, Rana memang lulus. Tapi jika umumnya mahasiswa lain lulus dengan nilai A atau B, Asha memberi Rana nilai B-. Ini menyakitkan bagi Rana mengingat ia berusaha keras untuk skripsi ini. Bahkan ketika ia masih menjadi istri Zayyan, Rana tak pernah menyepelekan skripsinya.Tapi hanya karena masalah pribadi, Asha tega memberi Rana nilai kecil.Tiya dan Rana berjalan bersisian menuju lift. Namun langkah mereka terhenti ketika pintu lift terbuka, lalu Zayyan keluar dari sana.Rana dan Zayyan bertatapan, mereka memb
Zayyan menghentikan langkahnya begitu melihat Rana menahan wajah Gavin. Ia juga bisa melihat Rana mengucapkan kata maaf. Bagi Zayyan, itu sudah cukup untuk menerbitkan sebuah senyum di bibirnya. Zayyan segera berbalik. Dadanya yang terasa panas dan sesak perlahan-lahan menjadi lega. Kenyataan bahwa Rana menolak Gavin membuat Zayyan senang bukan kepalang. Tanpa menunggu kelanjutan dari adegan Rana dan Gavin, Zayyan segera pergi dari sana sebelum mereka memergokinya. Sementara di dekat mobil Gavin, Rana kembali meminta maaf. “Maaf, Vin.” Gavin tersenyum, mengangkat kepala Rana yang tertunduk. “Aku yang minta maaf. Aku terlalu terburu-buru, ya?” Rana menarik nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar. Ia belum pernah berciuman sebelumnya dan juga, ia tak tahu apakah hatinya sudah siap menerima cinta baru. “Aku janji aku bakal pelan-pelan, Ran.” Gavin
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Rana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha dan