"Irfan nggak kekejar, tapi Eriska bisa diamanin sama Danisha," lapor Bastian begitu Ben dan Ann tiba di rumah sakit yang alamatnya dikirim oleh Benji pada Ben. "Kayaknya Eriska emang sengaja buat tinggal. Dia mau ketemu lo," tambahnya. "Sekarang di mana dia?" Ben meneliti sekitar. "Danisha bawa dia ke rumah Galang, basis kekuatan klan kita di sini. Kuta susul ke sana aja," jawab Bastian. "Eriska, apa dia baik-baik aja? Udah sehat?" tanya Ann sengaja menahan langkah Bastian. "Iya, dia baik-baik aja. Lengannya udah mulai pulih, dia kabur sama Irfan karena takut dikejar polisi," ungkap Bastian. "Sejak kapan Adyaksa takut sama polisi," desis Ann merasa aneh. "Kita liat dia dulu," ucap Ben seperti tak memedulikan kecurigaan Ann.Bastian sempat menatap Ann sebentar, melihat reaksi sang adik ipar yang datar itu. Baru kemudian ia berjalan lebih dulu diikuti oleh Ben dan Ann masuk ke dalam satu mobil yang sama, menuju rumah milik orang bernama Galang yang tadi disebutkan. Perjalanan dit
"Bunuh gue!" teriak Eriska keras-keras. "Cepetan! Matiin gue!" sengalnya seakan putus asa karena Ben sama sekali tak mau membelanya. "Ben, aku emang punya niat jelek, tapi aku nggak pernah menginginkan kematian kamu," ujarnya memelas. "Kalau lo pengin gue mati, lo udah bunuh gue sejak awal, Ka," balas Ben. "Itu kelemahan lo. Dan sekarang, lo ada di tangan perempuan yang jadi kelemahan gue. Apapun yang dia mau, gue nggak akan bisa nolak," tukasnya. Ann menyeringai tajam saat Eriska menatapnya penuh dendam. Ketegangan di dalam ruangan semakin memuncak saat Eriska berusaha melepaskan diri tapi Ann justru semakin kuat menekan mata pedang di tangannya hingga menggores kulit leher lawannya. Darah segar mengaliri piyama yang Eriska kenakan, tapi pemiliknya nampak tak gentar dan tak mau menurunkan pandangan. "Ann," Danisha mendekat, "langsung mati kayaknya terlalu gampang. Siksa dulu deh," usulnya. "Iya ya," Ann manggut-manggut. "Boleh kumaenin, Ketua?" tanyanya pada Ben. "Terserahmu," j
Setelah ketegangan yang terjadi di meja makan milik Galang sebelumnya, Ann memilih bungkam. Bahkan, hingga ia dan Ben tiba di rumah mereka, Ann sama sekali tak bicara. Bastian yang sangat paham situasi segera menggantikan peran Ann untuk memapah Ben. Meski sempat menolak, Ben akhirnya pasrah karena Ann ngeloyor begitu saja naik ke kamarnya. "Gue tau lo nggak ngerti isi kepala istri lo," desis Bastian sambil memapah Ben menaiki tangga. "Tapi lo harus paham kalau posisi paling nggak nyaman dan paling sakit itu adalah posisi Ane-san. Lo bangun nyariin Eriska, Ben, jangan bikin kesalahan dua kali atau serius, gue nikahin beneran Ann kayak wasiat lo waktu itu!" ancamnya sungguh-sungguh. "Gue masih hidup," desis Ben singkat. "Maka dari itu, selagi masih hidup, manfaatin waktu lo buat memahami Ann. Lo bersikap sok siap mati tapi lo nggak bisa nge-handle perasaan lo sendiri. Tuntasin Eriska, Ben. Jangan kasih ruang atau lo cuma bakalan kehilangan banyak hal," pesan Bastian tepat saat ia da
Tak memedulikan lukanya yang belum terbalut sempurna, Ben memanfaatkan kesempatan. Ia dorong tubuh Ann hingga terbaring di ranjang, lanjut ia kecupi wajah dan leher istrinya itu. Meski sempat menahan Ben agar tidak bertindak lebih dari sekadar mencium, toh Ann akhirnya kalah dan ia tidak bisa memberi perlawanan. "Sshh," Ben meringis, ia hentikan aktivitasnya sejenak karena nyeri di perutnya terasa menusuk hingga ke punggung. "Kamu harusnya istirahat, bukan malah bercinta," ucap Ann memukul pelan dada suaminya. Sudah siap bangkit, lengan Ben menahan bahunya hingga ia pasrah ada di bawah suaminya itu. "Bercinta bikin aku lebih cepet sembuh, Ane-san," balas Ben mengerling, ia harus mencairkan suasana agar Ann tak lagi ketus padanya. "Beneran nggak pa-pa?" tanya Ann sengaja menangkup kedua sisi rahang Ben. "Nanti kalau aku nggak kuat, aku bakalan berhenti sendiri," balas Ben. Ann tersenyum dan mengangguk. Harus ia akui, tubuhnya pun merindukan sentuhan Ben dan bercinta menjadi salah
Sejak pemulihan Ben, praktis, semua urusan klan menjadi otoritas Ann. Ia yang memerintahkan pencarian Irfan Adyaksa, juga penjagaan ketat pada Eriska. "Masak apa, Sayang?" tegur Ben yang turun dari kamar ke dapur, melihat istrinya sibuk sekali sendirian. "Ehm, aku coba bikin dimsum Mas," kekeh Ann. "Tapi bentuknya jelek banget gini," ujarnya cekikikan. Ben tersenyum, "Boleh dicobain nggak?" tanyanya meneliti hasil karya sang istri. "Nanti dulu, harus dikukus dulu Mas," kata Ann. Ia pukul jemari sang suami yang sudah siap mengambil sepotong dimsum. "Aku nggak PD tauk," gumamnya. "Kenapa nggak PD? Keliatan enak banget kok. Usahamu udah maksimal juga, keliatan dari mukamu yang belepotan tepung," gemas Ben. "Aku liat resep di aplikasi Mas, Christ hobi banget makan dimsum. Aku pengin bisa masakin dia sendiri, kan dia ada alergi udang, jadi biar nggak usah beli. Kalau beli kan kita nggak tau campurannya apa aja," cerita Ann. "Sesayang itu kamu sama Christ, Ann," puji Ben. "Pad
"Di sana, Papa bakalan urus semu keperluan kamu, dan tolong, jangan berantem sama Mama," pesan Ben dalam perjalanan mengantar istrinya ke bandara. "Iya," Ann mengangguk ringan. "Kamu cepetan nyusul ya Mas," pintanya. "Pasti," sahut Ben lalu mencium pelipis kiri istrinya sayang. "Enggak, aku nggak akan macem-macem sama Eriska," ujarnya tertawa saat melihat ekspresi Ann yang berubah galak. "Kamu mencurigakan," sungut Ann."Kamu bisa sumpahin aku apa aja kalau aku bohongin kamu, Ann," kekeh Ben gemas. "Sebaliknya, jangan genit sama orang-orangku di Jepang sana. Wajah mereka lebih oriental dan jauh lebih perkasa!" ancamnya. "Apaan," Ann berjenggit. "Nggak mungkin ya aku berkhianat, cintaku habis di kamu, Mas," ujarnya meyakinkan. "Sama halnya aku Ann, cintaku habis di kamu. Kita ngejaga ketat Eriska itu buat mancing Irfan. Aku yakin mereka berdua, bapak sama anak itu punya rencana besar buat ngehancurin kita, aku nggak bisa percaya salah satunya. Kalau Eriska hancur, Irfan juga sama,
"Mereka minta Eriska sebagai ganti Ann," bisik Bastian di samping telinga Ben. Mendengar laporan dari Bastian, Ben memejamkan matanya sebentar. Pikirannya jelas kalut apalagi saat tahu bahwa sang istri dikatakan menghilang dari bandara tepat sebelum waktu keberangkatan pesawatnya. Hanya menemukan Galang dan dua anak buah yang ia tugaskan untuk mengawal Ann, Ben langsung tahu siapa pengkhianat yang menusuknya dari belakang. "Lo pilih, mau gue yang potong perut lo, atau lo mau lakuin sendiri," bisik Ben di samping telinga Galang yang sudah babak belur dihajarnya bersama Bastian. "Ampun, Bang," mohon Galang tersendat, darah menghiasi wajah dan tubuhnya. "Pacar gue mereka culik juga, gue nggak punya pilihan," katanya ketakutan. "Lo tau gue nggak pernah mau nerima alasan, Lang.""Demi Tuhan Bang, gue setia sama perkumpulan.""Tapi lo tumbalin Ane-san buat nyelametin pacar lo, itu namanya loyal?" gertak Ben lagi-lagi menghunus pedangnya untuk mengancam. "Mereka ngancem mau ngebunuh gue
"Kayaknya kamu emang nggak terlalu penting bagi Big Ben. Udah hampir 24 jam dan dia belom ke sini nyari kamu," ucap Irfan menghadapi Ann yang diikat kaki dan tangannya di dalam sebuah ruangan. "Dia nggak akan dateng kayak yang kamu harapkan," tandas Ann menyeringai. "Tunggu aja kabar Eriska mati di tangan Mas Ben," tambahnya angkuh. "Ben nggak akan bisa membunuh Eriska, Ane-san," Irfan tertawa meremehkan. "Dia bakalan memilih hancur seluruh tubuh ketimbang menggores kulit halus anakku. Kamu nggak pernah denger kisah cinta mereka yang udah kayak Romeo dan Juliet?" "Cih," Ann mendecih jijik. "Eriska cuma masa lalu yang harus dibuang ke tempat sampah bagi Mas Ben, jangan merasa besar kepala cuma karena Mas Ben rela kena tembak Eriska dulunya," gumamnya. "Ane-san," desis Irfan sengaja menyemburkan asap rokoknya ke arah wajah Ann. "Berhentilah meyakini perasaan Ben ke kamu, cintanya habis di Eriska, percayalah.""Jangan memprovokasi, itu nggak akan ngebuat aku salah paham sama Mas Ben.