Asha lagi..
Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit.Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun.
Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi. Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah. Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menciptakan kesan elegan. 'Cantik. Pantas Mas Zayyan suka,' batin Rana getir. “Mas Zayyan sakit? Saya masuk, ya?” katanya lalu menerobos masuk melewati Rana. Seolah Rana bukan istri Zayyan, seolah Rana bukan tuan rumah. Rana mematung di tempat dan membiarkan Asha masuk ke kamar Zayyan. Beberapa menit kemudian, terdengar sayup-sayup suara tawa keduanya dari dalam kamar. Hati Rana ngilu, dadanya nyeri luar biasa. Terlebih, kedatangan Asha membuat Zayyan menjadi seperti kucing penurut. Pria itu minum obat dengan teratur dan makan makanan yang disiapkan Rana hingga habis. Padahal, sebelumnya ia menghabiskan waktu hampir satu jam untuk membujuk Zayyan untuk meminum obatnya dan berakhir dibentak-bentak. Bahkan pria itu sampai menepis tangan Rana dan melempar handuk yang Rana sematkan di dahinya ke dinding. Rana sebenarnya tahu kalau Zayyan selalu menganggapnya sebagai hama yang patut dibasmi. Namun, Rana sendiri tidak tahu bagaimana cara berhenti mencintai Zayyan. Seolah Zayyan telah memiliki seluruh hati Rana. Rana sudah menyukai Zayyan sejak pertama kali pemuda itu datang ke rumah bersama Arga —kakak sulung Rana. Ketampanan dan kecerdasan Zayyan membuat Rana cepat jatuh hati padanya. Sejak saat itu, Rana sudah bertekad untuk menaklukkan hati Zayyan yang dingin dengan getol mengiriminya hadiah, menuliskan lelaki itu surat, dan berusaha untuk mengambil hati Zayyan dengan mengirim bekal yang ia buat diam-diam sejak subuh. Namun, Zayyan masih bersikap dingin. Pria itu merobek semua suratnya, membuang hadiah yang dikirim Rana, dan mengembalikan bekal-bekal itu dalam kondisi utuh. Keadaan mulai terlihat seperti ada harapan saat ayah Zayyan mengatur perjodohan antara Zayyan dan Rana. Pria itu menolak ide itu mentah-mentah, tapi Rana menerima perjodohan itu dengan antusias. Rana harap, pernikahan bisa membuat Zayyan menyadari perasaannya yang semakin hari semakin besar. Namun, tampaknya semua justru semakin sulit. Terlebih setelah kedatangan Asha dalam hidup Zayyan. Mereka dekat setelah wanita itu mulai bertugas di universitas tempat Rana menuntut ilmu. “Mas Zayyan sudah tidur setelah minum obat. Pastikan kamu menghubungi saya kalau dia belum membaik, ya? Karena mas Zayyan bilang, dia hanya mau dirawat oleh saya.” Suara Asha memupus lamunan Rana tentang seluk beluk pernikahannya dengan Zayyan. Ia hanya mengangguk kecil, tak menjawab sepatah kata pun. Tanpa diantar, wanita itu berjalan ke arah pintu dan meninggalkan apartemen mereka tanpa pamit. Tindakan Asha dan keputusan Zayyan membuat harga diri Rana tercabik-cabik. Namun, ia bisa dibilang hampir tidak bisa berbuat apa-apa terhadap wanita itu, kalau suaminya sendiri tidak memihaknya sama sekali. Diam-diam Rana membuka pintu kamar Zayyan dan melihat suaminya tidur terlentang di tengah kasur. Wajah pria itu penuh keringat, tapi selimut tebal menutupi dadanya hingga leher. Ia terlihat kedinginan dan Rana merasa kasihan. Rana berjalan dengan berjingkat dan mengusap keringat pria itu menggunakan tisu yang tersedia di atas nakas. Namun, tiba-tiba tangan Zayyan menggenggam tangannya. Rana tersentak dan berusaha melepaskan tangan Zayyan, tapi genggaman pria itu semakin erat. Tindakan Zayyan akhirnya membuat Rana menyerah dan membiarkan pria itu melakukan apa yang ia suka. Gerakan tangan Rana dalam mengelap keringat Zayyan lalu terhenti kala pria itu bergumam satu kata yang menyakiti hatinya. “Asha….” **** Dua hari setelah Zayyan jatuh sakit, pria itu sudah terlihat lebih bugar. Wajahnya sudah tak begitu pucat dan demamnya sudah turun. Bahkan ia sudah bisa berjalan-jalan ke sana kemari meski masih belum pergi berangkat kerja. “Kamu sudah enakan? Jangan lupa besok malam kita diundang Mama dan Papa untuk makan malam di rumah.” Rana mengingatkan Zayyan saat pria itu masuk ke dapur untuk mengambil air minum. “Hm.” Zayyan menjawab pendek, menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Lantas ia menyadari sesuatu. “Kamu masak?” Rana mengangguk antusias. “Iya! Aku tahu kamu belum makan. Nanti dicoba, ya? Aku masak sup ayam. Simpel sih, tapi tetap e-.” “Tidak perlu”. Jawab Zayyan datar, sebelum kemudian melenggang pergi sambil memakai jaket. “Mau kemana?” Rana bertanya saat melihat suaminya tiba-tiba menyambar kunci mobil di atas kabinet. “Makan sate dengan Asha.” Zayyan bahkan tak menoleh sama sekali ke arah Rana yang kini mematung di dapur masih dengan posisi memegang spatula. Gadis itu membeku cukup lama di sana, hingga akhirnya bau gosong tercium hingga seantero apartemen. “Astaga!” Rana buru-buru mematikan kompor dan meniriskan telur dadar yang satu sisinya sudah menghitam. Ia lantas berdecak kesal saat melihat telur dadarnya yang tak lagi bisa dimakan. “Lalu untuk apa aku masak?” gumamnya sedih. “Telepon Tiya aja deh.” Rana lalu berdiri menatap ke luar jendela apartemennya sambil menelepon Tiya, teman dekatnya di kelas. “Halo, Ti, sudah makan?” sapanya cepat saat panggilan tersambung. “Ini lagi makan di luar bareng keluarga. Kenapa, Ran?” Rana meringis, tak enak hati. “Tidak apa-apa. Ya sudah, aku tutup ya?” “Oke, oke. Bye!” Rana memutus sambungan telepon dan menghela nafas panjang. Ia masih berdiri di tepi jendela dengan angin yang menghembus kulitnya. Sejuk, tapi hatinya terasa panas. Ia sakit saat mengingat bagaimana Zayyan pergi begitu saja untuk makan dengan Asha padahal ia sudah berusaha untuk memasak. Rana tersenyum getir, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun cepat-cepat ia hapus. “Jangan menyerah dulu. Coba lagi nanti. Sekarang makan dulu biar punya energi untuk menaklukkan hati Mas Zayyan lagi,” katanya penuh tekad. Gadis berambut sepunggung itu lalu kembali ke dapur untuk makan sendirian di meja makan.Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan.“Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar.Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.”“Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?”“Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya.Jagat mendesah pendek.
“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan.Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah.Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha.“Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis.“Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.”“Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan
Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil. Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha. Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin. “Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah. Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.” Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya. “Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas. “Iya, pergi saja.” Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun
“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang.“Mas Zayyan?”“Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas.Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab.Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar.“Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah.Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulan
“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyeli