Share

Bab 4. Rana Pingsan

Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil.

Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha.

Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin.

“Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah.

Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.”

Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya.

“Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas.

“Iya, pergi saja.”

Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun lagi.

Akhirnya, Zayyan memutuskan untuk langsung pergi.

Begitu ia selesai memakai sepatu dan akan keluar apartemen, tiba-tiba ia mendengar suara kencang yang datang dari ruang tengah.

Saat ia kembali masuk, ia melihat Rana yang sudah tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir dari hidungnya.

Pemandangan itu membuat Zayyan membelalak dengan napas tercekat.

“Rana!” Zayyan berseru panik, tapi Rana bergeming. Tubuh kurus itu tetap tergolek lemas di atas lantai yang dingin.

Zayyan berjongkok di samping tubuh Rana, mencoba membangunkan Rana. "Rana, bangun! Kamu mimisan!" Ia panik luar biasa.

Namun Rana tetap menutup mata, darah mengalir semakin banyak.

Dengan tangan gemetar Zayyan menelepon Arga. “Ga, Rana pingsan!!”

“Pingsan?” sahut Arga, kakak sulung Rana yang kini menjadi dokter spesialis di rumah sakit.

“Dia pingsan dan mimisan. Aku tidak tahu kenapa.” Zayyan berusaha terdengar tak terlalu panik.

“Hah? Oke, aku ke sana sekarang.” Arga memutuskan dengan cepat. “Dua puluh menit lagi aku sampai. Pindahkan Rana ke kasur dan kasih bantal di kakinya agar posisi kaki lebih tinggi dari kepalanya”.

Zayyan mengangguk paham. “Aku tunggu!”

Telepon terputus.

Zayyan melihat jam tangannya dan menghitung kemungkinan ia bisa tetap pergi dengan Asha setelah Arga datang.

Ia menatap tubuh Rana yang masih tergeletak. Di lantai, darah dari hidung Rana sudah menggenang. Itu membuat Zayyan cukup panik.

Zayyan lalu menyelipkan tangannya ke bawah lutut dan punggung Rana untuk memindahkannya ke kamar gadis itu.

Zayyan kemudian membaringkan tubuh lemas Rana di atas kasur dan meletakkan dua buah bantal di bawah kaki Rana seperti perintah Arga.

Lantas ia duduk di kursi sebelah ranjang dan menghela nafas panjang.

Ini pertama kalinya bagi Zayyan untuk masuk ke kamar Rana.

Mau tak mau ia mengedarkan tatapannya ke seluruh ruangan untuk memperhatikan seisi kamar Rana yang dipenuhi oleh merchandise Doraemon.

“Seperti anak kecil saja,” gumamnya sinis.

***

Dua puluh menit kemudian, Arga benar-benar datang. Zayyan membukakan pintu dan mengarahkannya ke kamar Rana.

“Mau ke mana?” cegah Arga saat melihat Zayyan hendak keluar kamar Rana.

“Ada uru–”

“Duduk di sini dan temani istrimu. Jangan menjadi suami yang tidak bertanggung jawab!” perintah Arga sambil menunjuk ke arah kursi yang tadi diduduki Zayyan.

Zayyan kemudian berdiri mematung di ambang pintu selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali duduk di kursi.

“Semoga tidak terlambat,” gumamnya dalam hati.

Arga lalu memeriksa Rana dan menempelkan stetoskop yang selalu ia bawa ke mana-mana ke dada Rana. Ia juga memeriksa perut dan beberapa bagian tubuh Rana yang lain.

“Masih lama?” tanya Zayyan.

“Mau pergi ke mana sih? Istrimu ini lagi sakit, bahkan sampai pingsan dan mimisan. Bisa-bisanya masih berpikir untuk pergi.” Arga menyahut kesal.

Kali ini ia menatap Zayyan dengan kedua mata coklatnya yang tajam.

Bentakan Arga membuat Zayyan menghela nafas pendek. Kini ia semakin pasrah setelah menyadari kemungkinannya pergi dengan Asha semakin mengecil.

Sepuluh menit berlalu, Arga tampak menutup tubuh Rana dengan selimut.

“Dia pingsan karena kelelahan dan stres. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rana? Karena selama ini dia tidak pernah pingsan sama sekali.”

Zayyan tak menjawab.

“Kamu tidak tahu atau sengaja mengabaikan Rana, Zayyan?” Suara Arga naik satu oktaf, ia mulai mencium kejanggalan dalam rumah tangga adiknya.

“Aku tidak tahu, Ga. Tiba-tiba saja dia pingsan.”

“Tidak ada yang tiba-tiba, Zay. Dia ini jelas kelelahan. Apa kamu membiarkan dia mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri padahal dia sedang sibuk skripsi?” tuduh Arga tajam.

Zayyan menghembuskan nafas pendek, tapi ia tak menjawab. Ia tak mau mengakui bahwa tuduhan Arga benar adanya.

Ia selalu membiarkan Rana mengurus rumah sendiri, sementara ia sibuk berkencan dengan Asha.

“Aku selalu memantau keadaan Rana. Jangan sampai melukai dia seujung kuku pun, Zayyan. Meski kita sahabat, aku tidak akan segan menghajarmu kalau itu terjadi.”

Zayyan hanya bisa mengangguk sembari menegakkan punggung.

Ia berharap Arga segera pergi sehingga ia bisa pergi ke tempat Asha sekarang. Namun kalimat yang meluncur dari bibir Arga selanjutnya, membuat bahu Zayyan jatuh.

“Tolong buatkan teh manis untuk Rana.”

Zayyan berdiri, “Hanya teh manis?”

“Ya. Untuk Rana saat dia bangun.”

Zayyan mengangguk dan berlalu keluar dari kamar Rana.

Begitu pintu tertutup, Arga kembali menghadap adiknya, tangannya membelai rambut Rana lembut. “Apa yang kamu lakukan sampai kelelahan begini?” gumannya iba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status