Ann tak menunggu Ben memberi jawaban atas sikapnya yang membuat sang suami harus menentukan pilihan. Ia memilih untuk bungkam, tapi ia tetap mengerjakan kewajibannya sebagai istri. Siang hari ia akan pulang untuk bersih-bersih dan berganti baju, lalu malam ia akan datang lagi, tidur di rumah sakit menemani sang suami. Sepanjang tiga hari Ben menghabiskan masa perawatannya di rumah sakit, selama itu pula Ann tak mengajak bicara suaminya. "Jangan maksain buat ngantor dulu, lo harus istirahat sampe bener-bener pulih," nasihat Bastian yang mengantar Ben istirahat ke kamar tepat di hari kepulangan sang ketua perkumpulan dari rumah sakit. "Gue nggak biasa baring-baring nggak ngapa-ngapain," desis Ben ngeyel."Lo tusuk lagi aja kakinya kalau dia ngeyel nggak mau istirahat, Ann," pinta Bastian menoleh Ann. Ann hanya mengangguk sekenanya. Ia tata beberapa baju ganti Ben yang masih bersih ke dalam lemari. Ekspresinya dingin, tak ceria seperti sebelumnya. Ann juga hanya bicara sekenanya menan
"Dirayu aja nggak mempan, ini malah mau nidurin," desis Ann berdiri spontan tapi Ben langsung menahan tangannya. "Aku harus gimana, Ann?" ulang Ben setengah putus asa. "Kamu janji buat cepet balik tanpa terluka, tapi kamu justru masuk IGD dengan perut bolong dan pas bangun nyebut nama mantan pacar kamu itu pula. Wajar nggak aku uring-uringan dan ngerasa terbuang gini?""Wajar," balas Ben. "Aku tau perasaanmu, Ann. Makanya aku berusaha buat bikin kekalutanmu ini berkurang. Aku bakalan ngilangin pikiran berhutang nyawa ke Eriska, aku nggak punya hutang apapun sama dia, dia yang berhutang banyak sama kita. Iya kan?" tanyanya. Ann diam. "Seandainya yang muncul buat pasang badan itu kamu, aku milih mati aja, Ann. Aku nggak mau kamu terluka. Jujur, ini aku nggak membela diri. Kenapa aku sampe bisa kena serangan Logan adalah karena dia bilang rumah juga diserang. Aku kepikiran kamu sama Danisha yang nggak ada back up orang-orang kita. Konsentrasiku terpecah. Kamu tau sendiri pedang itu s
"Aku nggak bisa ngebujuk kamu pake kata-kata. Jadi, biar kuselesaiin semuanya sekarang," desis Ben berusaha melepas cengkeraman Ann di lengannya. "Kamu masih belom pulih, Mas," kata Ann bertahan. "Aku nggak bisa diabaikan gini Ann, kamu harus kubikin percaya dulu. Lepasin, biar kususul sodara-sodaraku," ucap Ben keukeuh. "Aku ikut!" putus Ann. "Kalau kamu mau bikin aku percaya, bawa aku sama kamu, Mas!" tegasnya. "Kamu udah gila?" "Kenapa? Kamu pengin ninggalin aku buat ketemu sama Eriska?" tantang Ann. "Ane-san!" gemas Ben geregetan. "Aku ikut atau kamu nggak usah pergi.""Oke, ayok ikut. Kamu yang nyetir," desis Ben tak memiliki pilihan lain. Membuat keputusan bersama dengan resiko terluka nantinya memang tak bisa Ben hindari. Ia harus bisa meyakinkan istrinya, membuat Ann percaya perasaannya. Walau sebenarnya Ben tahu, Ann hanya ingin mengujinya, tidak benar-benar menginginkannya membunuh Eriska. "Ini lokasinya," ujar Ben menyerahkan ponselnya pada Ann. "Benji yang kirim,"
"Irfan nggak kekejar, tapi Eriska bisa diamanin sama Danisha," lapor Bastian begitu Ben dan Ann tiba di rumah sakit yang alamatnya dikirim oleh Benji pada Ben. "Kayaknya Eriska emang sengaja buat tinggal. Dia mau ketemu lo," tambahnya. "Sekarang di mana dia?" Ben meneliti sekitar. "Danisha bawa dia ke rumah Galang, basis kekuatan klan kita di sini. Kuta susul ke sana aja," jawab Bastian. "Eriska, apa dia baik-baik aja? Udah sehat?" tanya Ann sengaja menahan langkah Bastian. "Iya, dia baik-baik aja. Lengannya udah mulai pulih, dia kabur sama Irfan karena takut dikejar polisi," ungkap Bastian. "Sejak kapan Adyaksa takut sama polisi," desis Ann merasa aneh. "Kita liat dia dulu," ucap Ben seperti tak memedulikan kecurigaan Ann.Bastian sempat menatap Ann sebentar, melihat reaksi sang adik ipar yang datar itu. Baru kemudian ia berjalan lebih dulu diikuti oleh Ben dan Ann masuk ke dalam satu mobil yang sama, menuju rumah milik orang bernama Galang yang tadi disebutkan. Perjalanan dit
"Bunuh gue!" teriak Eriska keras-keras. "Cepetan! Matiin gue!" sengalnya seakan putus asa karena Ben sama sekali tak mau membelanya. "Ben, aku emang punya niat jelek, tapi aku nggak pernah menginginkan kematian kamu," ujarnya memelas. "Kalau lo pengin gue mati, lo udah bunuh gue sejak awal, Ka," balas Ben. "Itu kelemahan lo. Dan sekarang, lo ada di tangan perempuan yang jadi kelemahan gue. Apapun yang dia mau, gue nggak akan bisa nolak," tukasnya. Ann menyeringai tajam saat Eriska menatapnya penuh dendam. Ketegangan di dalam ruangan semakin memuncak saat Eriska berusaha melepaskan diri tapi Ann justru semakin kuat menekan mata pedang di tangannya hingga menggores kulit leher lawannya. Darah segar mengaliri piyama yang Eriska kenakan, tapi pemiliknya nampak tak gentar dan tak mau menurunkan pandangan. "Ann," Danisha mendekat, "langsung mati kayaknya terlalu gampang. Siksa dulu deh," usulnya. "Iya ya," Ann manggut-manggut. "Boleh kumaenin, Ketua?" tanyanya pada Ben. "Terserahmu," j
Setelah ketegangan yang terjadi di meja makan milik Galang sebelumnya, Ann memilih bungkam. Bahkan, hingga ia dan Ben tiba di rumah mereka, Ann sama sekali tak bicara. Bastian yang sangat paham situasi segera menggantikan peran Ann untuk memapah Ben. Meski sempat menolak, Ben akhirnya pasrah karena Ann ngeloyor begitu saja naik ke kamarnya. "Gue tau lo nggak ngerti isi kepala istri lo," desis Bastian sambil memapah Ben menaiki tangga. "Tapi lo harus paham kalau posisi paling nggak nyaman dan paling sakit itu adalah posisi Ane-san. Lo bangun nyariin Eriska, Ben, jangan bikin kesalahan dua kali atau serius, gue nikahin beneran Ann kayak wasiat lo waktu itu!" ancamnya sungguh-sungguh. "Gue masih hidup," desis Ben singkat. "Maka dari itu, selagi masih hidup, manfaatin waktu lo buat memahami Ann. Lo bersikap sok siap mati tapi lo nggak bisa nge-handle perasaan lo sendiri. Tuntasin Eriska, Ben. Jangan kasih ruang atau lo cuma bakalan kehilangan banyak hal," pesan Bastian tepat saat ia da
Tak memedulikan lukanya yang belum terbalut sempurna, Ben memanfaatkan kesempatan. Ia dorong tubuh Ann hingga terbaring di ranjang, lanjut ia kecupi wajah dan leher istrinya itu. Meski sempat menahan Ben agar tidak bertindak lebih dari sekadar mencium, toh Ann akhirnya kalah dan ia tidak bisa memberi perlawanan. "Sshh," Ben meringis, ia hentikan aktivitasnya sejenak karena nyeri di perutnya terasa menusuk hingga ke punggung. "Kamu harusnya istirahat, bukan malah bercinta," ucap Ann memukul pelan dada suaminya. Sudah siap bangkit, lengan Ben menahan bahunya hingga ia pasrah ada di bawah suaminya itu. "Bercinta bikin aku lebih cepet sembuh, Ane-san," balas Ben mengerling, ia harus mencairkan suasana agar Ann tak lagi ketus padanya. "Beneran nggak pa-pa?" tanya Ann sengaja menangkup kedua sisi rahang Ben. "Nanti kalau aku nggak kuat, aku bakalan berhenti sendiri," balas Ben. Ann tersenyum dan mengangguk. Harus ia akui, tubuhnya pun merindukan sentuhan Ben dan bercinta menjadi salah
Sejak pemulihan Ben, praktis, semua urusan klan menjadi otoritas Ann. Ia yang memerintahkan pencarian Irfan Adyaksa, juga penjagaan ketat pada Eriska. "Masak apa, Sayang?" tegur Ben yang turun dari kamar ke dapur, melihat istrinya sibuk sekali sendirian. "Ehm, aku coba bikin dimsum Mas," kekeh Ann. "Tapi bentuknya jelek banget gini," ujarnya cekikikan. Ben tersenyum, "Boleh dicobain nggak?" tanyanya meneliti hasil karya sang istri. "Nanti dulu, harus dikukus dulu Mas," kata Ann. Ia pukul jemari sang suami yang sudah siap mengambil sepotong dimsum. "Aku nggak PD tauk," gumamnya. "Kenapa nggak PD? Keliatan enak banget kok. Usahamu udah maksimal juga, keliatan dari mukamu yang belepotan tepung," gemas Ben. "Aku liat resep di aplikasi Mas, Christ hobi banget makan dimsum. Aku pengin bisa masakin dia sendiri, kan dia ada alergi udang, jadi biar nggak usah beli. Kalau beli kan kita nggak tau campurannya apa aja," cerita Ann. "Sesayang itu kamu sama Christ, Ann," puji Ben. "Pad