Sudah satu jam berlalu, Zayyan masih mengendarai mobilnya mengitari jalanan ibukota. Ponselnya berdering entah sudah yang keberapa kali.
Telepon dari Asha, kemudian dari papanya.
Tapi tak ada satu pun yang diangkat olehnya. Zayyan tidak memblokir nomor mereka, tapi ia juga tak menjawab pesan dan telepon mereka.
Hati Zayyan hancur, pikirannya berkecamuk. Ia tak punya tempat untuk mendamaikan semua kekacauan di kepala dan hatinya.
“Rana.” Nama itu meluncur begitu saja dari bibir Zayyan.
Ia ingin bertemu Rana. Ia ingin mendekap gadis itu. Berharap bisa menenangkan hatinya yang gundah.
Tapi sejak tadi, yang ia lakukan hanya terus berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota
Zayyan menceritakan semua yang ia alami pada Ambar dan Jagat. Soal amnesianya, soal ingatannya yang kembali tapi sudah terlambat, soal penipuan yang dilakukan Asha padanya, semuanya.“Saya tidak sedang membela diri, Om, Tante, tapi saya ingin Om dan Tante melihat dari perspektif saya. Saya punya alasan kenapa saya bersikap dingin pada Rana selama menikah, saya tahu itu salah. Saya juga salah karena tergoda dengan Asha. Karena itu, saya ingin minta maaf.”Ambar menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan. Ia tampak bersimpati pada Zayyan.“Maafkan kami juga karena tidak pernah memberitahumu soal amnesia itu.” Ambar menggenggam tangan Jagat. “Karena dokter bilang jangan memaksa kamu untuk mengingat, tapi lebih membuat memori baru yang serupa dengan memori lama.”“Karena itu Rana dan saya dijodohkan?” tanya Zayyan.“Kami tahu betapa dekatnya kalian dulu.” Ambar menghela nafas sekali lagi. “Tapi sepertinya kami salah. Pernikahan itu justru membawa luka untuk kalian berdua. Maafkan kami,
“Kamu nggak ngundang aku?” tanya Zayyan pada Arga saat mereka bertemu di kafe di depan rumah sakit tempat Arga bekerja.Lebih tepatnya, Zayyan sengaja mengunjungi kafe itu karena ia tahu Arga kadang makan siang di sana. Beruntung, ia berhasil bertemu dengan Arga.“Buat apa?” sahut Arga ketus. Ia bahkan tak menoleh pada Zayyan yang tanpa permisi langsung duduk di hadapannya.“Kita masih teman kan, Ga?”“Kata siapa? Saat kamu mengkhianati Rana, saat itulah pertemanan kita putus.”Zayyan menghela nafas pelan. Rupanya tak hanya Jagat yang sulit dihadapi, Arga juga.“Ga, kamu tahu kalau aku punya alasan kenapa aku bersikap dingin da
Zayyan sedih, kecewa, marah saat mengetahui ternyata Rana tidak pulang bahkan di hari pernikahan Arga. Dan yang lebih membuatnya kecewa adalah karena keluarga Rana masih menolak untuk memberitahunya soal keberadaan Rana.“Wisuda,” gumam Zayyan tiba-tiba. Ia sedang duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya, menyelami perasaan dan pikirannya sendiri.“Benar. Aku mungkin bisa bertemu dengannya saat dia wisuda.” Sebuah senyum tipis terbit di bibir Zayyan, begitu juga dengan harapan baru.“Rana tidak akan pulang minimal sampai tahun depan.”Kalimat Ambar kembali terngiang di telinga Zayyan. Pria itu menggeleng keras kepala.“Nggak mungkin dia nggak datang wisuda. Wisuda it
Zayyan membuat tracer study palsu dan menyebarkannya ke angkatan Rana. Tidak ada yang curiga sama sekali karena hal tersebut memang lumrah terjadi.Hanya saja, seharusnya tracer study baru disebarkan setelah beberapa bulan sampai setahun mahasiswa angkatan tertentu lulus dari kampus.Tapi siapa peduli? Mereka hanya diminta mengisi survey. Dan jika survey itu datang dari seorang dosen, mahasiswa pasti akan patuh mengisi meski mereka sudah menjadi alumni.Akhir pekan, satu minggu setelah Zayyan menyebarkan survey tracer study, ia duduk di kafe tempat ia bertemu
“Selamat datang!” Rana menyambut Gavin yang hari ini tiba di Rotterdam.Gavin tersenyum lebar kemudian berhambur memeluk Rana. “Ah, akhirnya ketemu kamu lagi, Ran.”Rana membalas pelukan itu tak kalah erat, tersenyum lebar. “Tiya gimana?” tanyanya setelah melepas pelukan.“Dia pengen ikut, tapi jelas nggak bisa kan dia belum selesai skripsinya. Kayaknya dia ikut wisuda bulan Juni deh.”Rana mengangguk-angguk. “Kasihan juga dia dapet dosen pembimbing yang super sibuk.”“Hei, kalian, jangan pacaran melulu. Ayo sini!” Suara seorang wanita tiba-tiba menginterupsi mereka.Wajah keduanya memerah saat mendengar ditud
“Rana, tunggu!” Zayyan berlari mengejar Rana yang berjalan cepat meninggalkan rumah Ara.Rana pura-pura tak mendengar suara Zayyan dan terus berjalan.Tak mau menyerah, Zayyan terus berlari hingga ia berjalan di samping Rana. Sungguh, ia ingin menggenggam tangannya. Tapi ia tahu mungkin Rana tidak akan suka. Jadi sementara ini ia hanya akan berjalan di sampingnya saja.“Kamu tinggal di mana?” tanya Zayyan sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Rana.Satu detik, dua detik, tiga detik setelah pertanyaan Zayyan mengudara, barulah Rana menghela nafas.“Nggak jauh dari sini,” jawab Rana tanpa menoleh.“Ini sudah malem, aku antar sampai ke
“Ini buat kamu,” ucap Zayyan sambil menyodorkan buket bunga mawar merah.Rana tertegun. Tapi ia reflek menerima buket itu. “Makasih. Padahal nggak perlu repot-repot kayak gini.”“Nggak apa-apa. Aku yang mau, Ran.” Zayyan tersenyum melihat Rana mengendus buket bunga yang ia berikan. “Kamu udah siap?”“Eh, siap apa?”“Kita kan mau sarapan bareng. Kamu lupa?”“Jadi … itu betulan?”Zayyan mengangguk mantap. “Ayo. Aku tadi lihat ada kafe yang sudah buka.”“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.”
Kalimat Zayyan terus terngiang di benak Rana. Seluruh pengakuan Zayyan, penipuan Asha yang membuat Zayyan terpuruk, hingga harapan Zayyan yang ingin Rana kembali, terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Ia bahkan tak bisa konsentrasi belajar sama sekali. Wajah Zayyan yang marah ketika menceritakan soal Asha, sedih ketika mengingat perpisahan mereka, dan bahkan penuh harap ketika Zayyan mengatakan ingin Rana kembali, terus memenuhi kepala Rana.“Nggak bisa gini,” gumam Rana sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. “Dia di sini seminggu dan aku nggak tahu harus ngadepin dia gimana.”Ya, Zayyan sudah mengatakan pada Rana bahwa ia sengaja menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya untuk bertemu Rana. Hanya untuk menjelaskan semua kesalahpahaman dan mengatakan niatnya untuk mengejar Rana.
Gavin berjalan menyusuri pusat perbelanjaan dengan pikiran masih dipenuhi kemarahan. Insiden di taman beberapa hari lalu membuatnya semakin terobsesi dengan Rana. Ia tidak bisa terima kenyataan bahwa perempuan yang dulu hampir ia miliki sekarang hidup bahagia bersama pria lain—dan bahkan sedang mengandung anaknya.Tanpa sadar, langkah kaki Gavin membawanya ke sebuah kafe. Saat ia hendak memesan kopi, seseorang yang tak asing baginya berdiri di antrean yang sama."Asha?" panggilnya dengan ragu.Wanita berambut panjang dengan gaun elegan itu menoleh. Mata cokelatnya membesar saat melihat siapa yang baru saja menyebut namanya."Gavin?" Asha mengerutkan kening. "Kamu ngapain di sini?"Gavin menyeringai. "Aku tinggal di Jakarta sekarang. Jadi... ya, menikmati hidup. Sambil cari pekerjaan yang cocok."Asha menatap pria itu dengan penuh selidik. "Aku dengar kamu baru keluar dari penjara."Gavin tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di baliknya. "Berita menyebar cepat, ya?"Asha menyilangkan t
Keesokan harinya, Zayyan tidak menunda lebih lama lagi. Setelah insiden semalam, ia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di apartemen itu lebih lama. Keamanan apartemen pun tidak cukup untuk melindungi Rana dan bayi mereka dari Gavin yang jelas semakin nekat.“Kita pindah ke rumah orang tuaku,” kata Zayyan tegas saat mereka bersiap untuk berkemas.Rana menatap suaminya dengan ragu. “Tapi rumah itu kan sudah lama kosong, Mas. Apa nggak terlalu berisiko?”“Aku sudah menghubungi orang untuk membersihkannya sejak tadi pagi. Kita bisa langsung pindah besok.” Zayyan meraih tangan Rana dan menggenggamnya erat. “Di sana lebih aman, Sayang. Lingkungannya lebih tenang, lebih privat, dan nggak ada orang asing yang bisa masuk begitu saja.”Rana menggigit bibirnya. Jujur, ia memang masih merasa trauma. Gavin semakin gila, dan ia tak ingin terus hidup dalam ketakutan. “Baiklah… Kita pindah.”Maka pagi itu, setelah sarapan bersama, Rana dan Zayyan mulai membereskan barang-barang mereka untuk pindaha
Keesokan paginya, Rana dan Zayyan duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Mata mereka sembab karena kurang tidur. Petugas keamanan apartemen datang setelah Zayyan melapor, tapi seperti dugaan, Gavin sudah kabur sebelum bisa tertangkap. Tidak ada CCTV yang mengarah langsung ke balkon mereka, jadi tidak ada bukti konkret yang bisa diberikan ke polisi.“Aku nggak akan biarkan dia terus-terusan mengancammu.” Zayyan mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku akan urus ini. Kita harus keluar dari apartemen ini.”Rana menatap suaminya, hatinya berdebar. “Kita pindah?”Zayyan mengangguk. “Aku nggak bisa tidur dengan tenang kalau tahu bajingan itu ada di dekat kita.”Rana menghela napas panjang, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Aku juga nggak mau terus-terusan merasa takut.”Namun, sebelum mereka sempat membahas lebih lanjut, suara ketukan keras di pintu mengejutkan mereka. Zayyan segera bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia mengintip melalui lubang pintu dan wajahnya la
Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha
Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T
Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena
Sesampainya di rumah sakit, Rana dan Zayyan langsung disambut dengan senyuman lelah tapi bahagia dari Anya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menggendong bayi kecilnya yang tertidur pulas. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya, tampak siap siaga meskipun wajahnya terlihat kurang tidur."Selamat ya, Kak!" Rana langsung menghampiri kakak dan kakak iparnya, menatap keponakannya dengan tatapan penuh kagum. "Ya ampun, dia kecil banget... tapi gemesin!"Zayyan ikut mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih dekat. "Wah, calon atlet nih, lihat tuh tangannya, kuat banget!"Arga tertawa sambil mengusap kepala putranya. "Iya, pas lahir langsung menggenggam jari aku erat banget. Mungkin dia bakal jadi petinju."Mereka semua tertawa. Rana kemudian duduk di tepi ranjang, mendekati Anya. "Gimana rasanya jadi ibu, Kak?"Anya mendesah lelah, tapi senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Luar biasa, capek banget, tapi saat lihat bayi kecil ini, rasanya semua terbayar."Ambar juga
Setelah memastikan bahwa Anya mendapatkan perawatan yang baik di rumah sakit, Rana dan Zayyan akhirnya berpamitan kepada keluarga. Mereka masih lelah setelah perjalanan panjang dari Lombok, dan tubuh mereka menuntut istirahat.Dalam perjalanan pulang, Rana menyandarkan kepalanya di bahu Zayyan. “Hari yang panjang, ya, Mas?” gumamnya lelah.Zayyan tersenyum kecil, mengusap punggungnya dengan lembut. “Banget. Tapi senang juga, sih. Nggak nyangka kita pulang-pulang langsung ada kejadian besar kayak gini.”Begitu sampai di apartemen, mereka langsung berganti pakaian dan bersiap tidur. Rana mengenakan piyama tipis, sementara Zayyan hanya mengenakan celana tidur tanpa kaus. Mereka merebahkan diri di ranjang dengan tubuh yang terasa remuk, tapi hati mereka terasa penuh.Rana menatap langit-langit sambil menghela napas lega. “Kira-kira kita kapan ya, kayak Kak Anya?”Zayyan yang tadinya hampir terlelap langsung membuka mata dan menoleh ke Rana. “Maksudnya?”Rana memutar tubuhnya, berbaring mi
Malam harinya, Zayyan sengaja mengajak Rana untuk makan malam di luar agar suasana hati Rana membaik setelah kejadian saat snorkeling tadi.Sepasang pengantin baru itu berjalan beriringan menuju restoran tepi pantai yang dipesan Zayyan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut dan suara deburan ombak yang menenangkan. Rana menggenggam tangan Zayyan erat, merasa lebih tenang setelah kejadian tadi siang.Namun, ketenangan itu langsung buyar ketika mereka baru saja memasuki restoran.Di sudut ruangan, duduk seorang pria yang tak asing lagi—Gavin.Mata Rana dan Gavin bertemu sejenak. Senyum licik tersungging di wajah pria itu, seolah kejadian siang tadi tidak pernah terjadi.Zayyan langsung menggenggam tangan Rana lebih erat. “Kita pergi dari sini,” bisiknya, sudah bersiap untuk membatalkan reservasi.Rana menelan ludah, menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekhawatiran. Ia tahu Zayyan hanya ingin melindunginya, tapi kali ini… ia tidak ingin lari.“Tidak.” Rana menarik napas