Asha lagi..
Sungguh, Rana ingin membalas perkataan Zayyan. Tapi ia tak tega melihat kondisi pria itu yang pucat dan sakit.Maka Rana memilih untuk berdiri dan berbalik, keluar dari kamar tanpa sepatah kata pun.
Tepat ketika ia keluar dari kamar Zayyan, bel pintu apartemen mereka berbunyi. Rana tahu siapa yang datang, itu pasti Asha. Jika ia tak membukakan pintu, maka bisa dipastikan Zayyan akan semakin marah. Oleh karena itu, dengan enggan Rana berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, seorang wanita cantik dengan rambut hitam tebal berdiri di ambang pintu. Rambut dosennya itu bergelombang berayun pelan dan menciptakan kesan elegan. 'Cantik. Pantas Mas Zayyan suka,' batin Rana getir. “Mas Zayyan sakit? Saya masuk, ya?” katanya lalu menerobos masuk melewati Rana. Seolah Rana bukan istri Zayyan, seolah Rana bukan tuan rumah. Rana mematung di tempat dan membiarkan Asha masuk ke kamar Zayyan. Beberapa menit kemudian, terdengar sayup-sayup suara tawa keduanya dari dalam kamar. Hati Rana ngilu, dadanya nyeri luar biasa. Terlebih, kedatangan Asha membuat Zayyan menjadi seperti kucing penurut. Pria itu minum obat dengan teratur dan makan makanan yang disiapkan Rana hingga habis. Padahal, sebelumnya ia menghabiskan waktu hampir satu jam untuk membujuk Zayyan untuk meminum obatnya dan berakhir dibentak-bentak. Bahkan pria itu sampai menepis tangan Rana dan melempar handuk yang Rana sematkan di dahinya ke dinding. Rana sebenarnya tahu kalau Zayyan selalu menganggapnya sebagai hama yang patut dibasmi. Namun, Rana sendiri tidak tahu bagaimana cara berhenti mencintai Zayyan. Seolah Zayyan telah memiliki seluruh hati Rana. Rana sudah menyukai Zayyan sejak pertama kali pemuda itu datang ke rumah bersama Arga —kakak sulung Rana. Ketampanan dan kecerdasan Zayyan membuat Rana cepat jatuh hati padanya. Sejak saat itu, Rana sudah bertekad untuk menaklukkan hati Zayyan yang dingin dengan getol mengiriminya hadiah, menuliskan lelaki itu surat, dan berusaha untuk mengambil hati Zayyan dengan mengirim bekal yang ia buat diam-diam sejak subuh. Namun, Zayyan masih bersikap dingin. Pria itu merobek semua suratnya, membuang hadiah yang dikirim Rana, dan mengembalikan bekal-bekal itu dalam kondisi utuh. Keadaan mulai terlihat seperti ada harapan saat ayah Zayyan mengatur perjodohan antara Zayyan dan Rana. Pria itu menolak ide itu mentah-mentah, tapi Rana menerima perjodohan itu dengan antusias. Rana harap, pernikahan bisa membuat Zayyan menyadari perasaannya yang semakin hari semakin besar. Namun, tampaknya semua justru semakin sulit. Terlebih setelah kedatangan Asha dalam hidup Zayyan. Mereka dekat setelah wanita itu mulai bertugas di universitas tempat Rana menuntut ilmu. “Mas Zayyan sudah tidur setelah minum obat. Pastikan kamu menghubungi saya kalau dia belum membaik, ya? Karena mas Zayyan bilang, dia hanya mau dirawat oleh saya.” Suara Asha memupus lamunan Rana tentang seluk beluk pernikahannya dengan Zayyan. Ia hanya mengangguk kecil, tak menjawab sepatah kata pun. Tanpa diantar, wanita itu berjalan ke arah pintu dan meninggalkan apartemen mereka tanpa pamit. Tindakan Asha dan keputusan Zayyan membuat harga diri Rana tercabik-cabik. Namun, ia bisa dibilang hampir tidak bisa berbuat apa-apa terhadap wanita itu, kalau suaminya sendiri tidak memihaknya sama sekali. Diam-diam Rana membuka pintu kamar Zayyan dan melihat suaminya tidur terlentang di tengah kasur. Wajah pria itu penuh keringat, tapi selimut tebal menutupi dadanya hingga leher. Ia terlihat kedinginan dan Rana merasa kasihan. Rana berjalan dengan berjingkat dan mengusap keringat pria itu menggunakan tisu yang tersedia di atas nakas. Namun, tiba-tiba tangan Zayyan menggenggam tangannya. Rana tersentak dan berusaha melepaskan tangan Zayyan, tapi genggaman pria itu semakin erat. Tindakan Zayyan akhirnya membuat Rana menyerah dan membiarkan pria itu melakukan apa yang ia suka. Gerakan tangan Rana dalam mengelap keringat Zayyan lalu terhenti kala pria itu bergumam satu kata yang menyakiti hatinya. “Asha….” **** Dua hari setelah Zayyan jatuh sakit, pria itu sudah terlihat lebih bugar. Wajahnya sudah tak begitu pucat dan demamnya sudah turun. Bahkan ia sudah bisa berjalan-jalan ke sana kemari meski masih belum pergi berangkat kerja. “Kamu sudah enakan? Jangan lupa besok malam kita diundang Mama dan Papa untuk makan malam di rumah.” Rana mengingatkan Zayyan saat pria itu masuk ke dapur untuk mengambil air minum. “Hm.” Zayyan menjawab pendek, menuangkan air ke gelas dan meneguknya. Lantas ia menyadari sesuatu. “Kamu masak?” Rana mengangguk antusias. “Iya! Aku tahu kamu belum makan. Nanti dicoba, ya? Aku masak sup ayam. Simpel sih, tapi tetap e-.” “Tidak perlu”. Jawab Zayyan datar, sebelum kemudian melenggang pergi sambil memakai jaket. “Mau kemana?” Rana bertanya saat melihat suaminya tiba-tiba menyambar kunci mobil di atas kabinet. “Makan sate dengan Asha.” Zayyan bahkan tak menoleh sama sekali ke arah Rana yang kini mematung di dapur masih dengan posisi memegang spatula. Gadis itu membeku cukup lama di sana, hingga akhirnya bau gosong tercium hingga seantero apartemen. “Astaga!” Rana buru-buru mematikan kompor dan meniriskan telur dadar yang satu sisinya sudah menghitam. Ia lantas berdecak kesal saat melihat telur dadarnya yang tak lagi bisa dimakan. “Lalu untuk apa aku masak?” gumamnya sedih. “Telepon Tiya aja deh.” Rana lalu berdiri menatap ke luar jendela apartemennya sambil menelepon Tiya, teman dekatnya di kelas. “Halo, Ti, sudah makan?” sapanya cepat saat panggilan tersambung. “Ini lagi makan di luar bareng keluarga. Kenapa, Ran?” Rana meringis, tak enak hati. “Tidak apa-apa. Ya sudah, aku tutup ya?” “Oke, oke. Bye!” Rana memutus sambungan telepon dan menghela nafas panjang. Ia masih berdiri di tepi jendela dengan angin yang menghembus kulitnya. Sejuk, tapi hatinya terasa panas. Ia sakit saat mengingat bagaimana Zayyan pergi begitu saja untuk makan dengan Asha padahal ia sudah berusaha untuk memasak. Rana tersenyum getir, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun cepat-cepat ia hapus. “Jangan menyerah dulu. Coba lagi nanti. Sekarang makan dulu biar punya energi untuk menaklukkan hati Mas Zayyan lagi,” katanya penuh tekad. Gadis berambut sepunggung itu lalu kembali ke dapur untuk makan sendirian di meja makan.Malam ini, seluruh anggota keluarga Rana berkumpul di kediaman orang tua Rana untuk makan malam. Jagat, ayah Rana, duduk di kursi yang paling ujung dan disusul oleh istrinya yang duduk di sebelah kanannya. “Langsung makan saja,” ucap Ambar, ibu mereka dengan lembut. Berbeda dengan Jagat yang tegas dan dingin, Ambar justru sangat tampak keibuan. Seperti dikomando, seluruh anak dan menantu Jagat langsung mengambil nasi dan lauk secara bergiliran. Selanjutnya, mereka makan dengan tenang sembari menunggu Jagat membuka topik pembicaraan.“Bagaimana skripsimu, Rana?” Jagat bertanya datar.Rana meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan senyum terkembang. “Sebentar lagi mungkin Rana bisa seminar proposal, Pa.”“Apa ada yang sudah sempro lebih dulu di angkatanmu?”“Belum ada, Pa. Kalau lancar, pekan depan Rana sudah bisa mengajukan jadwal sempro dan mungkin akan jadi orang pertama yang sempro di angkatan Rana.” Rana menjelaskan, mencoba mengambil hati papanya.Jagat mendesah pendek.
“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Zayyan setelah menjemput Asha di rumahnya.Ya, pada akhirnya Zayyan berhasil minta izin untuk pulang pada mertuanya dengan alasan akan menyiapkan bahan ajar perkuliahan.Ia mengancam akan tetap pulang sendiri meski Rana menolak untuk ikut. Tindakan itu akhirnya membuat Rana terpaksa mengalah.Dia pun ikut bersama Zayyan untuk kembali ke apartemen mereka hanya untuk ditinggalkan sendirian karena Zayyan kembali pergi dengan Asha.“Aku ingin mencari hadiah untuk temanku yang akan menikah besok. Aku tidak enak kalau hanya memberi hadiah biasa. Jadi, sepertinya aku akan memberikannya hadiah yang spesial,” jelas Asha sambil tersenyum manis.“Oh, begitu?” Zayyan balas tersenyum dan mulai menyetir membelah jalanan ibukota. “Tapi, aku tidak terlalu mengerti hadiah yang bagus untuk perempuan.”“Siapa bilang yang menikah itu teman cewekku? Dia laki-laki, Mas. Aku butuh pendapat kamu untuk memilih hadiah yang cocok karena kamu juga laki-laki. Plus, dengan
Keesokan harinya, sejak bangun tidur Rana sudah mengerjakan banyak hal. Mulai dari bebersih kamar hingga masak. Ia mengerjakan semuanya seorang diri dengan rajin dan terampil. Dari dalam kamar, Zayyan mengenakan batik couple yang ia beli khusus hari itu untuk menghadiri acara pernikahan teman Asha. Hari ini ia sengaja mengabaikan Rana karena masih kesal dengan sikap gadis itu yang mengganggu kencannya dengan Asha kemarin. “Hari ini aku akan pergi dengan Asha. Jadi, jangan ganggu aku,” kata Zayyan dingin saat berpapasan dengan Rana di ruang tengah. Rana hanya melirik Zayyan sekilas kemudian bergumam, “Pergilah.” Zayyan mengerutkan alis, karena tak yakin kalau Rana akan benar-benar akan menurutinya. “Camkan perintahku baik-baik karena aku yakin otakmu masih berfungsi,” ucapnya tegas. “Iya, pergi saja.” Zayyan menatap Rana yang berlalu untuk meletakkan keranjang pakaian di laundry room, hingga gadis itu kembali ke ruang tengah. Rana benar-benar tak mengatakan sepatah kata pun
“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang.“Mas Zayyan?”“Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas.Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab.Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar.“Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah.Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulan
“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyeli
Zayyan sedang mematut dirinya di depan cermin, bersiap berangkat kerja. Wajahnya terlihat lelah, ia tak bisa tidur nyenyak semalam.Helaan nafas pelan lolos dari bibirnya, menyadari betapa heningnya apartemen ini setelah ditinggal pergi oleh Rana. Tidak ada lagi aroma masakan yang biasanya sudah tercium sepagi ini.Namun Zayyan menggeleng kepalanya cepat, mengenyahkan pikiran dan perasaan bersalah yang terus menghantuinya sejak semalam. Ia harus fokus bekerja hari ini, urusan Rana bisa dipikirkan nanti.Tepat ketika Zayyan menyambar tas kerjanya, pintu apartemennya berbunyi.“Siapa datang jam segini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu. “Apa jangan-jangan Rana pulang?” Ia mempercepat langkah, membuka pintu dengan cepat.Belum juga Zayyan menyadari siapa datang, sebuah tinju melayang menghantam wajahnya.Zayyan yang tidak punya persiapan menyambut serangan, terhuyung mundur dan terjatuh ke lantai.“Ap–”Kalimat Zayyan kembali terbungkam ketika sebuah bogem mentah kembali mendarat di
“Aku harus ke rumah sakit,” lirih Zayyan sambil menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil.Pada akhirnya ia diusir dari rumah Rana oleh Jagat. Jagat murka, mertuanya itu sama sekali tidak mentolerir perselingkuhan.Dan ketika Zayyan menyetir pulang, kepalanya kembali terasa nyeri. Ia sampai harus menepi agar tidak menabrak, saking nyerinya sakit yang ia rasakan.Zayyan mengemudikan mobilnya ke rumah sakit saat rasa nyeri di kepalanya mulai berkurang. Ia melakukannya tanpa pikir panjang, karena rasa sakit yang mendera kepalanya sudah benar-benar tak tertahankan.“Nggak apa-apa, saya bayar berapapun asal nggak usah pake nunggu,” kata Zayyan pada petugas pendaftaran rumah sakit. Kepalanya sudah terlalu sakit.“Kalau gitu masuk UGD saja, Pak. Nanti bisa dikonsulkan ke spesialis saraf.”“Oke.”Tanpa menunggu apa-apa lagi, Zayyan bergegas ke UGD. Ia berbicara dengan dokter dan perawat yang bertugas, baru kemudian dipersilakan untuk menunggu di atas brankar.Saat menunggu, ia menatap ke langit-
“Ini… beneran?” tanya Zayyan terbata saat menerima surat gugatan cerai yang diberikan Arga padanya.“Buka aja.”Zayyan membuka amplop cokelat itu dan membaca isinya. Rupanya Rana benar-benar ingin bercerai darinya. Rana bahkan tak segan-segan mencantumkan bahwa Zayyan berselingkuh sebagai alasan untuk menggugat Zayyan.Salah satu alasan yang menguatkan gugatan Rana.Zayyan mengusap wajahnya kasar. “Aku belum bisa menyetujui gugatan ini, Ga.”Arga tampak tak senang. “Kenapa?”“Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Kamu ada waktu?”“Soal apa?”“Kita bicara sambil makan siang. Kamu sudah makan?” Zayyan memberi penawaran.Arga tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. “Ya udah ayo, makan di depan aja.”Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah sakit, menuju sebuah rumah makan yang berada di depan rumah sakit tempat Arga bekerja.“Jadi mau bicara apa?” tanya Arga setelah mereka memesan makanan.Zayyan memasukkan amplop berisi surat gugatan cerai itu ke dalam tasnya, seolah be
Satu hari sebelum pernikahan Zayyan dan Asha.Zayyan gelisah bukan main. Ini hari Sabtu, tapi seharian ini ia hanya berdiam diri di rumah. Pesan-pesan Asha tidak ada yang ia balas sejak tadi pagi. Dan ia justru terus-menerus membuka pesan-pesan terakhirnya dengan Rana.Dan Zayyan kembali menyadari betapa dingin dan kejamnya ia pada mantan istrinya itu.Pria itu sedang duduk di sofa, sofa yang sama yang menjadi saksi atas betapa bejat dirinya saat itu. Ia menyerah saat Asha menggodanya terus-menerus. Tanpa peduli bahwa istri sahnya sedang terbaring pingsan di dalam kamar.Zayyan meremas rambutnya sendiri. Kesal bukan main pada dirinya sendiri karena melakukan hal bodoh itu.Seharusnya, meski ia tak menyukai Rana waktu itu, ia
Rana mengurung diri seharian penuh. Ambar dan Arga sudah berusaha untuk membujuknya membuka pintu, tapi Rana bergeming. Pintu kamar Rana tetap tertutup rapat hingga matahari tergelincir ke arah barat.“Ran, kamu belum makan dari pagi loh.” Ambar berusaha membujuk lagi.Tak ada jawaban dari dalam kamar.Arga juga berdiri di depan pintu kamar Rana, berusaha membujuk adik semata wayangnya itu.Namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat Rana membuka pintu.Sampai akhirnya, Jagat pulang ke rumah dan menghampiri mereka. “Kenapa Rana?” tanyanya dengan kerutan di dahi.Arga dan Ambar saling pandang. “Sejak pulang dari kampus tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.” Ambar mengadu.Kernyitan di dahi Jagat tampak semakin dalam. “Coba minggir.”Arga dan Ambar menurut dan segera menyingkir, memberi ruang pada Jagat untuk mengetuk pintu kamar putrinya.“Rana? Ini Papa. Kamu bisa keluar sebenta
“Kamu bilang sama Rana kalau kamu hamil?” tanya Zayyan begitu ia dan Asha duduk di dalam mobil menuju rumah sakit tempat papa Asha dirawat.“Iya.” Asha menyahut pendek sambil mengetatkan rahang.“Buat apa?” balas Zayyan tajam, wajahnya merengut tak suka.“Biar dia tahu kalau sekarang kamu sudah punya aku, Mas.”Zayyan mencengkram kemudi amat erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Untung Rana berbaik hati nggak menyebarkan gosip kalau dosennya hamil di luar nikah,” desisnya sinis.Asha tertegun mendengar nada bicara dan kalimat Zayyan. “Kenapa kamu jadi nyalahin aku?”“Ya jelas nyalahin kamu. Apa gunanya kamu ngasih tahu Rana soal itu? Mau bikin dia cemburu? Mau bikin dia makin sakit hati padahal aku sudah cukup bikin hati dia hancur? Atau kamu sengaja biar dia makin benci sama aku?” Zayyan meradang, suaranya naik satu oktaf.Asha mengernyit bingung. “Aku cuma mau dia tahu fakta itu supaya nggak ganggu kamu lagi.”
Jika biasanya ujian skripsi hanya memakan waktu satu jam, hari ini Rana baru keluar dari ruang ujian skripsi satu setengah jam kemudian.“Gimana, gimana?” tanya Tiya heboh yang mengerti soal hubungan Asha dan Rana.“Aman.” Rana menjawab dengan senyum masam.“Kamu dibantai, ya?” Tiya bertanya hati-hati.“Udah ah, yang penting lulus,” kata Rana sambil menggamit lengan Tiya dan mengajaknya pergi.Benar, Rana memang lulus. Tapi jika umumnya mahasiswa lain lulus dengan nilai A atau B, Asha memberi Rana nilai B-. Ini menyakitkan bagi Rana mengingat ia berusaha keras untuk skripsi ini. Bahkan ketika ia masih menjadi istri Zayyan, Rana tak pernah menyepelekan skripsinya.Tapi hanya karena masalah pribadi, Asha tega memberi Rana nilai kecil.Tiya dan Rana berjalan bersisian menuju lift. Namun langkah mereka terhenti ketika pintu lift terbuka, lalu Zayyan keluar dari sana.Rana dan Zayyan bertatapan, mereka memb
Zayyan menghentikan langkahnya begitu melihat Rana menahan wajah Gavin. Ia juga bisa melihat Rana mengucapkan kata maaf. Bagi Zayyan, itu sudah cukup untuk menerbitkan sebuah senyum di bibirnya. Zayyan segera berbalik. Dadanya yang terasa panas dan sesak perlahan-lahan menjadi lega. Kenyataan bahwa Rana menolak Gavin membuat Zayyan senang bukan kepalang. Tanpa menunggu kelanjutan dari adegan Rana dan Gavin, Zayyan segera pergi dari sana sebelum mereka memergokinya. Sementara di dekat mobil Gavin, Rana kembali meminta maaf. “Maaf, Vin.” Gavin tersenyum, mengangkat kepala Rana yang tertunduk. “Aku yang minta maaf. Aku terlalu terburu-buru, ya?” Rana menarik nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar. Ia belum pernah berciuman sebelumnya dan juga, ia tak tahu apakah hatinya sudah siap menerima cinta baru. “Aku janji aku bakal pelan-pelan, Ran.” Gavin
“Sejak kapan kamu pacaran?” Rana langsung menginterogasi Tiya begitu mereka duduk di warung bubur ayam langganan Gavin.Tiya nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah. “Aku baru jadian seminggu lalu sih.”“Oh, itu makanya kamu jarang kelihatan? Ternyata sibuk pacaran.” Rana melempar tatapan tajam, pura-pura kesal.Tawa renyah Tiya mengudara. “Ya, harap maklum dong, nanti kalau kamu pacaran sama Gavin juga bakal begitu.”“Uhuk! Uhuk!” Rana langsung terbatuk mendengar ucapan Tiya yang ceplas-ceplos.Dengan sigap, Gavin menawarkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. “Pelan-pelan, Ran. Minum dulu.”Rana mengambil air mineral itu, meneguknya cepat. Sementara Gavin mengusap punggungnya lembut, membantu menenangkannya.Melihat gestur Gavin yang penuh perhatian, Tiya langsung menyambar. “Tuh, lihat, dia udah seperhatian itu, masa kamu nggak mau ngasih dia kesempatan?”“Perhatian ap–” Kalimat Rana terhen
Rana meletakkan bunga pemberian Gavin di atas meja. Ingatan tentang apa yang terjadi di kafe es krim tadi kembali berputar-putar di benak Rana, membuatnya gundah.Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling meremas gelisah.Tiba-tiba ponselnya berdering pendek, ada pesan dari Gavin.“Aku sudah sampai rumah, makasih buat hari ini.” Begitu isi pesannya.Rana hanya menghela nafas pendek dan membiarkan pesan itu tak berbalas.“Apa aku siap buka hati lagi?” lirih Rana sambil menatap setangkai bunga mawar merah yang teronggok di atas meja.Kamar tidur Rana itu hening, pemiliknya sedang larut dalam lamunan.Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Gavin menelepon.Sekali lagi, ia menghembuskan nafas gundah. Ia ingin mengabaikan telepon itu, tapi mengingat hari ini Gavin sudah sangat baik padanya, rasanya tidak sopan jika mengabaikannya begitu saja.“Halo?” sapa Rana begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Maafkan Papa.” Pria paruh baya itu berkata lirih pada Asha yang duduk di samping bed pasien.Kondisi papa Asha sudah cukup stabil, namun separuh tubuhnya masih kesulitan bergerak. Termasuk separuh bagian bibirnya, sehingga ia juga hanya bisa bicara sepotong-sepotong.Asha menggeleng mendengar kalimat papanya. “Papa nggak salah apa-apa. Jangan minta maaf, Pa.”Pria itu hanya menghela nafas panjang. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi kondisinya yang sulit untuk membuka mulut menghalangi banyaknya kalimat yang ingin ia ucapkan.Zayyan berdiri dan menghampiri Asha. “Sha, ayo ngobrol di luar sebentar,” ucapnya lirih.Asha menoleh pada Zayyan sekilas, kemudian mengangguk.“Ya sudah, Papa istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa, pencet ini ya, Pa? Aku keluar sebentar sama mas Zayyan,” jelas Asha sambil memberikan sebuah tombol yang bisa dipencet untuk memanggil perawat.Papa Asha hanya mengangguk kecil kemudian mengambil tombol itu dari tangan Asha.Asha dan
“Karena jujur, saya… memang punya sedikit ketertarikan sama Rana.” Gavin melanjutkan. Sudah kepalang tanggung, jadi jujur saja. Begitu pikirnya.Kepalan tangan Jagat tampak semakin mengerat, buku-buku jarinya sampai memutih saking eratnya ia mengepalkan tangan.“Tidak. Kamu belum mendapat izinku!” Jagat mendesis kesal. Bayangan Rana kembali disakiti oleh laki-laki membuat insting melindungi dalam diri Jagat berkobar.Gavin mengangguk paham. Sekarang ia semakin yakin bahwa gosip soal Rana pernah menjadi istri Zayyan lalu bercerai itu benar adanya.Ya, karena selama ini hanya Tiya yang tahu fakta itu. Zayyan sendiri yang meminta Rana untuk tidak membocorkan soal pernikahan mereka di kamp