Gendhis merebahkan tubuhnya di ranjang kamar setelah enggan menanggapi Rai yang meracau tak jelas dan menuduhnya macam-macam. Rasanya, ingin ia sumbat saja lubang telinganya agar tak lagi mendengar apa yang Rai tuduhkan. Ia tidak ingin melawan suaminya, tahu bahwa Rai menderita dan terluka karena harus melindunginya, Gendhis terima saja apapun tuduhan sang suaminya itu padanya. "Aku harus ketemu sama Kiara," Rai tiba-tiba menguak pintu kamar Gendhis dan berkacak pinggang di sana. "Ikut aku, kamu yang diminta Ann buat bantu ngurus kebutuhanku kan?" Gendhis berdecak malas, "Ada Bang Ardi kan? Kamu bisa minta dia buat nganter," tolaknya. "Jadi kamu emang cuma beneran numpang? Nggak mau ngasih manfaat apa-apa di sini?" tuduh Rai. "Aku istri kamu, Rai! Bukan pembantu!" "Wah," Rai tertawa meremehkan. "Status yang kamu dapet dari menjebakku dengan cara licik, apa pantes buat dibanggakan? Kalau nggak mau nurutin perintah Ann buat ngerawat suamimu ini, jangan tinggal di sini!" sentaknya k
"Operasi?" desis Rai ketika Gendhis mendorongnya kuat-kuat, menolak pagutannya. "Tato ini?" ia tunjuk tato burung phoenix di perut Gendhis."Kamu katanya mau ketemu Kiara," balas Gendhis enggan menjawab rasa penasaran Rai. Ia kenakan t-shirt berwarna hitam dan rok pendek jeans sepahanya. "Biar aku suruh sopir siap-siap," ucapnya sambil menyambar beberapa barang yang akan dibawanya. "Tato itu!" sengal Rai menahan pundak Gendhis yang sudah siap keluar menuju pintu. "Bukan orang sembarangan yang boleh punya tanda identitas phoenix di tubuhnya," gumamnya penuh selidik."Iya, dan aku punya tato burung phoenix di perutku. Artinya aku bukan orang sembarangan, kan?" "Siapa yang nyuruh kamu bikin tato itu?" desak Rai. "Kamu!" sergah Gendhis dengan mata membulat sempurna. "Aku dianter Ann dan Danisha ke tempat Aiko buat bikin tato ini! Inget-inget coba! Cari memori itu di kepala kamu yang kosong itu!" teriaknya melepas cengkeraman Rai dan terburu keluar dari dalam kamarnya. Masih tak habi
"Setelah Abang dibawa ke Singapura, kita baru sempat ketemu hari ini. Makasih udah ngajakin aku ketemuan," ucap Kiara centil. Ia sengaja bersikap seperti itu meski Gendhis sudah pergi menjauh, membiarkan ia dan Rai mengobrol berdua. "Sorry, aku nggak punya ingatan apapun soal kita, seberapa akrabnya kita sebelumnya," ucap Rai sopan sekali. Kiara melebarkan senyumnya, "Kita deket banget, soalnya kan kita kerja di rumah sakit yang sama. Karena kecelakaan kemarin, kamu jadi harus ambil cuti panjang, Bang," ungkapnya berdusta. Rai manggut-manggut, sambil mengunyah makanan kadang sudut matanya mencari sosok Gendhis yang memilih untuk duduk di sudut restoran, sedikit agak jauh dari posisinya. Perempuan itu sengaja mengambil meja di luar ruangan agar ia bisa merokok dengan leluasa. "Aku nggak nyangka Tante Ann bakalan nyuruh perempuan itu buat ngerawat kamu. Coba aja aku nggak harus ada tanggungan di rumah sakit, pasti aku yang bakalan ngerawat kamu, Bang," sergah Kiara. Rai hanya menge
"Aku pengin makan mie instan," sebut Rai suatu sore, tepat saat Gendhis sudah bersiap untuk berangkat bekerja. "Kamu bisa bikin sendiri, mie-nya ada di kabinet atas kompor, di dapur," ucap Gendhis yang memang sengaja dilibatkan Danisha saat mempersiapkan rumah ini demi merawat kesembuhan Rai. "Aku nggak akan ngomong ke kamu kalau bisa masak sendiri," ucap Rai. "Bukannya kamu emang bisa masak? Semua lelaki di keluarga Takahashi punya keahlian masak.""Masak, bukan bikin mie instan," sahut Rai membuat alasan. "Aku udah mau berangkat kerja," bantah Gendhis enggan. "Oh, oke. Jadi emang nggak ada bedanya ada kamu atau enggak," desis Rai mencibir. "Ya udah, kubikinin dulu," desah Gendhis mengalah. Ia tabrak bahu Rai yang berdiri di pintunya dengan sengaja. Tanpa Gendhis sadari, senyum simpul terbit di bibir Rai saat merasa berhasil mengerjainya. Entah kenapa, dalam hatinya, Rai pun seakan mendapat kepuasan tersendiri setelah melihat perempuan yang keukeuh ingin ia ceraikan ini bersun
"Kamu akhirnya kerja di sini, Gendhis," sapa Axel sengaja mencegat Gendhis yang baru selesai mengantar minuman. "Hai," senyum Gendhis terbit, "iya, di sini lebih baik ketimbang di rumah bordil," ungkapnya blak-blakan. "Serius, aku nggak tau gimana ceritanya kamu bisa sampai di sana. Aku perlu denger ceritanya dari kamu langsung," ujar Axel. "Boleh bawain aku vodka dan kita ngobrol bentar?" pintanya. Gendhis mengangguk, dipesankannya minuman keras permintaan Axel pada bartender, kemudian ia bawakan kembali ke meja yang Axel pesan untuk dirinya sendiri itu. Teman lama ini sudah tak berjumpa bertahun-tahun. Terakhir bertemu, suasana sedikit tidak mengenakkan karena Rai yang sengak dan ketus menanggapi Axel. "Setelah diseret Papa dari bar, aku dijual ke rumah bordil, sejak itulah aku jadi pelacur buat bertahan hidup," lirih Gendhis pilu. "Aku minta maaf karena nggak bisa ngelakuin apa-apa buat bantu kamu saat itu, posisiku serba salah," sesal Axel tulus. Gendhis menggeleng cepat, "N
"Lo cuma cemburu, Christ, ngaku aja!" ledek Danisha menahan tawa gemasnya. "Inget dia aja enggak, gimana mau cemburu," elak Rai gengsi. "Kepala lo nggak inget, tapi hati lo nggak bisa lupa. Mata lo tuh, kayak serigala ngincer mangsa kalau liat Gendhis ngobrol sama pelanggan kita.""Dia ngaku sebagai istri gue tapi tempel sana tempel sini. Istri Aniki, begitu?" "Halah," Danisha mencibir, "anak kecil udah punya istri masih mau nikah lagi, lo sadar deh mending Christ. Fokus aja dapetin tahta ketua tanpa harus nikahin Kiara. Nyakitin Gendhis pada akhirnya bakalan bikin lo hancur kalau sampe ingatan lo balik lagi.""Gue malah mau nyeraiin dia sebelum nikah sama Kiara," ucap Rai mantap. "Yakin? Nggak bakal nyesel? Lo kecintaan banget sih sama Gendhis sebelom separuh otak lo itu ilang. Serius gue nggak peres," sahut Danisha apa adanya. "Jangan sampe nyesel kayak Ben dulu," ujarnya memberi peringatan. "Ben emang kenapa?""Lo lupa kalau Ane-san pernah ngilang selama 3 tahun karena Ben yan
Gendhis tak kuasa menolak dorongan dalam dirinya saat Rai justru menariknya naik ke ranjang. Mereka masih saling berpagutan, bertukar rindu yang tertahan karena keadaan. Meski dipengaruhi alkohol, Rai tahu bahwa ia tengah menciumi sosok Gendhis. Hatinya menginginkan Gendhis, terbukti dari bagaimana ia kelimpungan mencari Gendhis hingga ke kasino hanya untuk memastikan tak ada satu orangpun yang berani menyentuh sang istri."Rai," Gendhis memaksa melepas pagutan. Ia sudah ada dalam posisi berbaring, Rai ada di atasnya setengah menindih. Ditangkupnya kedua pipi sang suami, sorot mata Rai tampak redup, dipenuhi gairah. "Bukannya tugas istri itu ngelayanin suami?" bisik Rai, sengaja berbisik di samping telinga Gendhis, mengembus napas hangatnya. Sekuat apapun mulut Rai menolak kehadiran Gendhis, hatinya bertolak belakang. Tubuhnya bak sakau saat berada jauh dari sang istri, candu yang Gendhis tanamkan dalam jiwa Rai membuat Rai tak kuasa menahan diri untuk tidak menyentuhnya."Aku harap
"Argh… Sakit, sakit banget!" "Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin men
Gendhis tak kuasa menolak dorongan dalam dirinya saat Rai justru menariknya naik ke ranjang. Mereka masih saling berpagutan, bertukar rindu yang tertahan karena keadaan. Meski dipengaruhi alkohol, Rai tahu bahwa ia tengah menciumi sosok Gendhis. Hatinya menginginkan Gendhis, terbukti dari bagaimana ia kelimpungan mencari Gendhis hingga ke kasino hanya untuk memastikan tak ada satu orangpun yang berani menyentuh sang istri."Rai," Gendhis memaksa melepas pagutan. Ia sudah ada dalam posisi berbaring, Rai ada di atasnya setengah menindih. Ditangkupnya kedua pipi sang suami, sorot mata Rai tampak redup, dipenuhi gairah. "Bukannya tugas istri itu ngelayanin suami?" bisik Rai, sengaja berbisik di samping telinga Gendhis, mengembus napas hangatnya. Sekuat apapun mulut Rai menolak kehadiran Gendhis, hatinya bertolak belakang. Tubuhnya bak sakau saat berada jauh dari sang istri, candu yang Gendhis tanamkan dalam jiwa Rai membuat Rai tak kuasa menahan diri untuk tidak menyentuhnya."Aku harap
"Lo cuma cemburu, Christ, ngaku aja!" ledek Danisha menahan tawa gemasnya. "Inget dia aja enggak, gimana mau cemburu," elak Rai gengsi. "Kepala lo nggak inget, tapi hati lo nggak bisa lupa. Mata lo tuh, kayak serigala ngincer mangsa kalau liat Gendhis ngobrol sama pelanggan kita.""Dia ngaku sebagai istri gue tapi tempel sana tempel sini. Istri Aniki, begitu?" "Halah," Danisha mencibir, "anak kecil udah punya istri masih mau nikah lagi, lo sadar deh mending Christ. Fokus aja dapetin tahta ketua tanpa harus nikahin Kiara. Nyakitin Gendhis pada akhirnya bakalan bikin lo hancur kalau sampe ingatan lo balik lagi.""Gue malah mau nyeraiin dia sebelum nikah sama Kiara," ucap Rai mantap. "Yakin? Nggak bakal nyesel? Lo kecintaan banget sih sama Gendhis sebelom separuh otak lo itu ilang. Serius gue nggak peres," sahut Danisha apa adanya. "Jangan sampe nyesel kayak Ben dulu," ujarnya memberi peringatan. "Ben emang kenapa?""Lo lupa kalau Ane-san pernah ngilang selama 3 tahun karena Ben yan
"Kamu akhirnya kerja di sini, Gendhis," sapa Axel sengaja mencegat Gendhis yang baru selesai mengantar minuman. "Hai," senyum Gendhis terbit, "iya, di sini lebih baik ketimbang di rumah bordil," ungkapnya blak-blakan. "Serius, aku nggak tau gimana ceritanya kamu bisa sampai di sana. Aku perlu denger ceritanya dari kamu langsung," ujar Axel. "Boleh bawain aku vodka dan kita ngobrol bentar?" pintanya. Gendhis mengangguk, dipesankannya minuman keras permintaan Axel pada bartender, kemudian ia bawakan kembali ke meja yang Axel pesan untuk dirinya sendiri itu. Teman lama ini sudah tak berjumpa bertahun-tahun. Terakhir bertemu, suasana sedikit tidak mengenakkan karena Rai yang sengak dan ketus menanggapi Axel. "Setelah diseret Papa dari bar, aku dijual ke rumah bordil, sejak itulah aku jadi pelacur buat bertahan hidup," lirih Gendhis pilu. "Aku minta maaf karena nggak bisa ngelakuin apa-apa buat bantu kamu saat itu, posisiku serba salah," sesal Axel tulus. Gendhis menggeleng cepat, "N
"Aku pengin makan mie instan," sebut Rai suatu sore, tepat saat Gendhis sudah bersiap untuk berangkat bekerja. "Kamu bisa bikin sendiri, mie-nya ada di kabinet atas kompor, di dapur," ucap Gendhis yang memang sengaja dilibatkan Danisha saat mempersiapkan rumah ini demi merawat kesembuhan Rai. "Aku nggak akan ngomong ke kamu kalau bisa masak sendiri," ucap Rai. "Bukannya kamu emang bisa masak? Semua lelaki di keluarga Takahashi punya keahlian masak.""Masak, bukan bikin mie instan," sahut Rai membuat alasan. "Aku udah mau berangkat kerja," bantah Gendhis enggan. "Oh, oke. Jadi emang nggak ada bedanya ada kamu atau enggak," desis Rai mencibir. "Ya udah, kubikinin dulu," desah Gendhis mengalah. Ia tabrak bahu Rai yang berdiri di pintunya dengan sengaja. Tanpa Gendhis sadari, senyum simpul terbit di bibir Rai saat merasa berhasil mengerjainya. Entah kenapa, dalam hatinya, Rai pun seakan mendapat kepuasan tersendiri setelah melihat perempuan yang keukeuh ingin ia ceraikan ini bersun
"Setelah Abang dibawa ke Singapura, kita baru sempat ketemu hari ini. Makasih udah ngajakin aku ketemuan," ucap Kiara centil. Ia sengaja bersikap seperti itu meski Gendhis sudah pergi menjauh, membiarkan ia dan Rai mengobrol berdua. "Sorry, aku nggak punya ingatan apapun soal kita, seberapa akrabnya kita sebelumnya," ucap Rai sopan sekali. Kiara melebarkan senyumnya, "Kita deket banget, soalnya kan kita kerja di rumah sakit yang sama. Karena kecelakaan kemarin, kamu jadi harus ambil cuti panjang, Bang," ungkapnya berdusta. Rai manggut-manggut, sambil mengunyah makanan kadang sudut matanya mencari sosok Gendhis yang memilih untuk duduk di sudut restoran, sedikit agak jauh dari posisinya. Perempuan itu sengaja mengambil meja di luar ruangan agar ia bisa merokok dengan leluasa. "Aku nggak nyangka Tante Ann bakalan nyuruh perempuan itu buat ngerawat kamu. Coba aja aku nggak harus ada tanggungan di rumah sakit, pasti aku yang bakalan ngerawat kamu, Bang," sergah Kiara. Rai hanya menge
"Operasi?" desis Rai ketika Gendhis mendorongnya kuat-kuat, menolak pagutannya. "Tato ini?" ia tunjuk tato burung phoenix di perut Gendhis."Kamu katanya mau ketemu Kiara," balas Gendhis enggan menjawab rasa penasaran Rai. Ia kenakan t-shirt berwarna hitam dan rok pendek jeans sepahanya. "Biar aku suruh sopir siap-siap," ucapnya sambil menyambar beberapa barang yang akan dibawanya. "Tato itu!" sengal Rai menahan pundak Gendhis yang sudah siap keluar menuju pintu. "Bukan orang sembarangan yang boleh punya tanda identitas phoenix di tubuhnya," gumamnya penuh selidik."Iya, dan aku punya tato burung phoenix di perutku. Artinya aku bukan orang sembarangan, kan?" "Siapa yang nyuruh kamu bikin tato itu?" desak Rai. "Kamu!" sergah Gendhis dengan mata membulat sempurna. "Aku dianter Ann dan Danisha ke tempat Aiko buat bikin tato ini! Inget-inget coba! Cari memori itu di kepala kamu yang kosong itu!" teriaknya melepas cengkeraman Rai dan terburu keluar dari dalam kamarnya. Masih tak habi
Gendhis merebahkan tubuhnya di ranjang kamar setelah enggan menanggapi Rai yang meracau tak jelas dan menuduhnya macam-macam. Rasanya, ingin ia sumbat saja lubang telinganya agar tak lagi mendengar apa yang Rai tuduhkan. Ia tidak ingin melawan suaminya, tahu bahwa Rai menderita dan terluka karena harus melindunginya, Gendhis terima saja apapun tuduhan sang suaminya itu padanya. "Aku harus ketemu sama Kiara," Rai tiba-tiba menguak pintu kamar Gendhis dan berkacak pinggang di sana. "Ikut aku, kamu yang diminta Ann buat bantu ngurus kebutuhanku kan?" Gendhis berdecak malas, "Ada Bang Ardi kan? Kamu bisa minta dia buat nganter," tolaknya. "Jadi kamu emang cuma beneran numpang? Nggak mau ngasih manfaat apa-apa di sini?" tuduh Rai. "Aku istri kamu, Rai! Bukan pembantu!" "Wah," Rai tertawa meremehkan. "Status yang kamu dapet dari menjebakku dengan cara licik, apa pantes buat dibanggakan? Kalau nggak mau nurutin perintah Ann buat ngerawat suamimu ini, jangan tinggal di sini!" sentaknya k
Gendhis langsung pergi setelah mengatai Rai dan enggan menemuinya lagi sepanjang Rai bertahan di kasino. Dadanya sesak, hatinya kesal bukan main. Serasa ia ingin menyerah dan pergi saja dari rumah yang disediakan Ben untuk tempat pemulihan Rai itu. Namun, di sinilah Gendhis kini, di pintu utama rumah yang sama, baru saja pulang kerja keesokan paginya. Ia tarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintunya, memantapkan hati. "Pulang ke sini juga? Kukira udah nggak mau ketemu sama bangsat kayak aku," tukas Rai menyambut Gendhis yang baru saja datang dari pintu. "Aku punya kesepakatan sama Ann dan Ben untuk tetap di sini," balas Gendhis sekenanya. "Kamu udah sarapan? Aku beli barusan di jalan pulang. Kalau kamu mau, ayo sarapan bareng," ajaknya sudah malas berdebat. "Aku bakalan menceraikanmu secepatnya," ucap Rai seketika membuat langkah Gendhis yang mengarah ke dapur, berhenti. "Kalau kamu butuh kompensasi, sebutin aja nominalnya," katanya. "Terserahmu," ucap Gendhis pasrah, lelah se
"Ngapain?" tegur Danisha saat melihat Rai diantar Ardi datang ke kasino. "Dia penasaran sama istrinya," jawab Ardi mengedikkan dagunya ke arah Rai yang langsung membaur ke pengunjung kasino, "kayaknya kepalanya muter terus gara-gara Gendhis bilang kalau mereka suami-istri," tandasnya. "Kalau Ben tau Christ muncul di sini, bisa dicambuk tu anak. Udah dibilang diem dulu di rumah, suasana lagi nggak baik, malah ngeyel," desis Danisha sambil ngeloyor mengejar sang ponakan. "Jangan menarik perhatian ya lo!" larangnya menarik kerah jas Rai sedikit kasar. "Bisa oleng gue-nya, Tante," protes Rai yang masih terpincang sesekali saat harus bermobilisasi tanpa kursi roda. "Ngapain lo muncul di sini? Nggak nurut sama Ketua?" gemas Danisha. "Nyari dia!" tunjuk Rai ke arah Gendhis yang tengah menyajikan minuman untuk beberapa tamu. "Istri gue, kan?" "Ya biarin aja dia kerja, ngapain juga lo awasin di sini," protes Danisha. "Kalau sampe ada masalah, gue yang kena tegur Ketua ya Christ!" sungutn