Share

Ceraikan Aku, Mas!
Ceraikan Aku, Mas!
Penulis: hasfindafmufid

Bab 1. Istri Di Atas Kertas

“Aku tidak sudi disentuh olehmu!"

Perkataan Zayyan membuat Rana mencengkram handuk basah di tangannya dengan erat. Ia lalu menarik nafas dalam agar air mata yang mulai menggenang tidak tumpah ke pipi.

Ternyata, perkataan Zayyan tetap sangat menyakitkan untuknya meski sudah sering ia dengar.

“Aku juga sudah telepon Asha, dia akan datang untuk mengurusku”.

Asha lagi..

Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit.

Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun.

Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi.

Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah.

Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menciptakan kesan elegan.

'Cantik. Pantas Mas Zayyan suka,' batin Rana getir.

“Mas Zayyan sakit? Saya masuk, ya?” katanya lalu menerobos masuk melewati Rana.

Seolah Rana bukan istri Zayyan, seolah Rana bukan tuan rumah.

Rana mematung di tempat dan membiarkan Asha masuk ke kamar Zayyan. Beberapa menit kemudian, terdengar sayup-sayup suara tawa keduanya dari dalam kamar.

Hati Rana ngilu, dadanya nyeri luar biasa.

Terlebih, kedatangan Asha membuat Zayyan menjadi seperti kucing penurut.

Pria itu minum obat dengan teratur dan makan makanan yang disiapkan Rana hingga habis.

Padahal, sebelumnya ia menghabiskan waktu hampir satu jam untuk membujuk Zayyan untuk meminum obatnya dan berakhir dibentak-bentak.

Bahkan pria itu sampai menepis tangan Rana dan melempar handuk yang Rana sematkan di dahinya ke dinding.

Rana sebenarnya tahu kalau Zayyan selalu menganggapnya sebagai hama yang patut dibasmi. Namun, Rana sendiri tidak tahu bagaimana cara berhenti mencintai Zayyan. Seolah Zayyan telah memiliki seluruh hati Rana.

Rana sudah menyukai Zayyan sejak pertama kali pemuda itu datang ke rumah bersama Arga —kakak sulung Rana. Ketampanan dan kecerdasan Zayyan membuat Rana cepat jatuh hati padanya.

Sejak saat itu, Rana sudah bertekad untuk menaklukkan hati Zayyan yang dingin dengan getol mengiriminya hadiah, menuliskan lelaki itu surat, dan berusaha untuk mengambil hati Zayyan dengan mengirim bekal yang ia buat diam-diam sejak subuh.

Namun, Zayyan masih bersikap dingin.

Pria itu merobek semua suratnya, membuang hadiah yang dikirim Rana, dan mengembalikan bekal-bekal itu dalam kondisi utuh.

Keadaan mulai terlihat seperti ada harapan saat ayah Zayyan mengatur perjodohan antara Zayyan dan Rana.

Pria itu menolak ide itu mentah-mentah, tapi Rana menerima perjodohan itu dengan antusias.

Rana harap, pernikahan bisa membuat Zayyan menyadari perasaannya yang semakin hari semakin besar. Namun, tampaknya semua justru semakin sulit.

Terlebih setelah kedatangan Asha dalam hidup Zayyan.

Mereka dekat setelah wanita itu mulai bertugas di universitas tempat Rana menuntut ilmu.

“Mas Zayyan sudah tidur setelah minum obat. Pastikan kamu menghubungi saya kalau dia belum membaik, ya? Karena mas Zayyan bilang, dia hanya mau dirawat oleh saya.”

Suara Asha memupus lamunan Rana tentang seluk beluk pernikahannya dengan Zayyan. Ia hanya mengangguk kecil, tak menjawab sepatah kata pun.

Tanpa diantar, wanita itu berjalan ke arah pintu dan meninggalkan apartemen mereka tanpa pamit.

Tindakan Asha dan keputusan Zayyan membuat harga diri Rana tercabik-cabik. Namun, ia bisa dibilang hampir tidak bisa berbuat apa-apa terhadap wanita itu, kalau suaminya sendiri tidak memihaknya sama sekali.

Diam-diam Rana membuka pintu kamar Zayyan dan melihat suaminya tidur terlentang di tengah kasur. Wajah pria itu penuh keringat, tapi selimut tebal menutupi dadanya hingga leher.

Ia terlihat kedinginan dan Rana merasa kasihan.

Rana berjalan dengan berjingkat dan mengusap keringat pria itu menggunakan tisu yang tersedia di atas nakas.

Namun, tiba-tiba tangan Zayyan menggenggam tangannya.

Rana tersentak dan berusaha melepaskan tangan Zayyan, tapi genggaman pria itu semakin erat.

Tindakan Zayyan akhirnya membuat Rana menyerah dan membiarkan pria itu melakukan apa yang ia suka.

Gerakan tangan Rana dalam mengelap keringat Zayyan lalu terhenti kala pria itu bergumam satu kata yang menyakiti hatinya.

“Asha….”

****

Dua hari setelah Zayyan jatuh sakit, pria itu sudah terlihat lebih bugar.

Wajahnya sudah tak begitu pucat dan demamnya sudah turun. Bahkan ia sudah bisa berjalan-jalan ke sana kemari meski masih belum pergi berangkat kerja.

“Kamu sudah enakan? Jangan lupa besok malam kita diundang Mama dan Papa untuk makan malam di rumah.”

Rana mengingatkan Zayyan saat pria itu masuk ke dapur untuk mengambil air minum.

“Hm.” Zayyan menjawab pendek, menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Lantas ia menyadari sesuatu.

“Kamu masak?”

Rana mengangguk antusias. “Iya! Aku tahu kamu belum makan. Nanti dicoba, ya? Aku masak sup ayam. Simpel sih, tapi tetap e-.”

“Tidak perlu”. Jawab Zayyan datar, sebelum kemudian melenggang pergi sambil memakai jaket.

“Mau kemana?” Rana bertanya saat melihat suaminya tiba-tiba menyambar kunci mobil di atas kabinet.

“Makan sate dengan Asha.”

Zayyan bahkan tak menoleh sama sekali ke arah Rana yang kini mematung di dapur masih dengan posisi memegang spatula.

Gadis itu membeku cukup lama di sana, hingga akhirnya bau gosong tercium hingga seantero apartemen.

“Astaga!”

Rana buru-buru mematikan kompor dan meniriskan telur dadar yang satu sisinya sudah menghitam. Ia lantas berdecak kesal saat melihat telur dadarnya yang tak lagi bisa dimakan.

“Lalu untuk apa aku masak?” gumamnya sedih. “Telepon Tiya aja deh.”

Rana lalu berdiri menatap ke luar jendela apartemennya sambil menelepon Tiya, teman dekatnya di kelas.

“Halo, Ti, sudah makan?” sapanya cepat saat panggilan tersambung.

“Ini lagi makan di luar bareng keluarga. Kenapa, Ran?”

Rana meringis, tak enak hati. “Tidak apa-apa. Ya sudah, aku tutup ya?”

“Oke, oke. Bye!”

Rana memutus sambungan telepon dan menghela nafas panjang. Ia masih berdiri di tepi jendela dengan angin yang menghembus kulitnya.

Sejuk, tapi hatinya terasa panas.

Ia sakit saat mengingat bagaimana Zayyan pergi begitu saja untuk makan dengan Asha padahal ia sudah berusaha untuk memasak.

Rana tersenyum getir, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun cepat-cepat ia hapus.

“Jangan menyerah dulu. Coba lagi nanti. Sekarang makan dulu biar punya energi untuk menaklukkan hati Mas Zayyan lagi,” katanya penuh tekad.

Gadis berambut sepunggung itu lalu kembali ke dapur untuk makan sendirian di meja makan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status