“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.
Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha danRana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Zayyan menghentikan langkahnya begitu melihat Rana menahan wajah Gavin. Ia juga bisa melihat Rana mengucapkan kata maaf. Bagi Zayyan, itu sudah cukup untuk menerbitkan sebuah senyum di bibirnya. Zayyan segera berbalik. Dadanya yang terasa panas dan sesak perlahan-lahan menjadi lega. Kenyataan bahwa Rana menolak Gavin membuat Zayyan senang bukan kepalang. Tanpa menunggu kelanjutan dari adegan Rana dan Gavin, Zayyan segera pergi dari sana sebelum mereka memergokinya. Sementara di dekat mobil Gavin, Rana kembali meminta maaf. “Maaf, Vin.” Gavin tersenyum, mengangkat kepala Rana yang tertunduk. “Aku yang minta maaf. Aku terlalu terburu-buru, ya?” Rana menarik nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar. Ia belum pernah berciuman sebelumnya dan juga, ia tak tahu apakah hatinya sudah siap menerima cinta baru. “Aku janji aku bakal pelan-pelan, Ran.” Gavin
Jika biasanya ujian skripsi hanya memakan waktu satu jam, hari ini Rana baru keluar dari ruang ujian skripsi satu setengah jam kemudian.“Gimana, gimana?” tanya Tiya heboh yang mengerti soal hubungan Asha dan Rana.“Aman.” Rana menjawab dengan senyum masam.“Kamu dibantai, ya?” Tiya bertanya hati-hati.“Udah ah, yang penting lulus,” kata Rana sambil menggamit lengan Tiya dan mengajaknya pergi.Benar, Rana memang lulus. Tapi jika umumnya mahasiswa lain lulus dengan nilai A atau B, Asha memberi Rana nilai B-. Ini menyakitkan bagi Rana mengingat ia berusaha keras untuk skripsi ini. Bahkan ketika ia masih menjadi istri Zayyan, Rana tak pernah menyepelekan skripsinya.Tapi hanya karena masalah pribadi, Asha tega memberi Rana nilai kecil.Tiya dan Rana berjalan bersisian menuju lift. Namun langkah mereka terhenti ketika pintu lift terbuka, lalu Zayyan keluar dari sana.Rana dan Zayyan bertatapan, mereka memb
“Kamu bilang sama Rana kalau kamu hamil?” tanya Zayyan begitu ia dan Asha duduk di dalam mobil menuju rumah sakit tempat papa Asha dirawat.“Iya.” Asha menyahut pendek sambil mengetatkan rahang.“Buat apa?” balas Zayyan tajam, wajahnya merengut tak suka.“Biar dia tahu kalau sekarang kamu sudah punya aku, Mas.”Zayyan mencengkram kemudi amat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Untung Rana berbaik hati nggak menyebarkan gosip kalau dosennya hamil di luar nikah,” desisnya sinis.Asha tertegun mendengar nada bicara dan kalimat Zayyan. “Kenapa kamu jadi nyalahin aku?”“Ya jelas nyalahin kamu. Apa gunanya kamu ngasih tahu Rana soal itu? Mau bikin dia cemburu? Mau bikin dia makin sakit hati padahal aku sudah cukup bikin hati dia hancur? Atau kamu sengaja biar dia makin benci sama aku?” Zayyan meradang, suaranya naik satu oktaf.Asha mengernyit bingung. “Aku cuma mau dia tahu fakta itu supaya nggak ganggu kamu lagi.”
Rana mengurung diri seharian penuh. Ambar dan Arga sudah berusaha untuk membujuknya membuka pintu, tapi Rana bergeming. Pintu kamar Rana tetap tertutup rapat hingga matahari tergelincir ke arah barat.“Ran, kamu belum makan dari pagi loh.” Ambar berusaha membujuk lagi.Tak ada jawaban dari dalam kamar.Arga juga berdiri di depan pintu kamar Rana, berusaha membujuk adik semata wayangnya itu.Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat Rana membuka pintu.Sampai akhirnya, Jagat pulang ke rumah dan menghampiri mereka. “Kenapa Rana?” tanyanya dengan kerutan di dahi.Arga dan Ambar saling pandang. “Sejak pulang dari kampus tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.” Ambar mengadu.Kernyitan di dahi Jagat tampak semakin dalam. “Coba minggir.”Arga dan Ambar menurut dan segera menyingkir, memberi ruang pada Jagat untuk mengetuk pintu kamar putrinya.“Rana? Ini Papa. Kamu bisa keluar sebenta
Satu hari sebelum pernikahan Zayyan dan Asha.Zayyan gelisah bukan main. Ini hari Sabtu, tapi seharian ini ia hanya berdiam diri di rumah. Pesan-pesan Asha tidak ada yang ia balas sejak tadi pagi. Dan ia justru terus-menerus membuka pesan-pesan terakhirnya dengan Rana.Dan Zayyan kembali menyadari betapa dingin dan kejamnya ia pada mantan istrinya itu.Pria itu sedang duduk di sofa, sofa yang sama yang menjadi saksi atas betapa bejat dirinya saat itu. Ia menyerah saat Asha menggodanya terus-menerus. Tanpa peduli bahwa istri sahnya sedang terbaring pingsan di dalam kamar.Zayyan meremas rambutnya sendiri. Kesal bukan main pada dirinya sendiri karena melakukan hal bodoh itu.Seharusnya, meski ia tak menyukai Rana waktu itu, ia
Sudah satu jam berlalu, Zayyan masih mengendarai mobilnya mengitari jalanan ibukota. Ponselnya berdering entah sudah yang keberapa kali.Telepon dari Asha, kemudian dari papanya.Tapi tak ada satu pun yang diangkat olehnya. Zayyan tidak memblokir nomor mereka, tapi ia juga tak menjawab pesan dan telepon mereka.Hati Zayyan hancur, pikirannya berkecamuk. Ia tak punya tempat untuk mendamaikan semua kekacauan di kepala dan hatinya.“Rana.” Nama itu meluncur begitu saja dari bibir Zayyan.Ia ingin bertemu Rana. Ia ingin mendekap gadis itu. Berharap bisa menenangkan hatinya yang gundah.Tapi sejak tadi, yang ia lakukan hanya terus berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota
Sudah satu jam berlalu, Zayyan masih mengendarai mobilnya mengitari jalanan ibukota. Ponselnya berdering entah sudah yang keberapa kali.Telepon dari Asha, kemudian dari papanya.Tapi tak ada satu pun yang diangkat olehnya. Zayyan tidak memblokir nomor mereka, tapi ia juga tak menjawab pesan dan telepon mereka.Hati Zayyan hancur, pikirannya berkecamuk. Ia tak punya tempat untuk mendamaikan semua kekacauan di kepala dan hatinya.“Rana.” Nama itu meluncur begitu saja dari bibir Zayyan.Ia ingin bertemu Rana. Ia ingin mendekap gadis itu. Berharap bisa menenangkan hatinya yang gundah.Tapi sejak tadi, yang ia lakukan hanya terus berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota
Satu hari sebelum pernikahan Zayyan dan Asha.Zayyan gelisah bukan main. Ini hari Sabtu, tapi seharian ini ia hanya berdiam diri di rumah. Pesan-pesan Asha tidak ada yang ia balas sejak tadi pagi. Dan ia justru terus-menerus membuka pesan-pesan terakhirnya dengan Rana.Dan Zayyan kembali menyadari betapa dingin dan kejamnya ia pada mantan istrinya itu.Pria itu sedang duduk di sofa, sofa yang sama yang menjadi saksi atas betapa bejat dirinya saat itu. Ia menyerah saat Asha menggodanya terus-menerus. Tanpa peduli bahwa istri sahnya sedang terbaring pingsan di dalam kamar.Zayyan meremas rambutnya sendiri. Kesal bukan main pada dirinya sendiri karena melakukan hal bodoh itu.Seharusnya, meski ia tak menyukai Rana waktu itu, ia
Rana mengurung diri seharian penuh. Ambar dan Arga sudah berusaha untuk membujuknya membuka pintu, tapi Rana bergeming. Pintu kamar Rana tetap tertutup rapat hingga matahari tergelincir ke arah barat.“Ran, kamu belum makan dari pagi loh.” Ambar berusaha membujuk lagi.Tak ada jawaban dari dalam kamar.Arga juga berdiri di depan pintu kamar Rana, berusaha membujuk adik semata wayangnya itu.Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat Rana membuka pintu.Sampai akhirnya, Jagat pulang ke rumah dan menghampiri mereka. “Kenapa Rana?” tanyanya dengan kerutan di dahi.Arga dan Ambar saling pandang. “Sejak pulang dari kampus tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.” Ambar mengadu.Kernyitan di dahi Jagat tampak semakin dalam. “Coba minggir.”Arga dan Ambar menurut dan segera menyingkir, memberi ruang pada Jagat untuk mengetuk pintu kamar putrinya.“Rana? Ini Papa. Kamu bisa keluar sebenta
“Kamu bilang sama Rana kalau kamu hamil?” tanya Zayyan begitu ia dan Asha duduk di dalam mobil menuju rumah sakit tempat papa Asha dirawat.“Iya.” Asha menyahut pendek sambil mengetatkan rahang.“Buat apa?” balas Zayyan tajam, wajahnya merengut tak suka.“Biar dia tahu kalau sekarang kamu sudah punya aku, Mas.”Zayyan mencengkram kemudi amat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Untung Rana berbaik hati nggak menyebarkan gosip kalau dosennya hamil di luar nikah,” desisnya sinis.Asha tertegun mendengar nada bicara dan kalimat Zayyan. “Kenapa kamu jadi nyalahin aku?”“Ya jelas nyalahin kamu. Apa gunanya kamu ngasih tahu Rana soal itu? Mau bikin dia cemburu? Mau bikin dia makin sakit hati padahal aku sudah cukup bikin hati dia hancur? Atau kamu sengaja biar dia makin benci sama aku?” Zayyan meradang, suaranya naik satu oktaf.Asha mengernyit bingung. “Aku cuma mau dia tahu fakta itu supaya nggak ganggu kamu lagi.”
Jika biasanya ujian skripsi hanya memakan waktu satu jam, hari ini Rana baru keluar dari ruang ujian skripsi satu setengah jam kemudian.“Gimana, gimana?” tanya Tiya heboh yang mengerti soal hubungan Asha dan Rana.“Aman.” Rana menjawab dengan senyum masam.“Kamu dibantai, ya?” Tiya bertanya hati-hati.“Udah ah, yang penting lulus,” kata Rana sambil menggamit lengan Tiya dan mengajaknya pergi.Benar, Rana memang lulus. Tapi jika umumnya mahasiswa lain lulus dengan nilai A atau B, Asha memberi Rana nilai B-. Ini menyakitkan bagi Rana mengingat ia berusaha keras untuk skripsi ini. Bahkan ketika ia masih menjadi istri Zayyan, Rana tak pernah menyepelekan skripsinya.Tapi hanya karena masalah pribadi, Asha tega memberi Rana nilai kecil.Tiya dan Rana berjalan bersisian menuju lift. Namun langkah mereka terhenti ketika pintu lift terbuka, lalu Zayyan keluar dari sana.Rana dan Zayyan bertatapan, mereka memb
Zayyan menghentikan langkahnya begitu melihat Rana menahan wajah Gavin. Ia juga bisa melihat Rana mengucapkan kata maaf. Bagi Zayyan, itu sudah cukup untuk menerbitkan sebuah senyum di bibirnya. Zayyan segera berbalik. Dadanya yang terasa panas dan sesak perlahan-lahan menjadi lega. Kenyataan bahwa Rana menolak Gavin membuat Zayyan senang bukan kepalang. Tanpa menunggu kelanjutan dari adegan Rana dan Gavin, Zayyan segera pergi dari sana sebelum mereka memergokinya. Sementara di dekat mobil Gavin, Rana kembali meminta maaf. “Maaf, Vin.” Gavin tersenyum, mengangkat kepala Rana yang tertunduk. “Aku yang minta maaf. Aku terlalu terburu-buru, ya?” Rana menarik nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar. Ia belum pernah berciuman sebelumnya dan juga, ia tak tahu apakah hatinya sudah siap menerima cinta baru. “Aku janji aku bakal pelan-pelan, Ran.” Gavin
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Rana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha dan