"Dia masih irit bicara, makan juga dikit, udah seminggu dia begitu, Mas," keluh Ann saat ia duduk di sofa panjang, mendatangi suaminya. "Tunggu aja, baru seminggu. Dia nggak bakalan mati gara-gara cuma makan sedikit," ucap Ben tampak tak terlalu peduli. "Dia bisa mati kalau kondisi kayak gini terus berlangsung, Mas. Makannya cuma biskuit yang dibawain Danisha, nggak mau minum susu, nggak mau makan nasi atau sayur yang disiapin koki.""Nanti kalau laper dia pasti minta makan, dia anak laki, jangan dibiasain manja," sambar Ben. "Apalagi dia bakalan jadi alat buat ngehancurin musuh, perlakuan kamu yang terlalu lembut bisa bikin dia besar kepala," tambahnya. "Mas, umurnya masih 6 tahun," desis Ann gemas. "Umur 6 tahun aku udah jago karate, bukan ngerengek nggak mau makan kayak dia.""Itu kamu, Mama nggak sempat ngurus kamu," tandas Ann. "Sama aja, dia juga nggak punya ibu, dan dia disiapin buat jadi andalan klan.""Terserah!" desis Ann muak. "Aku mau ngajak Christ keluar, siapa tau d
"Udah tidur?" sambut Ben saat Ann keluar dari kamar tamu di lantai dua, kamar yang kini dikhususkan untuk dihuni oleh Christ. Ann menggangguk, "Udah, pules banget, udah minum susu juga," katanya. "Gampang banget jinaknya, cuma diajak keluar doang," Ben tersenyum."Dia ngerasa aman kalau keluar rumah kayaknya. Bagi dia, suasana rumah ini serem, makanya dia butuh diajak keluar," ujar Ann."Sekarang, waktunya kamu yang istirahat, Ane-san," ucap Ben lembut. Diraihnya jemari tangan Ann, lalu digenggamnya erat sambil diajaknya turun ke ruang tamu. "Kamu tadi sama sekali nggak makan karena fokus nyuapin anak itu," ujarnya. "Masakin aku boleh? Pengin sup ayam rasa cinta," pinta Ann manja. Ben tersenyum tampan sekali. Diusapnya kepala Ann sayang, lalu dikecupnya kening sang istri lama. Ann sampai memejamkan matanya, meresapi perasaan Ben terhadapnya. "Kita ke dapur yok," ajak Ben tak akan pernah mau menolak keinginan sang istri. Melihat kedatangan Ben, dua koki khusus yang sengaja disiag
"Kakek pengin ketemu," ujar Taka mendatangi Ben dan Ann yang tengah duduk di kursi taman, mengawasi Christ bermain tanah. "Kami harus ke Jepang?" tanya Ben hanya melirik kedatangan ayahnya sekejap, kemudian fokus mengisap rokoknya lagi. "Kakek udah ada di Makau dua hari ini. Mustahil kamu nggak denger soal kedatangannya," Taka menatap lurus pada Christ yang tak menyadari kehadirannya. "Sebelum kalian berdua ketemu para tetua, Kakek pengin ketemu sama anak itu," desisnya. "Christ nggak perlu ketemu Kakek, Pa," tolak Ann. "Untuk bisa diterima jadi anggota keluarga, dia harus seijin Kakek," sahut Taka. "Aku udah mengijinkan, nggak perlu ada persetujuan Kakek," sambar Ben membela istrinya. "Anak itu darah dagingmu?" tebak Taka straight to the point. "Aku nggak pernah menyentuh Eriska!" bantah Ben cepat. "Serius nanya gitu di depan Ann?" geramnya. "Aku nggak pa-pa," ujar Ann mengedikkan bahunya. "Tenang aja Mas," katanya santai. "Aku cuma memperjelas semuanya," sahut Taka. "Ann, k
"Di mana anak itu?" tanya Aokiji-Sama pada Ben yang duduk bersimpuh bersebelahan dengan Ann. "Ada, dia takut tempat baru, orang-orang baru. Danisha nemenin dia di mobil," jawab Ben sangat tenang. "Kamu," Aokiji-Sama menatap Ann seram. "Sudah selesai bermain kabur-kaburan? Bisa kasih Ben keturunan setelah berhasil ngilang?" cibirnya. "Kakek kalau nggak tau rasanya nggak bisa hamil gara-gara orang gila, nggak udah komentar!" ucap Ann judes, berani sekali. "Kamu nggak sadar bicara sama siapa?" gumam Aokiji-Sama sedikit tersinggung. "Kakek juga lupa lagi ngomong sama siapa?" tantang Ann. "Kalian sama persis!" desis Aokiji-Sama mendecih, kalah dengan tantangan Ann. "Sebagai Ane-san, menghilang secara tidak bertanggungjawab itu adalah tindakan yang salah. Apalagi tidak bisa memberi Ketua keturunan!" tandasnya. "Aku sudah memaklumi persoalan kedua, tapi kamu memilih pergi meninggalkan klan?" tanyanya. "Aku udah balik lagi Kek, udah balas dendam sama Eriska. Kutembak tubuh mantan pacar
"Lo nggak harus ngerawat tu anak selamanya, Ann," ucap Danisha dengan pandangan haru ke arah kakak iparnya. Ann tersenyum getir, ia embuskan asap rokok yang tengah diisapnya ke udara, "Lo takut gue jadi sayang sama anak itu?" tanyanya. "Sebenernya iya. Perlu lo tau, kita ngebesarin dia bukan kayak orang tua pada umumnya. Kelak, dia disiapin buat balas dendam. Kalau lo terlanjur sayang sama tu anak, apa lo bakalan tega ngelepas dia?" tanya Danisha serius. "Gue juga nggak tau. Kenyataan gue nggak bisa punya anak lagi ngebikin gue nggak ngerasa kesepian dengan adanya dia," tandas Ann. "Christ cukup manis kan?""Gue udah ngebatin, untuk ukuran anak Eriska, wajahnya sama sekali nggak mirip sama emaknya," sahut Danisha. "Gue takut lo lemah sama tu anak, Ann. Ini bakalan nggak bagus kan?""Seiring waktu, siapa yang nggak lemah sama sikapnya? Christ senyum aja gue udah hampir meleleh, Sha. Satu tahun belakangan ini, gue yang nyiapin semua kebutuhannya, seiring waktu, gue mengakui perasaan
"Christ, apa kamu bakalan mengkhianati, Ane-san?" tanya Ann sambil bersidekap di depan si muda tampan. Christ menggeleng, "Aku bakalan setia selamanya ke Mommy, eh, Ane-san," ujarnya mantap. "Dia bukan ibumu!" sambar Ben jengah. "Ibumu udah mati," tambahnya kejam. "Berarti Ane-san adalah ibu baruku," ucap Christ polos. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Christ setelah klan Takahashi merebutnya dari Eriska. Christ bersikap dan menganggap Ann adalah ibunya. Bahkan ketika Ben memperlihatkan foto Eriska padanya, Christ menggeleng dan berkata tidak mengenalnya. Apa mungkin anak sekecil Christ sengaja berbohong demi bertahan hidup?"Aku yang nembak ibumu di depan matamu sendiri, Christ," ucap Ann mengembus asap rokok terakhirnya sebelum mematikan bara rokok itu ke asbak. "Kamu nggak boleh lupa itu," gumamnya. "Nggak tau," Christ mengedikkan bahunya. "Aku lupa," ucapnya masa bodoh. Ann dan Ben saling berpandangan. Christ baru berusia tujuh tahun untuk dikatakan pandai bersandiwa
"Lo udah yakin mau tinggal di Indo aja sama Christ?" tanya Bastian pada Ann yang menatap suaminya bersama Christ berlatih pedang."Gue pengin kerja lagi, Bang," kata Ann singkat. "Lo bisa kerja di sini, Ane-san," sahut Bastian merasa aneh. "Gue kasian sama Mas Ben yang harus bolak-balik Indo-Jepang cuma karena gue dan Christ. Kerjaan di Indo lagi banyak-banyaknya dan sebagian besar aset Mas Ben ada di sana. Adyaksa udah nggak punya basis kekuatan di sana. Lagian, kita nggak tau gimana kabar Eriska kan? Selama Christ ada sama kita, dia nggak akan berani ngusik gue kan?" desah Ann lirih. "Gimanapun, Christ bukan anak kandung Eriska. Mereka nggak terlalu peduli Christ ada sama kita. Lo inget hari setelah Eriska lo serang? Orang-orang kita juga habis-habisan sama Adyaksa.""Jadi, di mana tempat tinggal aman dan nyaman yang bisa gue jangkau Bang? Tempat yang paling deket sama Mas Ben, kan? Gue nggak bisa tiap malem dihantui ketakutan dapet kabar soal Mas Ben. Gue nggak mau jauh dari dia
Ben mematikan bara rokoknya di asbak lantas menyusul Ann naik ke ranjang tempat tidur. Setelah keputusan bulat untuk kembali ke Indonesia dibuat, Ann meminta juga untuk melanjutkan pendidikannya. "Sebenernya, kalau kamu milih kuliah di sini, semua lebih terjamin," ucap Ben menarik Ann agar bersandar di dadanya, setengah duduk. "Aku lebih nyaman di Indonesia, Mas," ucap Ann. "Di sini aku nggak kuat sama ritme kehidupannya. Kita udah menepi di desa gini aja kayak masih susah adaptasi akunya," ujarnya. "Aku ikut aja apa mau kamu, toh kalau kamu di Jakarta, waktu kita bareng-bareng jadi lebih banyak. Cuma, kamu pasti bakalan semakin ditekan sama orang-orang klan yang nggak suka sama posisiku.""Aku udah biasa ngehadapin tekanan Mas, kamu tenang aja. Lagian, dengan posisiku sebagai Ane-san sekarang, aku lebih dipandang dan lebih dihormati. Mereka juga banyak yang jadi lebih berusaha ngelindungin aku," jawab Ann. "Soal Christ," ia menghela napas sebentar. "Apa informasi soal asal-usulny