Apartemen Zayyan sudah terlihat jauh lebih rapi sekarang. Si pemilik baru saja keluar dari kamar setelah mandi. Aroma masakan segera memenuhi ruangan.
Lagi-lagi, Zayyan tak bisa menahan pikirannya untuk tidak terbang pada masa-masa saat Rana dengan begitu sabar memasak tiap hari untuk Zayyan meski ia tak pernah makan masakan Rana.
“Sudah lapar, Mas?” tanya Asha dengan senyum lebar. “Aku masak nasi goreng doang sih, tapi semoga kamu suka, ya?”
Zayyan duduk di meja makan, menatap Asha, tapi pikirannya melayang.
“Jangan dilihatin begitu dong, Mas,” kata Asha sambil tersenyum malu-malu.
Zayyan tertegun, tak sadar bahwa ia sedang menatap Asha. Ia buru-buru mengalihkan tatapannya dan bermain pons
Zayyan melambatkan langkah kakinya saat melewati jalan setapak yang memisahkan dua taman. Tatapannya terpaku pada gazebo yang ada di sisi luar taman.Di sana, Rana terlihat sedang mengobrol serius dengan Gavin. Posisi duduk mereka sangat dekat, bahkan wajah mereka hanya terpisah beberapa puluh senti saja.Pemandangan itu membuat dada Zayyan memanas.“Akhir-akhir ini kayaknya mereka makin deket?” gumamnya, sama sekali tak melepaskan tatapannya dari dua manusia itu.Tanpa sadar Zayyan mencengkram tasnya kuat-kuat.“Mas Zayyan!” Asha tiba-tiba sudah datang dan merangkul lengan Zayyan erat.Zayyan tersentak, menoleh pada Asha. “Eh, kamu baru datang?&rdquo
Mungkin Zayyan sudah gila, tapi ia tak bisa menahan diri lagi.Setelah melihat Rana dan Gavin berangkat ke kafe Cerita Sore, Zayyan juga melajukan mobilnya menuju kafe yang sama.Awalnya ia hanya memarkir mobilnya dan menatap ke arah kafe, mengawasi Rana dan Gavin dari jauh.Namun ia terus merasa gelisah karena posisi keduanya tak terlalu terlihat jelas dari posisi mobilnya diparkir. Maka dengan nekat, Zayyan masuk ke dalam kafe. Ia bahkan tak repot-repot menyamar dengan menggunakan topi atau berganti pakaian.Namun karena pengunjung kafe cukup ramai saat sore begini, sepertinya Rana dan Gavin tak memperhatikan kedatangannya.Zayyan mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka karena memang hanya sedikit meja yang kosong. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya, berpura-pura sibuk dengan laptopnya sambil sesekali melirik ke arah Gavin dan Rana yang juga sibuk dengan laptop masing-masing.Zayyan menajamkan telinga, tapi ia tetap tak bis
“Kamu kok baru pulang dari mana, Mas?” Asha menyambut Zayyan yang baru tiba di apartemennya dengan wajah kusut.“Kamu ngapain di sini?”“Jawab dulu pertanyaanku, Mas. Kamu dari mana?”Zayyan menghela nafas lelah. “Habis makan di luar.”Wajah Asha langsung merengut tak suka. “Sendirian?”“Iya, sendirian.”Asha menatap Zayyan lekat, masih tak percaya. “Jangan bohong, Mas. Kamu selingkuh?” tuduhnya tajam.Sekali lagi, Zayyan menghela nafas panjang dan lelah. “Kalau kamu ke sini cuma mau ngajak bertengkar, mending pulang aja. Aku nggak punya energi buat ngeladenin kamu marah-marah atau ngambek nggak jelas.”“Apa?” Asha menatap Zayyan tak percaya. “Kenapa kamu berpikir kalau aku mau ngajak tengkar, Mas?”“Aku sudah bilang, aku pergi sendirian. Tapi kamu malah nuduh selingkuh. Kamu sadar nggak, Sha, justru kamu tuh sebenarnya selingkuhanku waktu aku masih jadi suami Rana?”Asha benar-benar tak percaya Zayyan bisa berkat
“Gimana fitting bajunya, Kak?” Rana menyambut Arga dan Anya – calon istri Arga – yang baru saja tiba di rumah.Bukannya menjawab, Anya langsung berhambur memeluk Rana erat. “Dek, yang sabar, ya?” katanya tulus.Rana mengerjap-ngerjap bingung. “Sabar buat apa, Kak?”Anya melepas pelukan, menatap Rana dengan tatapan lembut sambil membelai rambutnya. “Kata Arga kamu mau lanjut kuliah di Belanda kan? Kakak dukung. Kamu harus sukses, harus jadi orang besar.”“Rana mau lanjut ke Belanda?” Jagat bertanya dari sofa ruang tengah, mengernyit.“Oh, Rana belum cerita sama Papa?” Rana balas bertanya. “Rencananya sih gitu. Temen Rana juga ada yang mau ke sana, jadi kita belajar bareng.”Rana berharap jika kelak ia bisa lolos seleksi beasiswa ke Belanda, papanya itu bisa sedikit saja merasa padanya.“Beasiswa atau biaya sendiri?” tanya Jagat, tampak sedikit khawatir dan curiga.“Beasiswa, Pa. Rana tahu biaya hidup dan kuliah d
“Karena jujur, saya… memang punya sedikit ketertarikan sama Rana.” Gavin melanjutkan. Sudah kepalang tanggung, jadi jujur saja. Begitu pikirnya.Kepalan tangan Jagat tampak semakin mengerat, buku-buku jarinya sampai memutih saking eratnya ia mengepalkan tangan.“Tidak. Kamu belum mendapat izinku!” Jagat mendesis kesal. Bayangan Rana kembali disakiti oleh laki-laki membuat insting melindungi dalam diri Jagat berkobar.Gavin mengangguk paham. Sekarang ia semakin yakin bahwa gosip soal Rana pernah menjadi istri Zayyan lalu bercerai itu benar adanya.Ya, karena selama ini hanya Tiya yang tahu fakta itu. Zayyan sendiri yang meminta Rana untuk tidak membocorkan soal pernikahan mereka di kamp
“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha dan
Rana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Hari persidangan Gavin.Tak pernah sekalipun Gavin mengira dalam hidupnya bahwa ia akan datang ke Rotterdam bukan hanya untuk kuliah, melainkan juga merasakan dinginnya kursi pengadilan.Ruang sidang itu terlihat tenang. Di satu sisi ruang, terdapat meja hakim yang berada di posisi lebih tinggi.Rana duduk di kursi yang sudah disediakan bersama pengacaranya. Arga, Zayyan, dan anggota PPI lain duduk di kursi hadirin.Tak lama kemudian, Gavin terlihat memasuki ruangan dengan tangan terborgol dan digiring oleh dua orang polisi. Wanita paruh baya yang sepertinya adalah ibu Gavin terlihat menangis tersedu melihat putranya digiring seperti pesakitan.Salah satu sudut hati Rana terenyuh melihat pemandangan itu. Ia merasa kasihan melihat ibu Gavin menangis. Tapi ia tak ingin perasaan itu mendominasinya dan membuat Gavin lolos dari hukuman.Rana sudah bertekad untuk membawa ini ke jalur hukum.Seorang hakim terlihat duduk tegak dan bicara dengan lantang. “Saudara terdakwa, Anda dituduh melakuk
“Gavin ditangkap kemarin di apartemennya,” ujar Faisal saat kumpul bersama anggota PPI di rumah Ara.“Oh ya? Syukur deh kalau gitu,” seru Vivi lega. Ia memang menjadi salah satu yang paling menunggu-nunggu saat Gavin ditangkap. “Biar tahu rasa. Enak aja main ngasih anak orang obat perangsang.”Rana meringis saat Vivi mengatakan ‘obat perangsang’ tanpa beban. Ia masih selalu ngeri setiap kali mengingat saat Gavin hampir memerkosanya. “Udah ah nggak usah bahas itu lagi. Kita sekarang lagi seneng-seneng, jadi nggak boleh bahas yang sedih-sedih.” Ara menimpaliSetiap bulan, para anggota PPI memang akan berkumpul di rumah Ara. Entah sekedar makan bersama, membahas proyek, atau ada acara tertentu. Dan hari ini, acaranya adalah makan-makan biasa.Masing-masing anggota PPI membawa makanan, lalu mereka akan mengumpulkan semua makanan di tengah-tengah ruangan dan mereka bebas mencicipi makanan punya siapa saja. Semacam potluck.Dan karena Rana masih belum kembali ke apartemennya, jadi ia hanya
“Ka, jangan kasih tahu Papa dulu.” Rana memohon di telepon.Arga terdengar menghembuskan nafas kasar. “Nggak bisa, Ran. Kakak harus bilang sama Papa supaya Papa bantu kasus ini ke polisi. Kamu tahu Papa punya banyak koneksi di kepolisian dan kejaksaan. Papa bisa minta bantuan mereka buat berkomunikasi dengan kepolisian Rotterdam.”Rana menggigit bibir, ia bisa membayangkan bagaimana reaksi papanya saat mengetahui putri bungsunya hampir diperkosa oleh Gavin. Bisa dipastikan, Gavin masih bernyawa saja sudah untung.“Kamu nggak bisa menghalangi kakak buat bilang ke Papa, Ran. Papa berhak tahu.” Arga berkata tegas. “Dan kamu jangan ketemu dia sampai polisi menindaklanjuti kasusmu, oke?”“Iya, Kak. Aku udah tinggal bareng Kak Ara sejak kasus itu. Aku juga selalu bareng Vivi ke kampus dan menghindari kelas yang sama dengan Gavin.” Rana mencoba menjelaskan agar kakaknya tak terlalu khawatir.Arga terdengar menghembuskan nafas berat sekali lagi. “Untungnya kamu masih selamat, Ran.”“Iya, aku
“Mas, kamu bicara apa sih?” Asha tersenyum canggung, masih berusaha mengelak.Zayyan mengangkat ponselnya yang sejak tadi ia genggam dan menyalakan rekaman audio yang ia ambil saat Asha bertelepon dengan Gavin tadi. “Sebaiknya kamu mengaku sekarang sebelum aku berikan rekaman audio ini ke bagian akademik,” ancam Zayyan.“Mas, aku mohon jangan.” Asha berusaha mengambil ponsel Zayyan, tapi gerakan Zayyan jelas jauh lebih cepat.“Kalau kamu mau karirmu sebagai dosen masih aman, sekarang mengakulah, Sha. Aku sudah punya dua alasan kuat untuk menghancurkan karirmu. Sebelum aku benar-benar melakukannya, sebaiknya kamu menurut padaku,” ucap Zayyan tegas, tanpa kompromi.“A-apa maksud kamu, Mas? Kamu nggak mungkin benar-benar akan melapor–”“Aku serius, Asha!” Zayyan mendesis. “Pertama, soal kebohonganmu yang berpura-pura mengandung anakku. Dan sekarang, kamu menjadi dalang dari kasus upaya pemerkosaan. Kamu nggak layak jadi seorang dosen, Asha.”Tatapan Asha berubah horor. “Mas, aku mohon j
“Maaf karena nggak dengerin peringatan kamu.” Rana berkata pelan. “Dan makasih karena sudah berusaha menyelamatkan aku kamu jauh banget di sana.”Zayyan menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Dadanya terasa ngilu saat melihat wajah Rana yang pucat dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Gadis itu pasti tidak bisa tidur.“Padahal kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku, Mas. Kita udah nggak punya hubungan apa-apa.” Rana tertunduk, tak berani menatap Zayyan.“Aku nggak peduli meski kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak akan membiarkan kamu mengalami kesulitan, Ran.” Zayyan berkata lembut.Di tempat Rana masih siang, semenara di Jakarta sudah mulai gelap.“Aku bener-bener makasih, Mas.” Rana akhirnya mendongak, menatap Zayyan dengan mata berkaca-kaca. “Kalau bukan karena kamu, pasti sekarang aku sudah … aku pasti sud–”“Sshh … Ran, sudah. Jangan diingat.” Zayyan menegur dengan nada lembut, menatap Rana prihatin. “Sekarang kamu aman, oke? Kamu aman. Kamu di rumah Ara, kan
“Ran, kamu nggak apa-apa?” Vivi, tetangga apartemen Rana datang keesokan harinya. “Aku udah denger dari Kak Ara, temen-temen PPI juga sudah pada tahu jadi sekarang mereka pasti bakal bantu jauhin kamu dari Gavin.”“Temen-temen PPI tahu?” Rana membulatkan matanya. Ia menghela nafas pelan, merasa malu.Vivi menangkap gestur itu dan menggengam tangan Rana lembut. “Ran, kamu korban. Harusnya yang merasa malu itu si Gavin brengsek itu, bukan kamu.”“Tapi tetep aja, Vi. Itu memalukan.” Rana tersenyum sendu.Vivi memeluk Rana erat. “Tenang aja, jangan malu, ya? Temen-temen PPI nggak akan meledek kamu. Mereka justru prihatin dan mau bantuin kamu menjauhi Gavin. Dia sudah keterlaluan, Ran. Masa mencekoki kamu dengan obat perangsang?”Rana membalaskan pelukan Vivi erat, ia selalu bergetar ketakutan saat teringat kejadian itu. Ia tak pernah menyangka Gavin akan melakukan hal seperti itu padanya.“Aku jijik sama diriku sendiri, Vi. Aku … dipegang-pegang begitu….” Rana tak berhasil menyelesaikan k
Gavin tak menjawab dan langsung menerkam Rana. Kali ini ia jadi semakin brutal.“Nggak usah sok suci kamu, Ran. Si Zayyan itu pasti sudah pernah mencicipi tubuhmu kan? Nah, apa bedanya kalau aku juga merasakannya? Sekarang aku pacarmu kan?”Rana mulai menitikkan air mata ketika tubuh Gavin kembali menindihnya hingga ia kesulitan bergerak. Cengkraman tangan Gavin di pergelangan tangan Rana mencengkram sangat kuat hingga membuatnya meringis menahan sakit.Rana sudah melakukan segala cara untuk bebas dari laki-laki ini, tapi tubuhnya yang semakin kehilangan kendali karena obat perangsang yang dimasukkan Gavin ke dalam cokelat itu membuat usaha Rana untuk lepas semakin berkurang.Saat Rana mulai merasa putus asa, sebuah ketukan di pintu terdengar. Namun Gavin tak memedulikannya.Ia terus menyerang Rana, menciumi gadis itu meski Rana terus meronta.Namun ketukan di pintu juga semakin kencang dan datang berkali-kali.“Gavin, buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam!” Suara seorang wanita t
“Kenapa, Ran?” tanya Gavin sambil memegangi kedua bahu Rana.Rana menggelengkan kepalanya, berusaha tetap sadar sepenuhnya. Namun kepalanya terasa berat dan tubuhnya terus memanas.“Aku harus pulang,” ucap rana sambil berdiri. Namun tubuhnya langsung oleng.Beruntung, Gavin sigap menangkapnya. “Mau ke mana, Ran?” Ia melingkarkan lengannya di pinggang Rana, mendekapnya erat.“Mau pulang, Vin. Kayaknya aku nggak enak badan. Biarin aku pulang.” Rana berusaha meronta di pelukan Gavin, tapi dekapan lengan Gavin sangat erat hingga membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Ini udah malem, Ran. Kamu kayaknya nggak akan bisa jalan pulang. Udah, istirahat di sini aja,” kata Gavin persuasif.Rana menggeleng. Di tengah-tengah usahanya untuk tetap sadar, ia kembali teringat kalimat Zayyan.“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran. Jangan berduaan dengannya terutama di apartemennya.”“Aku harus pulang, Vin.” Rana meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.Tapi sekali lagi, cengkraman Gavin di tubuh Rana begitu e
“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran.” Begitu kalimat pertama Zayyan ketika Rana bertanya soal apa maksud pesan Zayyan di kartu ucapan itu.“Memangnya Gavin bilang apa, Mas?” tanya Rana dengan wajah mengernyit.“Aku nggak tahu kamu akan percaya atau enggak kalau aku beri tahu kamu, tapi aku berharap kamu nggak pernah membiarkan Gavin berduaan denganmu di apartemennya sendiri atau di hotel, atau di apartemenmu. Pokoknya jangan berduaan sama Gavin.”Kernyitan di antara kedua alis Rana tampak semakin kentara. “Aku dan Gavin pacaran, Mas. Sudah sewajarnya kami sering menghabiskan waktu berdua. Kamu nggak bisa mengatur-atur hidup aku, Mas!”Terdengar helaan nafas Zayyan di ujung telepon. “Aku tahu kamu nggak akan percaya padaku.” Suaranya terdengar sendu. “Karena itu aku memilih buat berhenti mengirimkan bunga untukmu. Tapi kamu harus ingat, Ran, aku melakukannya karena aku nggak mau Gavin berbuat macam-macam denganmu.”Rana mulai kehilangan kesabaran. Ia mengetatkan rahangnya saking kesalnya