Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya.
Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai. "Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Bingung kenapa?" tanya David lagi. "Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan. "Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, kan?" saran David. "Masalahnya, aku tidak ingin asal membuka lowongan. Aku ingin Lisa mendapatkan guru privat yang benar-benar berkualitas sebagai seorang pendidik," jelas Rendi dengan raut wajah penuh keraguan. "Kamu memang suka bikin perkara sendiri, Ren!" "Tapi aku bisa bantu. Aku punya kenalan, mahasiswa semester akhir jurusan pendidikan bahasa. Aku lupa bahasa apa, tapi mungkin dia bisa masuk kriteria yang kamu cari. Bagaimana?" kata David. Rendi setuju, dan dia menyerahkan tugas kepada David untuk menghubungi calon guru les tersebut."Omong-omong, kamu cuma cari guru buat Lisa?" tanya David dengan niat meledek. "Ya iyalah. Memang untuk siapa lagi? Aku? Buat apa?!," sewot Rendi. David mendekatkan kursi kerjanya ke kursi Rendi kemudian berkata, "Siapa tahu, kamu butuh guru les juga buat bikin Shinta tobat, whuahahaha." "Kamu benar-benar sialan!" Rendi mendorong jauh-jauh kursi yang diduduki David. *** Ini siang yang mendebarkan bagi Syila. Ini keenam kalinya ia menemui dosen pembimbing skripsinya untuk mengonsultasikan tugas akhirnya. Ia berharap hari ini tidak ada revisi lagi untuk skripsinya. "Kamu sudah ingin sidang?" tanya sang dosen yang seorang perempuan paruh baya. "Iya, Bu." Syila mengangguk mantap. "Kamu sudah bosan berada di kampus ini, ya?" sang dosen kembali bertanya sambil membolak-balik skripsi Syila. "Saya ingin mengikuti pendaftaran CPNS tahun ini. Karena itu saya ingin segera lulus sebelum ada info pembukaan tes itu, Bu." Syila menjawab singkat, padat, dan jelas. Dosen tersebut menghela napas. Ia kemudian menutup skripsi di depannya. Dengan bangga dosen tersebut mengulurkan tangan. "Selamat, skripsimu minggu depan bisa maju sidang." "Alhamdulillah. Benaran ini, Bu?" Syila tak percaya. Namun, dosen tersebut mengangguk mantap. Dosen tersebut mengatakan kalau penelitian yang ditulis Syila sudah sesuai dengan sistematika skripsi. Metode penelitian yang digunakan juga dijabarkan secara gamblang sehingga pembaca mudah memahami isi penelitiannya. Sebulan lalu, Syila telah mengikuti seminar proposal skripsi. Judul yang diajukan Syila disetujui. Namun, terdapat koreksi pada bagian bab tiga metode penelitian. Ia diminta penguji memperbaiki bagian tersebut agar lebih sinkron dengan tujuan penelitian yang hendak dicapainya. "Terima kasih, Bu. Saya akan mempelajari skripsi ini dengan baik supaya secepatnya saya bisa lolos sidang dan bulan depan bisa ikut wisuda." Syila menyamber uluran tangan sang dosen. Ia sangat bahagia hari ini. Hari yang dinanti akan segera tiba. *** Usai skripsinya bisa maju sidang, Syila merayakan kegembiraannya bersama dua sahabat tercintanya. Syila mentraktir mereka masing-masing satu porsi mie ayam dan segelas es teh. "Keren kamu, Syila. Setelah enam kali bolak-balik revisi akhirnya bisa maju sidang juga," puji Alyaa. "Aku saja yang sudah lima kali konsultasi belum direkomendasikan buat sidang," gerutu Alyaa. "Biasa itu ah! Aku nih tujuh kali konsultasi masih kena coret. Dosennya galak pula," timpal Marya lalu menyeruput es teh. “Berarti kamu tinggal nunggu jadwal sidang saja nih?” Alyaa mencomot tisu di depannya. "Tidak sepenuhnya begitu. Aku masih harus mengurus beberapa persyaratan sidang. Namun, alhamdulillah, dosen pembimbing kedua tidak banyak memberikan komentar. Bahkan, beliau langsung menandatangani begitu mengetahui dosen pembimbing pertama sudah memberikan persetujuan," ujar Syila sambil meletakkan lengan kirinya di atas meja, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. "Apakah kami bisa menyusulmu?" tanya Marsya dengan nada cemas. "Jangan pesimis begitu, dong! Kalian harus yakin bahwa besok adalah hari terakhir konsultasi kalian. Aku doakan yang terbaik untuk kalian," ujar Syila memberi semangat kepada sahabat-sahabatnya. "Terima kasih," jawab Marsya dengan ekspresi terharu yang sedikit dibuat-buat. "Ih, geli tahu!" Syila melemparkan sejumput tisu ke arah wajah Marsya. "Ngomong-ngomong, Syil, bagaimana rencanamu setelah lulus kuliah?" tanya Alyaa sambil menyilangkan sendok dan garpu di atas mangkuknya. "Rencanaku tidak muluk-muluk. Aku ingin mengajar Bahasa Inggris di sekolah dasar. Aku berencana mendaftar CPNS," jawab Syila dengan senyum yang mantap. "Kalian sendiri bagaimana?" tanya Syila balik. "Masih abu-abu," jawab Marsya sambil melirik ke arah lain. "Ya, begitulah," sahut Alyaa yang langsung disusul oleh tawa mereka bertiga. Tiba-tiba, ponsel Alyaa berdering. Ia pun meminta izin untuk menerima telepon tersebut. *** Usai jam makan siang habis, David menghampiri Rendi di lantai bawah yang sedang menata barang di gudang. Ia meminta izin sebentar kepada pengawas gudang di sana untuk berbicara dengan Rendi. Karena David dikenal sebagai karyawan lama yang berperilaku baik, maka pengawas gudang mengizinkan. "Ada apa? Aku sedang sibuk," ujar Rendi sambil mengusap keringat di dahinya. Saat itu, ia dan rekannya berdiri berhadapan di luar gudang. "Aku tahu kok. Kamu sedang dihukum karena kesalahan kemarin, kan?" balas David dengan nada riang, membuat Rendi memiringkan bibirnya dan berdecak kesal. "Ada kabar baik." "Kabar baik apa?" tanya Rendi dengan nada ketus. "Sabar dulu, aku baru mau bilang," jawab David dengan nada kesal. "Lama-lama bisa kutepuk kepalamu," sahut Rendi, ikut kesal. Beginilah Rendi saat suasana hatinya kacau, segala hal terasa mengusiknya. "Aku sudah menemukan guru les yang cocok untuk adikmu. Tapi dia masih mahasiswa, seperti yang aku bilang tadi. Dia hanya bisa mengajar di sore hari," jelas David. "Perempuan?" tanya Rendi, yang dijawab dengan anggukan oleh David. "Bisa mulai mengajar hari ini?" "Tentu saja. Tenang saja, begitu kamu pulang, dia sudah akan ada di rumahmu." Rendi berterima kasih atas bantuan sahabat koplaknya ini. Meski kadang menyebalkan, tetapi dialah yang sering membantunya menyelesaikan masalah hidupnya. Rendi banyak bergantung padanya. "Sudah sana lanjut kerja!" perintah David layaknya seorang bos. "Woy! Aku butuh identitas guru itu." Rendi kembali kesal diperlakukan demikian. "Ah gampang. Nanti aku kirimkan CV dia. Cepat sana kerja!" David mendorong Rendi untuk kembali masuk ke gudang agar melanjutkan pekerjaannya. Sungguh, jika Rendi bisa, ia ingin mengumpat habis-habisan rekan menyebalkannya itu. Namun sayangnya, ia hanya bisa melakukan hal itu dalam hati. ***Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Tinggi matahari telah mencapai tujuh hasta atau sekitar pukul tujuh pagi. Jalanan di sudut Kabupaten Cilacap mulai ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga angkutan umum. Sebagian mengangkut para pekerja dan sebagian lainnya berisi para siswa serta mahasiswa dari berbagai sekolah. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima juga memadati trotoar khusus berjualan. Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki menggunakan kemeja kotak-kotak melajukan kencang sedan Mercedez Benz miliknya. Raut wajahnya mengisyaratkan kepanikan oleh karena terburu-buru. Akibat berkendara terlalu kencang, tanpa sengaja mobilnya menyipratkan genangan air bekas hujan ke salah seorang pejalan kaki. "Aaargh!" geram si lelaki menyadari kesalahannya yang tidak disengaja. Ia segera menghentikan laju mobil, menepi, dan keluar dari mobil. Ia menghampiri pejalan kaki tersebut yang sedang memperhatikan bagian bawah pakaiannya yang kotor. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja," kata si lelaki. Pejalan kaki yang seorang gadis i
Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama. "Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar."Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh.Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama. "Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar."Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh.Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel
Tinggi matahari telah mencapai tujuh hasta atau sekitar pukul tujuh pagi. Jalanan di sudut Kabupaten Cilacap mulai ramai oleh kendaraan-kendaraan pribadi juga angkutan umum. Sebagian mengangkut para pekerja dan sebagian lainnya berisi para siswa serta mahasiswa dari berbagai sekolah. Tak ketinggalan para pedagang kaki lima juga memadati trotoar khusus berjualan. Di waktu yang bersamaan, seorang lelaki menggunakan kemeja kotak-kotak melajukan kencang sedan Mercedez Benz miliknya. Raut wajahnya mengisyaratkan kepanikan oleh karena terburu-buru. Akibat berkendara terlalu kencang, tanpa sengaja mobilnya menyipratkan genangan air bekas hujan ke salah seorang pejalan kaki. "Aaargh!" geram si lelaki menyadari kesalahannya yang tidak disengaja. Ia segera menghentikan laju mobil, menepi, dan keluar dari mobil. Ia menghampiri pejalan kaki tersebut yang sedang memperhatikan bagian bawah pakaiannya yang kotor. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja," kata si lelaki. Pejalan kaki yang seorang gadis i