Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.
Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang. "Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya. "Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya. "Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi. Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi melihat sosok itu. Seorang perempuan cantik dengan rambut hitam panjang terurai. Ia menggenakan blus krem dipadu rok plisket ungu. Ia tampak santai mengajari adiknya belajar. "Kak Rendi!" panggil Lisa yang melihat kakaknya sudah pulang. Perempuan itu sontak mendongak ke arah Rendi dan berdiri menyambutnya. Rendi segera menghampiri dan duduk menyebelahi Lisa. "Kak, terima kasih ya sudah carikan Lisa guru les. Aku sayang Kakak." Lisa tersenyum bahagia menatap manik mata Rendi. "Kan Kak Rendis udah janji akan turuti semua kemauan kamu." Rendi mengacak-acak poni rambut Lisa. “Duduk lagi saja.” Rendi menoleh ke perempuan di samping kiri Lisa. Perempuan itu mengangguk. "Kamu yang namanya Alyaa?" tanya Rendi dan diangguki lagi oleh perempuan itu. "Terima kasih sudah mau ambil tawaran dari teman saya," ucap Rendi. "Sama-sama, Mas. Saya juga senang bisa dapat pekerjaan paruh waktu dari Mas Rendi. Hitung-hitung cari pengalaman kerja." Alyaa membalas tanpa rasa sungkan. Ia bisa beradaptasi dengan cepat. "Ya sudah, saya izin ke kamar dulu mau bersih-bersih. Kalian lanjutkan belajarnya." Rendi beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamarnya. Lisa dan Alyaa pun melanjutkan kegiatan belajar mengajar mereka. *** Adzan maghrib berkumandang. Tepat saat Alyaa menyelesaikan tugasnya sebagai guru les Lisa. Ia meminta Lisa memanggilkan kakaknya sebab ia harus segera pulang. "Kak Alyaa sholat dulu di sini ya!" cegah Lisa. Alyaa menggelengkan kepala. Ia sedang kedatangan tamu bulanan sekarang ini. Rendi kemudian datang membawa nampan berisi semangkok bubur kacang hijau. Ia meletakkan di meja tepat berhadapan dengan posisi Alyaa. Rendi meminta Alyaa untuk di rumah beberapa saat lagi sampai waktu maghrib terlewat. Alyaa awalnya menolak, tetapi Rendi memaksa mengingat tidak etis berpergian di waktu sendekala. "Kamu santai saja di sini. Saya mau sholat dulu bareng Lisa dan Bi Sumi. Sementara itu kamu makan dulu bubur buatan Bibi saya," kata Rendi kemudian meninggalkan Alyaa. Untuk sesaat Alyaa termenung. Ia merasa suka dengan sikap Rendi yang ramah dan bisa dibilang sholeh. Sadar pikirannya melayang entah ke mana, Alyaa menghentikan lamunannya dan mencoba menghabiskan suguhan dari Rendi sebelum pemilik rumah kembali menemuinya. Tepat Alyaa melahap habis bubur, Rendi kembali sambil memegang amplop. Rendi duduk menyebelahi Alyaa membuat jantung Alyaa berdegup lebih kencang. "Ini uang jasa kamu untuk hari ini," ujar Rendi sambil menyerahkan amplop berisi uang kepada Alyaa. "Loh? Langsung hari ini?" tanya Alyaa heran. "Iya. Saya akan membayar jasamu setiap kali pertemuan, supaya lebih praktis. Siapa tahu saya kelupaan, hehe," Rendi tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Terima kasih," ucap Alyaa sambil menerima amplop tersebut. "Kamu sudah kenal lama dengan David?" tanya Rendi, membuka obrolan baru. "Betul, Mas. Kami dulu satu SMA. Dia kakak kelas saya," jawab Alyaa dengan lugas. "Hah? Satu SMA? Saya juga satu SMA sama David. Kenapa dia tidak pernah mengenalkan kamu ke saya?" Rendi tampak terkejut. Alyaa hanya menggelengkan kepala, karena ia sendiri tidak tahu alasan tersebut. "Oh ya, sebagai kakaknya Lisa, saya harus tahu lebih banyak tentang guru lesnya. Boleh saya tanya beberapa hal tentang kamu?" tanya Rendi. Alyaa setuju. Rendi kemudian bertanya mengenai keluarga Alyaa. Seperti alamat rumahnya, tempat kuliahnya, dan kehidupan sehari-harinya. Alyaa pun menjawabnya dengan baik tanpa rasa sungkan. Ia senang bisa cepat akrab dengan majikannya. "Maaf kalau saya lancang, boleh saya tanya sesuatu?" kini giliran Alyaa yang bertanya. Rendi mengangguk. "Rumah Mas Rendi terlihat sepi. Ayah sama ibu Mas Rendi di mana?" Pertanyaan Alyaa spontan membungkam mulut Rendi. Pertanyaannya seolah memutar masa lalu suram itu. "Apa saya harus jawab pertanyaan kamu?" Mata Rendi menatap Alyaa dengan penuh harap. "Kalau Mas Rendi tidak mau jawab, juga tidak apa-apa kok," ucap Alyaa sambil tersenyum tipis, membalas tatapan bermakna dari Rendi. "Saya berasal dari keluarga broken home," Rendi berkata dengan tegar meskipun terasa berat mengucapkannya. "Ya ampun, Mas. Maaf, saya tidak tahu. Maaf kalau saya jadi membuat Mas Rendi sedih," kata Alyaa dengan nada menyesal. "Tidak apa-apa. Lagi pula, seberapa pun keras saya mencoba menutupinya, saya tetap tidak bisa lari dari kenyataan. Setidaknya, saya merasa lebih baik daripada anak-anak broken home lainnya," jawab Rendi dengan senyum tipis kembali muncul di wajahnya. "Hidup saya tidak seburuk itu, kok," tambahnya sambil tertawa kecil. "Maksud Mas Rendi apa?" tanya Alyaa, kebingungan dengan arah perkataan Rendi. "Saya masih punya sosok perempuan yang selalu bisa buat saya tegar. Dia yang menemani saya semenjak mamah dan papah memilih pergi dengan keegoisannya. Dia belum pernah lelah kerja demi sekolah saya. Kamu liat ibu yang ada di rumah ini kan?" Rendi mendekatkan wajahnya dengan wajah Alyaa. Hal tersebut sukses membuat Alyaa susah bernapas. Alyaa mengangguk dan kemudian Rendi menarik wajahnya dari hadapan Alyaa. "Namanya Bi Sumi. Dia pembantu di rumah ini sejak 20 tahun yang lalu. Tapi sekarang dia sangat berharga buat saya. Dia adalah ibu saya. Dia pelita harapan saya untuk hidup." Rendi memandang kamar Bi Sumi yang berada di sebelah kamar Lisa. "Maaf ya, saya jadi melankolis begini," lanjut Rendi. "Iya, Mas. Saya juga minta maaf sudah mengungkit masa lalu Mas Rendi. Saya tidak akan membahas itu lagi," jawab Alyaa dengan rasa iba. "Oh ya, kira-kira kamu bisa mengajar adik saya setiap hari, tidak?" tanya Rendi dengan harapan. "Untuk saat ini tidak bisa, Mas. Saya masih ada tugas akhir kuliah. Paling saya bisa datang ke sini setiap dua sampai tiga minggu sekali. Bagaimana?" tawar Alyaa. "Boleh lah," jawab Rendi setuju. Alyaa berpamitan untuk pulang dan menemui Lisa terlebih dahulu. "Lisa senang diajar Kak Alyaa," kata Lisa sambil mencium punggung telapak tangan Alyaa. Alyaa pulang diantar oleh Rendi, yang memang memaksa. Baginya, tidak baik bagi perempuan berpergian sendiri malam-malam. Perjalanan menggunakan mobil menuju rumah Alyaa memakan waktu sekitar lima belas menit. Setiba di depan halaman rumah Alyaa, Alyaa menawarkan Rendi untuk mampir, namun Rendi menolak karena harus segera pulang. "Sekali lagi terima kasih, Mas Rendi." Alyaa melambaikan tangan ke arah Rendi yang mulai menjauh dari halaman rumahnya. "Dia laki-laki yang baik," celetuk Alyaa melukiskan senyum cantik di bibirnya. ***Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Tinggi matahari telah mencapai tujuh hasta atau sekitar pukul tujuh pagi. Jalanan di sudut Kabupaten Cilacap mulai ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga angkutan umum. Sebagian mengangkut para pekerja dan sebagian lainnya berisi para siswa serta mahasiswa dari berbagai sekolah. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima juga memadati trotoar khusus berjualan. Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki menggunakan kemeja kotak-kotak melajukan kencang sedan Mercedez Benz miliknya. Raut wajahnya mengisyaratkan kepanikan oleh karena terburu-buru. Akibat berkendara terlalu kencang, tanpa sengaja mobilnya menyipratkan genangan air bekas hujan ke salah seorang pejalan kaki. "Aaargh!" geram si lelaki menyadari kesalahannya yang tidak disengaja. Ia segera menghentikan laju mobil, menepi, dan keluar dari mobil. Ia menghampiri pejalan kaki tersebut yang sedang memperhatikan bagian bawah pakaiannya yang kotor. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja," kata si lelaki. Pejalan kaki yang seorang gadis i
Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama. "Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar."Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh.Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel
Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama. "Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar."Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh.Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel
Tinggi matahari telah mencapai tujuh hasta atau sekitar pukul tujuh pagi. Jalanan di sudut Kabupaten Cilacap mulai ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga angkutan umum. Sebagian mengangkut para pekerja dan sebagian lainnya berisi para siswa serta mahasiswa dari berbagai sekolah. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima juga memadati trotoar khusus berjualan. Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki menggunakan kemeja kotak-kotak melajukan kencang sedan Mercedez Benz miliknya. Raut wajahnya mengisyaratkan kepanikan oleh karena terburu-buru. Akibat berkendara terlalu kencang, tanpa sengaja mobilnya menyipratkan genangan air bekas hujan ke salah seorang pejalan kaki. "Aaargh!" geram si lelaki menyadari kesalahannya yang tidak disengaja. Ia segera menghentikan laju mobil, menepi, dan keluar dari mobil. Ia menghampiri pejalan kaki tersebut yang sedang memperhatikan bagian bawah pakaiannya yang kotor. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja," kata si lelaki. Pejalan kaki yang seorang gadis i