Share

Bab 3. Sekutu Rana

“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.

Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan.

Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah.

Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha.

“Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis.

“Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.”

“Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan begitu aku punya alasan untuk bertemu kamu.” Asha tertawa manja di ujung kalimatnya.

Namun, Zayyan terlalu fokus pada kalimat awal Asha. “Laki-laki?” Ia mengernyit. “Yang nikah teman pria kamu?”

“Iya. Kenapa?”

“Kamu sepertinya punya banyak teman pria, ya?” tanya Zayyan sedikit ketus. 

Asha tertawa pelan saat ia bisa merasakan kecemburuan Zayyan. Tangannya terulur, mengusap paha Zayyan dengan gerakan menggoda.

“Jangan cemburu begitu, Mas. Tujuan utamaku itu hanya agar ada alasan untuk pergi dengan kamu kok. Atau… kamu juga ingin ikut aku ke kondangan? Biar kamu tidak khawatir kalau aku akan dekat-dekat pria lain?”

Sentuhan lembut dan suara manis Asha berhasil membuat Zayyan meleleh. Senyumnya telah kembali. “Jam berapa?”

“Jam dua siang. Kamu tidak ada acara kan?”

“Tidak. Hari Minggu mana ada acara?”

“Ya, siapa tahu, kan?”

Zayyan tersenyum dan menggenggam tangan Asha yang masih ada di pahanya. “Kalaupun ada acara , aku akan mengosongkannya demi kamu.”

Senyum di wajah Asha semakin mengembang lebar. Tangan mereka masih saling menggenggam hingga Zayyan mengemudikan mobilnya masuk ke parkiran basement sebuah mall.

“Apa yang mau kamu cari duluan?” tanya Zayyan saat membukakan pintu untuk Asha.

“Menurut kamu apa, Mas? Baju, jam tangan, sepatu, atau?”

Sepasang pria dan wanita itu berjalan masuk ke dalam mall sambil bergandengan tangan dan mengobrol.

“Dia punya hobi apa? Atau mungkin punya kesukaan?” tanya Zayyan.

“Setahuku dia suka minum kopi.”

Zayyan mengangguk-angguk, berpikir sejenak. “Kalau budget-mu cukup, kamu bisa membelikan dia mesin kopi.”

Mata Asha berbinar seketika. “Wah, benar juga!  Kamu memang selalu bisa diandalkan.” Asha meremas tangan Zayyan lembut, membuat Zayyan tersenyum senang.

Mereka berkeliling mall, mencari mesin kopi yang bagus dan sesuai dengan budget Asha. Hingga akhirnya mereka mendapat mesin kopi dengan harga dan kualitas yang sesuai dengan kriteria mereka.

Sikap Zayyan pada Asha dan Rana memang seperti langit dan bumi. Ia bisa bersikap manis dan hangat pada Asha, tapi dingin dan ketus pada Rana. 

***

Di sisi lain, Rana sibuk mengutak-atik ponselnya sambil menunggu Ambar membayar belanjaan di kasir. Hatinya terasa dicubit kecil saat melihat unggahan i*******m story Asha yang memperlihatkan kebersamaannya dengan Zayyan.

Asha membagikan momen bersama Zayyan mulai dari di dalam mobil saat mereka berpegangan tangan dan saat Zayyan dengan antusias dan senyum lebar menjelaskan pada Asha soal mesin kopi yang akan mereka beli.

Rana tersenyum miris dalam hati. Ia ingin Zayyan juga berekspresi seperti itu padanya. Bukan pada Asha.

“Kapan kamu bisa senyum selebar itu di depanku, Mas?” gumamnya sendu.

Jemari Rana terus bergulir di atas ponsel, melihat satu persatu unggahan Asha di media sosialnya. Sampai akhirnya ia mengernyit saat mendapati sebuah unggahan Asha saat mereka duduk berdua di sebuah restoran ramen.

Rana mengenal restoran itu.

Maka ia buru-buru menghampiri Ambar dan menarik tangannya dengan antusias. 

“Ma, ayo makan ramen. Aku tahu resto ramen yang enak di sekitar sini!” ucap Rana pada Ambar yang baru saja menyelesaikan transaksi.

Ambar menghela nafas pelan dan mengangguk. Ia pasrah karena tahu sifat Rana yang akan mengejar apa yang ia mau sampai dapat. 

 “Ya sudah, ayo.”

Rana lalu menggamit lengan mamanya dan berjalan bersisian menuju lift untuk naik ke lantai lima, tempat restoran ramen yang dimaksud Rana berada.

Begitu mereka memasuki restoran, Rana mengembangkan senyum setelah matanya menangkap sosok yang amat ia kenal.

Ya, Rana tahu kalau Zayyan dan Asha ada di sini melalui I*******m story Asha beberapa menit lalu.

Rana juga mengajak mamanya jalan-jalan ke mall karena tahu kalau Zayyan dan Asha sedang berada di mall. 

Boleh dibilang, Rana stalking akun i*******m Asha untuk mengetahui ke mana mereka pergi hari ini. Tindakan itu ia lakukan, karena tahu kebiasaan Asha yang suka pamer apa saja di akun media sosialnya.

Kedatangan Rana dan Ambar membuat Zayyan yang sedang mengobrol dengan Asha langsung menegakkan punggung.

“Loh, pantes Rana mengajak Mama ke sini. Ternyata, ada suaminya toh?” Ambar tersenyum ramah kepada Zayyan meski menantunya itu kini melempar senyum kikuk untuk menyambutnya. 

Namun, senyum Ambar langsung hilang saat melihat Asha. “Kenapa kamu makan berdua dengan perempuan lain, Zayyan?”

“Dia Asha, teman sesama dosen di kampus, Ma. Rana juga kenal.” kata Zayyan berusaha terdengar tenang.

Ia sengaja mengangkat fakta bahwa Rana mengenal Asha agar ia tak terkesan seperti sedang selingkuh di belakang Rana.

Asha lalu berdiri dan menyalami Ambar sopan sambil melirik Rana yang kini tersenyum jumawa. “Asha, Tante.”

Ambar memicingkan mata curiga. “Rana, kamu duduk di sebelah suamimu,” perintahnya kemudian.

Senyum penuh kemenangan Rana semakin melebar saat ia berjalan memutar dan duduk di sebelah Zayyan, sementara Ambar duduk di sebelah Asha. 

Wanita itu sendiri menggeser duduknya untuk menjauh, karena merasa canggung luar biasa.

“Rana tahu kalau kamu pergi dengan dia?” tanya Ambar pada Zayyan.

“Dia tahu, Ma.”

Bohong. 

Zayyan sama sekali tidak pernah memberi tahu Rana ke mana dia akan pergi. Apalagi saat pergi bersama Asha. 

Namun, Rana memilih untuk diam karena dia ingin melihat sejauh mana Zayyan berbohong.

“Lain kali kalau kamu ingin pergi dengan perempuan lain, maka jak juga istrimu. Kamu harus tahu caranya menjaga perasaan Rana sebagai istri kamu, Zayyan.” Ambar memberi petuah.

“Tadi saya ingin mengajak Rana, tapi dia sedang mengerjakan skripsi, Ma.” elak Zayyan.

“Ohya?” Ambar curiga. “Dia kosong kok, sekarang bahkan ia mengajak mama ke sini.”

“Kamu baru saja selesai mengerjakan skripsi,” Zayyan menoleh ke arah Rana. “Iya kan?”

Rana tersenyum manis, menatap Zayyan sambil berpangku tangan. “Aku hari ini santai, Kok,” tuturnya semanis madu.

Rahang Zayyan mengetat. Ia tak menyangka Rana akan merespons begitu. Seolah menyudutkannya dan membeberkan kebohongannya. 

“Yaudah, tidak apa-apa. Nanti kamu pulang dengan Rana, biar temanmu pulang duluan naik taksi.” kata Ambar sembari menatap Asha dengan tajam.

Zayyan ingin menolak, tapi akan menjadi pertanyaan besar jika ia bersikeras pulang dengan Asha. 

“Saya tidak enak kalau dia pulang sendiri, Ma. Biar saya antar Asha pulang bersama dengan Rana,” jelas Zayyan berusaha terdengar tidak terlalu ngotot.

“Tidak bisa.” Ambar menoleh pada Asha. “Sebagai perempuan, masa kamu nyaman pergi dengan suami orang?”

Asha terhenyak sekilas, kemudian tersenyum kikuk. “Tidak, Tante.”

“Nah, kalau begitu naik taksi saja, ya? Punya ongkosnya kan? Saya pikir gaji dosen tidak rendah banget sampai harus diantar jemput oleh suami orang”.

“T-tentu punya, Tante.”

Ambar menoleh lagi pada Zayyan. “Nah, beres kan?”

Zayyan mengangguk dan menghela nafas pasrah sebelum kemudian mengirim pesan kepada Rana untuk bertemu di toilet.

“Ma, saya ke toilet sebentar” pamit Zayyan tiba-tiba.

“Oh, iya iya.” Ambar mempersilakan. Ia mulai sibuk memilih menu.

“Ma, pesenin Rana ramen kari pedas, ya? Rana juga ingin ke toilet.”

Rana langsung kabur setelah mendapat anggukan singkat dari mamanya, menyusul Zayyan yang sudah menunggunya di lorong toilet satu menit lalu.

“Kamu pikir itu lucu?” desis Zayyan murka begitu Rana berdiri di hadapannya. 

Gigi-gigi Zayyan bergemeletuk saking kuatnya ia mengatupkan rahang, menahan gejolak amarahnya pada Rana. 

“Jangan ganggu hubunganku dengan Asha.”

Rana tertawa manis sebagai jawaban.

“Sayangnya, cinta itu tidak hanya buta, tapi juga tuli. Jadi, aku tidak dengar apa yang kamu bicarakan barusan,” ucapnya.

“Lagipula, aku tidak salah karena istrimu adalah aku. Bukan Asha,” sambung Rana lagi sebelum pergi ke dalam toilet.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status