“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.
Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan. Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah. Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha. “Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis. “Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.” “Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan begitu aku punya alasan untuk bertemu kamu.” Asha tertawa manja di ujung kalimatnya. Namun, Zayyan terlalu fokus pada kalimat awal Asha. “Laki-laki?” Ia mengernyit. “Yang nikah teman pria kamu?” “Iya. Kenapa?” “Kamu sepertinya punya banyak teman pria, ya?” tanya Zayyan sedikit ketus. Asha tertawa pelan saat ia bisa merasakan kecemburuan Zayyan. Tangannya terulur, mengusap paha Zayyan dengan gerakan menggoda. “Jangan cemburu begitu, Mas. Tujuan utamaku itu hanya agar ada alasan untuk pergi dengan kamu kok. Atau… kamu juga ingin ikut aku ke kondangan? Biar kamu tidak khawatir kalau aku akan dekat-dekat pria lain?” Sentuhan lembut dan suara manis Asha berhasil membuat Zayyan meleleh. Senyumnya telah kembali. “Jam berapa?” “Jam dua siang. Kamu tidak ada acara kan?” “Tidak. Hari Minggu mana ada acara?” “Ya, siapa tahu, kan?” Zayyan tersenyum dan menggenggam tangan Asha yang masih ada di pahanya. “Kalaupun ada acara , aku akan mengosongkannya demi kamu.” Senyum di wajah Asha semakin mengembang lebar. Tangan mereka masih saling menggenggam hingga Zayyan mengemudikan mobilnya masuk ke parkiran basement sebuah mall. “Apa yang mau kamu cari duluan?” tanya Zayyan saat membukakan pintu untuk Asha. “Menurut kamu apa, Mas? Baju, jam tangan, sepatu, atau?” Sepasang pria dan wanita itu berjalan masuk ke dalam mall sambil bergandengan tangan dan mengobrol. “Dia punya hobi apa? Atau mungkin punya kesukaan?” tanya Zayyan. “Setahuku dia suka minum kopi.” Zayyan mengangguk-angguk, berpikir sejenak. “Kalau budget-mu cukup, kamu bisa membelikan dia mesin kopi.” Mata Asha berbinar seketika. “Wah, benar juga! Kamu memang selalu bisa diandalkan.” Asha meremas tangan Zayyan lembut, membuat Zayyan tersenyum senang. Mereka berkeliling mall, mencari mesin kopi yang bagus dan sesuai dengan budget Asha. Hingga akhirnya mereka mendapat mesin kopi dengan harga dan kualitas yang sesuai dengan kriteria mereka. Sikap Zayyan pada Asha dan Rana memang seperti langit dan bumi. Ia bisa bersikap manis dan hangat pada Asha, tapi dingin dan ketus pada Rana. *** Di sisi lain, Rana sibuk mengutak-atik ponselnya sambil menunggu Ambar membayar belanjaan di kasir. Hatinya terasa dicubit kecil saat melihat unggahan i*******m story Asha yang memperlihatkan kebersamaannya dengan Zayyan. Asha membagikan momen bersama Zayyan mulai dari di dalam mobil saat mereka berpegangan tangan dan saat Zayyan dengan antusias dan senyum lebar menjelaskan pada Asha soal mesin kopi yang akan mereka beli. Rana tersenyum miris dalam hati. Ia ingin Zayyan juga berekspresi seperti itu padanya. Bukan pada Asha. “Kapan kamu bisa senyum selebar itu di depanku, Mas?” gumamnya sendu. Jemari Rana terus bergulir di atas ponsel, melihat satu persatu unggahan Asha di media sosialnya. Sampai akhirnya ia mengernyit saat mendapati sebuah unggahan Asha saat mereka duduk berdua di sebuah restoran ramen. Rana mengenal restoran itu. Maka ia buru-buru menghampiri Ambar dan menarik tangannya dengan antusias. “Ma, ayo makan ramen. Aku tahu resto ramen yang enak di sekitar sini!” ucap Rana pada Ambar yang baru saja menyelesaikan transaksi. Ambar menghela nafas pelan dan mengangguk. Ia pasrah karena tahu sifat Rana yang akan mengejar apa yang ia mau sampai dapat. “Ya sudah, ayo.” Rana lalu menggamit lengan mamanya dan berjalan bersisian menuju lift untuk naik ke lantai lima, tempat restoran ramen yang dimaksud Rana berada. Begitu mereka memasuki restoran, Rana mengembangkan senyum setelah matanya menangkap sosok yang amat ia kenal. Ya, Rana tahu kalau Zayyan dan Asha ada di sini melalui I*******m story Asha beberapa menit lalu. Rana juga mengajak mamanya jalan-jalan ke mall karena tahu kalau Zayyan dan Asha sedang berada di mall. Boleh dibilang, Rana stalking akun i*******m Asha untuk mengetahui ke mana mereka pergi hari ini. Tindakan itu ia lakukan, karena tahu kebiasaan Asha yang suka pamer apa saja di akun media sosialnya. Kedatangan Rana dan Ambar membuat Zayyan yang sedang mengobrol dengan Asha langsung menegakkan punggung. “Loh, pantes Rana mengajak Mama ke sini. Ternyata, ada suaminya toh?” Ambar tersenyum ramah kepada Zayyan meski menantunya itu kini melempar senyum kikuk untuk menyambutnya. Namun, senyum Ambar langsung hilang saat melihat Asha. “Kenapa kamu makan berdua dengan perempuan lain, Zayyan?” “Dia Asha, teman sesama dosen di kampus, Ma. Rana juga kenal.” kata Zayyan berusaha terdengar tenang. Ia sengaja mengangkat fakta bahwa Rana mengenal Asha agar ia tak terkesan seperti sedang selingkuh di belakang Rana. Asha lalu berdiri dan menyalami Ambar sopan sambil melirik Rana yang kini tersenyum jumawa. “Asha, Tante.” Ambar memicingkan mata curiga. “Rana, kamu duduk di sebelah suamimu,” perintahnya kemudian. Senyum penuh kemenangan Rana semakin melebar saat ia berjalan memutar dan duduk di sebelah Zayyan, sementara Ambar duduk di sebelah Asha. Wanita itu sendiri menggeser duduknya untuk menjauh, karena merasa canggung luar biasa. “Rana tahu kalau kamu pergi dengan dia?” tanya Ambar pada Zayyan. “Dia tahu, Ma.” Bohong. Zayyan sama sekali tidak pernah memberi tahu Rana ke mana dia akan pergi. Apalagi saat pergi bersama Asha. Namun, Rana memilih untuk diam karena dia ingin melihat sejauh mana Zayyan berbohong. “Lain kali kalau kamu ingin pergi dengan perempuan lain, maka jak juga istrimu. Kamu harus tahu caranya menjaga perasaan Rana sebagai istri kamu, Zayyan.” Ambar memberi petuah. “Tadi saya ingin mengajak Rana, tapi dia sedang mengerjakan skripsi, Ma.” elak Zayyan. “Ohya?” Ambar curiga. “Dia kosong kok, sekarang bahkan ia mengajak mama ke sini.” “Kamu baru saja selesai mengerjakan skripsi,” Zayyan menoleh ke arah Rana. “Iya kan?” Rana tersenyum manis, menatap Zayyan sambil berpangku tangan. “Aku hari ini santai, Kok,” tuturnya semanis madu. Rahang Zayyan mengetat. Ia tak menyangka Rana akan merespons begitu. Seolah menyudutkannya dan membeberkan kebohongannya. “Yaudah, tidak apa-apa. Nanti kamu pulang dengan Rana, biar temanmu pulang duluan naik taksi.” kata Ambar sembari menatap Asha dengan tajam. Zayyan ingin menolak, tapi akan menjadi pertanyaan besar jika ia bersikeras pulang dengan Asha. “Saya tidak enak kalau dia pulang sendiri, Ma. Biar saya antar Asha pulang bersama dengan Rana,” jelas Zayyan berusaha terdengar tidak terlalu ngotot. “Tidak bisa.” Ambar menoleh pada Asha. “Sebagai perempuan, masa kamu nyaman pergi dengan suami orang?” Asha terhenyak sekilas, kemudian tersenyum kikuk. “Tidak, Tante.” “Nah, kalau begitu naik taksi saja, ya? Punya ongkosnya kan? Saya pikir gaji dosen tidak rendah banget sampai harus diantar jemput oleh suami orang”. “T-tentu punya, Tante.” Ambar menoleh lagi pada Zayyan. “Nah, beres kan?” Zayyan mengangguk dan menghela nafas pasrah sebelum kemudian mengirim pesan kepada Rana untuk bertemu di toilet. “Ma, saya ke toilet sebentar” pamit Zayyan tiba-tiba. “Oh, iya iya.” Ambar mempersilakan. Ia mulai sibuk memilih menu. “Ma, pesenin Rana ramen kari pedas, ya? Rana juga ingin ke toilet.” Rana langsung kabur setelah mendapat anggukan singkat dari mamanya, menyusul Zayyan yang sudah menunggunya di lorong toilet satu menit lalu. “Kamu pikir itu lucu?” desis Zayyan murka begitu Rana berdiri di hadapannya. Gigi-gigi Zayyan bergemeletuk saking kuatnya ia mengatupkan rahang, menahan gejolak amarahnya pada Rana. “Jangan ganggu hubunganku dengan Asha.” Rana tertawa manis sebagai jawaban. “Sayangnya, cinta itu tidak hanya buta, tapi juga tuli. Jadi, aku tidak dengar apa yang kamu bicarakan barusan,” ucapnya. “Lagipula, aku tidak salah karena istrimu adalah aku. Bukan Asha,” sambung Rana lagi sebelum pergi ke dalam toilet.Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil. Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha. Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin. “Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah. Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.” Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya. “Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas. “Iya, pergi saja.” Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun
“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang.“Mas Zayyan?”“Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas.Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab.Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar.“Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah.Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulan
“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyeli
“Aku tidak sudi disentuh olehmu!" Perkataan Zayyan membuat Rana mencengkram handuk basah di tangannya dengan erat. Ia lalu menarik nafas dalam agar air mata yang mulai menggenang tidak tumpah ke pipi. Ternyata, perkataan Zayyan tetap sangat menyakitkan untuknya meski sudah sering ia dengar.“Aku juga sudah telepon Asha, dia akan datang untuk mengurusku”.Asha lagi.. Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit. Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun. Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi. Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah. Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menci
Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan.“Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar.Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.”“Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?”“Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya.Jagat mendesah pendek.