Sekarang ini, Rendi sedang makan siang bersama Alyaa. Rendi mengajaknya ke restoran di dekat kantornya. Kebetulan waktu sudah menunjukkan jam istirahat bagi Rendi.
"Ayo dimakan ayamnya. Nanti dingin kalau cuma didiamkan begitu. Nggak usah sungkan, " kata Rendi menyadari Alyaa terus memandanginya. "Eh, iya, Mas." Alyaa menurunkan pandangannya. Ia pun melahap sedikit demi sedikit makanan di depannya. "By the way, saya suka sama kamu," ucap Rendi tiba-tiba. "Uhuk! Uhuk!" Alyaa kaget mendengar pernyataan Rendi sehingga ia tersedak. Rendi membantunya memberikan air minum. "Kaget, ya? Hehe. Saya ngomong jujur. Kamu orangnya asyik diajak mengobrol. Kamu juga ramah," tutur Rendi menatap manik mata Alyaa yang mendadak berbinar. Entahlah, apakah Rendi sadar sikapnya hampir mengutik sisi sensitif Alyaa. "Tenang Alyaa, dia cuma bilang suka, nggak lebih." Alyaa membatin. Ia mungkin tak akan sanggup jika mendengar hal lebih dahsyat dari kata suka. Mungkin jantungnya akan copot karena tak kuasa menahan rasa canggung bercampur salah tingkah. "Beda banget dari perempuan itu yang doyan marah-marah." Rendi menyibakkan rambut lurusnya ke samping. Alyaa seketika penasaran. Siapa perempuan yang dimaksud Rendi. "Saya lagi malas membahas perempuan itu. Gara-gara saya bertemu dia di jalan, saya jadi terlambat ke kantor. Akhirnya, saya harus terima SP dari kepala divisi," kata Rendi. Raut Rendi terlihat tidak seperti orang yang kesal. Ia justru tampak menyimpul senyum. "Siapa orang itu? Apa jangan-jangan itu Syila? Dia juga bilang kalau dia pernah bertemu orang yang membuatnya hampir batal bimbingan," pikir Alyaa dalam hati. Mengapa tiba-tiba hatinya khawatir? Mengapa hatinya ingin agar pemikirannya tidak benar? Apa dia cemburu jika perempuan itu benar-benar Syila? "Ya sudahlah, kita lanjut lagi makannya. Jam istirahat saya hampir habis." Rendi terkekeh. Alyaa mengiyakan. Tak lupa ia berterima kasih lantaran Rendi berkenan menghadiahkan makan siang untuknya. Kebahagiaan sedang menyelimuti Rendi. Sejak pagi ia sering tersenyum. Entah bagaimana Rendi bisa mengartikan kebahagiaannya ini. Namun, dalam sekejap kebahagiaannya berubah jadi malapetaka ketika secara tiba-tiba kekasihnya datang melabraknya. "Rendi!" teriak Shinta menghampiri meja Rendi. Alyaa menoleh ke asal suara yang tepat di belakangnya. "Shinta? Kamu di sini?" Rendi terkejut mengetahui Shinta datang. "Iya! Aku nggak sangka kamu bisa setega dan sejahat ini sama aku! Baru kemarin banget aku kasih peringatan dan sekarang kamu sudah lupa kata-kata aku?" Shinta bersuara kencang. Rendi beruntung, restoran sudah mulai ditinggalkan pengunjung. "Shin, kita bahas di luar saja, ya?" pinta Rendi sembari berdiri. Ia berusaha menenangkan kekasihnya. Alyaa yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menonton. "Buat apa? Buat merayu aku biar aku nggak jadi marah? Terus kamu bisa mengulangi kesalahan kamu?" Bola mata Shinta melebar. Pipinya merah padam akibat emosi yang memuncak. "Asal kamu tahu ya, aku capek-capek datang ke kantor kamu, membawakan makan siang tapi kamu nggak ada di sana." Kemarahan Shinta menarik perhatian pelayan restoran. "Ya kan aku kerja," jawab Rendi dengan nada khawatir. "Kerja? Berduaan seperti ini kamu bilang kerja? Wow, alasan yang tidak masuk akal!" Shinta memalingkan wajahnya ke arah Alyaa. Tatapan sinisnya begitu tajam. "Kamu siapa, hah?! Berani sekali mengajak pacar orang jalan berdua? Di mana etika kamu? Laki-laki tampan di luar sana masih banyak, ya! Jangan jadi perusak hubungan orang!” Shinta menunjuk Alyaa. Dia bahkan hampir menarik lengan Alyaa, tetapi Rendi berhasil mencegah aksi brutal kekasihnya. "Ren, kamu benar-benar tega. Kamu mengkhianati aku!” Alyaa tercengang mendengar kata-kata Shinta. Ia pun mengerti apa yang terjadi. Ia pun bangkit dari duduknya. Ia tertuduh melakukan sesuatu yang bahkan tak ia ketahui kesalahannya. "Maaf, saya sudah ganggu kalian. Saya akan pergi." Alyaa menunduk kaku. Ia canggung memandang Rendi. "Kamu jelas ganggu hubungan saya sama Rendi!" bentak Shinta. "Alyaa, tolong kamu jangan bawa serius omongan dia! Kamu nggak salah. Aku mohon." Rendi berusaha menahan Alyaa. "Permisi." Alyaa berjalan cepat meninggalkan tempat tersebut. Panggilan Rendi tak dihiraukannya. "Maksud kamu itu apa, sih?" Rendi meluapkan emosinya. "Kamu yang ada apa?" balas Shinta, “Aku sudah peringatkan kamu untuk jangan bertingkah macam-macam!”Mata mereka saling menatap. Rendi seketika naik pitam. Ia kesal dengan ulah Shinta yang bertindak sewenang-wenang menuduh orang. Ia memaki Shinta persis kekasihnya menghina guru les adiknya. "Kamu itu nggak tahu apa-apa tentang dia!" Rendi menunjuk arah perginya Alyaa yang sekarang sudah tak tampak lagi batang hidungnya. "Halooo! Aku tidak tahu apa-apa? Aku tahu, Ren! Dia selingkuhan kamu! Dia pelakor!" sergah Shinta. "Shinta!" Rendi mengangkat tangan kanannya hendak menampar Shinta. Wajahnya merah padam. Pandangan matanya teramat tajam. Namun, Shinta justru mengejek Rendi karena ia tak kuasa menampar wajah pacarnya. Rendi terduduk lemah di kursinya. Kemudian dengan pandangan menunduk ia berkata, "Perempuan itu guru les privat adik aku. Kami baru saja akan bahas jadwal mengajar dia. Tapi gara-gara kamu semuanya kacau." "Ya ampun, Rendi." Suara Shinta melemah. Ia akhirnya paham. Ia pun meraih lengan Rendi meminta maaf atas kecerobohannya. Rendi tidak mempedulikannya. Ia hanya ingin kekasihnya bisa berpikir positif terhadap setiap tindakannya. Ia ingin Shinta jangan over posesif kepadanya. Ia merasa terkekang oleh sifat posesif Shinta. "Sayang, tolong maafkan aku, ya. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan ini." Shinta memelas. Raut kasihan yang membuat Rendi takluk menerima cintanya sebelum akhirnya ia tahu sifat asli kekasihnya. Ia menyesal. "Udah berapa kali aku memaafkan kamu untuk kesalahan yang sama?" Rendi melontarkan pertanyaan membosankan dari mulutnya. "Iya-iya, kali ini aku serius. Aku minta maaf, ya?" Shinta mengedip-kedipkan matanya. Rendi terkesan tak peduli. "Biasanya kalau ditanya diam, itu artinya iya. Berarti kamu mau memaafkan aku. Terima kasih ya, sayang." Shinta tersenyum kembali mengusap-usap punggung telapak tangan Rendi. "Berarti kamu mau menemani aku belanja sebentar ya? Make up aku sudah habis," kata Shinta mengharap jawaban iya. Sayangnya Rendi menolak. Ia harus kembali ke kantor karena jam istirahatnya sudah habis. "Tuhkan! Buat perempuan tadi kamu punya waktu, giliran buat aku yang pacar kamu malah nggak bisa." Shinta kembali kesal. "Aku harus kerja, Shinta." Rendi meminta pengertian dari Shinta. Tampak kefrustrasian mendekam di wajahnya. "Sebentar saja, Rendi. Cuma setengah jam. Please! Kamu nggak mau aku marah lagi, kan?" ancam Shinta. "Gila kamu ya!" decak kesal Rendi. Shinta tak peduli. Tanpa berkata lagi ia langsung menarik tangan Rendi dari tempat itu menuju tujuannya. Rendi hanya bisa pasrah. *** Alyaa menghentikan langkahnya di halaman parkir restoran tadi. Ia tolehkan wajahnya ke belakang. Tak lama kemudian air mata luruh tanpa sebab ke pipinya mulus. "Apa ini?" Alyaa mengusap tetesan air matanya. Ia tidak tahu untuk alasan apa ia menangis. Tapi yang jelas, hati Alyaa terasa tergores. Ada luka yang menyayat perasaannya. Ia seakan tertampar mengetahui kenyataan yang entah kenapa sulit untuk ia percayai. Ia akhirnya benar-benar canggung terhadap Rendi. Entahlah apa dia bisa kuat menatap wajah majikannya lagi. "Nggak Alyaa! Kamu baru mengenal dia. Nggak seharusnya kamu sedih karena tahu kebenaran ini. Kamu bukan siapa-siapanya. Kamu cuma guru les adiknya." Alyaa mengelus dadanya agar hatinya tegar dan tidak terbawa perasaan. "Jadi, perempuan yang dimaksud Mas Rendi itu bukan Syila, tapi pacarnya." Alyaa menyimpulkan sebuah pendapat dari apa yang tadi ia dengar dari Rendi tentang perempuan doyan marah. "Mba-Mba, minggir! Mau buat lewat," kata seseorang dalam mobil yang berada beberapa meter di belakang Alyaa. Alyaa secara tidak langsung menutupi jalan kendaraan roda empat karena ia berdiri berlurusan dengan gerbang keluar. Ia pun segera pergi dari sana dan bersiap pulang. ***Rendi benar-benar pasrah saat surat peringatan kedua dibanting kasar ke atas meja oleh kepala divisi pemasaran. Ia mendapat teguran pedas tanpa ampun. Ia sadar ia salah. Ia datang amat terlambat ke kantor. Batas maksimal ia harus tiba di kantor usai jam makan siang yakni pukul 13.15. Akan tetapi, akibat ulah kekasihnya ia harus menahan malu karena masuk pukul 13.45. "Kamu benar-benar niat bekerja di sini atau tidak, sih?! Ini bukan pekaranganmu yang bisa kamu garap semaunya, datang seenaknya, pulang juga semaunya! Kamu anak baru tapi sudah berani buat citra PT JATI PERSADA turun," omel kepala divisi. Gestur berkacak pinggangnya menunjukkan bahwa dia sangat jengkel."Maaf, Pak." Rendi tertunduk tak berdaya. “Jangan mentang-mentang perusahaan ini pernah jadi milik keluarga kamu, kamu bisa sewenang-wenang di sini! Masih untung kami bersedia memberi kompensasi bulanan untuk hidup kamu!” Kepala divisi itu melayangkan tatapan buas ke arah Rendi."Ini kesempatan terakhir saya memberikan ma
Rendi pulang lebih cepat hari ini. Tepat pukul 15.30 ia langsung keluar kantor. Ia menghindari beberapa kerumunan karyawan yang masih asyik bergurau atau sekedar membahas pekerjaan. Ia tahu citranya di kantor sedang tidak baik. Ia terpaksa kabur dari kerumunan demi menghindari malu. Ia juga menancap gas mobilnya dengan kencang. Setiba di rumah, Rendi melempar tas kerjanya ke sofa ruang tengah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Dalam sekejap ia terlelap. Lelah bekerja dan lelah bertengkar dengan Shinta membuat badannya amat pegal. Pegal badan sekaligus lelah hati. Lima belas menit kemudian, dentingan notifikasi pesan di ponsel Rendi membangunkannya dari mimpi sore. Ia membuka notifikasi tersebut yang rupanya dari David. "Aku otw rumah." Isi pesan tersebut. "Jangan kelamaan." Rendi mengetik balasan pesan untuk David. Ia lalu pergi ke luar rumah. Ia duduk di bangku teras sembari menunggu kedatangan David. Sembari menunggu, ia mencari kontak Alyaa di ponsel
Tepat Kamis, 10 Februari 2022, Marsya dan Alyaa tengah bergembira ria. Mereka sedang murah uang untuk mentraktir Syila atas lulusnya skripsi mereka dan bisa lanjut sidang. Syila bersyukur, setelah perjuangan panjang akhirnya ia dan sahabat-sahabatnya tinggal butuh satu langkah lagi menyelesaikan jenjang kuliahnya. "Huaaaahhhhh! Aku bahagia banget, sumpah. Dosen killer itu untuk pertama kalinya puji hasil skripsi aku." Marsya berteriak histeris akibat rasa senangya. "Bahagia sih bahagia, tapi jaga suara juga dong," sindir Syila kemudian memasukkan potongan bakso ke mulutnya. "Aaah, reseh kamu." Marsya memanyunkan bibirnya. Syila terkekeh. "Kamu dapat jadwal sidang hari apa, Al?" tanya Syila beralih memandang Alyaa yang duduk di sebelahnya. "Hari Kamis, Syil. Aku bersyukur banget bisa dapat ACC hari ini. Capek banget tiap hari harus bertemu revisi, revisi, dan revisi," jawab Alyaa ramah. "Waaah, Berarti jadwal kita sama, Al. Kamu juga hari Kamis kan, Syil?" tanya Marsya. Syila han
Rendi masuk mobil dengan wajah yang semringah. Hatinya amat lega bisa mengungkapkan semua yang ia rasakan kepada Shinta. Ia berharap semoga Shinta bisa mencerna baik-baik kalimatnya. Bahkan jika perlu, Shinta benar-benar sadar kesalahannya dan mau diajak mengakhiri hubungan. "Huffft! Untuk sementara gue bisa bebas dari Shinta." Rendi mengembuskan napas lega. Sejujurnya, terbersit rasa bersalah dalam benaknya terhadap Shinta. Ia mengakui dalam hati apa yang dilakukannya boleh dibilang keterlaluan. Sejak awal berpacaran, Rendi tak berkenan menerima perasaan Shinta. Namun, berbekal rasa simpati dan kekhawatiran memaksanya menerima Shinta sebagai kekasihnya. Ia berpikir barangkali ia bisa perlahan menumbuhkan cinta untuk perempuan yang gemar menggerai rambut blondenya yang panjang. Akan tetapi, ada banyak sifat Shinta yang tak disenanginya sehingga tak mampu memantik cinta di hati Rendi.Rendi mengusap wajah lelahnya lalu menyalakan mesin mobilnya. Ia bergegas pergi dari tempat itu, taku
Syila menderapkan langkah cepat di tepi jalan menuju rumahnya. Tak sampai satu menit, kakinya sudah berjejeran dengan bumper mobil Avanza yang terparkir di halaman rumahnya. Ia amat mengenali pemilik mobil berwarna hitam itu. Stiker beruang coklat masih menempel erat di pinggir atas kiri kaca depan mobil itu.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum." Syila masuk ke rumah. "Wa'alaikumsalam." Dua orang yang ada ruang tamu menjawab serempak. Mereka adalah ayah Syila dan seorang tamu.Persis seperti dugaan Syila. Arfan datang ke rumahnya. Ia tengah duduk santai di kursi ruang tamu bersama ayahnya. Syila pun segera duduk di kursi yang berseberangan."Kak Arfan kok ada di sini?" tanya Syila sambil meletakkan tas kuliahnya. "Hush! Nggak sopan," tegur ayah. Syila menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal sambil nyengir. "Kak Arfan sudah lama di sini?" Syila mengganti pertanyaannya. "Nah, itu lebih baik," puji ayah. Syila tersenyum kaku. Arfan ikut terkekeh pelan. Arfan menjawab jika ia sudah set
Usai melepas kepergian Arfan, gadis yang rambutnya tergerai anggun itu masuk ke rumah. Syila langsung menuju kamar. Ia merenung di dalam kamarnya. Matanya tertuju pada figura berisi foto masa kecilnya bersama Arfan. Tepatnya saat mereka masih menjabat pengurus OSIS di SMP. Ia kemudian membuka laci yang ada di bawah lemari pakaiannya. Ia mengambil sebuah barang dari sana. Ada sebuah syal di dalam sana. Syal yang pernah dijahit oleh tangan Arfan sendiri dan diberikan kepada Syila tepat saat kelulusan SMA Syila. Dulu Syila pernah bermimpi bisa datang ke negara bermusim salju. Namun, sekarang mimpi itu masih sebatas angan. Tekadnya masih terjaga, tetapi ia menggenggam prioritas lain. "Kak Arfan. Kakak selalu baik ke aku. Meskipun aku tahu kebaikan Kakak cuma untuk persahabatan. Tapi aku nggak bisa mengelak lagi. Aku menganggap perhatian Kakak ke aku lebih dari sekedar sahabat," kata Syila menatap sayu syal di tangannya. **Flashback on**Pada suatu Sabtu di tahun 2018, gerombolan siswa
Sore itu, Rendi bersandar di tembok teras rumahnya, menyesap udara senja yang terasa lembut. Ia menunggu kedatangan Alyaa, pengajar les adiknya. Pandangannya terarah ke langit, pikirannya terbang kembali pada peristiwa siang tadi. Peristiwa yang mengobrak-abrik separuh prinsip awalnya yang tak berniat menyukai gadis itu.Sebuah senyum tipis terlukis di wajah maskulin Rendi, namun segera diiringi helaan napas panjang. Meski masih kesal dengan insiden di kantor yang mencoreng namanya, ia tak mengerti mengapa pertemuannya dengan gadis bernama Syila justru menghadirkan perasaan senang."Syila... Nama yang cantik, persis seperti pemiliknya," gumam Rendi pelan. Bayangan Syila kembali hadir, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka yang penuh adu mulut. Gadis keras kepala itu, entah bagaimana, berhasil menarik perhatian Rendi. "Coba saja aku belum punya Shinta, pasti aku bisa lebih bebas membiarkan kepalaku memikirkan Syila. Kasihan juga Shinta karena harus jadi korban rasa nggak enakk
Keesokan harinya, Syila meminta bertemu dengan kedua sahabat perempuannya. Ia harus mencurahkan kebimbangannya atas keinginan ibu. Ia ingin meminta pendapat kedua sahabatnya yang barangkali bisa memberi solusi. Mereka bertemu di kafe langganan mereka. Kebetulan mereka sedang tak punya jadwal ke kampus. "Aku lagi bingung. Ibu minta sesuatu ke aku yang mana aku belum siap buat memenuhi keinginan itu." Syila memperlihatkan raut bimbangnya. Dagunya menempel pada meja kafe."Memang apa yang diminta sama ibumu?" tanya Alyaa berpangku sebelah tangan. Syila menarik napas sebentar dan mengangkat wajahnya. Kemudian ia mulai bercerita kejadian sore kemarin saat ibunya menunjukan dua helai kerudung. Ibunya ingin setelah lulus, ia bisa mantap menggunakan kerudung. Ibu menuturkan kepadanya bahwa menutup seluruh aurat adalah kewajiban seorang muslimah. Sementara selama ini Syila tidak pernah menggunakan kerudung di kesehariannya kecuali ketika datang ke pengajian atau ketika hari raya tiba. "Aku
Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y
Usai mengantar Syila ke rumahnya, David segera kembali ke kantor. Tak lupa ia mampir ke kedai makan untuk membeli dua porsi ayam geprek—lengkap dengan es teh. Setibanya di halaman kantor, ia melangkah cepat ke ruang kerjanya. Di sana tersisa seorang karyawan yang tak lain ialah Rendi—sahabatnya yang sedang bermain ponsel. “Sepi banget kantor,” ujar David seraya melangkah ke kursi kerjanya. “Iya, masih pada di luar. Baru setengah satu juga,” jawab Rendi. Matanya menggelandang mengikuti gerakan sahabatnya.“Nih!” David meletakkan satu paket makan siangnya di meja Rendi. Sahabatnya itu pun mengulas senyum puas.“Thank you, Dav. Bagaimana? Syila udah sampai rumah?” tanya Rendi sambil menggeletakkan ponselnya di meja.David menggeleng. “Dia minta turun di pertigaan dekat rumahnya. Aku mau antar dia langsung ke rumah, eh, dianya menolak.” Ia menggedikan bahunya lalu duduk manis di kursinya.Rendi menghela napas lalu bergumam, “Kebiasaan.”“Padahal ya, kalau aku bisa tahu rumahnya, aku kan
Satu jam berlalu, tepat pukul 12.00 WIB. Kini Syila sedang duduk bersisian dengan David di mobil Mercedez merah milik Rendi. Ia menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan kaca dingin menyentuh pelipisnya. Sejujurnya, ia berharap bisa pulang sendiri menggunakan angkutan umum atau ojek online. Akan tetapi, ia tak bergairah menanggapi keras kepalanya Rendi. Lagipula baginya, lelaki itu ada benarnya juga. Ia hampir celaka oleh ulah mantan kekasih Rendi. Artinya, tidak menutup kemungkinan Shinta masih mengintainya dari kejauhan. Apalagi dengan kondisi Rendi yang justru menjadi korban paling parah. Tentu saja Shinta berpotensi kian geram dan semakin nekad.“Mas Rendi itu sebenarnya baik, cuma kadang menyebalkan aja,” batin Syila, matanya menerawang kejadian di unit kesehatan kantor tadi. Sekali lagi, Rendi berhasil menyentuh hatinya dengan caranya sendiri.Selama perjalanan, keheningan menghinggapi suasana di mobil. Hanya suara deru mesin dan decitan halus ban yang bersinggungan dengan asp
Sementara itu, di ruangan lain David mendapat kabar dari rekan satu divisinya bahwa Rendi mengalami kecelakaan. “Hah? Rendi kecelakaan?” David spontan berdiri, alisnya bertaut. Anggukan rekannya menyuarkan ketegangan di wajahnya.“Sekarang dia di mana?” tanya David.“Dia di ruang unit kesehatan kantor,” jawab rekannya.David mendesah pelan, gurat kecemasan terpancar jelas di mukanya. Ia pun berlomba dengan waktu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah siap, ia bergegas menemui Rendi di unit kesehatan kantor. Setiba di sana, ia menepuk dahi. Ia merasa telah menyambangi sahabatnya di waktu yang salah. “Astaga, salah kamar!” celetuk David seraya menepuk dahi. Ia hampir menarik kakinya dari batas daun pintu. Akan tetapi, Rendi yang terlanjur menoleh ke arah pintu langsung memanggilnya.“Woi! Balik nggak?!” seru Rendi, menatapnya tajam. Sambil meringis, David pun masuk ke ruangan—menyebelahi Rendi. Rendi menyipitkan sebelah matanya dan menampilkan gurat sinis ke arah David. “Nggak ada ist