Asha lagi..
Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit.Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun.
Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi. Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah. Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menciptakan kesan elegan. 'Cantik. Pantas Mas Zayyan suka,' batin Rana getir. “Mas Zayyan sakit? Saya masuk, ya?” katanya lalu menerobos masuk melewati Rana. Seolah Rana bukan istri Zayyan, seolah Rana bukan tuan rumah. Rana mematung di tempat dan membiarkan Asha masuk ke kamar Zayyan. Beberapa menit kemudian, terdengar sayup-sayup suara tawa keduanya dari dalam kamar. Hati Rana ngilu, dadanya nyeri luar biasa. Terlebih, kedatangan Asha membuat Zayyan menjadi seperti kucing penurut. Pria itu minum obat dengan teratur dan makan makanan yang disiapkan Rana hingga habis. Padahal, sebelumnya ia menghabiskan waktu hampir satu jam untuk membujuk Zayyan untuk meminum obatnya dan berakhir dibentak-bentak. Bahkan pria itu sampai menepis tangan Rana dan melempar handuk yang Rana sematkan di dahinya ke dinding. Rana sebenarnya tahu kalau Zayyan selalu menganggapnya sebagai hama yang patut dibasmi. Namun, Rana sendiri tidak tahu bagaimana cara berhenti mencintai Zayyan. Seolah Zayyan telah memiliki seluruh hati Rana. Rana sudah menyukai Zayyan sejak pertama kali pemuda itu datang ke rumah bersama Arga —kakak sulung Rana. Ketampanan dan kecerdasan Zayyan membuat Rana cepat jatuh hati padanya. Sejak saat itu, Rana sudah bertekad untuk menaklukkan hati Zayyan yang dingin dengan getol mengiriminya hadiah, menuliskan lelaki itu surat, dan berusaha untuk mengambil hati Zayyan dengan mengirim bekal yang ia buat diam-diam sejak subuh. Namun, Zayyan masih bersikap dingin. Pria itu merobek semua suratnya, membuang hadiah yang dikirim Rana, dan mengembalikan bekal-bekal itu dalam kondisi utuh. Keadaan mulai terlihat seperti ada harapan saat ayah Zayyan mengatur perjodohan antara Zayyan dan Rana. Pria itu menolak ide itu mentah-mentah, tapi Rana menerima perjodohan itu dengan antusias. Rana harap, pernikahan bisa membuat Zayyan menyadari perasaannya yang semakin hari semakin besar. Namun, tampaknya semua justru semakin sulit. Terlebih setelah kedatangan Asha dalam hidup Zayyan. Mereka dekat setelah wanita itu mulai bertugas di universitas tempat Rana menuntut ilmu. “Mas Zayyan sudah tidur setelah minum obat. Pastikan kamu menghubungi saya kalau dia belum membaik, ya? Karena mas Zayyan bilang, dia hanya mau dirawat oleh saya.” Suara Asha memupus lamunan Rana tentang seluk beluk pernikahannya dengan Zayyan. Ia hanya mengangguk kecil, tak menjawab sepatah kata pun. Tanpa diantar, wanita itu berjalan ke arah pintu dan meninggalkan apartemen mereka tanpa pamit. Tindakan Asha dan keputusan Zayyan membuat harga diri Rana tercabik-cabik. Namun, ia bisa dibilang hampir tidak bisa berbuat apa-apa terhadap wanita itu, kalau suaminya sendiri tidak memihaknya sama sekali. Diam-diam Rana membuka pintu kamar Zayyan dan melihat suaminya tidur terlentang di tengah kasur. Wajah pria itu penuh keringat, tapi selimut tebal menutupi dadanya hingga leher. Ia terlihat kedinginan dan Rana merasa kasihan. Rana berjalan dengan berjingkat dan mengusap keringat pria itu menggunakan tisu yang tersedia di atas nakas. Namun, tiba-tiba tangan Zayyan menggenggam tangannya. Rana tersentak dan berusaha melepaskan tangan Zayyan, tapi genggaman pria itu semakin erat. Tindakan Zayyan akhirnya membuat Rana menyerah dan membiarkan pria itu melakukan apa yang ia suka. Gerakan tangan Rana dalam mengelap keringat Zayyan lalu terhenti kala pria itu bergumam satu kata yang menyakiti hatinya. “Asha….” **** Dua hari setelah Zayyan jatuh sakit, pria itu sudah terlihat lebih bugar. Wajahnya sudah tak begitu pucat dan demamnya sudah turun. Bahkan ia sudah bisa berjalan-jalan ke sana kemari meski masih belum pergi berangkat kerja. “Kamu sudah enakan? Jangan lupa besok malam kita diundang Mama dan Papa untuk makan malam di rumah.” Rana mengingatkan Zayyan saat pria itu masuk ke dapur untuk mengambil air minum. “Hm.” Zayyan menjawab pendek, menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Lantas ia menyadari sesuatu. “Kamu masak?” Rana mengangguk antusias. “Iya! Aku tahu kamu belum makan. Nanti dicoba, ya? Aku masak sup ayam. Simpel sih, tapi tetap e-.” “Tidak perlu”. Jawab Zayyan datar, sebelum kemudian melenggang pergi sambil memakai jaket. “Mau kemana?” Rana bertanya saat melihat suaminya tiba-tiba menyambar kunci mobil di atas kabinet. “Makan sate dengan Asha.” Zayyan bahkan tak menoleh sama sekali ke arah Rana yang kini mematung di dapur masih dengan posisi memegang spatula. Gadis itu membeku cukup lama di sana, hingga akhirnya bau gosong tercium hingga seantero apartemen. “Astaga!” Rana buru-buru mematikan kompor dan meniriskan telur dadar yang satu sisinya sudah menghitam. Ia lantas berdecak kesal saat melihat telur dadarnya yang tak lagi bisa dimakan. “Lalu untuk apa aku masak?” gumamnya sedih. “Telepon Tiya aja deh.” Rana lalu berdiri menatap ke luar jendela apartemennya sambil menelepon Tiya, teman dekatnya di kelas. “Halo, Ti, sudah makan?” sapanya cepat saat panggilan tersambung. “Ini lagi makan di luar bareng keluarga. Kenapa, Ran?” Rana meringis, tak enak hati. “Tidak apa-apa. Ya sudah, aku tutup ya?” “Oke, oke. Bye!” Rana memutus sambungan telepon dan menghela nafas panjang. Ia masih berdiri di tepi jendela dengan angin yang menghembus kulitnya. Sejuk, tapi hatinya terasa panas. Ia sakit saat mengingat bagaimana Zayyan pergi begitu saja untuk makan dengan Asha padahal ia sudah berusaha untuk memasak. Rana tersenyum getir, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun cepat-cepat ia hapus. “Jangan menyerah dulu. Coba lagi nanti. Sekarang makan dulu biar punya energi untuk menaklukkan hati Mas Zayyan lagi,” katanya penuh tekad. Gadis berambut sepunggung itu lalu kembali ke dapur untuk makan sendirian di meja makan.Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan.“Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar.Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.”“Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?”“Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya.Jagat mendesah pendek.
“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan.Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah.Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha.“Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis.“Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.”“Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan
Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil. Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha. Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin. “Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah. Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.” Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya. “Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas. “Iya, pergi saja.” Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun
“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang.“Mas Zayyan?”“Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas.Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab.Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar.“Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah.Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulan
“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyeli
Zayyan sedang mematut dirinya di depan cermin, bersiap berangkat kerja. Wajahnya terlihat lelah, ia tak bisa tidur nyenyak semalam.Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya, menyadari betapa heningnya apartemen ini setelah ditinggal pergi oleh Rana. Tidak ada lagi aroma masakan yang biasanya sudah tercium sepagi ini.Namun Zayyan menggeleng kepalanya cepat, mengenyahkan pikiran dan perasaan bersalah yang terus menghantuinya sejak semalam. Ia harus fokus bekerja hari ini, urusan Rana bisa dipikirkan nanti.Tepat ketika Zayyan menyambar tas kerjanya, pintu apartemennya berbunyi.“Siapa datang jam segini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu. “Apa jangan-jangan Rana pulang?” Ia mempercepat langkah, membuka pintu dengan cepat.Belum juga Zayyan menyadari siapa datang, sebuah tinju melayang menghantam wajahnya.Zayyan yang tidak punya persiapan menyambut serangan, terhuyung mundur dan terjatuh ke lantai.“Ap–”Kalimat Zayyan kembali terbungkam ketika sebuah bogem mentah kembali mendarat di
“Aku harus ke rumah sakit,” lirih Zayyan sambil menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil.Pada akhirnya ia diusir dari rumah Rana oleh Jagat. Jagat murka, mertuanya itu sama sekali tidak mentolerir perselingkuhan.Dan ketika Zayyan menyetir pulang, kepalanya kembali terasa nyeri. Ia sampai harus menepi agar tidak menabrak, saking nyerinya sakit yang ia rasakan.Zayyan mengemudikan mobilnya ke rumah sakit saat rasa nyeri di kepalanya mulai berkurang. Ia melakukannya tanpa pikir panjang, karena rasa sakit yang mendera kepalanya sudah benar-benar tak tertahankan.“Nggak apa-apa, saya bayar berapapun asal nggak usah pake nunggu,” kata Zayyan pada petugas pendaftaran rumah sakit. Kepalanya sudah terlalu sakit.“Kalau gitu masuk UGD saja, Pak. Nanti bisa dikonsulkan ke spesialis saraf.”“Oke.”Tanpa menunggu apa-apa lagi, Zayyan bergegas ke UGD. Ia berbicara dengan dokter dan perawat yang bertugas, baru kemudian dipersilakan untuk menunggu di atas brankar.Saat menunggu, ia menatap ke langit-
“Ini… beneran?” tanya Zayyan terbata saat menerima surat gugatan cerai yang diberikan Arga padanya.“Buka aja.”Zayyan membuka amplop cokelat itu dan membaca isinya. Rupanya Rana benar-benar ingin bercerai darinya. Rana bahkan tak segan-segan mencantumkan bahwa Zayyan berselingkuh sebagai alasan untuk menggugat Zayyan.Salah satu alasan yang menguatkan gugatan Rana.Zayyan mengusap wajahnya kasar. “Aku belum bisa menyetujui gugatan ini, Ga.”Arga tampak tak senang. “Kenapa?”“Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Kamu ada waktu?”“Soal apa?”“Kita bicara sambil makan siang. Kamu sudah makan?” Zayyan memberi penawaran.Arga tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. “Ya udah ayo, makan di depan aja.”Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit, menuju sebuah rumah makan yang berada di depan rumah sakit tempat Arga bekerja.“Jadi mau bicara apa?” tanya Arga setelah mereka memesan makanan.Zayyan memasukkan amplop berisi surat gugatan cerai itu ke dalam tasnya, seolah be
“Gavin ditangkap kemarin di apartemennya,” ujar Faisal saat kumpul bersama anggota PPI di rumah Ara.“Oh ya? Syukur deh kalau gitu,” seru Vivi lega. Ia memang menjadi salah satu yang paling menunggu-nunggu saat Gavin ditangkap. “Biar tahu rasa. Enak aja main ngasih anak orang obat perangsang.”Rana meringis saat Vivi mengatakan ‘obat perangsang’ tanpa beban. Ia masih selalu ngeri setiap kali mengingat saat Gavin hampir memerkosanya. “Udah ah nggak usah bahas itu lagi. Kita sekarang lagi seneng-seneng, jadi nggak boleh bahas yang sedih-sedih.” Ara menimpaliSetiap bulan, para anggota PPI memang akan berkumpul di rumah Ara. Entah sekedar makan bersama, membahas proyek, atau ada acara tertentu. Dan hari ini, acaranya adalah makan-makan biasa.Masing-masing anggota PPI membawa makanan, lalu mereka akan mengumpulkan semua makanan di tengah-tengah ruangan dan mereka bebas mencicipi makanan punya siapa saja. Semacam potluck.Dan karena Rana masih belum kembali ke apartemennya, jadi ia hanya
“Ka, jangan kasih tahu Papa dulu.” Rana memohon di telepon.Arga terdengar menghembuskan nafas kasar. “Nggak bisa, Ran. Kakak harus bilang sama Papa supaya Papa bantu kasus ini ke polisi. Kamu tahu Papa punya banyak koneksi di kepolisian dan kejaksaan. Papa bisa minta bantuan mereka buat berkomunikasi dengan kepolisian Rotterdam.”Rana menggigit bibir, ia bisa membayangkan bagaimana reaksi papanya saat mengetahui putri bungsunya hampir diperkosa oleh Gavin. Bisa dipastikan, Gavin masih bernyawa saja sudah untung.“Kamu nggak bisa menghalangi kakak buat bilang ke Papa, Ran. Papa berhak tahu.” Arga berkata tegas. “Dan kamu jangan ketemu dia sampai polisi menindaklanjuti kasusmu, oke?”“Iya, Kak. Aku udah tinggal bareng Kak Ara sejak kasus itu. Aku juga selalu bareng Vivi ke kampus dan menghindari kelas yang sama dengan Gavin.” Rana mencoba menjelaskan agar kakaknya tak terlalu khawatir.Arga terdengar menghembuskan nafas berat sekali lagi. “Untungnya kamu masih selamat, Ran.”“Iya, aku
“Mas, kamu bicara apa sih?” Asha tersenyum canggung, masih berusaha mengelak.Zayyan mengangkat ponselnya yang sejak tadi ia genggam dan menyalakan rekaman audio yang ia ambil saat Asha bertelepon dengan Gavin tadi. “Sebaiknya kamu mengaku sekarang sebelum aku berikan rekaman audio ini ke bagian akademik,” ancam Zayyan.“Mas, aku mohon jangan.” Asha berusaha mengambil ponsel Zayyan, tapi gerakan Zayyan jelas jauh lebih cepat.“Kalau kamu mau karirmu sebagai dosen masih aman, sekarang mengakulah, Sha. Aku sudah punya dua alasan kuat untuk menghancurkan karirmu. Sebelum aku benar-benar melakukannya, sebaiknya kamu menurut padaku,” ucap Zayyan tegas, tanpa kompromi.“A-apa maksud kamu, Mas? Kamu nggak mungkin benar-benar akan melapor–”“Aku serius, Asha!” Zayyan mendesis. “Pertama, soal kebohonganmu yang berpura-pura mengandung anakku. Dan sekarang, kamu menjadi dalang dari kasus upaya pemerkosaan. Kamu nggak layak jadi seorang dosen, Asha.”Tatapan Asha berubah horor. “Mas, aku mohon j
“Maaf karena nggak dengerin peringatan kamu.” Rana berkata pelan. “Dan makasih karena sudah berusaha menyelamatkan aku kamu jauh banget di sana.”Zayyan menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Dadanya terasa ngilu saat melihat wajah Rana yang pucat dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Gadis itu pasti tidak bisa tidur.“Padahal kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku, Mas. Kita udah nggak punya hubungan apa-apa.” Rana tertunduk, tak berani menatap Zayyan.“Aku nggak peduli meski kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku nggak akan membiarkan kamu mengalami kesulitan, Ran.” Zayyan berkata lembut.Di tempat Rana masih siang, semenara di Jakarta sudah mulai gelap.“Aku bener-bener makasih, Mas.” Rana akhirnya mendongak, menatap Zayyan dengan mata berkaca-kaca. “Kalau bukan karena kamu, pasti sekarang aku sudah … aku pasti sud–”“Sshh … Ran, sudah. Jangan diingat.” Zayyan menegur dengan nada lembut, menatap Rana prihatin. “Sekarang kamu aman, oke? Kamu aman. Kamu di rumah Ara, kan
“Ran, kamu nggak apa-apa?” Vivi, tetangga apartemen Rana datang keesokan harinya. “Aku udah denger dari Kak Ara, temen-temen PPI juga sudah pada tahu jadi sekarang mereka pasti bakal bantu jauhin kamu dari Gavin.”“Temen-temen PPI tahu?” Rana membulatkan matanya. Ia menghela nafas pelan, merasa malu.Vivi menangkap gestur itu dan menggengam tangan Rana lembut. “Ran, kamu korban. Harusnya yang merasa malu itu si Gavin brengsek itu, bukan kamu.”“Tapi tetep aja, Vi. Itu memalukan.” Rana tersenyum sendu.Vivi memeluk Rana erat. “Tenang aja, jangan malu, ya? Temen-temen PPI nggak akan meledek kamu. Mereka justru prihatin dan mau bantuin kamu menjauhi Gavin. Dia sudah keterlaluan, Ran. Masa mencekoki kamu dengan obat perangsang?”Rana membalaskan pelukan Vivi erat, ia selalu bergetar ketakutan saat teringat kejadian itu. Ia tak pernah menyangka Gavin akan melakukan hal seperti itu padanya.“Aku jijik sama diriku sendiri, Vi. Aku … dipegang-pegang begitu….” Rana tak berhasil menyelesaikan k
Gavin tak menjawab dan langsung menerkam Rana. Kali ini ia jadi semakin brutal.“Nggak usah sok suci kamu, Ran. Si Zayyan itu pasti sudah pernah mencicipi tubuhmu kan? Nah, apa bedanya kalau aku juga merasakannya? Sekarang aku pacarmu kan?”Rana mulai menitikkan air mata ketika tubuh Gavin kembali menindihnya hingga ia kesulitan bergerak. Cengkraman tangan Gavin di pergelangan tangan Rana mencengkram sangat kuat hingga membuatnya meringis menahan sakit.Rana sudah melakukan segala cara untuk bebas dari laki-laki ini, tapi tubuhnya yang semakin kehilangan kendali karena obat perangsang yang dimasukkan Gavin ke dalam cokelat itu membuat usaha Rana untuk lepas semakin berkurang.Saat Rana mulai merasa putus asa, sebuah ketukan di pintu terdengar. Namun Gavin tak memedulikannya.Ia terus menyerang Rana, menciumi gadis itu meski Rana terus meronta.Namun ketukan di pintu juga semakin kencang dan datang berkali-kali.“Gavin, buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam!” Suara seorang wanita t
“Kenapa, Ran?” tanya Gavin sambil memegangi kedua bahu Rana.Rana menggelengkan kepalanya, berusaha tetap sadar sepenuhnya. Namun kepalanya terasa berat dan tubuhnya terus memanas.“Aku harus pulang,” ucap rana sambil berdiri. Namun tubuhnya langsung oleng.Beruntung, Gavin sigap menangkapnya. “Mau ke mana, Ran?” Ia melingkarkan lengannya di pinggang Rana, mendekapnya erat.“Mau pulang, Vin. Kayaknya aku nggak enak badan. Biarin aku pulang.” Rana berusaha meronta di pelukan Gavin, tapi dekapan lengan Gavin sangat erat hingga membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Ini udah malem, Ran. Kamu kayaknya nggak akan bisa jalan pulang. Udah, istirahat di sini aja,” kata Gavin persuasif.Rana menggeleng. Di tengah-tengah usahanya untuk tetap sadar, ia kembali teringat kalimat Zayyan.“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran. Jangan berduaan dengannya terutama di apartemennya.”“Aku harus pulang, Vin.” Rana meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.Tapi sekali lagi, cengkraman Gavin di tubuh Rana begitu e
“Berhati-hatilah pada Gavin, Ran.” Begitu kalimat pertama Zayyan ketika Rana bertanya soal apa maksud pesan Zayyan di kartu ucapan itu.“Memangnya Gavin bilang apa, Mas?” tanya Rana dengan wajah mengernyit.“Aku nggak tahu kamu akan percaya atau enggak kalau aku beri tahu kamu, tapi aku berharap kamu nggak pernah membiarkan Gavin berduaan denganmu di apartemennya sendiri atau di hotel, atau di apartemenmu. Pokoknya jangan berduaan sama Gavin.”Kernyitan di antara kedua alis Rana tampak semakin kentara. “Aku dan Gavin pacaran, Mas. Sudah sewajarnya kami sering menghabiskan waktu berdua. Kamu nggak bisa mengatur-atur hidup aku, Mas!”Terdengar helaan nafas Zayyan di ujung telepon. “Aku tahu kamu nggak akan percaya padaku.” Suaranya terdengar sendu. “Karena itu aku memilih buat berhenti mengirimkan bunga untukmu. Tapi kamu harus ingat, Ran, aku melakukannya karena aku nggak mau Gavin berbuat macam-macam denganmu.”Rana mulai kehilangan kesabaran. Ia mengetatkan rahangnya saking kesalnya
“Jangan berani-berani kamu melakukan itu, Gavin!” Zayyan juga menghardik murka. Bayangan Gavin menyentuh Rana dengan tidak senonoh membuat darah Zayyan mendidih.Gavin tertawa seperti iblis. “Atau apa?” tantangnya. “Kamu tidak bisa melakukan apapun, Zay. Kamu jauh di Indonesia sana, sementara aku di sini menjadi kekasih Rana. Cepat atau lambat, aku akan menidurinya.”“Jangan berani-berani kamu menyentuh Rana seujung kuku pun, Gavin!” Zayyan berteriak murka, darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun.Tawa Gavin kembali terdengar. “Teruslah berteriak, Zay. Tidak akan ada yang mendengarmu.”“Aku serius, Gavin!”“Aku juga serius, Zayyan. Berhenti mengirim bunga untuk Rana, atau aku akan benar-benar meniduri Rana dan mengirimkan videonya padamu.”Tanpa menunggu respons dari Zayyan, Gavin segera menutup sambungan telepon dan kembali ke apartemen Rana.“Gimana?” sambut Rana begitu Gavin masuk.Senyum manis Gavin mengembang, hilang sudah aura mengancam yang tadi mengelilingi dirinya saat ia bicar