Rendi pulang lebih cepat hari ini. Tepat pukul 15.30 ia langsung keluar kantor. Ia menghindari beberapa kerumunan karyawan yang masih asyik bergurau atau sekedar membahas pekerjaan. Ia tahu citranya di kantor sedang tidak baik. Ia terpaksa kabur dari kerumunan demi menghindari malu. Ia juga menancap gas mobilnya dengan kencang.
Setiba di rumah, Rendi melempar tas kerjanya ke sofa ruang tengah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Dalam sekejap ia terlelap. Lelah bekerja dan lelah bertengkar dengan Shinta membuat badannya amat pegal. Pegal badan sekaligus lelah hati. Lima belas menit kemudian, dentingan notifikasi pesan di ponsel Rendi membangunkannya dari mimpi sore. Ia membuka notifikasi tersebut yang rupanya dari David. "Aku otw rumah." Isi pesan tersebut. "Jangan kelamaan." Rendi mengetik balasan pesan untuk David. Ia lalu pergi ke luar rumah. Ia duduk di bangku teras sembari menunggu kedatangan David. Sembari menunggu, ia mencari kontak Alyaa di ponselnya lalu menekan simbol panggilan. Tut! Tut! Tut! Terdengar nada tersambung di ujung. Rendi tinggal menunggu apakah Alyaa masih mau menerima teleponnya. Panggilan tersebut ternyata zonk, alias Alyaa tidak menjawab. Rendi mencoba meneleponnya lagi. Syukurlah, Alyaa akhirnya mau menjawab teleponnya. "Wa'alaikumsalam, syukurlah kamu mau jawab telepon saya," jawab Rendi setelah mendengar salam pembuka kata dari Alyaa. "Ada apa telepon saya, Mas? Saya nggak ada jadwal mengajar hari ini kan?" Alyaa bertanya dengan ramah. Sikap itulah yang membuat Rendi nyaman berdekatan dengannya. "Enggak. Saya..." Rendi merasa gugup. "Saya...minta maaf...buat tadi siang." "Ya sudahlah Mas, nggak apa-apa. Saya juga nggak ambil pusing kejadian itu." Di ujung sana Alyaa mengecilkan volume suaranya. Ia seperti malas membahas hal tersebut. "Harusnya Mas Rendi bilang dari awal kalau sudah punya kekasih. Jadi, saya bisa jaga jarak," sambung Alyaa. Rendi berdiri. Ia berjalan dan menyender ke tembok. "Saya nggak pernah cinta sama dia. Dia terlalu posesif. Saya nggak pernah nyaman di dekat dia," balas Rendi. "Maaf Mas, i-itu bukan urusan saya. Akan lebih baik Mas Rendi berhenti memberi perhatian lebih ke saya. Saya cuma guru les adik Mas Rendi, nggak lebih." Tanpa sadar Alyaa mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini. "Maksud kamu?" tanya Rendi. Alyaa tidak menjawab. Ia justru memutus panggilan teleponnya. "Halo! Halo! Alyaa!" panggil Rendi. Tapi jelas tidak ada lagi sahutan. Beberapa detik kemudian Alyaa mengirimkan notif pesan yang berisi, "Mas Rendi nggak perlu canggung kalau besok saya ke sana. Mas Rendi juga nggak perlu lagi antar saya pulang setiap selesai mengajar." Rendi geram. Ia kembali emosi. Tembok di sebelahnya ia tinju menggunakan kepalan tangannya. "Arrrgh!" berkali-kali Rendi menyakiti tangannya ke tembok. "Rendi?" panggil seseorang. Rendi menoleh. "David." Rendi menatap lemah laki-laki yang berdiri satu meter darinya. "Apa yang bikin kamu nggak baik-baik saja?" David bertanya cemas. Rendi tidak langsung menjawab. Ia kembali duduk di bangku teras. David segera menyebelahinya. "Hidupku kacau, Dav. Kacau!" "Sudah dari lahir, kan?" tanya David. Sempat-sempatnya dalam situasi menyedihkan ini ia bisa melontarkan lelucon demikian. "Bukanlah! Dari dalam kandungan sudah kacau." Rendi memiringkan bibirnya. "Aku itu sudah capek terus-terusan dikekang dia," kata Rendi sambil memandangi taman halaman rumahnya yang penuh bunga. "Siapa? Shinta?" David menduga. "Siapa lagi kalau bukan dia? Karir aku hampir hancur gara-gara dia." Mimik wajah Rendi terlihat sangat meminta belas kasihan. "Hah? Bagaimana ceritanya? Apa yang dia perbuat sampai karir kamu hancur?" Sifat penasaran David kambuh. Ia mulai antusias mengintrogasi rekan SMA-nya itu. "Woy! Paham kata hampir nggak sih?!" Rendi mendorong kasar tubuh David. "Whahaha, Ini nih yang aku suka. Kamu sudah bertenaga lagi. Itu artinya kamu sudah bahagia lagi." David tertawa lega. "Semprul!" ketus Rendi. "Jadi, bagaimana? Cerita dong ada apa tadi siang sampai-sampai kamu sudah seperti orang yang didatangi malaikat maut saja!" David memepet Rendi. Rendi yang geli kembali mendorongnya. Kali ini ia sampai tersungkur ke lantai. "Kurang ajar ya, Ren! Ganteng-ganteng seperti ini disuruh cium lantai!" omel David. "Ganteng dari mana? Ganteng-ganteng serigala?" Rendi cekikikan. David pun duduk dengan menjaga jarak. Ia tak mau jatuh ke tanah yang sama untuk kedua kalinya. Masih memasang wajah cemberut, David bertanya lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya. Rendi pun mengambil sikap serius. Ia menceritakan awal pertemuannya dengan Alyaa di kampus UNICILA. "What you say? Kamu bertemu Alyaa?" Mata David terbelalak. Ia semakin penasaran. "Sok Inggris banget, sih! Makanya dengarkan dulu sampai tuntas baru komentar." Rendi kesal ceritanya dipotong tiba-tiba. David hanya nyinyir sambil membuang muka. Rendi kemudian melanjutkan kronologi tragedi siang tadi. Ia bercerita ketika ia dan Alyaa sedang makan bersama, mendadak Shinta datang sambil marah-marah. Shinta menuduhnya berselingkuh. Shinta juga membuat Alyaa tersinggung oleh kata-katanya. Masih belum puas, Shinta memaksa ia menemani belanja make up. "Gara-gara itu aku kena SP kedua dan aku diskors dua hari," pungkas Rendi. "Sumpah? Kamu dapet skors? Astaga!" David ragu. "Aku mana mungkin bercanda masalah seperti ini." Rendi memberi kepastian. "Yaaah....aku turut prihatin ya, Bro." David menepuk bahu Rendi untuk memberi semangat. "Terus apa rencana kamu selanjutnya?" tanya David. "Besok aku harus menemui Shinta. Banyak hal yang harus aku jelaskan ke dia. Kalau perlu aku pengin putus dari dia," jawab Rendi mantap. "Aku sih setuju-setuju saja sama keputusan kamu. Perempuan itu memang sudah terlalu sering membuat kamu ditimpa kesialan. Pembawa sial dia. Aku juga nggak senang sama dia. Bawaannya emosi mulu si Shinta." David kembali menepuk-tepuk bahu Rendi. "Thank you ya Dav, sudah mau mendengarkan aku," Rendi menyimpul senyum. "Sama-sama. Sering-sering saja kamu curhat ke aku. Biar aku ada bahan gosip," balas David disambung gelak tawa. "Dasar sinting!" ketus Rendi. "Kalau aku sinting, kamu lebih sinting dong, soalnya mau berteman sama orang sinting," tawa David semakin pecah. Rendi cukup mendengus kesal. Ocehan David takkan ada habisnya kalau terus diladeni. David kemudian berpamit pulang karena hari sudah mulai gelap. Ia berharap rekannya jangan terlalu sering murung agar ia tak kaku di depannya. Rendi hanya mengangguk. "Oh ya, kamu ke sini naik apa?" tanya Rendi yang baru sadar tidak ada kendaraan asing di halaman rumahnya. "Bawa motor. Tuh, motornya di depan gerbang. Soalnya, dari tadi kamu dipanggil nggak jawab-jawab. Ya sudah aku tinggal saja motorku di situ terus aku menyelonong masuk," tutur David, “Untung pintu gerbangnya nggak digembok.” "Ooh. Ya sudah sana pulang. Nanti mamahmu cari kamu. Kamu kan anak mamah." Rendi menarik tangan David agar ia beranjak dari duduknya. David balas menjitak pelan. Dengan akting wajah masam, David meninggalkan kediaman Rendi. Sementara si tuan rumah menggeleng-gelengkan kepala. Tak lama setelah itu, Rendi merogoh ponsel di saku celananya. “Besok kita ketemuan!” tulis Rendi di kotak pesan untuk seseorang. ***Tepat Kamis, 10 Februari 2022, Marsya dan Alyaa tengah bergembira ria. Mereka sedang murah uang untuk mentraktir Syila atas lulusnya skripsi mereka dan bisa lanjut sidang. Syila bersyukur, setelah perjuangan panjang akhirnya ia dan sahabat-sahabatnya tinggal butuh satu langkah lagi menyelesaikan jenjang kuliahnya. "Huaaaahhhhh! Aku bahagia banget, sumpah. Dosen killer itu untuk pertama kalinya puji hasil skripsi aku." Marsya berteriak histeris akibat rasa senangya. "Bahagia sih bahagia, tapi jaga suara juga dong," sindir Syila kemudian memasukkan potongan bakso ke mulutnya. "Aaah, reseh kamu." Marsya memanyunkan bibirnya. Syila terkekeh. "Kamu dapat jadwal sidang hari apa, Al?" tanya Syila beralih memandang Alyaa yang duduk di sebelahnya. "Hari Kamis, Syil. Aku bersyukur banget bisa dapat ACC hari ini. Capek banget tiap hari harus bertemu revisi, revisi, dan revisi," jawab Alyaa ramah. "Waaah, Berarti jadwal kita sama, Al. Kamu juga hari Kamis kan, Syil?" tanya Marsya. Syila han
Rendi masuk mobil dengan wajah yang semringah. Hatinya amat lega bisa mengungkapkan semua yang ia rasakan kepada Shinta. Ia berharap semoga Shinta bisa mencerna baik-baik kalimatnya. Bahkan jika perlu, Shinta benar-benar sadar kesalahannya dan mau diajak mengakhiri hubungan. "Huffft! Untuk sementara gue bisa bebas dari Shinta." Rendi mengembuskan napas lega. Sejujurnya, terbersit rasa bersalah dalam benaknya terhadap Shinta. Ia mengakui dalam hati apa yang dilakukannya boleh dibilang keterlaluan. Sejak awal berpacaran, Rendi tak berkenan menerima perasaan Shinta. Namun, berbekal rasa simpati dan kekhawatiran memaksanya menerima Shinta sebagai kekasihnya. Ia berpikir barangkali ia bisa perlahan menumbuhkan cinta untuk perempuan yang gemar menggerai rambut blondenya yang panjang. Akan tetapi, ada banyak sifat Shinta yang tak disenanginya sehingga tak mampu memantik cinta di hati Rendi.Rendi mengusap wajah lelahnya lalu menyalakan mesin mobilnya. Ia bergegas pergi dari tempat itu, taku
Syila menderapkan langkah cepat di tepi jalan menuju rumahnya. Tak sampai satu menit, kakinya sudah berjejeran dengan bumper mobil Avanza yang terparkir di halaman rumahnya. Ia amat mengenali pemilik mobil berwarna hitam itu. Stiker beruang coklat masih menempel erat di pinggir atas kiri kaca depan mobil itu.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum." Syila masuk ke rumah. "Wa'alaikumsalam." Dua orang yang ada ruang tamu menjawab serempak. Mereka adalah ayah Syila dan seorang tamu.Persis seperti dugaan Syila. Arfan datang ke rumahnya. Ia tengah duduk santai di kursi ruang tamu bersama ayahnya. Syila pun segera duduk di kursi yang berseberangan."Kak Arfan kok ada di sini?" tanya Syila sambil meletakkan tas kuliahnya. "Hush! Nggak sopan," tegur ayah. Syila menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal sambil nyengir. "Kak Arfan sudah lama di sini?" Syila mengganti pertanyaannya. "Nah, itu lebih baik," puji ayah. Syila tersenyum kaku. Arfan ikut terkekeh pelan. Arfan menjawab jika ia sudah set
Usai melepas kepergian Arfan, gadis yang rambutnya tergerai anggun itu masuk ke rumah. Syila langsung menuju kamar. Ia merenung di dalam kamarnya. Matanya tertuju pada figura berisi foto masa kecilnya bersama Arfan. Tepatnya saat mereka masih menjabat pengurus OSIS di SMP. Ia kemudian membuka laci yang ada di bawah lemari pakaiannya. Ia mengambil sebuah barang dari sana. Ada sebuah syal di dalam sana. Syal yang pernah dijahit oleh tangan Arfan sendiri dan diberikan kepada Syila tepat saat kelulusan SMA Syila. Dulu Syila pernah bermimpi bisa datang ke negara bermusim salju. Namun, sekarang mimpi itu masih sebatas angan. Tekadnya masih terjaga, tetapi ia menggenggam prioritas lain. "Kak Arfan. Kakak selalu baik ke aku. Meskipun aku tahu kebaikan Kakak cuma untuk persahabatan. Tapi aku nggak bisa mengelak lagi. Aku menganggap perhatian Kakak ke aku lebih dari sekedar sahabat," kata Syila menatap sayu syal di tangannya. **Flashback on**Pada suatu Sabtu di tahun 2018, gerombolan siswa
Sore itu, Rendi bersandar di tembok teras rumahnya, menyesap udara senja yang terasa lembut. Ia menunggu kedatangan Alyaa, pengajar les adiknya. Pandangannya terarah ke langit, pikirannya terbang kembali pada peristiwa siang tadi. Peristiwa yang mengobrak-abrik separuh prinsip awalnya yang tak berniat menyukai gadis itu.Sebuah senyum tipis terlukis di wajah maskulin Rendi, namun segera diiringi helaan napas panjang. Meski masih kesal dengan insiden di kantor yang mencoreng namanya, ia tak mengerti mengapa pertemuannya dengan gadis bernama Syila justru menghadirkan perasaan senang."Syila... Nama yang cantik, persis seperti pemiliknya," gumam Rendi pelan. Bayangan Syila kembali hadir, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka yang penuh adu mulut. Gadis keras kepala itu, entah bagaimana, berhasil menarik perhatian Rendi. "Coba saja aku belum punya Shinta, pasti aku bisa lebih bebas membiarkan kepalaku memikirkan Syila. Kasihan juga Shinta karena harus jadi korban rasa nggak enakk
Keesokan harinya, Syila meminta bertemu dengan kedua sahabat perempuannya. Ia harus mencurahkan kebimbangannya atas keinginan ibu. Ia ingin meminta pendapat kedua sahabatnya yang barangkali bisa memberi solusi. Mereka bertemu di kafe langganan mereka. Kebetulan mereka sedang tak punya jadwal ke kampus. "Aku lagi bingung. Ibu minta sesuatu ke aku yang mana aku belum siap buat memenuhi keinginan itu." Syila memperlihatkan raut bimbangnya. Dagunya menempel pada meja kafe."Memang apa yang diminta sama ibumu?" tanya Alyaa berpangku sebelah tangan. Syila menarik napas sebentar dan mengangkat wajahnya. Kemudian ia mulai bercerita kejadian sore kemarin saat ibunya menunjukan dua helai kerudung. Ibunya ingin setelah lulus, ia bisa mantap menggunakan kerudung. Ibu menuturkan kepadanya bahwa menutup seluruh aurat adalah kewajiban seorang muslimah. Sementara selama ini Syila tidak pernah menggunakan kerudung di kesehariannya kecuali ketika datang ke pengajian atau ketika hari raya tiba. "Aku
Sore hari Syila berpamitan kepada ibu, ayah, dan kakaknya—hendak menemani temannya pergi. Ibu menatap Syila sedikit kecewa karena putrinya masih belum menggunakan kerudung. Syila yang memahami arti tatapan ibunya segera keluar dari rumah sambil memberi salam. Syila berjalan sebentar hingga pertigaan di mana di sana sudah ada Alyaa yang menunggunya di dalam sebuah taksi. Syila masuk ke taksi. Ia meminta maaf sudah membuat Alyaa menunggu lama. Alyaa merasa tidak keberatan. Taksi berjalan dengan kecepatan 60km/jam. Sesekali dalam perjalanan, Alyaa dan Syila bercakap-cakap. "Ini nggak masalah kan kalau aku ikut denganmu?" tanya Syila. Alyaa seraya memeriksa sesuatu di tasnya menjawab, "Nggak apa-apa. Kamu santai aja. Aku lagi malas berpergian sendiri saja, kok.” Syila mengangguk.‘Hari ini aku nggak boleh canggung di depan Mas Rendi. Aku harus jadi Alyaa yang dia kenal,’ ucap Alyaa dalam hati. Lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah tempat Alyaa mengajar les. Usai
Malam hari Rendi menyambangi rumah David. Usai dua hari terkena skors, ia perlu menemui rekan kerja sekaligus sahabatnya. Setidaknya ia butuh melepas rindu sekaligus bertanya perihal tugas kantor yang tertinggal. Dalam hati, ia berharap tidak ada tumpukan tugas di meja kerjanya saat besok ia kembali bekerja. "Sejauh ini kantor lagi aman-aman aja. Semua tugas kamu udah terkover sama aku," kata David mengambil posisi jekang di sofa ruang tamu. "Fiuuuh...syukurlah. Seenggaknya besok aku nggak kaget datang ke kantor." Rendi menyandarkan punggung ke sofa, merasa lega. "Tapi itu artinya potongan gaji kamu buat bonus gaji aku dong, hahaha." David tertawa jahil. "Semprul!" Rendi mendengus, meski senyum kecilnya tak dapat disembunyikan. Pandangan Rendi berkeliling, menyapu setiap sudut rumah sahabatnya. Bola matanya seperti mencari sesuatu. Setelah beberapa saat, ia bertanya, “Orang tua kamu mana? Kok nggak kelihatan?” “Mamah sama papah lagi ke rumah nenek,” jawab David santai.
Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y
Usai mengantar Syila ke rumahnya, David segera kembali ke kantor. Tak lupa ia mampir ke kedai makan untuk membeli dua porsi ayam geprek—lengkap dengan es teh. Setibanya di halaman kantor, ia melangkah cepat ke ruang kerjanya. Di sana tersisa seorang karyawan yang tak lain ialah Rendi—sahabatnya yang sedang bermain ponsel. “Sepi banget kantor,” ujar David seraya melangkah ke kursi kerjanya. “Iya, masih pada di luar. Baru setengah satu juga,” jawab Rendi. Matanya menggelandang mengikuti gerakan sahabatnya.“Nih!” David meletakkan satu paket makan siangnya di meja Rendi. Sahabatnya itu pun mengulas senyum puas.“Thank you, Dav. Bagaimana? Syila udah sampai rumah?” tanya Rendi sambil menggeletakkan ponselnya di meja.David menggeleng. “Dia minta turun di pertigaan dekat rumahnya. Aku mau antar dia langsung ke rumah, eh, dianya menolak.” Ia menggedikan bahunya lalu duduk manis di kursinya.Rendi menghela napas lalu bergumam, “Kebiasaan.”“Padahal ya, kalau aku bisa tahu rumahnya, aku kan
Satu jam berlalu, tepat pukul 12.00 WIB. Kini Syila sedang duduk bersisian dengan David di mobil Mercedez merah milik Rendi. Ia menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan kaca dingin menyentuh pelipisnya. Sejujurnya, ia berharap bisa pulang sendiri menggunakan angkutan umum atau ojek online. Akan tetapi, ia tak bergairah menanggapi keras kepalanya Rendi. Lagipula baginya, lelaki itu ada benarnya juga. Ia hampir celaka oleh ulah mantan kekasih Rendi. Artinya, tidak menutup kemungkinan Shinta masih mengintainya dari kejauhan. Apalagi dengan kondisi Rendi yang justru menjadi korban paling parah. Tentu saja Shinta berpotensi kian geram dan semakin nekad.“Mas Rendi itu sebenarnya baik, cuma kadang menyebalkan aja,” batin Syila, matanya menerawang kejadian di unit kesehatan kantor tadi. Sekali lagi, Rendi berhasil menyentuh hatinya dengan caranya sendiri.Selama perjalanan, keheningan menghinggapi suasana di mobil. Hanya suara deru mesin dan decitan halus ban yang bersinggungan dengan asp
Sementara itu, di ruangan lain David mendapat kabar dari rekan satu divisinya bahwa Rendi mengalami kecelakaan. “Hah? Rendi kecelakaan?” David spontan berdiri, alisnya bertaut. Anggukan rekannya menyuarkan ketegangan di wajahnya.“Sekarang dia di mana?” tanya David.“Dia di ruang unit kesehatan kantor,” jawab rekannya.David mendesah pelan, gurat kecemasan terpancar jelas di mukanya. Ia pun berlomba dengan waktu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah siap, ia bergegas menemui Rendi di unit kesehatan kantor. Setiba di sana, ia menepuk dahi. Ia merasa telah menyambangi sahabatnya di waktu yang salah. “Astaga, salah kamar!” celetuk David seraya menepuk dahi. Ia hampir menarik kakinya dari batas daun pintu. Akan tetapi, Rendi yang terlanjur menoleh ke arah pintu langsung memanggilnya.“Woi! Balik nggak?!” seru Rendi, menatapnya tajam. Sambil meringis, David pun masuk ke ruangan—menyebelahi Rendi. Rendi menyipitkan sebelah matanya dan menampilkan gurat sinis ke arah David. “Nggak ada ist