“Ini buat kamu,” ucap Zayyan sambil menyodorkan buket bunga mawar merah.
Rana tertegun. Tapi ia reflek menerima buket itu. “Makasih. Padahal nggak perlu repot-repot kayak gini.”
“Nggak apa-apa. Aku yang mau, Ran.” Zayyan tersenyum melihat Rana mengendus buket bunga yang ia berikan. “Kamu udah siap?”
“Eh, siap apa?”
“Kita kan mau sarapan bareng. Kamu lupa?”
“Jadi … itu betulan?”
Zayyan mengangguk mantap. “Ayo. Aku tadi lihat ada kafe yang sudah buka.”
“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.”
Kalimat Zayyan terus terngiang di benak Rana. Seluruh pengakuan Zayyan, penipuan Asha yang membuat Zayyan terpuruk, hingga harapan Zayyan yang ingin Rana kembali, terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Ia bahkan tak bisa konsentrasi belajar sama sekali. Wajah Zayyan yang marah ketika menceritakan soal Asha, sedih ketika mengingat perpisahan mereka, dan bahkan penuh harap ketika Zayyan mengatakan ingin Rana kembali, terus memenuhi kepala Rana.“Nggak bisa gini,” gumam Rana sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. “Dia di sini seminggu dan aku nggak tahu harus ngadepin dia gimana.”Ya, Zayyan sudah mengatakan pada Rana bahwa ia sengaja menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya untuk bertemu Rana. Hanya untuk menjelaskan semua kesalahpahaman dan mengatakan niatnya untuk mengejar Rana.
“Bukan urusanmu.” Gavin menyahut ketus.Zayyan tampak semakin mengetatkan rahangnya. “Baru pindah ke Rotterdam sehari kamu sudah nggak sopan, Gavin?”Sebelah alis Gavin terangkat, menantang. “Kalau di kampus aku menghormatimu sebagai dosen, tapi sekarang kita sama-sama warga sipil. Jadi kedudukan kita setara.”Rana tak menyangka bahwa Gavin akan menanggapi Zayyan seperti itu. Karena Zayyan jelas tak suka dengan cara Gavin bicara padanya.Zayyan terlihat maju selangkah, berdiri menjulang di hadapan Gavin. Tatapannya berubah tajam dan dingin.“Kedudukan kita memang setara, tapi bukan berarti kamu boleh menanggalkan sopan santunmu pada orang yang lebih tua.”
Sekuat apapun Rana berusaha melupakannya, kalimat Zayyan terus terngiang-ngiang di benaknya.“Aku nggak akan pernah menyentuh perempuan lain selain kamu, itu pun kalau kamu izinkan.”Wajah Rana memerah seketika.“Kamu kenapa, Ran?” tanya Gavin saat melihat Rana memeluk tubuhnya sendiri. “Kedinginan?”“Eh, enggak.” Rana buru-buru menggeleng, tapi ia mendekap tubuhnya semakin erat.Gavin tersenyum dan mengambil tangan Rana, menggenggamnya erat. “Tanganku hangat kan?”Rana menatap tangan Gavin yang menyelimuti tangannya, kemudian mengangguk. “Iya, hangat.”Tapi jauh di lubuk hati Rana, ia penasaran bagaimana rasanya jika Zayyan yang menggenggam tangannya. Sejak Zayyan mengalami amnesia setahun lalu, mereka tak pernah melakukan kontak fisik romantis apalagi intim.Gavin menarik tangan Rana, membuat lamunan Rana buyar seketika.“Kita mau ke mana?” tanya Rana bingung.“Ayo kita lihat pake teropong it
Sebelum bibir mereka bersentuhan, tubuh Rana tiba-tiba ditarik ke belakang oleh seseorang. Membuat Rana memekik kaget saat punggungnya membentur dada bidang seseorang.Ia mendongak, mendapati Zayyan sudah menatap Gavin tajam dan mencengkram bahu Rana erat.“Lepaskan dia,” desis Gavin kesal.“Kalau aku nggak mau?” tantang Zayyan. Kali ini tangan Zayyan yang di pundak Rana berpindah ke pinggang, memeluknya erat.Nafas Rana tertahan seketika. Ia bisa merasakan kupu-kupu yang semakin banyak menggelitik perutnya. Membuat wajahnya merona dan ia kesulitan berkata-kata.“Lepaskan!” Gavin tampak semakin tak sabar.“Kamu pacarnya?” Zayyan masih memasang tampang tak acuh, tapi tatapannya jelas menyiratkan kecemburuan. “Bukan kan? Jadi kamu nggak berhak menyuruhku melepaskan tanganku darinya.”“Tapi kamu juga bukan siapa-siapa Rana.”Rahang Zayyan mengetat. Ia benci mengetahui fakta bahwa Rana bukan miliknya. Dan hal itu justru membuat Zayyan semakin mengeratkan
Rana sedang memasak untuk sarapan ketika pintu apartemennya diketuk dari luar.“Siapa sih pagi-pagi banget?” gumamnya sambil mematikan kompor dan memindahkan omelet telur dari wajan ke piring.Rana segera berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia membelalak melihat Zayyan sudah berdiri di depan pintu dengan setangkai bunga mawar merah di tangan.Pria itu tersenyum lebar. “Bunga mawar ketiga untuk Rana,” katanya manis.Rana memicingkan matanya sebal. “Kamu beneran mau ngasih aku seribu bunga mawar selama seribu hari, Mas?”“Aku sudah bilang kan, Ran? Aku akan melakukan apapun untuk mendapat kepercayaanmu kembali.” Zayyan menyodorkan bunga mawar itu pada Rana.Awalnya Rana ragu, tapi akhirnya ia mengambil bunga itu dari Zayyan. “Makasih.”“Kamu mau sarapan di luar?” tanya Zayyan lagi.“Enggak. Aku udah bikin sarapan.”Zayyan mengangguk. “Sudah kuduga. Ya udah, kalau gitu ini buat kamu.” Ia kembali m
Ini hari terakhir Zayyan di Rotterdam. Setelah sarapan di apartemen Rana itu, Zayyan tidak pernah bertemu dengan Rana lagi.Rana tidak pernah membukakan pintu untuk Zayyan. Tapi Zayyan masih selalu memberikan bunga untuk Rana.Seperti pagi ini, ketika Rana hendak berangkat ke kampus untuk belajar di perpustakaan, ia nyaris menginjak setangkai bunga mawar yang diletakkan Zayyan di depan pintu apartemennya.Rana menunduk, mengambil bunga mawar itu. Ternyata ada sebuah kartu ucapan di dalamnya.“6 dari 1000 mawar untuk Rana.” Begitu isi kartu ucapannya.Helaan nafas pelan lolos dari bibir Rana. Ia galau, haruskah ia membuang bunga ini atau menyimpannya?Karena sekarang apartemen Rana sudah memiliki beberapa tangkai bunga mawar. Jika Zayyan mengiriminya bunga mawar setiap hari, bukan tidak mungkin apartemen Rana berubah menjadi toko bunga.Tepat ketika Rana galau harus diapakan bunga mawar itu, unit apartemen di samping miliknya tiba-tiba terbuka. Seorang wan
Satu bulan kemudian.Rana keluar dari apartemennya, mengambil bunga mawar ke-36 dari Zayyan yang tergeletak di depan pintu lalu meletakkannya di atas meja. Baru kemudian ia keluar pintu dan bergegas berangkat ke kampus.Ya, Zayyan masih mengirimkan bunga mawar setiap hari pada Rana. Entah bagaimana caranya, tapi setiap pagi Rana selalu mendapati setangkai bunga mawar sudah tergeletak di depan pintu apartemennya.Ia penasaran bagaimana Zayyan bisa tetap mengirimnya bunga. Apa ia sengaja memesan bunga pada toko bunga terdekat dan meminta mereka mengirimnya ke alamat Rana setiap hari?Jika iya, berapa uang yang Zayyan habiskan untuk itu?Atau mungkin saja Zayyan meminta bantuan Ara?Tapi jika iya, kasihan Ara yang harus meluangkan waktu setiap hari untuk membeli bunga dan mengantarnya ke apartemen Rana.Saat awal-awal Zayyan meninggalkan Rotterdam, pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di kepala Rana. Berkali-kali Rana tergoda untuk mengirim pesan pada Za
Rana jadi tak tega untuk tidak memaafkan Gavin. Lagi pula, pria itu kelihatannya memang sangat menyesal.Maka hari ini, sebagai permintaan maaf, Gavin mengajak Rana untuk bersepeda melewati jembatan Erasmus.“Kita lihat sunset terus makan malam di kafe deket pelabuhan, mau nggak?” tanya Gavin sumringah sambil terus mengayuh sepedanya.“Oke, boleh.” Rana mengangguk setuju, mengayuh sepedanya sejajar dengan Gavin.Mereka menikmati pemandangan Rotterdam di senja hari sambil terus mengayuh sepeda. Saat mereka melewati jembatan Erasmus, matahari sudah berada di kaki langit.“Wah, indah banget.” Rana menghentikan sepedanya, menatap pemandangan mengagumkan itu.Gavin juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia tidak menatap pemandangan matahari terbenam itu. Melainkan mengunci tatapannya pada wajah Rana yang berbinar keemasan diterpa oleh cahaya senja.“Iya, cantik banget,” gumam Gavin tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali dari Rana.Rana bisa merasakan tat
Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha
Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T
Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena
Sesampainya di rumah sakit, Rana dan Zayyan langsung disambut dengan senyuman lelah tapi bahagia dari Anya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menggendong bayi kecilnya yang tertidur pulas. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya, tampak siap siaga meskipun wajahnya terlihat kurang tidur."Selamat ya, Kak!" Rana langsung menghampiri kakak dan kakak iparnya, menatap keponakannya dengan tatapan penuh kagum. "Ya ampun, dia kecil banget... tapi gemesin!"Zayyan ikut mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih dekat. "Wah, calon atlet nih, lihat tuh tangannya, kuat banget!"Arga tertawa sambil mengusap kepala putranya. "Iya, pas lahir langsung menggenggam jari aku erat banget. Mungkin dia bakal jadi petinju."Mereka semua tertawa. Rana kemudian duduk di tepi ranjang, mendekati Anya. "Gimana rasanya jadi ibu, Kak?"Anya mendesah lelah, tapi senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Luar biasa, capek banget, tapi saat lihat bayi kecil ini, rasanya semua terbayar."Ambar juga
Setelah memastikan bahwa Anya mendapatkan perawatan yang baik di rumah sakit, Rana dan Zayyan akhirnya berpamitan kepada keluarga. Mereka masih lelah setelah perjalanan panjang dari Lombok, dan tubuh mereka menuntut istirahat.Dalam perjalanan pulang, Rana menyandarkan kepalanya di bahu Zayyan. “Hari yang panjang, ya, Mas?” gumamnya lelah.Zayyan tersenyum kecil, mengusap punggungnya dengan lembut. “Banget. Tapi senang juga, sih. Nggak nyangka kita pulang-pulang langsung ada kejadian besar kayak gini.”Begitu sampai di apartemen, mereka langsung berganti pakaian dan bersiap tidur. Rana mengenakan piyama tipis, sementara Zayyan hanya mengenakan celana tidur tanpa kaus. Mereka merebahkan diri di ranjang dengan tubuh yang terasa remuk, tapi hati mereka terasa penuh.Rana menatap langit-langit sambil menghela napas lega. “Kira-kira kita kapan ya, kayak Kak Anya?”Zayyan yang tadinya hampir terlelap langsung membuka mata dan menoleh ke Rana. “Maksudnya?”Rana memutar tubuhnya, berbaring mi
Malam harinya, Zayyan sengaja mengajak Rana untuk makan malam di luar agar suasana hati Rana membaik setelah kejadian saat snorkeling tadi.Sepasang pengantin baru itu berjalan beriringan menuju restoran tepi pantai yang dipesan Zayyan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut dan suara deburan ombak yang menenangkan. Rana menggenggam tangan Zayyan erat, merasa lebih tenang setelah kejadian tadi siang.Namun, ketenangan itu langsung buyar ketika mereka baru saja memasuki restoran.Di sudut ruangan, duduk seorang pria yang tak asing lagi—Gavin.Mata Rana dan Gavin bertemu sejenak. Senyum licik tersungging di wajah pria itu, seolah kejadian siang tadi tidak pernah terjadi.Zayyan langsung menggenggam tangan Rana lebih erat. “Kita pergi dari sini,” bisiknya, sudah bersiap untuk membatalkan reservasi.Rana menelan ludah, menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekhawatiran. Ia tahu Zayyan hanya ingin melindunginya, tapi kali ini… ia tidak ingin lari.“Tidak.” Rana menarik napas
Rana dan Zayyan berjalan berdampingan di sepanjang jalan kecil yang dipenuhi toko-toko suvenir khas Lombok. Mereka tertawa saat Zayyan mencoba memakai ikat kepala khas suku Sasak, sementara Rana sibuk memilih kain tenun dengan warna-warna cerah untuk ibunya.“Aku rasa Mama bakal suka yang ini,” kata Rana, mengangkat selembar kain berwarna biru laut dengan motif tradisional yang elegan.Zayyan mengangguk setuju. “Kalau buat Papa, kita belikan kopi Lombok juga gimana? Dia suka kopi, kan?”“Banget.” Rana tersenyum, lalu meraih sebungkus kopi dari rak. “Beliin istri Kak Arga juga boleh nggak? Perhiasan mutiara khas Lombok ini pasti bagus banget buat oleh-oleh.”Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda sambil memilih oleh-oleh, menikmati suasana santai di pulau itu. Setelah selesai, mereka berjalan menuju pantai dengan tangan penuh tas belanjaan.“Ini bulan madu terbaik.” Rana menoleh ke Zayyan dengan mata berbinar. “Aku nggak nyangka kita bisa sebahagia ini setelah semua yang terjadi.”Z
Matahari sudah tinggi ketika Rana terbangun dengan kepala masih bersandar di dada bidang Zayyan. Udara pagi yang sejuk dari laut menyapu kulitnya, tetapi yang lebih membuatnya tersadar adalah suara nyaring dari ponselnya yang bergetar di meja samping tempat tidur.Dengan malas, Rana mengulurkan tangan dan meraih ponsel tanpa membuka mata. Begitu melihat layar, matanya langsung membelalak. Mama Calling…“Oh, tidak!” Rana setengah berguling, setengah panik. Ia melirik tubuhnya yang masih sepenuhnya telanjang, hanya tertutup selimut yang melilit tubuhnya dan Zayyan. Dengan cepat, ia menarik selimut lebih erat lalu menekan tombol “Accept” untuk menjawab panggilan video.Wajah mamanya langsung muncul di layar, disusul suara ceria kakaknya, Arga. “Halo, pengantin baru! Gimana bulan madunya?”Rana tersentak, lalu buru-buru merapatkan selimut ke dadanya. “M-Mama, Kak Arga…!”Arga langsung tertawa terbahak. “Hahaha! Kenapa panik gitu, Dek? Aduh, mukamu merah banget. Jangan-jangan—”Sebelum Arg
Rana masih terpaku menatap pemandangan laut biru kehijauan yang terhampar luas di hadapannya. Pasir putih halus menyentuh telapak kakinya, sementara angin sepoi-sepoi mengibarkan rambutnya yang masih sedikit basah karena perjalanan tadi.“Kamu suka?” suara Zayyan membuyarkan lamunannya.Rana menoleh, mendapati suaminya berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh harap. “Suka? Aku bahkan masih sulit percaya kalau kita bulan madu di tempat seindah ini.”Zayyan terkekeh lalu menggenggam tangannya. “Dan yang lebih mengejutkan lagi…” Ia menarik Rana menuju sebuah vila bergaya tropis dengan sentuhan kayu yang elegan. “Resor ini… punyaku.”Rana membelalakkan mata. “Maksudmu?”Zayyan tersenyum kecil. “Ini warisan dari orang tuaku. Mereka membeli tanah di Gili Meno bertahun-tahun lalu dan membangun tempat ini. Aku jarang ke sini karena sibuk, tapi sekarang… aku ingin membaginya denganmu. Kita akan sering ke sini dan menikmati keindahan alam bersama,” ucapnya sambil mencium pelipis Rana.Rana m