"Lo nggak harus ngerawat tu anak selamanya, Ann," ucap Danisha dengan pandangan haru ke arah kakak iparnya. Ann tersenyum getir, ia embuskan asap rokok yang tengah diisapnya ke udara, "Lo takut gue jadi sayang sama anak itu?" tanyanya. "Sebenernya iya. Perlu lo tau, kita ngebesarin dia bukan kayak orang tua pada umumnya. Kelak, dia disiapin buat balas dendam. Kalau lo terlanjur sayang sama tu anak, apa lo bakalan tega ngelepas dia?" tanya Danisha serius. "Gue juga nggak tau. Kenyataan gue nggak bisa punya anak lagi ngebikin gue nggak ngerasa kesepian dengan adanya dia," tandas Ann. "Christ cukup manis kan?""Gue udah ngebatin, untuk ukuran anak Eriska, wajahnya sama sekali nggak mirip sama emaknya," sahut Danisha. "Gue takut lo lemah sama tu anak, Ann. Ini bakalan nggak bagus kan?""Seiring waktu, siapa yang nggak lemah sama sikapnya? Christ senyum aja gue udah hampir meleleh, Sha. Satu tahun belakangan ini, gue yang nyiapin semua kebutuhannya, seiring waktu, gue mengakui perasaan
"Christ, apa kamu bakalan mengkhianati, Ane-san?" tanya Ann sambil bersidekap di depan si muda tampan. Christ menggeleng, "Aku bakalan setia selamanya ke Mommy, eh, Ane-san," ujarnya mantap. "Dia bukan ibumu!" sambar Ben jengah. "Ibumu udah mati," tambahnya kejam. "Berarti Ane-san adalah ibu baruku," ucap Christ polos. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Christ setelah klan Takahashi merebutnya dari Eriska. Christ bersikap dan menganggap Ann adalah ibunya. Bahkan ketika Ben memperlihatkan foto Eriska padanya, Christ menggeleng dan berkata tidak mengenalnya. Apa mungkin anak sekecil Christ sengaja berbohong demi bertahan hidup?"Aku yang nembak ibumu di depan matamu sendiri, Christ," ucap Ann mengembus asap rokok terakhirnya sebelum mematikan bara rokok itu ke asbak. "Kamu nggak boleh lupa itu," gumamnya. "Nggak tau," Christ mengedikkan bahunya. "Aku lupa," ucapnya masa bodoh. Ann dan Ben saling berpandangan. Christ baru berusia tujuh tahun untuk dikatakan pandai bersandiwa
"Lo udah yakin mau tinggal di Indo aja sama Christ?" tanya Bastian pada Ann yang menatap suaminya bersama Christ berlatih pedang."Gue pengin kerja lagi, Bang," kata Ann singkat. "Lo bisa kerja di sini, Ane-san," sahut Bastian merasa aneh. "Gue kasian sama Mas Ben yang harus bolak-balik Indo-Jepang cuma karena gue dan Christ. Kerjaan di Indo lagi banyak-banyaknya dan sebagian besar aset Mas Ben ada di sana. Adyaksa udah nggak punya basis kekuatan di sana. Lagian, kita nggak tau gimana kabar Eriska kan? Selama Christ ada sama kita, dia nggak akan berani ngusik gue kan?" desah Ann lirih. "Gimanapun, Christ bukan anak kandung Eriska. Mereka nggak terlalu peduli Christ ada sama kita. Lo inget hari setelah Eriska lo serang? Orang-orang kita juga habis-habisan sama Adyaksa.""Jadi, di mana tempat tinggal aman dan nyaman yang bisa gue jangkau Bang? Tempat yang paling deket sama Mas Ben, kan? Gue nggak bisa tiap malem dihantui ketakutan dapet kabar soal Mas Ben. Gue nggak mau jauh dari dia
Ben mematikan bara rokoknya di asbak lantas menyusul Ann naik ke ranjang tempat tidur. Setelah keputusan bulat untuk kembali ke Indonesia dibuat, Ann meminta juga untuk melanjutkan pendidikannya. "Sebenernya, kalau kamu milih kuliah di sini, semua lebih terjamin," ucap Ben menarik Ann agar bersandar di dadanya, setengah duduk. "Aku lebih nyaman di Indonesia, Mas," ucap Ann. "Di sini aku nggak kuat sama ritme kehidupannya. Kita udah menepi di desa gini aja kayak masih susah adaptasi akunya," ujarnya. "Aku ikut aja apa mau kamu, toh kalau kamu di Jakarta, waktu kita bareng-bareng jadi lebih banyak. Cuma, kamu pasti bakalan semakin ditekan sama orang-orang klan yang nggak suka sama posisiku.""Aku udah biasa ngehadapin tekanan Mas, kamu tenang aja. Lagian, dengan posisiku sebagai Ane-san sekarang, aku lebih dipandang dan lebih dihormati. Mereka juga banyak yang jadi lebih berusaha ngelindungin aku," jawab Ann. "Soal Christ," ia menghela napas sebentar. "Apa informasi soal asal-usulny
Ann menggeram ringan saat Ben tiba di puncaknya, mereka bermandi peluh. Meski sudah tidak lagi bisa memiliki keturunan, Ben masih mencintai Ann seperti sebelumnya. Ia tidak pernah menyinggung masalah anak, dan aktivitas mereka dalam bercinta pun masih semesra dulu. "Aku berharap kita bisa terus kayak gini selamanya, Mas," kata Ann sembari mengenakan pakaiannya. "Aku bakalan wujudin harapan itu," balas Ben meraih rokok di nakas setelah sebelumnya mengenakan boxer hitam seksinya. Ia berjalan menuju balkon, menyulut rokoknya dan duduk santai di kursi kayunya. Ann menyusul sang suami setelah keluar dari kamar mandi, ia ikut menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam. Lalu ditolehnya Ben yang melamun, sungguh pemandangan seksi dari ketua perkumpulan yang tidak lagi bisa dinikmati oleh banyak perempuan lain selain seorang Ane-san. "Aku takut suatu saat kita bakalan kehilangan lagi. Apa kita nggak bisa berhenti terlibat sama orang-orang Adyaksa, Mas?" tanya Ann membahas hal yang
"Selamat datang kembali, Ane-san," sambut Benji yang datang menjemput Ann dan Christ ke bandara, menyempatkan diri secara sukarela. "Makasih Bang," Ann balas memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan pada sulung Takahashi itu. "Christopher!" Benji berganti menatap Christ, "kamu nggak kangen sama Indonesia?" tanyanya. Christ mengitarkan pandangan. Semua pemandangan memang tampak asing olehnya karena ia sudah terbiasa tinggal di luar negara Indonesia. Kini, saat semua sudah tertata kembali, Ann membawanya pulang, menjadi anak dengan identitas yang berbeda. Christ kini menjadi bagian dari keluarga besar Takahashi. "Di sini panas," ujar Christ memanyunkan bibirnya. "Ane-san, aku kayaknya nggak akan betah," katanya. "Hei! Selama ini kamu komunikasi pake bahasa Indonesia, nggak usah bergaya!" tegur Ann. "Mas Ben," desahnya pada Benji. "Mirip, Ben berhasil ngebentuk pribadi Christ yang luar biasa ngeselin," balas Benji. "Ben nunggu di rumah, dia juga dalam perjalanan dari pela
"Aku nggak mau sekolah," ujar Christ sedikit merengek pada Ann. "Kamu bosen? Mau pindah sekolah?" tanya Ann tak mengalihkan pandangan dari panci masakannya. "Pokoknya aku nggak mau sekolah!""Why?" kali ini Ann terpaksa menoleh. "Nggak seru sekolahnya," ucap Christ sambil lalu, ia masuk ke kamarnya tanpa menunggu persetujuan Ann. Mau tak mau, Ann melepas apronnya. Ia sempatkan mematikan api kompor, lantas menyusul Christ ke kamar. Terlihat anak kecil tampan itu tengah berbaring tanpa melepas seragam dan sepatunya lebih dulu. "Kamu mau Ketua motong jari kakimu, hem?" gumam Ann berdiri menyandar rangka pintu dari kayu ulin itu. "Enggak!" jawab Christ cepat, tapi ia tidak bergerak sama sekali. Ann menghela napas panjang. Christ jarang merajuk seperti ini, apalagi seminggu yang lalu, anak ini tampak sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah. Jika tiba-tiba ia berubah sikap, tandanya pasti ada sesuatu yang terjadi."Hei! Begitu cara kamu menjawab pertanyaan Ane-san?" sengal Ann
"Luka di bahu, bawah ketiak sama paha belakang itu bukan karena dia latihan sama kamu, Mas," ujar Ann mendesah kesal. "Ada yang nakalin dia di sekolah," ucapnya mengadu. Ben ikut duduk di sisi ranjang Christ, mengamati bagian tubuh si anak tampan yang tengah tertidur lelap. Memang benar, ada setidaknya tiga titik luka lebam dan dua goresan yang tampak masih baru di sana. Christ tidak mengeluh apapun pada Ann perihal lukanya, toh ia sudah terbiasa terluka karena berlatih pedang dan bela diri dengan Ben juga Bastian serta Benji. "Dia begitu karena berantem atau ada yang nakalin, kita nggak bisa ambil kesimpulan," desis Ben bijak. "Christ udah punya kemampuan bertarung, dia bisa aja berantem," tambahnya. "Pas di Jepang, Christ nggak pernah pulang dari sekolah dengan kondisi kayak gini," kata Ann khawatir. "Nggak pa-pa, anak cowok," ungkap Ben menenangkan istrinya. "Nanti biar kucoba cari tau ke sekolahnya.""Kalau udah ketemu akar permasalahannya, biar aku aja yang urus Mas.""Oke,"