Rana sedang memasak untuk sarapan ketika pintu apartemennya diketuk dari luar.
“Siapa sih pagi-pagi banget?” gumamnya sambil mematikan kompor dan memindahkan omelet telur dari wajan ke piring.Rana segera berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia membelalak melihat Zayyan sudah berdiri di depan pintu dengan setangkai bunga mawar merah di tangan.Pria itu tersenyum lebar. “Bunga mawar ketiga untuk Rana,” katanya manis.Rana memicingkan matanya sebal. “Kamu beneran mau ngasih aku seribu bunga mawar selama seribu hari, Mas?”“Aku sudah bilang kan, Ran? Aku akan melakukan apapun untuk mendapat kepercayaanmu kembali.” Zayyan menyodorkan bunga mawar itu pada Rana.Awalnya Rana ragu, tapi akhirnya ia mengambil bunga itu dari Zayyan. “Makasih.”“Kamu mau sarapan di luar?” tanya Zayyan lagi.“Enggak. Aku udah bikin sarapan.”Zayyan mengangguk. “Sudah kuduga. Ya udah, kalau gitu ini buat kamu.” Ia kembali mIni hari terakhir Zayyan di Rotterdam. Setelah sarapan di apartemen Rana itu, Zayyan tidak pernah bertemu dengan Rana lagi.Rana tidak pernah membukakan pintu untuk Zayyan. Tapi Zayyan masih selalu memberikan bunga untuk Rana.Seperti pagi ini, ketika Rana hendak berangkat ke kampus untuk belajar di perpustakaan, ia nyaris menginjak setangkai bunga mawar yang diletakkan Zayyan di depan pintu apartemennya.Rana menunduk, mengambil bunga mawar itu. Ternyata ada sebuah kartu ucapan di dalamnya.“6 dari 1000 mawar untuk Rana.” Begitu isi kartu ucapannya.Helaan nafas pelan lolos dari bibir Rana. Ia galau, haruskah ia membuang bunga ini atau menyimpannya?Karena sekarang apartemen Rana sudah memiliki beberapa tangkai bunga mawar. Jika Zayyan mengiriminya bunga mawar setiap hari, bukan tidak mungkin apartemen Rana berubah menjadi toko bunga.Tepat ketika Rana galau harus diapakan bunga mawar itu, unit apartemen di samping miliknya tiba-tiba terbuka. Seorang wan
Satu bulan kemudian.Rana keluar dari apartemennya, mengambil bunga mawar ke-36 dari Zayyan yang tergeletak di depan pintu lalu meletakkannya di atas meja. Baru kemudian ia keluar pintu dan bergegas berangkat ke kampus.Ya, Zayyan masih mengirimkan bunga mawar setiap hari pada Rana. Entah bagaimana caranya, tapi setiap pagi Rana selalu mendapati setangkai bunga mawar sudah tergeletak di depan pintu apartemennya.Ia penasaran bagaimana Zayyan bisa tetap mengirimnya bunga. Apa ia sengaja memesan bunga pada toko bunga terdekat dan meminta mereka mengirimnya ke alamat Rana setiap hari?Jika iya, berapa uang yang Zayyan habiskan untuk itu?Atau mungkin saja Zayyan meminta bantuan Ara?Tapi jika iya, kasihan Ara yang harus meluangkan waktu setiap hari untuk membeli bunga dan mengantarnya ke apartemen Rana.Saat awal-awal Zayyan meninggalkan Rotterdam, pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di kepala Rana. Berkali-kali Rana tergoda untuk mengirim pesan pada Za
Rana jadi tak tega untuk tidak memaafkan Gavin. Lagi pula, pria itu kelihatannya memang sangat menyesal.Maka hari ini, sebagai permintaan maaf, Gavin mengajak Rana untuk bersepeda melewati jembatan Erasmus.“Kita lihat sunset terus makan malam di kafe deket pelabuhan, mau nggak?” tanya Gavin sumringah sambil terus mengayuh sepedanya.“Oke, boleh.” Rana mengangguk setuju, mengayuh sepedanya sejajar dengan Gavin.Mereka menikmati pemandangan Rotterdam di senja hari sambil terus mengayuh sepeda. Saat mereka melewati jembatan Erasmus, matahari sudah berada di kaki langit.“Wah, indah banget.” Rana menghentikan sepedanya, menatap pemandangan mengagumkan itu.Gavin juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia tidak menatap pemandangan matahari terbenam itu. Melainkan mengunci tatapannya pada wajah Rana yang berbinar keemasan diterpa oleh cahaya senja.“Iya, cantik banget,” gumam Gavin tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali dari Rana.Rana bisa merasakan tat
Rana kira, kencan di hari ulang tahunnya ini akan sangat spesial. Tapi rupanya Gavin hanya membawanya jalan-jalan di taman sambil mengobrol.Jujur saja, Rana merasa sedikit kecewa. Tapi ia tak mau menunjukkannya karena Gavin terlihat menikmati kencan ini.“Kamu suka bunga apa, Ran?” tanya Gavin saat mereka berjalan-jalan sambil bergandengan tangan.Gavin memasukkan tautan tangan mereka ke saku jaketnya, membuat tubuh mereka jadi saling menempel.“Hm, mawar kayaknya.” Rana tak bisa memikirkan bunga lain. Karena selama dua bulan terakhir ia hanya dikirimi mawar merah oleh Zayyan.Dan selama dua bulan ini, Zayyan sama sekali tidak pernah absen mengiriminya bunga. Meski sampai sekarang Rana belum tahu baga
“Terima, terima, terima!” Seluruh orang di ruangan itu berseru-seru heboh.“Terima, Ran! Coba lihat usahanya nih, masa nggak diterima?” Faisal mengompori.“Jangan nyari bule, Ran. Cintai produk lokal.” Ini Vivi yang berseru.Wajah Rana semakin memerah tak karuan mendengar sorakan teman-temannya. Namun sudut mata Rana menangkap Ara tiba-tiba pergi ke belakang sambil terburu-buru.Tapi seru-seruan orang-orang di sekitarnya kembali menarik perhatiannya.“Ran?” panggil Gavin lembut. “Kamu butuh waktu?”“Nggak usah banyak mikir lah, Ran, udah dikasih waktu sebulan juga.” Faisal benar-benar menjadi tim sukses Gavin sekarang.Rana berdehem pelan, menatap Gavin dan kalung di dalam kotak yang ia pegang bergantian.Seketika, acara kencan mereka yang hampir mereka lakukan tiap minggu dalam sebulan terakhir berkelebat cepat di benak Rana.Gavin sudah menunjukkan bagaimana ia akan bersikap jika menjadi seorang kekasih nantinya. Dan Rana sama sekali tidak masal
Setelah makan malam, semua orang akhirnya membereskan bekas acara kejutan ulang tahun di ruang tamu rumah Ara itu.“Maaf ya, Zay. Aku nggak tahu kalau ternyata Gavin bakal nembak Rana hari ini,” ucap Ara pada Zayyan. “Dan yang lebih nggak disangka, ternyata Rana nerima. Aku pikir Rana punya perasaan sama kamu.”Zayyan tersenyum pahit, kemudian menggeleng. “Nggak usah minta maaf, Ra. Aku nggak apa-apa kok.”“Tapi kamu udah buang uang banyak buat ke sini.” Ara benar-benar tak enak hati. Ia dan Zayyan merencanakan kejutan ini, tapi malah dirinya dan Zayyan yang terkejut.“Nggak masalah. Aku ke sini juga ada urusan.” Zayyan meneguk air mineral, ekor matanya terus melirik ke arah Rana yang sedang melipat tikar.“Oh ya? Urusan apa?
“Kamu jadian sama dia?” Suara seorang wanita terdengar di ujung telepon.Gavin tertawa senang, menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Iya dong. Hebat kan?”“Apanya yang hebat? Masa berbulan-bulan baru bisa jadian. Mana yang katanya jago gombal?” Suara wanita itu terdengar mengejek.Gavin mendengus kasar. “Beda kasus nih yang ini. Susah ternyata deketin cewek yang pernah trauma berumah tangga. Aku hampir mau nyerah aja, tapi aku inget hadiah dari Kakak kalau aku berhasil macarin dia. Kamu nggak lupa kan, Kak?”“Enggak kok.” Wanita di seberang telepon tertawa. “Tapi Kakak transfer awal bulan aja, ya? Kakak kan habis cuti. Baru aktif kerja lagi bulan lalu.”“Santai aja, Kak. Pokoknya kamu nggak lupa.”“Oh ya, Zayyan masih di sana?” Wanita itu bertanya lagi.“Masih. Tapi kayaknya ini hari terakhir. Besok dia balik ke Indonesia.” Gavin bicara sambil menatap langit-langit apartemennya.“Dia tahu kan kalau kalian jadian?”“Tahu kok. Malah dia dateng pas Rana
“Ke mana kita hari ini?” tanya Rana ketika Gavin menggenggam tangannya dan mereka berjalan beriringan melewati jembatan kecil di depan kampus.Gavin memasukkan tangan mereka yang bertaut ke dalam saku jaketnya, kemudian berjalan menyusuri trotoar bersama. “Ke jembatan Erasmus, lihat sunset terus kita makan malam di kafe dekat sana. Setelah itu baru aku anter pulang sekalian kita ngerjain tugas yang tadi, gimana?”“Oh, oke boleh. Aku juga tadi yang nggak aku ngerti mau aku tanyain ke kamu.”“Oke.”Mereka berjalan bersisian sambil terus mengobrol, membicarakan hal-hal remeh. Sepanjang perjalanan, Gavin terus menatap Rana saat Rana bicara.“Kenapa dilihatin terus sih?” tanya Rana dengan pipi memerah.“Kamu cantik kalau lagi ngomong,” ucap Gavin tanpa canggung.Kalimat itu jelas membuat pipi Rana semakin memerah. “Apanya sih yang cantik? Sama aja.”“Cantik, beneran.” Gavin mengulurkan tangannya yang bebas, menyingkirkan rambut Rana ke belakang telinga. “Mata kamu tuh berbinar-binar kalau
Beberapa hari setelah berita dirilis dan menjadi viral, suasana di kampus UGN berbeda dari biasanya. Puluhan mahasiswa berkumpul di depan gedung rektorat, membawa spanduk dan poster bertuliskan:"TOLAK DOSEN PREDATOR!" "KEADILAN UNTUK KORBAN PELECEHAN!" "REKTOR HARUS BERTINDAK!"Rana berdiri di antara kerumunan, merasakan getaran semangat dari para mahasiswa yang meneriakkan tuntutan mereka. Ia tak menyangka bahwa keberaniannya berbicara akan memicu gelombang sebesar ini. Kini, Bagus tak bisa lagi bersembunyi di balik kekuasaannya.Di barisan depan, Laras berdiri tegap, memegang mikrofon. "Kami di sini bukan hanya untuk satu orang korban, tapi untuk semua perempuan yang pernah dibungkam oleh sistem yang korup! Hari ini, kami menuntut keadilan!"Kerumunan mahasiswa bersorak. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa bimbingan Bagus sendiri, yang kini merasa jijik mengetahui sisi lain dari dosen yang selama ini mereka hormati."Copot Bagus dari jabatannya!" "Pecat pelaku pelecehan dari k
Beberapa minggu setelah laporan dibuat, Rana duduk di ruangan Biro Etik dan Disiplin Akademik, menunggu hasil investigasi. Zayyan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.Dr. Budi akhirnya masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca."Kami telah melakukan investigasi atas laporan Anda," katanya dengan nada hati-hati. "Namun, setelah mempertimbangkan berbagai faktor, tidak cukup bukti untuk menjatuhkan sanksi kepada Bagus."Rana terbelalak. "Apa?!""Banyak saksi yang enggan berbicara atau memberikan kesaksian yang tidak cukup kuat. Selain itu, Bagus memiliki rekam jejak panjang sebagai kaprodi yang berprestasi, dan beberapa pejabat kampus memberikan rekomendasi positif tentang dirinya."Rana merasakan amarah dan kekecewaan membakar dadanya. "Jadi, karena dia punya koneksi dan kekuasaan, kalian membiarkan dia lolos begitu saja?"Dr. Budi tampak canggung. "Kami bukan membiarkan, Rana. Tapi dalam prosedur hukum dan administrasi, kami tidak bisa mengambil tindakan tanpa bukti yang cuku
Kampus semakin ramai membicarakan Rana dan Zayyan. Tidak hanya gosip soal kehamilan yang tidak benar, tetapi juga masa lalu mereka yang ternyata pernah menikah dan bercerai pun tersebar."Pantas saja mereka buru-buru bertunangan lagi. Ternyata mereka ini mantan suami istri!" "Dan katanya dulu cerainya karena Zayyan selingkuh sama Asha? Wah, gimana bisa Rana mau balikan?" "Makanya, Rana pasti putus asa banget sampai mau nerima laki-laki kayak Zayyan lagi."“Aku nggak nyangka Zayyan ternyata sebejat itu.”Rana merasa tercekik setiap kali berjalan di lorong fakultas. Bisikan-bisikan itu tak pernah berhenti.Dan siang itu, puncaknya datang. Ia mendapat panggilan dari Kaprodi.Rana mengetuk pintu ruangan Bagus, lalu masuk ketika mendengar suaranya."Silakan duduk, Rana."Rana duduk dengan postur tegap. Ia menatap kaprodinya dengan waspada. Ia tahu siapa Bagus sebenarnya—seorang pria dengan niat buruk yang nyaris melecehkannya di Bali.Bagus menautkan jari-jarinya di atas meja, menatap Ra
Setelah acara pertunangan Zayyan dan Rana yang romantis, kabar itu dengan cepat menyebar di kampus. Banyak rekan dosen yang memberikan ucapan selamat, baik secara langsung maupun melalui grup WhatsApp fakultas.“Selamat ya, Rana! Akhirnya resmi bertunangan.” “Wah, pasangan awardee LPDP dan Erasmus, pasti keren banget nanti kalau menikah.” “Semoga lancar sampai hari pernikahan!”Rana tersenyum dan mengucapkan terima kasih setiap kali ada yang memberikan ucapan. Namun, di sela-sela kehangatan itu, ia juga menyadari beberapa rekan dosen yang terlihat sinis atau sekadar melirik tanpa bicara.Rana tidak terlalu memikirkan itu—setidaknya sampai siang harinya, saat ia mendengar sesuatu yang mengejutkan.Siang itu, Rana berjalan ke kantin dosen untuk mengambil kopi. Saat ia melewati salah satu meja, ia mendengar bisikan-bisikan dari beberapa dosen yang sedang berbincang."Aku dengar mereka bertunangan buru-buru karena Rana sudah hamil." "Serius? Makanya mereka tiba-tiba tunangan, padahal s
“Mas Zayyan ngelamar aku,” ucap Rana di tengah makan malam.Setelah lamaran romantis itu, Rana dan Zayyan sepakat bahwa langkah selanjutnya adalah berbicara dengan orang tua Rana. Mereka ingin restu, terutama dari Jagat, yang dikenal paling sulit memberi restu sejak Zayyan berniat kembali bersama Rana.Semua orang di meja makan itu terdiam seketika. Ambar tampak tersenyum senang, Arga dan Anya saling pandang lalu menatap Rana dan Zayyan bergantian. Sementara Jagat terlihat mengetatkan rahang.Rana menangkap ekspresi papanya dan ia mengerti bahwa yang paling sulit adalah meyakinkan Jagat.“Selamat ya, Nak,” ucap Ambar dengan senyum tulus.“Makasih, Ma.” Rana juga tersenyum, tapi terlihat kikuk karena Jagat belum juga mengubah ekspresinya.“Kamu sudah nerima?” tanya Arga hati-hati. Ia melirik Zayyan sekilas, sebelum kembali menatap adiknya.Rana mengacungkan tangannya, menunjukkan sebuah cincin berlian yang melingkari jari manisnya. “Sudah. Karena itu aku ngajak Mas Zayyan makan malam s
Setelah kejadian pelecehan itu, Rana merasa terguncang. Meski Zayyan sudah datang tepat waktu untuk menghentikan Bagus, bayangan kejadian itu masih menghantuinya. Sejak mereka kembali ke Jakarta, Rana menjadi lebih pendiam. Ia tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.Zayyan menyadari itu. Ia tahu Rana adalah perempuan yang kuat, tapi kali ini, ia ingin memastikan Rana tidak perlu menghadapi segalanya sendirian.Malam itu, mereka duduk di balkon apartemen Zayyan seperti biasa. Angin malam berembus lembut, tapi keheningan di antara mereka terasa berat.“Rana...” Zayyan membuka percakapan, suaranya lembut tapi serius.Rana menoleh, menatapnya dengan mata lelah. “Ya?”Zayyan menggenggam tangannya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. “Aku tahu kamu bilang kamu baik-baik saja, tapi aku bisa lihat kalau kamu masih kepikiran soal Pak Bagus.”Rana menghela napas panjang. “Aku berusaha untuk nggak memikirkannya, Mas. Tapi jujur... aku
“Akhirnya kamu ikut, Ran?” Bagus menyapa Rana saat sesi pertama workshop yang dilaksanakan Fakultas Bisnis dan Ekonomi UGN baru saja selesai.“Iya, Pak.” Rana tersenyum pada Bagus. “Nggak enak masa anak baru kayak saya udah nggak ikut workshop aja.”Bagus mengangguk-angguk dan mendekati Rana ketika para dosen beranjak keluar ruangan untuk menikmati kopi dan camilan yang sudah disediakan. Rana masih berdiri di dekat mejanya di dalam hall tempat sesi pertama workshop berlangsung tadi.Bagus berdiri sangat dekat, membuat Rana merasa agak tidak nyaman. “Betul sekali, sebaiknya jangan mengabaikan acara fakultas. Dan saya juga ingin mengapresiasi, presentasi Anda tadi itu luar biasa. Anda benar-benar membuat fakultas kita bangga.”Rana tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Itu hasil kerja tim, kok.”Bagus tertawa kecil. “Jangan terlalu rendah hati. Saya yakin, kalau Anda terus seperti ini, Anda akan melangkah jauh di dunia akademik.”“Terima kasih, Pak,” jawab Rana singkat, mencoba mengakhir
Aula kecil di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGN dipenuhi oleh mahasiswa yang antusias. Seminar hari itu bertajuk "Mewujudkan Mimpi dengan Beasiswa: Tips Menjadi Awardee LPDP dan Erasmus Mundus". Di panel pembicara ada Rana sebagai awardee Erasmus Mundus, duduk berdampingan dengan Zayyan yang pernah menjadi awardee LPDP.Ya, Rana akhirnya menerima undangan itu. Ia senang berbagi pengalamannya menjadi penerima beasiswa Erasmus Mundus, salah satu beasiswa paling bergengsi bagi calon mahasiswa magister khususnya di perguruan tinggi yang ada di Eropa.Rana terlihat anggun dengan blazer biru, menatap audiens dengan senyum percaya diri. Di sebelahnya, Zayyan menyambut mahasiswa dengan gaya santai namun berwibawa.“Semua orang punya mimpi besar.” Zayyan membuka seminar dengan suara lantang. “Dan beasiswa seperti LPDP dan Erasmus adalah salah satu jembatan untuk mewujudkan mimpi itu. Hari ini, saya dan Bu Rana akan berbagi pengalaman kami agar kalian juga bisa meraihnya.”Giliran pertama adalah
“Asha?” Rana mengernyit. “Jadi ini gara-gara laporan Bu Asha?”“Jangan bicara seolah-olah Asha memfitnah kamu, Rana.” Lia menegur dengan nada tajam.Rana menarik nafas dalam. Ia tak boleh gegabah menjawab karena sebagai orang baru di lingkungan kerja ini, pasti orang-orang akan lebih mendukung Asha daripada dirinya.“Baik. Karena Bu Lia sudah mendengar cerita itu dari sudut pandang Bu Asha, sekarang biar saya menceritakan dari sudut pandang saya.”Lia menatap Rana skeptis, tapi ia mengangguk dan mempersilakan. “Coba ceritakan versi kamu.”Rana menarik nafas dalam dan mulai menceritakan kejadian siang itu. “Waktu itu memang Bu Asha meminta bergabung ke meja saya. Saya memang meninggalkan beliau sendiri dan memilih untuk makan di kantor saja. Tapi apa Bu Lia tahu apa alasan saya melakukan itu?”Lia mengernyit dan menggeleng. “Memangnya kenapa?”“Pertama, pasti Bu Lia pernah dengan soal perceraian Pak Zayyan dengan seorang mahasiswi di sini. Mahasiswi itu adalah saya.”Lia terkesiap mend