“Selamat datang!” Rana menyambut Gavin yang hari ini tiba di Rotterdam.
Gavin tersenyum lebar kemudian berhambur memeluk Rana. “Ah, akhirnya ketemu kamu lagi, Ran.”
Rana membalas pelukan itu tak kalah erat, tersenyum lebar. “Tiya gimana?” tanyanya setelah melepas pelukan.
“Dia pengen ikut, tapi jelas nggak bisa kan dia belum selesai skripsinya. Kayaknya dia ikut wisuda bulan Juni deh.”
Rana mengangguk-angguk. “Kasihan juga dia dapet dosen pembimbing yang super sibuk.”
“Hei, kalian, jangan pacaran melulu. Ayo sini!” Suara seorang wanita tiba-tiba menginterupsi mereka.
Wajah keduanya memerah saat mendengar ditud
“Rana, tunggu!” Zayyan berlari mengejar Rana yang berjalan cepat meninggalkan rumah Ara.Rana pura-pura tak mendengar suara Zayyan dan terus berjalan.Tak mau menyerah, Zayyan terus berlari hingga ia berjalan di samping Rana. Sungguh, ia ingin menggenggam tangannya. Tapi ia tahu mungkin Rana tidak akan suka. Jadi sementara ini ia hanya akan berjalan di sampingnya saja.“Kamu tinggal di mana?” tanya Zayyan sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Rana.Satu detik, dua detik, tiga detik setelah pertanyaan Zayyan mengudara, barulah Rana menghela nafas.“Nggak jauh dari sini,” jawab Rana tanpa menoleh.“Ini sudah malem, aku antar sampai ke
“Ini buat kamu,” ucap Zayyan sambil menyodorkan buket bunga mawar merah.Rana tertegun. Tapi ia reflek menerima buket itu. “Makasih. Padahal nggak perlu repot-repot kayak gini.”“Nggak apa-apa. Aku yang mau, Ran.” Zayyan tersenyum melihat Rana mengendus buket bunga yang ia berikan. “Kamu udah siap?”“Eh, siap apa?”“Kita kan mau sarapan bareng. Kamu lupa?”“Jadi … itu betulan?”Zayyan mengangguk mantap. “Ayo. Aku tadi lihat ada kafe yang sudah buka.”“Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu.”
Kalimat Zayyan terus terngiang di benak Rana. Seluruh pengakuan Zayyan, penipuan Asha yang membuat Zayyan terpuruk, hingga harapan Zayyan yang ingin Rana kembali, terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Ia bahkan tak bisa konsentrasi belajar sama sekali. Wajah Zayyan yang marah ketika menceritakan soal Asha, sedih ketika mengingat perpisahan mereka, dan bahkan penuh harap ketika Zayyan mengatakan ingin Rana kembali, terus memenuhi kepala Rana.“Nggak bisa gini,” gumam Rana sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. “Dia di sini seminggu dan aku nggak tahu harus ngadepin dia gimana.”Ya, Zayyan sudah mengatakan pada Rana bahwa ia sengaja menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya untuk bertemu Rana. Hanya untuk menjelaskan semua kesalahpahaman dan mengatakan niatnya untuk mengejar Rana.
“Bukan urusanmu.” Gavin menyahut ketus.Zayyan tampak semakin mengetatkan rahangnya. “Baru pindah ke Rotterdam sehari kamu sudah nggak sopan, Gavin?”Sebelah alis Gavin terangkat, menantang. “Kalau di kampus aku menghormatimu sebagai dosen, tapi sekarang kita sama-sama warga sipil. Jadi kedudukan kita setara.”Rana tak menyangka bahwa Gavin akan menanggapi Zayyan seperti itu. Karena Zayyan jelas tak suka dengan cara Gavin bicara padanya.Zayyan terlihat maju selangkah, berdiri menjulang di hadapan Gavin. Tatapannya berubah tajam dan dingin.“Kedudukan kita memang setara, tapi bukan berarti kamu boleh menanggalkan sopan santunmu pada orang yang lebih tua.”
Sekuat apapun Rana berusaha melupakannya, kalimat Zayyan terus terngiang-ngiang di benaknya.“Aku nggak akan pernah menyentuh perempuan lain selain kamu, itu pun kalau kamu izinkan.”Wajah Rana memerah seketika.“Kamu kenapa, Ran?” tanya Gavin saat melihat Rana memeluk tubuhnya sendiri. “Kedinginan?”“Eh, enggak.” Rana buru-buru menggeleng, tapi ia mendekap tubuhnya semakin erat.Gavin tersenyum dan mengambil tangan Rana, menggenggamnya erat. “Tanganku hangat kan?”Rana menatap tangan Gavin yang menyelimuti tangannya, kemudian mengangguk. “Iya, hangat.”Tapi jauh di lubuk hati Rana, ia penasaran bagaimana rasanya jika Zayyan yang menggenggam tangannya. Sejak Zayyan mengalami amnesia setahun lalu, mereka tak pernah melakukan kontak fisik romantis apalagi intim.Gavin menarik tangan Rana, membuat lamunan Rana buyar seketika.“Kita mau ke mana?” tanya Rana bingung.“Ayo kita lihat pake teropong it
Sebelum bibir mereka bersentuhan, tubuh Rana tiba-tiba ditarik ke belakang oleh seseorang. Membuat Rana memekik kaget saat punggungnya membentur dada bidang seseorang.Ia mendongak, mendapati Zayyan sudah menatap Gavin tajam dan mencengkram bahu Rana erat.“Lepaskan dia,” desis Gavin kesal.“Kalau aku nggak mau?” tantang Zayyan. Kali ini tangan Zayyan yang di pundak Rana berpindah ke pinggang, memeluknya erat.Nafas Rana tertahan seketika. Ia bisa merasakan kupu-kupu yang semakin banyak menggelitik perutnya. Membuat wajahnya merona dan ia kesulitan berkata-kata.“Lepaskan!” Gavin tampak semakin tak sabar.“Kamu pacarnya?” Zayyan masih memasang tampang tak acuh, tapi tatapannya jelas menyiratkan kecemburuan. “Bukan kan? Jadi kamu nggak berhak menyuruhku melepaskan tanganku darinya.”“Tapi kamu juga bukan siapa-siapa Rana.”Rahang Zayyan mengetat. Ia benci mengetahui fakta bahwa Rana bukan miliknya. Dan hal itu justru membuat Zayyan semakin mengeratkan
Rana sedang memasak untuk sarapan ketika pintu apartemennya diketuk dari luar.“Siapa sih pagi-pagi banget?” gumamnya sambil mematikan kompor dan memindahkan omelet telur dari wajan ke piring.Rana segera berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia membelalak melihat Zayyan sudah berdiri di depan pintu dengan setangkai bunga mawar merah di tangan.Pria itu tersenyum lebar. “Bunga mawar ketiga untuk Rana,” katanya manis.Rana memicingkan matanya sebal. “Kamu beneran mau ngasih aku seribu bunga mawar selama seribu hari, Mas?”“Aku sudah bilang kan, Ran? Aku akan melakukan apapun untuk mendapat kepercayaanmu kembali.” Zayyan menyodorkan bunga mawar itu pada Rana.Awalnya Rana ragu, tapi akhirnya ia mengambil bunga itu dari Zayyan. “Makasih.”“Kamu mau sarapan di luar?” tanya Zayyan lagi.“Enggak. Aku udah bikin sarapan.”Zayyan mengangguk. “Sudah kuduga. Ya udah, kalau gitu ini buat kamu.” Ia kembali m
Ini hari terakhir Zayyan di Rotterdam. Setelah sarapan di apartemen Rana itu, Zayyan tidak pernah bertemu dengan Rana lagi.Rana tidak pernah membukakan pintu untuk Zayyan. Tapi Zayyan masih selalu memberikan bunga untuk Rana.Seperti pagi ini, ketika Rana hendak berangkat ke kampus untuk belajar di perpustakaan, ia nyaris menginjak setangkai bunga mawar yang diletakkan Zayyan di depan pintu apartemennya.Rana menunduk, mengambil bunga mawar itu. Ternyata ada sebuah kartu ucapan di dalamnya.“6 dari 1000 mawar untuk Rana.” Begitu isi kartu ucapannya.Helaan nafas pelan lolos dari bibir Rana. Ia galau, haruskah ia membuang bunga ini atau menyimpannya?Karena sekarang apartemen Rana sudah memiliki beberapa tangkai bunga mawar. Jika Zayyan mengiriminya bunga mawar setiap hari, bukan tidak mungkin apartemen Rana berubah menjadi toko bunga.Tepat ketika Rana galau harus diapakan bunga mawar itu, unit apartemen di samping miliknya tiba-tiba terbuka. Seorang wan
“Maaf karena nggak dengerin peringatan kamu.” Rana berkata pelan. “Dan makasih karena sudah berusaha menyelamatkan aku kamu jauh banget di sana.”Zayyan menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Dadanya terasa ngilu saat melihat wajah Rana yang pucat dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Gadis itu pasti tidak bisa tidur.“Padahal kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku, Mas. Kita udah nggak punya hubungan apa-apa.” Rana tertunduk, tak berani menatap Zayyan.“Aku nggak peduli meski kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak akan membiarkan kamu mengalami kesulitan, Ran.” Zayyan berkata lembut.Di tempat Rana masih siang, semenara di Jakarta sudah mulai gelap.“Aku bener-bener makasih, Mas.” Rana akhirnya mendongak, menatap Zayyan dengan mata berkaca-kaca. “Kalau bukan karena kamu, pasti sekarang aku sudah … aku pasti sud–”“Sshh … Ran, sudah. Jangan diingat.” Zayyan menegur dengan nada lembut, menatap Rana prihatin. “Sekarang kamu aman, oke? Kamu aman. Kamu di rumah Ara, kan
“Ran, kamu nggak apa-apa?” Vivi, tetangga apartemen Rana datang keesokan harinya. “Aku udah denger dari Kak Ara, temen-temen PPI juga sudah pada tahu jadi sekarang mereka pasti bakal bantu jauhin kamu dari Gavin.”“Temen-temen PPI tahu?” Rana membulatkan matanya. Ia menghela nafas pelan, merasa malu.Vivi menangkap gestur itu dan menggengam tangan Rana lembut. “Ran, kamu korban. Harusnya yang merasa malu itu si Gavin brengsek itu, bukan kamu.”“Tapi tetep aja, Vi. Itu memalukan.” Rana tersenyum sendu.Vivi memeluk Rana erat. “Tenang aja, jangan malu, ya? Temen-temen PPI nggak akan meledek kamu. Mereka justru prihatin dan mau bantuin kamu menjauhi Gavin. Dia sudah keterlaluan, Ran. Masa mencekoki kamu dengan obat perangsang?”Rana membalaskan pelukan Vivi erat, ia selalu bergetar ketakutan saat teringat kejadian itu. Ia tak pernah menyangka Gavin akan melakukan hal seperti itu padanya.“Aku jijik sama diriku sendiri, Vi. Aku … dipegang-pegang begitu….” Rana tak berhasil menyelesaikan k
Gavin tak menjawab dan langsung menerkam Rana. Kali ini ia jadi semakin brutal.“Nggak usah sok suci kamu, Ran. Si Zayyan itu pasti sudah pernah mencicipi tubuhmu kan? Nah, apa bedanya kalau aku juga merasakannya? Sekarang aku pacarmu kan?”Rana mulai menitikkan air mata ketika tubuh Gavin kembali menindihnya hingga ia kesulitan bergerak. Cengkraman tangan Gavin di pergelangan tangan Rana mencengkram sangat kuat hingga membuatnya meringis menahan sakit.Rana sudah melakukan segala cara untuk bebas dari laki-laki ini, tapi tubuhnya yang semakin kehilangan kendali karena obat perangsang yang dimasukkan Gavin ke dalam cokelat itu membuat usaha Rana untuk lepas semakin berkurang.Saat Rana mulai merasa putus asa, sebuah ketukan di pintu terdengar. Namun Gavin tak memedulikannya.Ia terus menyerang Rana, menciumi gadis itu meski Rana terus meronta.Namun ketukan di pintu juga semakin kencang dan datang berkali-kali.“Gavin, buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam!” Suara seorang wanita t
“Kenapa, Ran?” tanya Gavin sambil memegangi kedua bahu Rana.Rana menggelengkan kepalanya, berusaha tetap sadar sepenuhnya. Namun kepalanya terasa berat dan tubuhnya terus memanas.“Aku harus pulang,” ucap rana sambil berdiri. Namun tubuhnya langsung oleng.Beruntung, Gavin sigap menangkapnya. “Mau ke mana, Ran?” Ia melingkarkan lengannya di pinggang Rana, mendekapnya erat.“Mau pulang, Vin. Kayaknya aku nggak enak badan. Biarin aku pulang.” Rana berusaha meronta di pelukan Gavin, tapi dekapan lengan Gavin sangat erat hingga membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Ini udah malem, Ran. Kamu kayaknya nggak akan bisa jalan pulang. Udah, istirahat di sini aja,” kata Gavin persuasif.Rana menggeleng. Di tengah-tengah usahanya untuk tetap sadar, ia kembali teringat kalimat Zayyan.“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran. Jangan berduaan dengannya terutama di apartemennya.”“Aku harus pulang, Vin.” Rana meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.Tapi sekali lagi, cengkraman Gavin di tubuh Rana begitu e
“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran.” Begitu kalimat pertama Zayyan ketika Rana bertanya soal apa maksud pesan Zayyan di kartu ucapan itu.“Memangnya Gavin bilang apa, Mas?” tanya Rana dengan wajah mengernyit.“Aku nggak tahu kamu akan percaya atau enggak kalau aku beri tahu kamu, tapi aku berharap kamu nggak pernah membiarkan Gavin berduaan denganmu di apartemennya sendiri atau di hotel, atau di apartemenmu. Pokoknya jangan berduaan sama Gavin.”Kernyitan di antara kedua alis Rana tampak semakin kentara. “Aku dan Gavin pacaran, Mas. Sudah sewajarnya kami sering menghabiskan waktu berdua. Kamu nggak bisa mengatur-atur hidup aku, Mas!”Terdengar helaan nafas Zayyan di ujung telepon. “Aku tahu kamu nggak akan percaya padaku.” Suaranya terdengar sendu. “Karena itu aku memilih buat berhenti mengirimkan bunga untukmu. Tapi kamu harus ingat, Ran, aku melakukannya karena aku nggak mau Gavin berbuat macam-macam denganmu.”Rana mulai kehilangan kesabaran. Ia mengetatkan rahangnya saking kesalnya
“Jangan berani-berani kamu melakukan itu, Gavin!” Zayyan juga menghardik murka. Bayangan Gavin menyentuh Rana dengan tidak senonoh membuat darah Zayyan mendidih.Gavin tertawa seperti iblis. “Atau apa?” tantangnya. “Kamu tidak bisa melakukan apapun, Zay. Kamu jauh di Indonesia sana, sementara aku di sini menjadi kekasih Rana. Cepat atau lambat, aku akan menidurinya.”“Jangan berani-berani kamu menyentuh Rana seujung kuku pun, Gavin!” Zayyan berteriak murka, darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.Tawa Gavin kembali terdengar. “Teruslah berteriak, Zay. Tidak akan ada yang mendengarmu.”“Aku serius, Gavin!”“Aku juga serius, Zayyan. Berhenti mengirim bunga untuk Rana, atau aku akan benar-benar meniduri Rana dan mengirimkan videonya padamu.”Tanpa menunggu respons dari Zayyan, Gavin segera menutup sambungan telepon dan kembali ke apartemen Rana.“Gimana?” sambut Rana begitu Gavin masuk.Senyum manis Gavin mengembang, hilang sudah aura mengancam yang tadi mengelilingi dirinya saat ia bicar
“Mas Zayyan.” Akhirnya nama itu keluar dari bibir Rana.“Zayyan?” Gavin mendesis marah.Rana menelan ludah, mengangguk patah-patah. “Dia sudah rutin mengirim bunga itu sejak sebelum kita pacaran, Vin. Ini bukan aku selingkuh dari kamu, tapi dia sudah terlanjur melakukannya sejak sebelum kita pacaran.”“Tapi kamu kan bisa menghentikannya, Ran? Kenapa nggak kamu hentikan, hah?!” Gavin terlihat mengetatkan rahang. Ia marah sekali.“Aku cuma belum nemu waktu yang tepat buat bilang sama dia.”“Waktu dia ke sini, kenapa kamu nggak bilang apa-apa? Kamu bisa mengatakan padanya buat berhenti mengirim bunga waktu itu. Waktunya juga tepat banget, kita baru jadian, jadi harusnya kamu bilang waktu itu sama dia. Kenapa kamu nggak bilang, Rana?!” Gavin memukul tembok di samping kepala Rana, membuat Rana berjengit kaget dan menatap Gavin ketakutan.Wajah Gavin memerah karena amarah, tatapannya menggelap dengan aura menyeramkan.Rana jadi menciut takut. “Waktu itu … aku nggak kepikiran itu karena aku
“Mas Zayyan!” Rana berseru marah, melotot pada Zayyan yang kini terengah.Rana melangkah ke hadapan Gavin, melindungi tubuh kekasihnya sebelum Zayyan melayangkan tinju lain.“Apa-apaan kamu, Mas?!” Rana menghardik galak.“Minggir, Ran.” Zayyan mendesis tajam, tatapannya terkunci pada Gavin yang mengusap pipi.“Enggak!” Rana bersikeras. “Apa maksud kamu mukul orang sembarangan begitu? Salah apa Gavin sama kamu, Mas?!”Tatapan Zayyan akhirnya beralih pada wajah Rana, dan sorot tajam itu langsung melunak. “Kamu tanya apa salah Gavin?”“Iya. Nggak ada orang yang berhak dipukul begitu, Mas!”Zayyan mengambil satu langkah mendekati Rana. Tatapannya turun ke bibir Rana yang tadi dicium oleh Gavin.Tangan Zayyan menyentuh pipi Rana lembut, jempolnya membelai bibir ranum itu. “Kesalahannya adalah karena dia menciummu, Ran,” lirihnya dengan suara serak.Rana bisa melihat sorot terluka dan amarah yang bercampur menjadi satu dalam manik mata Zayyan. Tapi ia tak mau peduli lagi dengan hal itu. Ia
“Ke mana kita hari ini?” tanya Rana ketika Gavin menggenggam tangannya dan mereka berjalan beriringan melewati jembatan kecil di depan kampus.Gavin memasukkan tangan mereka yang bertaut ke dalam saku jaketnya, kemudian berjalan menyusuri trotoar bersama. “Ke jembatan Erasmus, lihat sunset terus kita makan malam di kafe dekat sana. Setelah itu baru aku anter pulang sekalian kita ngerjain tugas yang tadi, gimana?”“Oh, oke boleh. Aku juga tadi yang nggak aku ngerti mau aku tanyain ke kamu.”“Oke.”Mereka berjalan bersisian sambil terus mengobrol, membicarakan hal-hal remeh. Sepanjang perjalanan, Gavin terus menatap Rana saat Rana bicara.“Kenapa dilihatin terus sih?” tanya Rana dengan pipi memerah.“Kamu cantik kalau lagi ngomong,” ucap Gavin tanpa canggung.Kalimat itu jelas membuat pipi Rana semakin memerah. “Apanya sih yang cantik? Sama aja.”“Cantik, beneran.” Gavin mengulurkan tangannya yang bebas, menyingkirkan rambut Rana ke belakang telinga. “Mata kamu tuh berbinar-binar kalau