Berminggu-minggu penuh Zayyan habiskan untuk berusaha berbicara pada Rana. Tapi hasilnya nihil. Bahkan meski Zayyan berusaha menemui Rana setelah mengajar di kampus, Rana seperti langsung menghilang ditelan bumi.
Rana menutup seluruh akses, seolah benar-benar ingin menghapus Zayyan dari hidupnya.Zayyan frustasi dibuatnya. Tubuhnya semakin kurus dan kusut, ia seperti kehilangan separuh jiwanya.Dan penampilan pria itu semakin berantakan saat surat pemanggilan untuk sidang perceraian lanjutan tiba di mejanya. Meski begitu, di sisi lain ia berharap sidang ini bisa mempertemukan Zayyan dengan Rana. Setidaknya ia bisa membujuk Rana di sidang terakhir ini.Namun sayang seribu sayang, Rana tetap tidak hadir pada sidang lanjutan dan mengirim kuasa hukumnya untuk mewakili dirinya.“Kenapa Rana tidak datang?” tanya Zayyan lesu, nyaris memelas saat kuasa hukum Rana masuk ruang sidang seorang diri.“Dia sudah mantap bercerai. Semua bukti juHidup Zayyan rasanya hancur berkeping-keping. Dulu ia mengira bahwa Rana yang menghancurkan hidupnya yang sempurna, tapi ternyata justru Asha-lah yang telah menghancurkan hidup yang ia tata dengan begitu baik.“Nggak mungkin. Kamu pasti bohong!” Zayyan berdiri, mundur beberapa langkah, menatap Asha ngeri.“Mas, buat apa aku bohong?” Air mata Asha membanjir sudah. “Kamu pikir aku mau begini? Kamu pikir aku mau hamil di luar nikah begini? Aku juga nggak mau, Mas. Jadi tolong, jangan tuduh aku berbohong. Karena aku nggak bohong.”“Ya Tuhan.” Zayyan terduduk di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan.Asha segera menghampiri Zayyan, berjongkok di hadapan pria itu. “Mas, tolong jangan kelihatan tertekan begini. Ayo kita hadapi sama-sama, Mas.”Zayyan menggeleng. “Kenapa bisa jadi begini?” keluhnya frustasi. Hidupnya benar-benar berantakan sekarang.“Mas, jangan bingung. Semuanya sudah terjadi, kita hanya perlu segera menikah kare
“Sudah selesai, Mas.” Asha memberitahu saat Zayyan datang ke rumah sakit. “Kamu terlambat. Aku sudah selesai sekitar setengah jam yang lalu.”“Apa?” Zayyan tampak tak terima.“Aku sudah bilang, jam periksanya jam sebelas, kamu malah baru datang jam 12. Ya jelas terlambat.” Asha berdiri, menghela nafas pelan. “Tapi aku sudah tanya soal tes DNA, katanya baru bisa dilakukan setelah anaknya lahir.”“Masa sih?” Zayyan mengernyit.“Iya. Minimal sampe anaknya umur tujuh tahun.” Asha berkata tegas. “Sekarang ayo pulang.”“Hasil USG-nya mana?” tanya Zayyan.“Nanti dikirim. Tadi
“Sibuk banget, Ran?” Arga bersandar di ambang pintu kamar adiknya, menatap Rana yang terlihat sibuk dengan sesuatu di laptop.“Iya, Kak. Ngerjain skripsi nih biar bisa cepet lulus.” Rana menoleh pada Arga sekilas.Arga masuk kamar Rana, duduk di tepi ranjang. “Kenapa pengen cepet-cepet lulus?”“Mau lanjut S2.”“Emang kalau lanjut S2 harus cepet-cepet lulus? Kan lulus kapanpun tetep bisa lanjut S2?”Rana terdiam sejenak, kemudian lanjut mengetik di atas keyboard laptopnya. “Tapi kan lebih cepat lebih baik, Kak.”“Supaya
Apartemen Zayyan sudah terlihat jauh lebih rapi sekarang. Si pemilik baru saja keluar dari kamar setelah mandi. Aroma masakan segera memenuhi ruangan.Lagi-lagi, Zayyan tak bisa menahan pikirannya untuk tidak terbang pada masa-masa saat Rana dengan begitu sabar memasak tiap hari untuk Zayyan meski ia tak pernah makan masakan Rana.“Sudah lapar, Mas?” tanya Asha dengan senyum lebar. “Aku masak nasi goreng doang sih, tapi semoga kamu suka, ya?”Zayyan duduk di meja makan, menatap Asha, tapi pikirannya melayang.“Jangan dilihatin begitu dong, Mas,” kata Asha sambil tersenyum malu-malu.Zayyan tertegun, tak sadar bahwa ia sedang menatap Asha. Ia buru-buru mengalihkan tatapannya dan bermain pons
Zayyan melambatkan langkah kakinya saat melewati jalan setapak yang memisahkan dua taman. Tatapannya terpaku pada gazebo yang ada di sisi luar taman.Di sana, Rana terlihat sedang mengobrol serius dengan Gavin. Posisi duduk mereka sangat dekat, bahkan wajah mereka hanya terpisah beberapa puluh senti saja.Pemandangan itu membuat dada Zayyan memanas.“Akhir-akhir ini kayaknya mereka makin deket?” gumamnya, sama sekali tak melepaskan tatapannya dari dua manusia itu.Tanpa sadar Zayyan mencengkram tasnya kuat-kuat.“Mas Zayyan!” Asha tiba-tiba sudah datang dan merangkul lengan Zayyan erat.Zayyan tersentak, menoleh pada Asha. “Eh, kamu baru datang?&rdquo
Mungkin Zayyan sudah gila, tapi ia tak bisa menahan diri lagi.Setelah melihat Rana dan Gavin berangkat ke kafe Cerita Sore, Zayyan juga melajukan mobilnya menuju kafe yang sama.Awalnya ia hanya memarkir mobilnya dan menatap ke arah kafe, mengawasi Rana dan Gavin dari jauh.Namun ia terus merasa gelisah karena posisi keduanya tak terlalu terlihat jelas dari posisi mobilnya diparkir. Maka dengan nekat, Zayyan masuk ke dalam kafe. Ia bahkan tak repot-repot menyamar dengan menggunakan topi atau berganti pakaian.Namun karena pengunjung kafe cukup ramai saat sore begini, sepertinya Rana dan Gavin tak memperhatikan kedatangannya.Zayyan mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka karena memang hanya sedikit meja yang kosong. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya, berpura-pura sibuk dengan laptopnya sambil sesekali melirik ke arah Gavin dan Rana yang juga sibuk dengan laptop masing-masing.Zayyan menajamkan telinga, tapi ia tetap tak bis
“Kamu kok baru pulang dari mana, Mas?” Asha menyambut Zayyan yang baru tiba di apartemennya dengan wajah kusut.“Kamu ngapain di sini?”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu dari mana?”Zayyan menghela nafas lelah. “Habis makan di luar.”Wajah Asha langsung merengut tak suka. “Sendirian?”“Iya, sendirian.”Asha menatap Zayyan lekat, masih tak percaya. “Jangan bohong, Mas. Kamu selingkuh?” tuduhnya tajam.Sekali lagi, Zayyan menghela nafas panjang dan lelah. “Kalau kamu ke sini cuma mau ngajak bertengkar, mending pulang aja. Aku nggak punya energi buat ngeladenin kamu marah-marah atau ngambek nggak jelas.”“Apa?” Asha menatap Zayyan tak percaya. “Kenapa kamu berpikir kalau aku mau ngajak tengkar, Mas?”“Aku sudah bilang, aku pergi sendirian. Tapi kamu malah nuduh selingkuh. Kamu sadar nggak, Sha, justru kamu tuh sebenarnya selingkuhanku waktu aku masih jadi suami Rana?”Asha benar-benar tak percaya Zayyan bisa berkat
“Gimana fitting bajunya, Kak?” Rana menyambut Arga dan Anya – calon istri Arga – yang baru saja tiba di rumah.Bukannya menjawab, Anya langsung berhambur memeluk Rana erat. “Dek, yang sabar, ya?” katanya tulus.Rana mengerjap-ngerjap bingung. “Sabar buat apa, Kak?”Anya melepas pelukan, menatap Rana dengan tatapan lembut sambil membelai rambutnya. “Kata Arga kamu mau lanjut kuliah di Belanda kan? Kakak dukung. Kamu harus sukses, harus jadi orang besar.”“Rana mau lanjut ke Belanda?” Jagat bertanya dari sofa ruang tengah, mengernyit.“Oh, Rana belum cerita sama Papa?” Rana balas bertanya. “Rencananya sih gitu. Temen Rana juga ada yang mau ke sana, jadi kita belajar bareng.”Rana berharap jika kelak ia bisa lolos seleksi beasiswa ke Belanda, papanya itu bisa sedikit saja merasa padanya.“Beasiswa atau biaya sendiri?” tanya Jagat, tampak sedikit khawatir dan curiga.“Beasiswa, Pa. Rana tahu biaya hidup dan kuliah d
“Kamu jadian sama dia?” Suara seorang wanita terdengar di ujung telepon.Gavin tertawa senang, menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Iya dong. Hebat kan?”“Apanya yang hebat? Masa berbulan-bulan baru bisa jadian. Mana yang katanya jago gombal?” Suara wanita itu terdengar mengejek.Gavin mendengus kasar. “Beda kasus nih yang ini. Susah ternyata deketin cewek yang pernah trauma berumah tangga. Aku hampir mau nyerah aja, tapi aku inget hadiah dari Kakak kalau aku berhasil macarin dia. Kamu nggak lupa kan, Kak?”“Enggak kok.” Wanita di seberang telepon tertawa. “Tapi Kakak transfer awal bulan aja, ya? Kakak kan habis cuti. Baru aktif kerja lagi bulan lalu.”“Santai aja, Kak. Pokoknya kamu nggak lupa.”“Oh ya, Zayyan masih di sana?” Wanita itu bertanya lagi.“Masih. Tapi kayaknya ini hari terakhir. Besok dia balik ke Indonesia.” Gavin bicara sambil menatap langit-langit apartemennya.“Dia tahu kan kalau kalian jadian?”“Tahu kok. Malah dia dateng pas Rana
Setelah makan malam, semua orang akhirnya membereskan bekas acara kejutan ulang tahun di ruang tamu rumah Ara itu.“Maaf ya, Zay. Aku nggak tahu kalau ternyata Gavin bakal nembak Rana hari ini,” ucap Ara pada Zayyan. “Dan yang lebih nggak disangka, ternyata Rana nerima. Aku pikir Rana punya perasaan sama kamu.”Zayyan tersenyum pahit, kemudian menggeleng. “Nggak usah minta maaf, Ra. Aku nggak apa-apa kok.”“Tapi kamu udah buang uang banyak buat ke sini.” Ara benar-benar tak enak hati. Ia dan Zayyan merencanakan kejutan ini, tapi malah dirinya dan Zayyan yang terkejut.“Nggak masalah. Aku ke sini juga ada urusan.” Zayyan meneguk air mineral, ekor matanya terus melirik ke arah Rana yang sedang melipat tikar.“Oh ya? Urusan apa?
“Terima, terima, terima!” Seluruh orang di ruangan itu berseru-seru heboh.“Terima, Ran! Coba lihat usahanya nih, masa nggak diterima?” Faisal mengompori.“Jangan nyari bule, Ran. Cintai produk lokal.” Ini Vivi yang berseru.Wajah Rana semakin memerah tak karuan mendengar sorakan teman-temannya. Namun sudut mata Rana menangkap Ara tiba-tiba pergi ke belakang sambil terburu-buru.Tapi seru-seruan orang-orang di sekitarnya kembali menarik perhatiannya.“Ran?” panggil Gavin lembut. “Kamu butuh waktu?”“Nggak usah banyak mikir lah, Ran, udah dikasih waktu sebulan juga.” Faisal benar-benar menjadi tim sukses Gavin sekarang.Rana berdehem pelan, menatap Gavin dan kalung di dalam kotak yang ia pegang bergantian.Seketika, acara kencan mereka yang hampir mereka lakukan tiap minggu dalam sebulan terakhir berkelebat cepat di benak Rana.Gavin sudah menunjukkan bagaimana ia akan bersikap jika menjadi seorang kekasih nantinya. Dan Rana sama sekali tidak masal
Rana kira, kencan di hari ulang tahunnya ini akan sangat spesial. Tapi rupanya Gavin hanya membawanya jalan-jalan di taman sambil mengobrol.Jujur saja, Rana merasa sedikit kecewa. Tapi ia tak mau menunjukkannya karena Gavin terlihat menikmati kencan ini.“Kamu suka bunga apa, Ran?” tanya Gavin saat mereka berjalan-jalan sambil bergandengan tangan.Gavin memasukkan tautan tangan mereka ke saku jaketnya, membuat tubuh mereka jadi saling menempel.“Hm, mawar kayaknya.” Rana tak bisa memikirkan bunga lain. Karena selama dua bulan terakhir ia hanya dikirimi mawar merah oleh Zayyan.Dan selama dua bulan ini, Zayyan sama sekali tidak pernah absen mengiriminya bunga. Meski sampai sekarang Rana belum tahu baga
Rana jadi tak tega untuk tidak memaafkan Gavin. Lagi pula, pria itu kelihatannya memang sangat menyesal.Maka hari ini, sebagai permintaan maaf, Gavin mengajak Rana untuk bersepeda melewati jembatan Erasmus.“Kita lihat sunset terus makan malam di kafe deket pelabuhan, mau nggak?” tanya Gavin sumringah sambil terus mengayuh sepedanya.“Oke, boleh.” Rana mengangguk setuju, mengayuh sepedanya sejajar dengan Gavin.Mereka menikmati pemandangan Rotterdam di senja hari sambil terus mengayuh sepeda. Saat mereka melewati jembatan Erasmus, matahari sudah berada di kaki langit.“Wah, indah banget.” Rana menghentikan sepedanya, menatap pemandangan mengagumkan itu.Gavin juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia tidak menatap pemandangan matahari terbenam itu. Melainkan mengunci tatapannya pada wajah Rana yang berbinar keemasan diterpa oleh cahaya senja.“Iya, cantik banget,” gumam Gavin tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali dari Rana.Rana bisa merasakan tat
Satu bulan kemudian.Rana keluar dari apartemennya, mengambil bunga mawar ke-36 dari Zayyan yang tergeletak di depan pintu lalu meletakkannya di atas meja. Baru kemudian ia keluar pintu dan bergegas berangkat ke kampus.Ya, Zayyan masih mengirimkan bunga mawar setiap hari pada Rana. Entah bagaimana caranya, tapi setiap pagi Rana selalu mendapati setangkai bunga mawar sudah tergeletak di depan pintu apartemennya.Ia penasaran bagaimana Zayyan bisa tetap mengirimnya bunga. Apa ia sengaja memesan bunga pada toko bunga terdekat dan meminta mereka mengirimnya ke alamat Rana setiap hari?Jika iya, berapa uang yang Zayyan habiskan untuk itu?Atau mungkin saja Zayyan meminta bantuan Ara?Tapi jika iya, kasihan Ara yang harus meluangkan waktu setiap hari untuk membeli bunga dan mengantarnya ke apartemen Rana.Saat awal-awal Zayyan meninggalkan Rotterdam, pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di kepala Rana. Berkali-kali Rana tergoda untuk mengirim pesan pada Za
Ini hari terakhir Zayyan di Rotterdam. Setelah sarapan di apartemen Rana itu, Zayyan tidak pernah bertemu dengan Rana lagi.Rana tidak pernah membukakan pintu untuk Zayyan. Tapi Zayyan masih selalu memberikan bunga untuk Rana.Seperti pagi ini, ketika Rana hendak berangkat ke kampus untuk belajar di perpustakaan, ia nyaris menginjak setangkai bunga mawar yang diletakkan Zayyan di depan pintu apartemennya.Rana menunduk, mengambil bunga mawar itu. Ternyata ada sebuah kartu ucapan di dalamnya.“6 dari 1000 mawar untuk Rana.” Begitu isi kartu ucapannya.Helaan nafas pelan lolos dari bibir Rana. Ia galau, haruskah ia membuang bunga ini atau menyimpannya?Karena sekarang apartemen Rana sudah memiliki beberapa tangkai bunga mawar. Jika Zayyan mengiriminya bunga mawar setiap hari, bukan tidak mungkin apartemen Rana berubah menjadi toko bunga.Tepat ketika Rana galau harus diapakan bunga mawar itu, unit apartemen di samping miliknya tiba-tiba terbuka. Seorang wan
Rana sedang memasak untuk sarapan ketika pintu apartemennya diketuk dari luar.“Siapa sih pagi-pagi banget?” gumamnya sambil mematikan kompor dan memindahkan omelet telur dari wajan ke piring.Rana segera berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia membelalak melihat Zayyan sudah berdiri di depan pintu dengan setangkai bunga mawar merah di tangan.Pria itu tersenyum lebar. “Bunga mawar ketiga untuk Rana,” katanya manis.Rana memicingkan matanya sebal. “Kamu beneran mau ngasih aku seribu bunga mawar selama seribu hari, Mas?”“Aku sudah bilang kan, Ran? Aku akan melakukan apapun untuk mendapat kepercayaanmu kembali.” Zayyan menyodorkan bunga mawar itu pada Rana.Awalnya Rana ragu, tapi akhirnya ia mengambil bunga itu dari Zayyan. “Makasih.”“Kamu mau sarapan di luar?” tanya Zayyan lagi.“Enggak. Aku udah bikin sarapan.”Zayyan mengangguk. “Sudah kuduga. Ya udah, kalau gitu ini buat kamu.” Ia kembali m
Sebelum bibir mereka bersentuhan, tubuh Rana tiba-tiba ditarik ke belakang oleh seseorang. Membuat Rana memekik kaget saat punggungnya membentur dada bidang seseorang.Ia mendongak, mendapati Zayyan sudah menatap Gavin tajam dan mencengkram bahu Rana erat.“Lepaskan dia,” desis Gavin kesal.“Kalau aku nggak mau?” tantang Zayyan. Kali ini tangan Zayyan yang di pundak Rana berpindah ke pinggang, memeluknya erat.Nafas Rana tertahan seketika. Ia bisa merasakan kupu-kupu yang semakin banyak menggelitik perutnya. Membuat wajahnya merona dan ia kesulitan berkata-kata.“Lepaskan!” Gavin tampak semakin tak sabar.“Kamu pacarnya?” Zayyan masih memasang tampang tak acuh, tapi tatapannya jelas menyiratkan kecemburuan. “Bukan kan? Jadi kamu nggak berhak menyuruhku melepaskan tanganku darinya.”“Tapi kamu juga bukan siapa-siapa Rana.”Rahang Zayyan mengetat. Ia benci mengetahui fakta bahwa Rana bukan miliknya. Dan hal itu justru membuat Zayyan semakin mengeratkan