Tinggi matahari telah mencapai tujuh hasta atau sekitar pukul tujuh pagi. Jalanan di sudut Kabupaten Cilacap mulai ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga angkutan umum. Sebagian mengangkut para pekerja dan sebagian lainnya berisi para siswa serta mahasiswa dari berbagai sekolah. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima juga memadati trotoar khusus berjualan.
Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki menggunakan kemeja kotak-kotak melajukan kencang sedan Mercedez Benz miliknya. Raut wajahnya mengisyaratkan kepanikan oleh karena terburu-buru. Akibat berkendara terlalu kencang, tanpa sengaja mobilnya menyipratkan genangan air bekas hujan ke salah seorang pejalan kaki. "Aaargh!" geram si lelaki menyadari kesalahannya yang tidak disengaja. Ia segera menghentikan laju mobil, menepi, dan keluar dari mobil. Ia menghampiri pejalan kaki tersebut yang sedang memperhatikan bagian bawah pakaiannya yang kotor. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja," kata si lelaki. Pejalan kaki yang seorang gadis itu mendongakkan kepala. "Oh, jadi Mas yang sudah buat baju saya kotor? Lain kali kalau berkendara mobil hati-hati ya! Ini bukan jalan milik nenek moyang, Mas." Gadis itu mengomeli habis si lelaki. "Iya-iya saya salah, saya minta maaf." Si lelaki berkata cepat. "Enak saja! Dikira maaf saja sudah cukup? Lihat, baju saya kotor!" Gadis itu menatap marah lelaki di hadapannya. Bibir tipisnya tampak manyun. "Terus?" tanya lelaki itu kian gusar. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mas harus antar saya pulang buat ganti baju! Setelah itu antar saya ke kampus UNICILA!" jawab gadis. Lelaki itu mengusap keningnya sambil berkata, "Aduh, saya tidak bisa menuruti Anda. Saya harus kerja. Ini saja saya sudah telat." Ia merasa keberatan dengan permintaan si gadis. "Hei Mas, yang mau ada urusan bukan cuma Mas. Saya juga harus segera ke kampus. Saya ada jadwal bimbingan pagi ini," tegas si gadis meminta diantar pulang. “Saya juga harus kerja, Mba! Saya sudah telat ini.” Lelaki itu menunjuk jam tangannya. “Bodoh amat!” Tangan si gadis bersandar tegak-kokoh di pinggang. Ia terus menuntut tanggung jawab si pengendara. "Hmm, begini saja, ini saya ada uang seratus ratus ribu untuk Mba pulang sama ke kampus nanti. Lumayan bisa buat ongkos. Oke?" Lelaki itu mengeluarkan selembar uang bergambar pahlawan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dari dompetnya. "Maaf, saya buru-buru. Permisi!" Lelaki itu tanpa meminta izin langsung menyelipkan uang tersebut ke tangan si gadis kemudian berlalu. "Woy! Mas pikir saya perempuan apa yang bisa disogok seperti ini? Saya tidak butuh uang ini! Saya butuhnya ke kampus secepatnya. Tanggung jawabnya jangan setengah-setengah, Mas! Antar saya dulu, Mas! Woy, Mas!" Si gadis mengikuti langkah lelaki tersebut. Namun, lelaki itu tak peduli dan langsung masuk ke mobil lalu melajukan kembali mobilnya. "Mas! Arrrgh!" Gadis itu menggeram kesal. Dengan keterpaksaan dan kekesalan membumbung, gadis itu pulang ke rumah cukup tergesa-gesa. Ia memesan jasa ojek online. Setiba ia di rumah, ibunya khawatir melihat keadaan putrinya yang kotor. "Astaghfirullah Syila, kamu kenapa? Baju kamu kotor sekali?" tanya Ibu. "Maaf Bu, tadi ada insiden. Tapi Syila belum bisa cerita. Syila akan cerita nanti. Syila buru-buru harus ke kampus. Syila ganti baju dulu, ya. Oh ya, Kak Hanif sudah berangkat kerja belum?" wajah Syila amat panik. "Belum. Dia ada di kamar masih bersiap,” jawab Ibu. "Alhamdulillah. Tolong minta ke Kakak supaya tunggu Syila sebentar, ya. Syila mau minta bonceng," pinta Syila sembari meletakkan tasnya di meja ruang tamu. "Tapi Kakak kamu kan juga mau berangkat kerja. Lagipula tujuan kalian beda arah," tutur Ibu. "Bu, Syila mohon. Bujuk Kak Hanif supaya tunggu Syila." Syila menyuratkan raut memelas. "Ya udah, nanti Ibu akan bicara." Ibu Syila yang bernama Sukma akhirnya menurut. Syila lega dan berterima kasih. Ibu Sukma menyuruh putri bungsunya segera bersiap. *** Senin, 7 Februari 2022, surat peringatan pertama tergeletak di meja kerja lelaki pengendara Mercedez Benz. Ia mendapat teguran dari kepala divisi pemasaran atas keterlambatannya di hari pertama ia bekerja. Sungguh nasib yang sial. Pagi yang cerah si lelaki harus dinodai oleh kritikan-kritikan pedas dari kepala divisinya. Ia dipaksa menelan pil-pil masam lagi pahit atas kinerjanya yang telah dicap buruk. Kepala divisinya itu menganggap lelaki itu tak bisa disiplin. Kinerjanya di masa orientasi kerja hanyalah sebagai daya tarik agar ia bisa diterima. Begitulah kiranya pandangan sang kepala divisi. "Huffft!" Lelaki itu menyandarkan punggungnya di punggung kursi kerjanya. Ia memejamkan matanya sesaat membuang aura negatif di hari pertamanya bekerja. "Oy!" Tiba-tiba rekan kerja di sebelahnya menepuk bahu si lelaki. "Ah, kamu! Ganggu orang saja, Dav." Si lelaki bangkit dari sandarannya. "Ada apa, Rendi? Hari pertama kerja bukannya senang malah cemberut," tanya rekan kerja Rendi yang bernama David. "Bagaimana aku bisa senang kalau barus hari pertama kerja saja sudah dikasih SP?" Rendi mendengus kesal. David yang sedang meneguk air mineral spontan memuncratkan air di mulutnya keluar. Rendi mengumpat atas kekonyolan rekannya. "Ohok ohok, serius kamu dapat SP?" tanya David amat penasaran. Rendi kemudian menceritakan kejadian pagi tadi bersama gadis yang ia persalahkan atas keterlambatannya. "Ya sudahlah Ren, lupakan saja. Kamu kan sudah ku beritahu kalau kepala divisi kita paling tidak suka karyawan yang tidak disiplin." David memberi perhatian kepada rekan akrabnya yang dikenalnya sedari bangku SMA. “Omong-omong, gadis yang buat kamu terlambat itu cantik tidak?” David penasaran. “Ada urusan apa kamu tanya seperti itu?” Rendi memandang curiga pada rekannya. “Siapa tahu dia bisa jadi pengganti kekasihmu yang protektif dan obsesif itu,” ujar David. “Maksud kamu, aku akan jatuh cinta sama gadis gitu?” terka Rendi seraya mendelikkan sepasang bola matanya. Amat serius. “Tidak ada yang mustahil, Bro!” David membentangkan telapak tangannya. “Sialan kamu! Tidak-tidak!” Rendi menjulurkan lidahnya seperti orang yang sedang kepahitan. “Ckckckck!” David tergelak. “Aku doakan semoga kamu bertemu dia lagi. Sore ini, besok, lusa, atau hari-hari berikutnya.” “Sumpah! Jangan gila ya, kamu!” geram Rendi. Ia mengalihkan pandangannya pada monitor di depannya. “Tapi kan Ren…” “Apa lagi?!” Rendi benar-benar geram karena David terus mengganggu ketenangannya. “Aku bingung, kantor ini kan juga bagian dari perusahaan kamu, masa telat sehari saja sudah dapat semburan sedemikian rupa dari dia?” David terheran seraya mengerutkan dahinya. Dia kembali membahas keterlambatan dan peringatan yang dialami rekannya. “Kata siapa aku bagian dari perusahaan ini? Perusahaan ini bukan milikku, tepatnya setelah dua 'bajingan' itu meninggalkan aku. Jadi, tidak ada alasan buat perusahaan ini untuk tidak marah ke aku.” Rendi kembali menyenderkan punggungnya ke kursi. “Tapi uang bulanan itu?” tanya David lagi. “Uang bulanan dari perusahaan itu bukan berarti perusahaan ini mengakui aku sebagai pemiliknya,” tukas Rendi. David memanggut-manggut mengerti seolah mengerti. "Ah, Tetap saja ini salah kamu, sih. Sudah tahu hari pertama kerja berangkatnya telat," lanjut David. Sungguh David teramat menguji kesabaran Rendi. Sudah lega Rendi merasa dipedulikan olehnya, justru dia kembali menjadi kesal. "Aku bangun kesiangan, sialan!" bentak Rendi. Alhasil beberapa karyawan memperhatikan dirinya. Seolah mereka beranggapan 'anak baru saja sudah keterlaluan.' Sontak Rendi menepuk keningnya. Bodoh, pikirnya! "Biasa aja, woy!" balas David mendorong pelan punggung Rendi. Ya, rekan Rendi ini dikenal sosok yang bisa diandalkan dalam menenangkan sahabat sekaligus setan astral untuk memupuskan harapan sahabatnya. Namun, persahabatan mereka lebih utama. Umpatan-umpatan demikian sudah menjadi makanan sehari-hari dalam persahabatan mereka. Lagipula, bukankah hal-hal itulah yang membuat jalinan pertemanan antar laki-laki menjadi erat? *** Rupanya nasib telat juga dirasakan Syila. Meski sudah diantar kakaknya untuk menghemat waktu perjalanan, ia tidak bisa menghindar dari takdir terlambat. Ia harus siap menahan malu masuk kelas yang sudah ada dosen pembimbing di dalamnya. Pagi ini Syila dan beberapa mahasiswa lainnya dijadwalkan bimbingan skripsi oleh dosen pembimbing mereka. Mereka dipertemukan dalam satu kelas guna memudahkan semua pihak. Beruntung keterlambatan Syila tak dipermasalahkan oleh dosen pembimbingnya. Beliau memaklumi alasannya terlambat. Setelah bimbingan rampung, Syila bersama kedua sahabatnya mengisi perut dengan memesan semangkok bakso dan segelas es teh di kantin kampus. "Syil, tadi telat karena apa?" tanya Alyaa sembari memasukkan mie ke mulutnya. "Iya, kamu telat kenapa?" timpal Marsya kemudian menyeruput es teh manis. "Hufft, aku tadi kecelakaan." Syila menjawab malas. "Ohok...ohok." Alyaa dan Marsya kompak batuk akibat mendengar jawaban Syila. "Kecelakaan di mana? Parah lukanya?" "Terus kenapa kamu memaksa berangkat? Izin dulu kan bisa!" Pertanyaan-pertanyaan mencecar diri Syila. "Kalian berlebihan deh.” Syila mengerlingkan sepasang bola matanya. “Aku bukan kecelakaan yang parah kok. Tadi ada pengendara mobil ugal-ugalan yang menyipratkan genangan air ke baju aku." Syila menjelaskan secara pelan karena masih dipenuhi asap kekesalan. "Baju aku kotor. Jadi, mau tidak mau aku harus pulang dulu." Kedua sahabatnya mengembuskan napas lega. Mereka bersyukur Syila tidak mengalami kecelakaan parah seperti kekhawatiran mereka. Alyaa kemudian bertanya mengenai tanggung jawab pengendara mobil tersebut. "Dia itu laki-laki tidak tahu diri. Dia menolak mengantarku pulang, dia malah cuma memberi seratus ribu buat ongkos aku pulang." Kekesalan Syila makin membuncah mengingat kejadian pagi tadi. "Ya ampun, kenapa kamu tidak bilang dari tadi kalau kamu baru saja dapat rezeki? Kan kita bisa minta kamu traktir makan. Aku menyesal tadi bayar duluan," kecewa Marsya. Syila tidak segan melempar gumpalan tisu kotor ke wajah Marsya. Marsya mengutuki perbuatan Syila. Sementara itu, Alyaa tertawa kelakar. "Omong-omong, laki-laki itu tampan tidak?" Alyaa bertanya manis seraya menggoda Syila. "Dibilang tampan, lumayan sih. Kulitnya putih, matanya agak coklat, proporsi badannya ideal. Dia juga sepertinya orang kaya, tapi gara-gara kejadian tadi separuh ketampanannya hilang." Syila menerawang wajah lelaki tadi. "Separuh? Berarti masih ada separuh lagi nih?" Marsya menatap manis wajah Syila sembari menaik-turunkan sebelah alisnya. Syila mengurut pelipis kirinya lantaran merasa salah berbicara. "Nih, aku ramal kamu akan bertemu lelaki itu lagi dalam kurun dekat," ledek Marsya. "Amit-amit aku ketemu lagi sama laki-laki itu. Benci ih!" Syila memperlihatkan raut geli dan jijik. Ia mengetuk-ketuk keningnya. "Awas loh, benci itu tanda awal cinta." Marsya tertawa puas berhasil mengusili Syila. “Makan tuh cinta!” Syila makin kesal. Ia mengambil mangkok kosongnya, berniat mengembalikan pada ibu kantin. Sementara itu, kedua sahabatnya masih tertawa riang usai berhasil membuat Syila salah tingkah. Mereka yakin Syila pasti akan bertemu lagi dengan lelaki yang ia benci itu. Tak berselang lama, keduanya menyusul Syila di pintu masuk kantin. Mereka akan langsung pulang. Alyaa harus segera ke perpustakaan daerah untuk mencari referensi tambahan untuk skripsinya. Sedangkan, Marsya diminta menemani orang tuanya berpergian. “Kalian pulang saja dulu. Aku mau mampir ke rumah Kak Arfan.” Syila tengah memasukkan dompetnya ke totebag. “Hmm, Arfan lagi Arfan lagi. Dia spesial sekali buat kamu, ya?” Alyaa menggelengkan kepalanya, heran. “Heem nih, Lagi-lagi Arfan yang kamu sebut. Siapa sih dia? Sekali-kali kenalkan dia ke kami lah!” ketus Marsya. Syila pun menutup mulutnya seraya terkekeh renyah. Selama ini laki-laki yang ia sebut namanya memang kerap diceritakannya pada Marsya dan Alyaa. Dia adalah laki-laki yang cukup spesial bagi Syila. “Maaf, jangan dulu deh! Kalau kalian naksir akan jadi gawat darurat,” gelak Syila. “Dih, pelit!” kesal Marsya. “Hahaha, iya-iya. Kapan-kapan aku pasti kenalkan dia ke kalian. Lagipula Kak Arfan itu hanya sahabat aku.” Syila meraih masing-masing lengan sahabatnya. “Sahabat apa sahabat?” ledek Alyaa. “Iyalah sahabat, tidak mungkin lebih dari sahabat. Karena separuh hati Syila sudah disinggahi sama laki-laki yang ditemuinya tadi pagi,” timpal Marsya. Alhasil gelak tawa kembali membuncah dari Marsya dan Alyaa. Sementara itu, Syila bertambah kesal karena sahabatnya membahas insiden itu lagi. “Sebal deh, pulang dulu! Dadah!” Syila meninggalkan Marsya dan Alyaa dengan pipi yang memerah. Ia tak salah tingkah lantaran terbawa perasaan. Ia justru menyesal telah menceritakan insiden pagi tadi kepada mereka. Seharusnya ia paham, bahwa kedua sahabatnya pasti akan mengerjainya dengan rayuan-rayuan jahil saat menceritakannya. Ia lupa bahwa sahabatnya punya keahlian me-roasting, julid, dan jahil level dewa. Kini ia harus menelan pil masam akibat kecerobohannya sendiri. “Awas, nanti di jalan bertemu dia lagi!” seru Marsya dari kejauhan. “Titip salam, ya!” sahut Alyaa. “Diam!” ***Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama. "Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar."Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh.Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel
Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Saat ini Syila sedang duduk di bangku kantin bersama kedua sahabatnya. Ia mengaduk-aduk es teh di hadapannya dengan malas. Wajahnya muram. Ia bahkan tak antusias mendengar kelakar Marsya dan Alyaa. Pikirannya masih terdistrak oleh insiden baru tadi. Ia menyesal dan tak menyangka takdir akan mempertemukan mereka lagi."Hei, wajahmu ditekuk terus, ada apa? Lagi kurang bahagia ya?" celetuk Marsya mengganggu ketenangan Syila."Mau bahagia bagaimana, hari ini laki-laki menyebalkan itu muncul lagi?" Kepala Syila mendongak ke sembarang arah. "Laki-laki? Maksudmu yang kemarin sudah buat kamu terlambat ikut bimbingan?" tanya Marsya. Syila mengangguk tak bersemangat. "Whuahaha, benar kan apa yang aku bilang?! Kamu pasti bertemu dia lagi." Marsya tertawa mengejek. "Jangan-jangan ini awal kalian berjodoh," sambung Alyaa meledek."Ih, kalian itu tidak asyik banget sih! Bukannya menghibur malah tambah buat kesal." Syila makin memperlihatkan raut masamnya. Syila mencurahkan betapa jengkelnya ia d
Sekarang ini, Rendi sedang makan siang bersama Alyaa. Rendi mengajaknya ke restoran di dekat kantornya. Kebetulan waktu sudah menunjukkan jam istirahat bagi Rendi."Ayo dimakan ayamnya. Nanti dingin kalau cuma didiamkan begitu. Nggak usah sungkan, " kata Rendi menyadari Alyaa terus memandanginya."Eh, iya, Mas." Alyaa menurunkan pandangannya. Ia pun melahap sedikit demi sedikit makanan di depannya. "By the way, saya suka sama kamu," ucap Rendi tiba-tiba. "Uhuk! Uhuk!" Alyaa kaget mendengar pernyataan Rendi sehingga ia tersedak. Rendi membantunya memberikan air minum. "Kaget, ya? Hehe. Saya ngomong jujur. Kamu orangnya asyik diajak mengobrol. Kamu juga ramah," tutur Rendi menatap manik mata Alyaa yang mendadak berbinar. Entahlah, apakah Rendi sadar sikapnya hampir mengutik sisi sensitif Alyaa."Tenang Alyaa, dia cuma bilang suka, nggak lebih." Alyaa membatin. Ia mungkin tak akan sanggup jika mendengar hal lebih dahsyat dari kata suka. Mungkin jantungnya akan copot karena tak kuasa m
Rendi benar-benar pasrah saat surat peringatan kedua dibanting kasar ke atas meja oleh kepala divisi pemasaran. Ia mendapat teguran pedas tanpa ampun. Ia sadar ia salah. Ia datang amat terlambat ke kantor. Batas maksimal ia harus tiba di kantor usai jam makan siang yakni pukul 13.15. Akan tetapi, akibat ulah kekasihnya ia harus menahan malu karena masuk pukul 13.45. "Kamu benar-benar niat bekerja di sini atau tidak, sih?! Ini bukan pekaranganmu yang bisa kamu garap semaunya, datang seenaknya, pulang juga semaunya! Kamu anak baru tapi sudah berani buat citra PT JATI PERSADA turun," omel kepala divisi. Gestur berkacak pinggangnya menunjukkan bahwa dia sangat jengkel."Maaf, Pak." Rendi tertunduk tak berdaya. “Jangan mentang-mentang perusahaan ini pernah jadi milik keluarga kamu, kamu bisa sewenang-wenang di sini! Masih untung kami bersedia memberi kompensasi bulanan untuk hidup kamu!” Kepala divisi itu melayangkan tatapan buas ke arah Rendi."Ini kesempatan terakhir saya memberikan ma
Rendi pulang lebih cepat hari ini. Tepat pukul 15.30 ia langsung keluar kantor. Ia menghindari beberapa kerumunan karyawan yang masih asyik bergurau atau sekedar membahas pekerjaan. Ia tahu citranya di kantor sedang tidak baik. Ia terpaksa kabur dari kerumunan demi menghindari malu. Ia juga menancap gas mobilnya dengan kencang. Setiba di rumah, Rendi melempar tas kerjanya ke sofa ruang tengah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Dalam sekejap ia terlelap. Lelah bekerja dan lelah bertengkar dengan Shinta membuat badannya amat pegal. Pegal badan sekaligus lelah hati. Lima belas menit kemudian, dentingan notifikasi pesan di ponsel Rendi membangunkannya dari mimpi sore. Ia membuka notifikasi tersebut yang rupanya dari David. "Aku otw rumah." Isi pesan tersebut. "Jangan kelamaan." Rendi mengetik balasan pesan untuk David. Ia lalu pergi ke luar rumah. Ia duduk di bangku teras sembari menunggu kedatangan David. Sembari menunggu, ia mencari kontak Alyaa di ponsel
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang dinanti tiba. Sabtu, 5 Maret 2022, adalah hari wisuda kelulusan Syila dan sahabat-sahabatnya. Ia sudah tidak sabar naik ke panggung, menuntaskan pendidikan strata satunya, dan mulai merangkai mimpi besarnya sebagai seorang PNS guru.Pagi itu, mentari mengintip malu-malu dari celah jendela kamar Syila. Sinar keemasan menyapu perlahan meja belajar yang penuh dengan buku catatan dan tumpukan kertas ujian yang kini hanya menjadi kenangan. Syila menguap kecil, lalu beranjak membuka lemari pakaian dengan semangat. Toga yang telah lama tersimpan rapi di dalamnya menunggu untuk dipakai. Namun, saat membuka lemari, sebuah kain biru wardah terjatuh ke lantai.Syila memungut kain itu perlahan, memandanginya dengan tatapan yang berubah sendu. Kain tersebut adalah hadiah dari ibunya saat ulang tahunnya yang ke-20. Sebuah simbol harapan dari sang ibu agar Syila mulai mengenakan kerudung, sesuatu yang telah lama menjadi keinginan ibunya.“Ya Allah, aku udah ban
Rendi dan Shinta duduk di sebuah meja sudut restoran dekat supermarket. Suasana di antara mereka penuh keheningan yang aneh. Rendi tampak canggung, jemarinya terus memainkan gelas air mineral di depannya. Di sisi lain, Shinta menatap ke arah jendela dengan wajah sendu, seolah sedang menata pikirannya sebelum berkata.“Kenapa, Ren?” Shinta akhirnya memecah keheningan. Suaranya pelan, tapi sarat emosi. “Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar? Teleponku nggak kamu angkat, pesan-pesanku nggak satu pun dibalas.”Sembari menarik napas berat Shinta lanjut mengeluh, “Aku rasa dua minggu adalah waktu yang cukup untuk kamu menenangkan diri. Aku rindu.” Shinta memandang kekasihnya dengan manik mata yang nanar.Rendi terdiam, berusaha merangkai jawaban yang tak terlalu menyakitkan. “Maaf ya, Shin. Aku memang udah tenang, tapi pekerjaan di kantor lagi padat banget.”Shinta mengangguk kecil, meski jelas raut wajahnya menyiratkan kecewa. “Aku mengerti. Tapi, aku cuma ingin tahu kamu baik-baik aja. Aku
"Terima kasih, Kak." Syila menerima kembalian dari total bayaran belanjaannya di lantai tiga. Satu kantong besar berisi dua boneka beruang mini dan perlengkapan untuk membuat buket. Di sampingnya, masih berdiri lelaki yang sejak tadi setia menemaninya belanja. Rendi belum bosan membersamai gadis yang dijulukinya perempuan pemarah. Dengan percaya diri, dia menawarkan untuk membawakan belanjaan Syila."Enggak usah!" Syila menyingkirkan tangan Rendi tanpa ragu, tatapannya tajam, seolah mengukuhkan penolakan. Rendi pun berdecak kesal. Dia mengikuti langkah Syila menuruni eskalator ke lantai dua."Alyaa pasti terharu kalau tahu sahabatnya sangat perhatian," celetuk Rendi lantas merogoh ponsel di saku kemejanya, berpura-pura hendak memotret. Syila menatap tajam wajah Rendi sembari mengepalkan tangan ke sisi tubuh dan mengancam, "Awas kalau sampai macam-macam!" Namun, ancamannya tak menjadi persoalan bagi Rendi. Lelaki itu justru tertawa cekikikan karena mendapati wajah masam gadis di sebel
Waktu bergulir cepat hingga kalender telah menunjuk akhir Februari 2022. Waktu kian mendekati jadwal wisuda UNICILA. Para mahasiswa yang telah menyelesaikan administrasi dan yudisium bersiap menghadapi momen istimewa itu. Syila termasuk di antara mereka, kini sibuk mempersiapkan kebutuhan wisudanya.Siang ini, Syila berada di supermarket ternama di Cilacap. Dua tas belanjaan tergantung di tangannya. Sebelum naik ke lantai tiga, ia menitipkan barang bawaannya pada petugas. Setiba di sana, rak-rak besar penuh boneka berjejer memikat perhatiannya. Matanya langsung tertuju pada boneka-boneka beruang kecil lengkap dengan topi wisuda. Senyum sumringah terpancar di wajahnya."Mereka pasti senang kalau aku kasih kejutan ini," gumamnya sambil memandangi deretan teddy bear.Hari-hari sebelumnya, Syila telah berdamai dengan rasa cemburunya pada Marsya. Ia memutuskan untuk melupakan prasangka tak beralasannya. Persahabatannya jauh lebih penting daripada ego pribadi. Ia bahkan berencana memberi ha
Cling! Cling!Nama “Mas Rendi” terpampang nyata di layar ponsel Syila saat dering telepon memanggil. Keringat dingin mulai menyelimuti Syila. Jika ia angkat panggilan tersebut ia akan gugup. Tapi jika ia biarkan, bisa-bisa ia akan diteror oleh orang itu. “Sekian pertemuan dengannya sudah cukup membuatku tahu kalau dia memang manusia menyebalkan,” pikir Syila, seraya menimbang pilihan.Dengan segala keberanian yang tersisa dan mengusir pikiran negatif, Syila akhirnya menerima panggilan itu."Anda siapa? Anda kurang kerjaan ya teror saya? Saya nggak suka Anda teror seperti ini. Kalau kita ada masalah mainnya pakai cara yang gentle, dong," sergah Rendi di ujung sana dengan nada tajam dan menohok. Bentakan itu sontak mengusir sisa ketenangan di hati Syila. Tangannya bergetar, tapi ia mencoba menjawab."Eh, enggak enggak!" ucap Syila secara spontan. Ia sangat gugup.Rendi pun terkejut mendengar suara perempuan di speaker ponselnya. Ia seperti mengenal suara perempuan itu. Tapi siapa, piki
Syila seketika terkesiap saat mendadak suara yang dikenalinya memanggilnya. Ia bangkit dari kursinya dan menghadap ke asal suara. Wajahnya mendadak pucat, guratan kegugupan terlihat jelas di raut wajahnya. Di sana, tak jauh darinya, Arfan berdiri dengan ekspresi serius. Kehadirannya begitu tiba-tiba, membuat pikiran Syila penuh tanda tanya.Apakah dia telah memantaunya sejak tadi? Apakah Arfan sudah menantinya di belakang sedari lama? Apakah Arfan mendengar obrolannya tadi? Deretan pertanyaan penuh kegugupan mencecar batin dan pikiran Syila."Kamu dari tadi di sini? Kakak dari tadi nunggu kamu, loh,” ujar Arfan dengan nada yang sedikit menegur, alisnya mengerut menandakan kekecewaan.Syila tersentak, bola matanya menggelandang tak tentu arah. Ia mencoba mencari alasan yang masuk akal dan tak menambah kekecewaan Arfan. "M-maaf, Kak. Dari tadi—aku tunggu toilet sepi—lama banget antrenya." Syila tergagap. Ia tidak mungkin mengatakan ia menghabiskan waktu bersama Rendi, seorang lelaki ya
Arfan tengah berbincang akrab dengan Marsya, seorang perempuan yang baru dikenalnya kemarin. Marsya muncul beberapa saat setelah Syila pamit ke toilet. Ia mampir ke restoran setelah berbelanja kebutuhan wisudanya, tanpa disangka, ternyata restoran itu juga menjadi tempat yang sama di mana Arfan berada.Marsya langsung berseri-seri begitu melihat Arfan. Dengan santai, ia menghampiri dan menyapa tanpa ragu. Arfan pun menyambut kehadiran Marsya dengan senyuman hangat, merasa nyaman dengan obrolan ringan yang mulai mengalir di antara mereka. Marsya kemudian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Syila, seolah semuanya sudah menjadi kebetulan yang menyenangkan.“Kamu bawa apa saja, Sya?” tanya Arfan seraya melongok dua kantong yang dibawa Marsya.“Oh, ini!” Marsya tersenyum anggun sambil meletakkan belanjaannya di atas meja. Satu per satu isi kantongnya ia keluarkan secara bergiliran. Terpancar antusias yang tinggi ketika menunjukkan berbagai barang seperti skincare, kosmetik, headp
Udara sore ini cukup bersahabat. Tak panas, juga tak mendung. Cocok untuk menyeduh segelas americano panas juga menyesap cappuccino dingin. Perpaduan aroma yang menenangkan dan menyegarkan di atas meja persegi di sebuah restoran. Langit jingga turut melengkapi kehangatan suasana dalam obrolan dua orang di pojok restoran tersebut. Mereka adalah Syila dan Arfan.Syila batal menemani Alyaa mengajar les bukan disebabkan ada acara keluarga, melainkan ia menemui Arfan di sebuah restoran cepat saji. Sengaja ia mengajak Arfan bertemu di jam sore agar memiliki alasan untuk menolak ajakan Alyaa. Lagipula siang tadi ia baru tiba di rumah dan harus menadahi sambutan selamat dari keluarganya. Ia tentu butuh istirahat untuk menghemat energi dan baterai sosialnya. Ditambah lagi, Arfan baru bisa menemuinya ketika jam kerja selesai."Selamat ya, Syila. Adik Kak Arfan yang manis ini akhirnya hampir lulus juga.” Arfan tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan saat mengucapkan kalimat itu.“Teri
Ting Tong! Ting Tong! Rendi berjalan ke pintu dengan langkah tak bersemangat. Ia menarik kenop pintu. Begitu pintu dibukanya, Rendi terpaku. Rendi berdiri mematung di depan pintu yang terbuka lebar, matanya terpaku pada sosok tamu yang berdiri di sana. Perempuan itu tersenyum lembut, mengenakan blouse putih bermotif bunga kecil dan celana panjang hitam yang rapi. Rambutnya disanggul sederhana, dengan beberapa helai tergerai di sisi wajah. Di tangannya tergenggam tas kecil yang tampak penuh buku.“Alyaa…” Rendi akhirnya bersuara, seolah terbangun dari lamunannya. Bagai angin segar yang menerpa, Rendi menyungging senyum lebar ke arah Alyaa.“Iya, Mas. Ini saya, Alyaa. Mas Rendi nggak lupa kalau hari ini Lisa ada jadwal les, kan?” Alyaa membalas senyum tuannya dengan kehangatan wajah yang menjejakkan ketulusan.Sore ini jadwal Alyaa mengajar. Ia datang lebih awal dari biasanya. Ia datang sendiri, tidak ditemani lagi oleh Syila. "Iya, saya ingat, kok,” jawab Rendi cepat. “S-saya cuma—