"Kamu kalau mau makan malam bisa minta Bang Ardi, aku mau pergi kerja," pamit Gendhis melongok di pintu kamar Rai. Sang suami tengah duduk menghadapi jendela, sibuk dengan ingatannya mungkin. "Pulang jam berapa?" gumam Rai spontan. "Aku nggak pulang malam ini, besok pagi baru balik. Ini hari pertamaku kerja, jadi aku balik ke tempat Danisha dulu," terang Gendhis. "Aku nggak perlu bantuan lagi," ucap Rai. "Jangan ngaku-ngaku ke orang lain sebagai istriku," cegahnya. "Ngaku-ngaku?" Gendhis yang semula hanya melongok di pintu, akhirnya masuk ke dalam kamar, "terus bikin kamu gagal nikahin Kiara? Itu yang kamu takutin?""Aku harus jadi ketua perkumpulan, itu satu-satunya caraku buat balas budi sama keluarga ini," desis Rai. "Kalau dengan ngaku-ngaku sebagai istriku bisa datengin keuntungan buatmu, berhentilah. Aku nggak akan tinggal diem," ancamnya. Gendhis tertawa seraya mengusap tengkuknya, "Kamu bisa liat di buku nikah kita. Ada di lemari kamu, semua bukti kalau aku adalah istrimu
"Ngapain?" tegur Danisha saat melihat Rai diantar Ardi datang ke kasino. "Dia penasaran sama istrinya," jawab Ardi mengedikkan dagunya ke arah Rai yang langsung membaur ke pengunjung kasino, "kayaknya kepalanya muter terus gara-gara Gendhis bilang kalau mereka suami-istri," tandasnya. "Kalau Ben tau Christ muncul di sini, bisa dicambuk tu anak. Udah dibilang diem dulu di rumah, suasana lagi nggak baik, malah ngeyel," desis Danisha sambil ngeloyor mengejar sang ponakan. "Jangan menarik perhatian ya lo!" larangnya menarik kerah jas Rai sedikit kasar. "Bisa oleng gue-nya, Tante," protes Rai yang masih terpincang sesekali saat harus bermobilisasi tanpa kursi roda. "Ngapain lo muncul di sini? Nggak nurut sama Ketua?" gemas Danisha. "Nyari dia!" tunjuk Rai ke arah Gendhis yang tengah menyajikan minuman untuk beberapa tamu. "Istri gue, kan?" "Ya biarin aja dia kerja, ngapain juga lo awasin di sini," protes Danisha. "Kalau sampe ada masalah, gue yang kena tegur Ketua ya Christ!" sungutn
Gendhis langsung pergi setelah mengatai Rai dan enggan menemuinya lagi sepanjang Rai bertahan di kasino. Dadanya sesak, hatinya kesal bukan main. Serasa ia ingin menyerah dan pergi saja dari rumah yang disediakan Ben untuk tempat pemulihan Rai itu. Namun, di sinilah Gendhis kini, di pintu utama rumah yang sama, baru saja pulang kerja keesokan paginya. Ia tarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintunya, memantapkan hati. "Pulang ke sini juga? Kukira udah nggak mau ketemu sama bangsat kayak aku," tukas Rai menyambut Gendhis yang baru saja datang dari pintu. "Aku punya kesepakatan sama Ann dan Ben untuk tetap di sini," balas Gendhis sekenanya. "Kamu udah sarapan? Aku beli barusan di jalan pulang. Kalau kamu mau, ayo sarapan bareng," ajaknya sudah malas berdebat. "Aku bakalan menceraikanmu secepatnya," ucap Rai seketika membuat langkah Gendhis yang mengarah ke dapur, berhenti. "Kalau kamu butuh kompensasi, sebutin aja nominalnya," katanya. "Terserahmu," ucap Gendhis pasrah, lelah se
"Argh… Sakit, sakit banget!" "Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin men
Gendhis menyipitkan pandangannya, rasa haus yang amat sangat memenuhi mulut dan tenggorokannya. Samar ia dengar suara orang tengah mengobrol, tapi kantuk yang menggantung di matanya memaksa Gendhis kembali memejamkan mata. "Semisal saya tinggal pulang dan nggak ada yang nemenin, apa aman, Dok?" Suara berisik di sebelahnya semakin terdengar jelas oleh Gendhis. Seseorang tengah mengobrol dengan dokter, membicarakan kondisinya. "Silakan, ada perawat kami yang bisa diandalkan. Pasien juga baru boleh makan setelah lewat tengah malam," balas suara berat lain. Gendhis mengenal suara bariton seksi ini, milik sebuah nama yang menghuni sisi lain hatinya. Kali ini, Gendhis berusaha lagi membuka mata. Kantuk seketika menyerang, tapi ia tak menyerah. Ia harus tahu, siapa pemilik suara berat yang mengobrol di sampingnya. "Kalau gitu, gue balik dulu, bisa berantakan kerjaan kalau gue lama-lama di sini. Nanti gue kirim orang buat jagain lo," pamit si perempuan paruh baya berdandan men
"Ada yang mau ditanyakan?" Gendhis bungkam, ia hanya menatap tajam pada sosok tampan berjas snelli dengan masker menutupi separuh wajahnya itu. Tiga hari pasca operasi, Gendhis dipindahkan ke ruang perawatan setelah kondisinya dipastikan stabil. "Kapan dia bisa dibawa pulang, Dok?" Wida—perempuan berpenampilan mencolok yang tak pernah berada jauh dari sisi Gendhis, sang mucikari veteran. "Harus dilihat perkembangannya Bu," jawab dokter di sebelah ranjang Gendhis, Dokter Christ, atau Gendhis mengenalnya sebagai Rai. "Kamu jijik sama aku?" tanya Gendhis tiba-tiba, menatap tajam pada Rai. "Ya?" Rai mengernyit tak mengerti. "Ah, aku bener. Sikapmu yang begini… aku paham kok,” ujar Gendhis terdengar kecewa. “Kupikir malam itu aku emang cuma mimpi." "Sepertinya sudah tidak ada pertanyaan lagi. Kalau gitu, saya permisi.” Menatap punggung Rai yang berlalu, hati Gendhis seakan runtuh bak gletser di kutub. Perih menyayat bukan hanya pada bekas luka operasinya, tapi di dalam da
"Ada tindakan medis yang perlu saya lakukan?" tanya Rai seraya berdiri dari kursinya. Gendhis tertegun, ia amati Rai yang sibuk memberesi beberapa barangnya, pun juga mengganti masker di wajahnya dengan yang baru. Untuk sepersekian detik, Gendhis terhenyak. Pria di hadapannya ini benar-benar Rai-nya 13 tahun lalu, cinta pertamanya. "Terima kasih sudah mendonorkan darah untuk saya," sebut Gendhis terbata, berubah dalam mode formal yang canggung. "Juga, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya.” "Sudah kewajiban saya," balas Rai singkat. "Suster Tiwi akan mengantar Mbak kembali ke kamar rawat," ucapnya sembari memberi kode pada perempuan di pintu, perawat yang dimaksud. "Gendhis Kemuning Btari, nama saya," ujar Gendhis. "Barangkali Dokter lupa," tandasnya menusuk. Kini giliran Rai yang mematung, gerakannya yang sudah siap menenteng tas, terhenti. Tatapan matanya berubah, menusuk pada sang pasien yang masih berusaha menahan tangis di kursi rodanya itu. Lelaki itu memberik
"Banyak staf perawat bertanya ke saya, apa hubungan Dokter dengan pasien K.E.T itu," sebut Suster Tiwi mengiringi langkah Rai menuju parkiran di hari lain seusai praktik di poli. "Terus Mbak Tiwi jawab apa?" balas Rai tak acuh. "Rumor tersebar, mereka pikir Dokter Christ adalah salah satu pelanggannya di rumah bordil," kata Tiwi hati-hati. "Ya biar aja mereka nganggap begitu." "Tapi banyak yang nggak rela, Dokter kan maskot ketampanan rumah sakit kita, masa jajan di rumah bordil. Nggak mungkin kan Dok?" Rai tersenyum, "Menurut Mbak Tiwi, saya begitu nggak?" tanyanya. "Enggak," tegas Suster Tiwi. "Dok, jangan ya," pintanya sudah seperti kakak bagi Rai. "Iya," sahut Rai geli. "Gendhis, hari ini dia bisa pulang. Mbak sudah buatkan surat kontrolnya untuk dua minggu ke depan?" tanyanya. "Siap, sudah Dokter!" balas Suster Tiwi. Rai mengangguk, lantas melambai ringan pada Tiwi sebelum akhirnya keduanya berpisah di simpang antara lobi dan arah IGD. Seolah takdir me
Gendhis langsung pergi setelah mengatai Rai dan enggan menemuinya lagi sepanjang Rai bertahan di kasino. Dadanya sesak, hatinya kesal bukan main. Serasa ia ingin menyerah dan pergi saja dari rumah yang disediakan Ben untuk tempat pemulihan Rai itu. Namun, di sinilah Gendhis kini, di pintu utama rumah yang sama, baru saja pulang kerja keesokan paginya. Ia tarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintunya, memantapkan hati. "Pulang ke sini juga? Kukira udah nggak mau ketemu sama bangsat kayak aku," tukas Rai menyambut Gendhis yang baru saja datang dari pintu. "Aku punya kesepakatan sama Ann dan Ben untuk tetap di sini," balas Gendhis sekenanya. "Kamu udah sarapan? Aku beli barusan di jalan pulang. Kalau kamu mau, ayo sarapan bareng," ajaknya sudah malas berdebat. "Aku bakalan menceraikanmu secepatnya," ucap Rai seketika membuat langkah Gendhis yang mengarah ke dapur, berhenti. "Kalau kamu butuh kompensasi, sebutin aja nominalnya," katanya. "Terserahmu," ucap Gendhis pasrah, lelah se
"Ngapain?" tegur Danisha saat melihat Rai diantar Ardi datang ke kasino. "Dia penasaran sama istrinya," jawab Ardi mengedikkan dagunya ke arah Rai yang langsung membaur ke pengunjung kasino, "kayaknya kepalanya muter terus gara-gara Gendhis bilang kalau mereka suami-istri," tandasnya. "Kalau Ben tau Christ muncul di sini, bisa dicambuk tu anak. Udah dibilang diem dulu di rumah, suasana lagi nggak baik, malah ngeyel," desis Danisha sambil ngeloyor mengejar sang ponakan. "Jangan menarik perhatian ya lo!" larangnya menarik kerah jas Rai sedikit kasar. "Bisa oleng gue-nya, Tante," protes Rai yang masih terpincang sesekali saat harus bermobilisasi tanpa kursi roda. "Ngapain lo muncul di sini? Nggak nurut sama Ketua?" gemas Danisha. "Nyari dia!" tunjuk Rai ke arah Gendhis yang tengah menyajikan minuman untuk beberapa tamu. "Istri gue, kan?" "Ya biarin aja dia kerja, ngapain juga lo awasin di sini," protes Danisha. "Kalau sampe ada masalah, gue yang kena tegur Ketua ya Christ!" sungutn
"Kamu kalau mau makan malam bisa minta Bang Ardi, aku mau pergi kerja," pamit Gendhis melongok di pintu kamar Rai. Sang suami tengah duduk menghadapi jendela, sibuk dengan ingatannya mungkin. "Pulang jam berapa?" gumam Rai spontan. "Aku nggak pulang malam ini, besok pagi baru balik. Ini hari pertamaku kerja, jadi aku balik ke tempat Danisha dulu," terang Gendhis. "Aku nggak perlu bantuan lagi," ucap Rai. "Jangan ngaku-ngaku ke orang lain sebagai istriku," cegahnya. "Ngaku-ngaku?" Gendhis yang semula hanya melongok di pintu, akhirnya masuk ke dalam kamar, "terus bikin kamu gagal nikahin Kiara? Itu yang kamu takutin?""Aku harus jadi ketua perkumpulan, itu satu-satunya caraku buat balas budi sama keluarga ini," desis Rai. "Kalau dengan ngaku-ngaku sebagai istriku bisa datengin keuntungan buatmu, berhentilah. Aku nggak akan tinggal diem," ancamnya. Gendhis tertawa seraya mengusap tengkuknya, "Kamu bisa liat di buku nikah kita. Ada di lemari kamu, semua bukti kalau aku adalah istrimu
"Kalau ada apa-apa, kamu hubungi kami ya, Ndhis," pesan Ann sebelum masuk ke dalam mobil. "Ada Bastian yang bakalan standby," tambahnya seraya melambai ringan berbarengan dengan melajunya mobil meninggalkan halaman rumah baru itu. Sepi. Kini, hanya bersisa Gendhis dan Rai saja. Ardi akan datang nanti menjelang sore, menggantikan peran Gendhis yang sebenarnya belum harus berangkat bekerja, tapi tak mau membuat Rai curiga."Aku anter masuk, Aniki," kata Gendhis tersadar, ia segera memposisikan diri di belakang kursi roda Rai. "Mau istirahat di kamar?" "Nggak perlu, aku bisa jalan sendiri, nggak usah pake kursi roda," balas Rai langsung menolak. Tak membantah, Gendhis langsung menjauh dari kursi roda. Tak perlu ditanya bagaimana hatinya, sudah pasti hancur. Apalagi saat Rai yang tanpa beban berkata akan menikahi Kiara secepatnya, seperti janjinya pada Taka-Sama. Pun bagaimana menjelaskan posisinya di saat Rai bahkan tak mengingatnya sama sekali, juga semua kenangan mereka. "Apa kita
"Ini rumah baru kamu," ucap Ann pada Rai yang mengitarkan pandangan ke seisi rumahnya sendiri, tempat baru yang Ben siapkan untuk Rai memulihkan kesehatannya.Setelah tinggal di Singapura satu setengah bulan lamanya, Rai akhirnya dibawa pulang ke Indonesia. Tidak ada yang diijinkan menyambut kedatangannya, termasuk Kiara, mengingat kondisi ingatan Rai yang memang banyak terhapus itu. Terlebih, keberadaan Rai memang sengaja dirahasiakan sebelum penabrak dan otak dari peristiwa berdarah itu, ditemukan. "Gendhis," ujar Ann lagi, ia merentangkan tangannya pada Gendhis yang berdiri kaku tak jauh dari Rai, "dia yang bakalan bantu aku ngurus kamu di rumah."Tertegun, Gendhis maju selangkah mendekat, ia membungkukkan badannya memberi penghormatan. Benar, ia telah diberitahu segalanya, termasuk mengenai kondisi Rai yang kehilangan ingatan dan tak lagi mengingatnya. Bukan hanya melupakan sosok Gendhis, Rai begitu asing dengan orang-orang baru, yang terekam dalam otaknya hanyalah doktrin Eriska
"Tinggal penyembuhan kakinya aja," kata Rai menyambut kedatangan Ann dan Ben, lokasinya akhirnya ditemukan. "Syukurlah," desis Ann lega. "Butuh waktu tiga minggu buat nemuin kamu, Christ," tandasnya melirik Taka-Sama di sudut kamar. "Aku nggak bermaksud menyembunyikannya. Kubawa dia ke Singapura biar dapet perawatan terbaik," sangkal Taka-Sama, menepis sorot menuduh dari mata Ann. "Kukira aku udah dibawa ke Jepang," celetuk Rai tertawa. Ann dan Ben saling berpandangan, mereka lalu menoleh Taka-Sama bersamaan. Ada pertanyaan besar menggantung di mata Ben dan Ann, membuat Taka-Sama sedikit kelimpungan. "Ingatannya terhapus karena benturan di kepala. Kata dokter, memorinya terhenti di umur 16 tahun, setelahnya, Christ nggak mengingat apapun," terang Taka-Sama dalam suara beratnya. "Mas," Ann meremas lengan suaminya, terperangah kaget. "Gimana ini?" "Apanya yang gimana?" sela Taka-Sama cepat. "Dia tetep inget kalau dia disiapkan buat jadi calon ketua," tandasnya. "Dia dokter spesi
Gendhis membuka matanya setelah tertidur selama hampir 3 hari. Beberapa bagian tubuhnya terbalut perban, infus masih menempel di punggung telapak tangannya. "Rai," Gendhis mengerang pelan, ia rasakan sekujur tubuhnya memanas dan mati rasa. "Gendhis," Danisha yang Gendhis temui pertama kali, bukan Rai. "Gue lapor perawat dulu," Bastian sontak berdiri, ia keluar dari dalam ruangan setelah Danisha memberinya anggukan. "Rai, di mana?" tanya Gendhis terbata. Danisha hanya menjawab Gendhis dengan senyuman. Ia duduk di sebelah pembaringan Gendhis, mengusap lembut lengan istri keponakannya itu."Kak, Rai nggak pa-pa kan?" desak Gendhis memaksakan suaranya. Sejak dikenalkan pertama kali oleh Rai di kasino, Gendhis memang sengaja memanggil bungsu Takahashi itu dengan sebutan 'kakak.'"Nggak pa-pa, dia ada di ruangan lain," jawab Danisha berusaha menenangkan Gendhis. "Beneran? Aku liat dia kelempar tadi," ungkap Gendhis tiba-tiba sedih. "Dia kebentur keras di trotoar kan?" "Udah tiga hari
"Kalau emang nggak ada waktu nggak usah dipaksain ah," Gendhis menepuk lengan Rai lembut. "Bulan madu bisa di rumah juga," ucapnya sambil berusaha mengimbangi langkah Rai yang lebar itu. "Beneran nggak pa-pa?" tanya Rai. Ia sengaja menghentikan langkahnya seraya menatap Gendhis dengan sorot teduhnya yang membius. "Aku pengin kamu juga menikmati pernikahan kita sebagaimana pasangan lainnya, Ndhis," tandasnya. "Aku menikmati kok," ucap Gendhis mengembangkan senyumnya. 'Aku sadar nilaiku, nggak boleh nuntut yang macem-macem ke kamu.'"Tapi ekspresimu nggak bilang gitu. Ke depannya, aku bakalan usahain semaksimal mungkin buat kebahagiaanmu," janji Rai. "Aku tau kamu cukup terbebani sama situasi kita saat ini. Bahkan mungkin, nikah sama aku sebenernya nggak ada dalam to do list hidupmu.""Nikah sama kamu emang dadakan, nggak pernah terpikir di kepalaku sama sekali, dan nggak ada dalam anganku bakalan jadi istrimu secepat ini. Tapi aku bahagia, Rai. Aku seneng bisa dampingin kamu.""Terus
"It's okay Dok, mungkin akan normal untuk satu atau dua bulan ke depan. Nggak ada masalah," ucap Dokter Andri pada Rai. Ia baru saja selesai memeriksa Gendhis di urutan terakhir. "Makasih Dok, maaf bikin Dokter Andri telat pulang," balas Rai. "Nggak masalah," kata Dokter Andri tak keberatan. "Mbak Gendhis, nanti kalau ada yang mau ditanyakan bisa ke Dokter Christ, hasil USG juga nggak perlu penjelasan dari saya, ya," ucapnya. "Iya, makasih Dokter," gumam Gendhis tersenyum simpul. "Kalau gitu kami pamit, Dok. Makasih sekali lagi," ujar Rai kemudian berdiri, ia papah Gendhis keluar dari ruang praktik Dokter Andri, lalu memintanya untuk duduk di kursi tunggu. "Biar kuurus administrasinya bentar. Aku belom bisa pake identitas sebagai suamimu, jadi kamu nggak bisa jadi penerima manfaat fasilitas untuk keluarga tenaga medis di rumah sakit ini," terangnya."Iya nggak pa-pa," ucap Gendhis maklum. "Aku tunggu di sini," katanya. Menatap langkah Rai yang menjauh, pikiran Gendhis kembali mel