Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama.
"Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar." Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh. Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel dengan gadis tadi. Ia bersumpah apabila semesta mempertemukannya lagi dengannya, Rendi akan balas dendam. Ia tak sudi menerima umpatan pedas kepala divisinya akibat ulang seorang gadis menyebalkan itu. Beberapa saat kemudian Shinta datang membawa nampan berisi dua porsi mie ramen dan dua gelas jus mangga. Shinta menata makanan tersebut di meja. "Profesi baru, Mba?" Rendi meledek. Shinta yang tak terima dikata demikian sontak mengetuk pelan kepala Rendi dengan nampan yang sudah tak berisi. "Kamu itu harusnya berterima kasih, bukan mengejek seperti itu," ucap Shinta membenarkan posisi duduknya. Rendi meminta maaf. “Dasar laki-laki, tidak pernah peka!” Untuk beberapa menit mereka diam menghabiskan pesanan masing-masing. Jika Shinta dengan lahap memakan ramen yang ia pesan, maka Rendi tampak acuh tak acuh dengan makanan di hadapannya. Ia sibuk mencak-cak makanan tersebut. "Kamu kenapa sayang? Kok belum makan?" Shinta menyadari gelagat tak berselera kekasihnya. “Mienya tidak enak ya? Aku pesankan ulang ya?” Shinta bertanya lagi. Rendi menghela napas lantas berkata, "Hari ini aku dapat SP." Sontak Shinta mengurungkan niatnya yang hendak ke meja kasir lagi. "Apa?" Shinta membelalakkan matanya. "Kok bisa? Ini kan hari pertama kamu kerja, sayang." Rendi dengan wajah malas menceritakan kembali kejadian menjengkelkan pagi tadi. Shinta merasa kasihan dan ikut dongkol mendengar cerita Rendi. Rendi berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Namun, Shinta menentang Rendi untuk menunaikan niatnya. Ia bahkan tidak mengizinkan kekasihnya mencari gadis itu. Rendi bingung dan menanyakan alasannya. "Aku tidak mau kamu bertemu perempuan itu. Aku tidak rela gara-gara kamu bertemu dia lagi, kamu jadi punya rasa sama dia," terang Shinta. "Kamu lucu. Ya kali aku bakal jatuh cinta sama perempuan itu. Bisa-bisa telinga aku rusak diceramahi terus sama dia." Rendi terkekeh sekaligus tak menyangka kekasihnya bisa berpikiran demikian. "Rendi, cinta itu datangnya bisa kapan saja, tidak kenal waktu, tempat, dan orangnya. Cinta itu buta dan tuli," kata Shinta serius. “Iya, buta dan tuli seperti kamu,” timpal Rendi. “Ih, aku serius!” Shinta sedikit menggebrak meja. “Aku jatuh cinta sama kamu juga tidak terencana kan? Tidak ada yang menyangka aku bisa secinta dan sesayang ini sama kamu. I love you so much.” Shinta melayangkan kiss bye pada Rendi yang tampak berusaha menyembunyikan raut tak nyamannya. Rendi pun harus berkata iya demi mengakhiri perbincangan membosankan ini. Ia sendiri heran, sejak kapan kekasihnya jadi romantis seperti ini. "Oh ya, kamu tidak berusaha merayu karyawan perempuan di kantor kamu, kan?" Shinta bertanya lagi. Baru Rendi memuji Shinta, sifat asli pacarnya kambuh lagi. Hal itu membuatnya menarik kata-kata pujian itu dalam hati. "Shin, bagaimana aku bisa naksir? Kenal saja belum. Baru saja aku masuk kerja," sewot Rendi. Ia mengulang cerita betapa malunya ketika para staf di divisi pemasaran itu melirik sinis pada dirinya saat masuk ruang kerja. "Hari ini belum, tapi kapan-kapan bisa saja kan kamu naksir salah satu di antara mereka. Pokoknya aku tidak rela kamu naksir perempuan lain apalagi sampai selingkuh.” Kata-kata Shinta seakan mengancam hak kebebasan bersosialisasi Rendi. Ia sudah jengah dengan pembicaraan ini. Ia berharap waktu berjalan cepat dan memintanya kembali ke kantor. Pucuk dicinta ulam pun tiba. David datang menemui Rendi, memintanya segera kembali ke kantor karena jam masuk tinggal sepuluh menit lagi. Rendi teramat lega meski ia tidak menampakkan kesenangannya di depan Shinta. Sedangkan, Shinta kesal David datang mengganggu waktu romantisnya bersama Rendi. "Sudahlah Shin, aku harus balik ke kantor. Aku tidak mau terlambat lagi dan kena teguran dua kali sehari. Kamu pulang sendiri," pinta Rendi memohon pengertian Shinta. "Tapi sepuluh menit itu masih lama, Rendi!" Shinta menaikkan nada suaranya. "Heh, kamu tidak bisa atur Rendi seenak kamu ya! Kalian kan bisa pacaran lagi nanti sore." David menimbrung. Tanpa basa-basi lagi David menarik Rendi keluar dari restoran tersebut dan meninggalkan Shinta dengan kegeramannya. Di perjalanan Rendi menepuk-tepuk bahu David seraya berterima kasih karena rekannya itu telah menyelamatkan ia dari jeratan singa. *** Sore hari usai kuliah, Syila mampir ke rumah salah satu sahabatnya yang bernama Arfan. Ia ke sana untuk merevisi softfile skripsinya di laptop Arfan. Sebenarnya ia punya laptop, tetapi laptop miliknya sedang diperbaiki. Sehingga dalam merevisi skripsinya, ia meminta bantuan sahabat kala SMP-nya. "Makasih ya, Kak Arfan sudah banyak bantu aku menyelesaikan tugas akhir. Maaf juga kalau sering merepotkan Kakak." Syila meletakkan gelas berisi teh manis ke meja tamu usai menyeruputnya. "Santai saja, Syil. Kakak tidak merasa direpotkan kok. Tidak ada salahnya kan bantu sahabat?" Arfan menyeringai dan terkekeh. Syila mengangguk dan menyuratkan senyum. Arfan kemudian mematikan laptopnya dan mencabut flashdisk milik Syila. Skripsi Syila telah selesai direvisi dan siap dikonsultasikan ulang ke dosen pembimbing. "Syil, kamu yakin mau cetak skripsi sendiri? Kalau kamu mau, Kakak bisa bantu cetak skripsi kamu di kantor Kakak." Arfan mengembalikan flashdisk kepada Syila. Syila menggeleng tanda tak perlu. Ia tidak ingin merepotkan sahabatnya lebih banyak lagi. "Kalau begitu aku pulang dulu ya, Kak. Sekali lagi terima kasih," pamit Syila. "Kak Arfan antar ya?" Arfan menawarkan bantuan. "Hitung-hitung Kakak mau silahturahmi, sudah lumayan lama juga tidak mampir ke rumah kamu," lanjut Arfan. Syila mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian Arfan memarkir mobil avanza miliknya dari garasi rumahnya. Setelah itu, Arfan menyuruh Syila naik di kursi depan. Mereka pun meninggalkan halaman rumah Arfan menuju rumah Syila. Arfan dan Syila memang sahabat yang amat akrab. Syila mengenal Arfan saat ia kelas satu SMP. Saat itu Arfan kelas dua dan menjabat ketua OSIS di sekolahnya. Perkenalan dimulai saat Syila terpilih menjadi bagian dari kepengurusan OSIS dan menjabat sekretaris. Hal tersebut menjadikan Syila dan Arfan sering berinteraksi intens untuk membahas program-program sekolah. Mereka mudah menerima satu sama lain sehingga mereka bisa akrab. Keakraban itu berlanjut hingga Syila sudah kuliah dan Arfan bekerja sebagai manager di PT ADI LAKSANA. *** Braaak!!! Pukul empat sore Rendi tiba di rumah dengan membanting tas kerjanya ke ruang tengah. Padahal ia baru membeli tas tersebut beberapa hari yang lalu. "ARRGH!" Rendi mengerang. Pikirannya kacau. Hari ini hari yang amat kacau untuk Rendi. Sudah terlambat di hari pertama, pacar malah menuntut banyak permintaan. Kepala Rendi serasa ingin pecah memikirkan semua itu. "Kenapa nasib aku tidak pernah baik?! Mengapa harus selalu aku yang mengalami kesialan?! Semua hal buruk menimpa aku. Kapan aku bisa merasa tenang?" Rendi menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Namun, usahanya sia-sia. Wajah Shinta muncul di benaknya saat ia memejamkan mata."ARRRGH!" PRANG! Rendi menyingkirkan kasar vas bunga di meja. Ia memang sulit mengendalikan emosi saat pikiran ataupun hatinya sedang stres. Ia terlalu terbawa amarah. Suara tangisan anak kecil menyadarkan Rendi dari marahnya. Ia mencari suara tersebut. Ia menemukan pemilik tangisan tersebut. Pemiliknya sedang bersandar di pintu kamar sembari menangis. Rendi segera menghampirinya. "Lisa, maafkan Kak Rendi, ya? Kakak sudah membuatmu menangis." Rendi berlutut. Wajahnya yang memerah seketika lenyap saat ia menatap penuh iba kepada satu-satunya adik perempuannya yang berusia sebelas tahun. "Lisa takut... hiks hiks... Lisa nggak suka... hiks... lihat Kak Rendi marah... hiks," ujar Lisa sambil terisak. "Iya, Kakak minta maaf. Kakak janji tidak akan marah-marah lagi di depan kamu. Jangan menangis lagi, ya." Rendi menyeka air mata adiknya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Kak." Lisa melepaskan pelukan kakaknya. "Lisa boleh minta sesuatu?" tanya Lisa. "Kamu mau apa, sayang? Bilang saja, Kakak pasti turuti." Rendi mengelus pipi Lisa. "Lisa ingin dicarikan guru les di rumah. Nilai pelajaran Lisa selalu pas-pasan, tidak seperti teman-teman yang lain. Padahal Lisa sudah belajar, tapi nilainya tetap belum memuaskan," kata Lisa sambil menundukkan kepala. Rendi memalingkan wajahnya. Bibir bawahnya ia gigit. Ia merasa bersalah atas keadaan adiknya. Memorinya menelisik jauh ke belakang. Jauh saat keluarganya masih utuh. Di mana ia bisa mendapat semua yang ia minta dari orang tuanya. Kasih sayang, perhatian, dan pelukan nyata. Namun, sekarang rasanya amat sakit di dada Rendi. Melihat ketidakadilan menimpa adiknya. Ia harus besar dan hidup tanpa pernah merasakan kasih sayang orang tua. Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibunya memilih hidup masing-masing dan melepaskan tanggung jawab terhadap anak. Mereka melarikan kewajiban terhadap kedua anak mereka pada Bi Sumi, asisten rumah tangga di rumah Rendi saat ini. "Kak? Bisa, kan?" Lisa menunggu jawaban. Matanya berbinar mengharap jawaban yang positif. "Kamu tenang saja. Besok Kakak akan carikan kamu guru les." Senyum hangat tersungging di wajah Rendi. Lisa berterima kasih. *** Suara gesekkan sendok dan piring mengiringi aktivitas makan keluarga kecil Syila. Terpantau lima orang tengah duduk dengan manis menyantap tumis kangkong dan ikan bandeng goreng. Mereka adalah Syila, kedua orang tuanya, kakaknya, dan Arfan. Usai mengantar Syila pulang, Arfan diminta ikut makan bersama mereka. "Maaf ya, Bu, Arfan jadi merepotkan," ujar Arfan dengan canggung. "Ibu tidak merasa direpotkan kok. Ibu malah senang kamu datang ke rumah," balas Ibu Sukma. "Iya, Nak Arfan. Lagi pula, kamu ini sudah Bapak dan Ibu anggap seperti keluarga sendiri," timpal ayah Syila, Pak Abdul. "Sebentar lagi jadi keluarga beneran, nih," Hanif menggoda Syila yang sedang asyik makan. Syila mendengus kesal. "Oh ya, Syila, tadi Ibu bilang kamu sempat pulang dan bajumu kotor. Kamu kenapa?" tanya Ayah. Arfan terlihat semakin tertarik mendengarkan.Syila sebenarnya malas membicarakan hal tersebut lagi. Ia sudah melupakannya. Namun, ia harus menghormati pertanyaan ayahnya. Dengan penuh kesantunan ia menceritakan kembali kronologi yang membuat bajunya kotor. "Dan andai saja laki-laki itu mau sedikit bertanggung jawab antar Syila ke rumah, pasti Syila tidak akan telat bimbingan." "Tapi dia itu sudah bagus loh mau ganti rugi ongkos kamu." Ayah menanggapi. "Ayah kok jadi bela laki-laki itu?" Syila cemberut. "Ayah tidak membela dia. Dia tetap salah karena mengebut di jalan raya. Tapi dia kan sudah berusaha tanggung jawab ke kamu. Jangan mendendam seperti itu," jawab ayah. Syila mengembuskan napas kasar. "Pak, Bu, Arfan pamit pulang dulu. Sudah sore," kata Arfan sambil beranjak dari tempat duduknya. "Terima kasih ya, Arfan, sudah mau datang," ujar Ibu sambil mempersilakan Arfan untuk pulang. "Hati-hati di jalan, Kak," pesan Syila sambil mengantar Arfan sampai ke depan pintu rumah. Arfan mengucapkan salam sebelum melangkah pergi. "Syila, menurutmu laki-laki itu tampan nggak?" bisik Hanif tiba-tiba pada adiknya. Syila mendorong pelan lengan kakaknya, lalu bergegas menuju kamar.. *** Malam ini bintang-bintang tak menampakkan dirinya di langit gelap. Bulan sabit jua berkali-kali menyembunyikan pendarnya di balik awan. Angin perlahan mengirimkan dingin menusuk ke kulit Syila. Kini ia sedang menatap kesunyian langit malam dari jendela kamarnya. Matanya menerawang ragam hal. Terselip beberapa mimpi yang perlu diselesaikan segera. “Ku pikir hari ini sudah tidak ada revisi,” gumam Syila. Hari ini bukan pertama ataupun ketiga kalinya ia mengonsultasikan tugas akhirnya. Keharusan merevisi ia peroleh berulang-ulang baik dari dosen pembimbing pertama maupun kedua. “Bulan wisuda semakin dekat. Aku bisa tepat waktu tidak ya?” harap Syila, “Hufftt, Ya Allah, mudahkan aku, lancarkan urusanku. Aku mau sidang bulan ini.” Syila mengusapkan tangan ke wajahnya. ***Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Saat ini Syila sedang duduk di bangku kantin bersama kedua sahabatnya. Ia mengaduk-aduk es teh di hadapannya dengan malas. Wajahnya muram. Ia bahkan tak antusias mendengar kelakar Marsya dan Alyaa. Pikirannya masih terdistrak oleh insiden baru tadi. Ia menyesal dan tak menyangka takdir akan mempertemukan mereka lagi."Hei, wajahmu ditekuk terus, ada apa? Lagi kurang bahagia ya?" celetuk Marsya mengganggu ketenangan Syila."Mau bahagia bagaimana, hari ini laki-laki menyebalkan itu muncul lagi?" Kepala Syila mendongak ke sembarang arah. "Laki-laki? Maksudmu yang kemarin sudah buat kamu terlambat ikut bimbingan?" tanya Marsya. Syila mengangguk tak bersemangat. "Whuahaha, benar kan apa yang aku bilang?! Kamu pasti bertemu dia lagi." Marsya tertawa mengejek. "Jangan-jangan ini awal kalian berjodoh," sambung Alyaa meledek."Ih, kalian itu tidak asyik banget sih! Bukannya menghibur malah tambah buat kesal." Syila makin memperlihatkan raut masamnya. Syila mencurahkan betapa jengkelnya ia d
Sekarang ini, Rendi sedang makan siang bersama Alyaa. Rendi mengajaknya ke restoran di dekat kantornya. Kebetulan waktu sudah menunjukkan jam istirahat bagi Rendi."Ayo dimakan ayamnya. Nanti dingin kalau cuma didiamkan begitu. Nggak usah sungkan, " kata Rendi menyadari Alyaa terus memandanginya."Eh, iya, Mas." Alyaa menurunkan pandangannya. Ia pun melahap sedikit demi sedikit makanan di depannya. "By the way, saya suka sama kamu," ucap Rendi tiba-tiba. "Uhuk! Uhuk!" Alyaa kaget mendengar pernyataan Rendi sehingga ia tersedak. Rendi membantunya memberikan air minum. "Kaget, ya? Hehe. Saya ngomong jujur. Kamu orangnya asyik diajak mengobrol. Kamu juga ramah," tutur Rendi menatap manik mata Alyaa yang mendadak berbinar. Entahlah, apakah Rendi sadar sikapnya hampir mengutik sisi sensitif Alyaa."Tenang Alyaa, dia cuma bilang suka, nggak lebih." Alyaa membatin. Ia mungkin tak akan sanggup jika mendengar hal lebih dahsyat dari kata suka. Mungkin jantungnya akan copot karena tak kuasa m
Rendi benar-benar pasrah saat surat peringatan kedua dibanting kasar ke atas meja oleh kepala divisi pemasaran. Ia mendapat teguran pedas tanpa ampun. Ia sadar ia salah. Ia datang amat terlambat ke kantor. Batas maksimal ia harus tiba di kantor usai jam makan siang yakni pukul 13.15. Akan tetapi, akibat ulah kekasihnya ia harus menahan malu karena masuk pukul 13.45. "Kamu benar-benar niat bekerja di sini atau tidak, sih?! Ini bukan pekaranganmu yang bisa kamu garap semaunya, datang seenaknya, pulang juga semaunya! Kamu anak baru tapi sudah berani buat citra PT JATI PERSADA turun," omel kepala divisi. Gestur berkacak pinggangnya menunjukkan bahwa dia sangat jengkel."Maaf, Pak." Rendi tertunduk tak berdaya. “Jangan mentang-mentang perusahaan ini pernah jadi milik keluarga kamu, kamu bisa sewenang-wenang di sini! Masih untung kami bersedia memberi kompensasi bulanan untuk hidup kamu!” Kepala divisi itu melayangkan tatapan buas ke arah Rendi."Ini kesempatan terakhir saya memberikan ma
Rendi pulang lebih cepat hari ini. Tepat pukul 15.30 ia langsung keluar kantor. Ia menghindari beberapa kerumunan karyawan yang masih asyik bergurau atau sekedar membahas pekerjaan. Ia tahu citranya di kantor sedang tidak baik. Ia terpaksa kabur dari kerumunan demi menghindari malu. Ia juga menancap gas mobilnya dengan kencang. Setiba di rumah, Rendi melempar tas kerjanya ke sofa ruang tengah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Dalam sekejap ia terlelap. Lelah bekerja dan lelah bertengkar dengan Shinta membuat badannya amat pegal. Pegal badan sekaligus lelah hati. Lima belas menit kemudian, dentingan notifikasi pesan di ponsel Rendi membangunkannya dari mimpi sore. Ia membuka notifikasi tersebut yang rupanya dari David. "Aku otw rumah." Isi pesan tersebut. "Jangan kelamaan." Rendi mengetik balasan pesan untuk David. Ia lalu pergi ke luar rumah. Ia duduk di bangku teras sembari menunggu kedatangan David. Sembari menunggu, ia mencari kontak Alyaa di ponsel
Tepat Kamis, 10 Februari 2022, Marsya dan Alyaa tengah bergembira ria. Mereka sedang murah uang untuk mentraktir Syila atas lulusnya skripsi mereka dan bisa lanjut sidang. Syila bersyukur, setelah perjuangan panjang akhirnya ia dan sahabat-sahabatnya tinggal butuh satu langkah lagi menyelesaikan jenjang kuliahnya. "Huaaaahhhhh! Aku bahagia banget, sumpah. Dosen killer itu untuk pertama kalinya puji hasil skripsi aku." Marsya berteriak histeris akibat rasa senangya. "Bahagia sih bahagia, tapi jaga suara juga dong," sindir Syila kemudian memasukkan potongan bakso ke mulutnya. "Aaah, reseh kamu." Marsya memanyunkan bibirnya. Syila terkekeh. "Kamu dapat jadwal sidang hari apa, Al?" tanya Syila beralih memandang Alyaa yang duduk di sebelahnya. "Hari Kamis, Syil. Aku bersyukur banget bisa dapat ACC hari ini. Capek banget tiap hari harus bertemu revisi, revisi, dan revisi," jawab Alyaa ramah. "Waaah, Berarti jadwal kita sama, Al. Kamu juga hari Kamis kan, Syil?" tanya Marsya. Syila han
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang dinanti tiba. Sabtu, 5 Maret 2022, adalah hari wisuda kelulusan Syila dan sahabat-sahabatnya. Ia sudah tidak sabar naik ke panggung, menuntaskan pendidikan strata satunya, dan mulai merangkai mimpi besarnya sebagai seorang PNS guru.Pagi itu, mentari mengintip malu-malu dari celah jendela kamar Syila. Sinar keemasan menyapu perlahan meja belajar yang penuh dengan buku catatan dan tumpukan kertas ujian yang kini hanya menjadi kenangan. Syila menguap kecil, lalu beranjak membuka lemari pakaian dengan semangat. Toga yang telah lama tersimpan rapi di dalamnya menunggu untuk dipakai. Namun, saat membuka lemari, sebuah kain biru wardah terjatuh ke lantai.Syila memungut kain itu perlahan, memandanginya dengan tatapan yang berubah sendu. Kain tersebut adalah hadiah dari ibunya saat ulang tahunnya yang ke-20. Sebuah simbol harapan dari sang ibu agar Syila mulai mengenakan kerudung, sesuatu yang telah lama menjadi keinginan ibunya.“Ya Allah, aku udah ban
Rendi dan Shinta duduk di sebuah meja sudut restoran dekat supermarket. Suasana di antara mereka penuh keheningan yang aneh. Rendi tampak canggung, jemarinya terus memainkan gelas air mineral di depannya. Di sisi lain, Shinta menatap ke arah jendela dengan wajah sendu, seolah sedang menata pikirannya sebelum berkata.“Kenapa, Ren?” Shinta akhirnya memecah keheningan. Suaranya pelan, tapi sarat emosi. “Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar? Teleponku nggak kamu angkat, pesan-pesanku nggak satu pun dibalas.”Sembari menarik napas berat Shinta lanjut mengeluh, “Aku rasa dua minggu adalah waktu yang cukup untuk kamu menenangkan diri. Aku rindu.” Shinta memandang kekasihnya dengan manik mata yang nanar.Rendi terdiam, berusaha merangkai jawaban yang tak terlalu menyakitkan. “Maaf ya, Shin. Aku memang udah tenang, tapi pekerjaan di kantor lagi padat banget.”Shinta mengangguk kecil, meski jelas raut wajahnya menyiratkan kecewa. “Aku mengerti. Tapi, aku cuma ingin tahu kamu baik-baik aja. Aku
"Terima kasih, Kak." Syila menerima kembalian dari total bayaran belanjaannya di lantai tiga. Satu kantong besar berisi dua boneka beruang mini dan perlengkapan untuk membuat buket. Di sampingnya, masih berdiri lelaki yang sejak tadi setia menemaninya belanja. Rendi belum bosan membersamai gadis yang dijulukinya perempuan pemarah. Dengan percaya diri, dia menawarkan untuk membawakan belanjaan Syila."Enggak usah!" Syila menyingkirkan tangan Rendi tanpa ragu, tatapannya tajam, seolah mengukuhkan penolakan. Rendi pun berdecak kesal. Dia mengikuti langkah Syila menuruni eskalator ke lantai dua."Alyaa pasti terharu kalau tahu sahabatnya sangat perhatian," celetuk Rendi lantas merogoh ponsel di saku kemejanya, berpura-pura hendak memotret. Syila menatap tajam wajah Rendi sembari mengepalkan tangan ke sisi tubuh dan mengancam, "Awas kalau sampai macam-macam!" Namun, ancamannya tak menjadi persoalan bagi Rendi. Lelaki itu justru tertawa cekikikan karena mendapati wajah masam gadis di sebel
Waktu bergulir cepat hingga kalender telah menunjuk akhir Februari 2022. Waktu kian mendekati jadwal wisuda UNICILA. Para mahasiswa yang telah menyelesaikan administrasi dan yudisium bersiap menghadapi momen istimewa itu. Syila termasuk di antara mereka, kini sibuk mempersiapkan kebutuhan wisudanya.Siang ini, Syila berada di supermarket ternama di Cilacap. Dua tas belanjaan tergantung di tangannya. Sebelum naik ke lantai tiga, ia menitipkan barang bawaannya pada petugas. Setiba di sana, rak-rak besar penuh boneka berjejer memikat perhatiannya. Matanya langsung tertuju pada boneka-boneka beruang kecil lengkap dengan topi wisuda. Senyum sumringah terpancar di wajahnya."Mereka pasti senang kalau aku kasih kejutan ini," gumamnya sambil memandangi deretan teddy bear.Hari-hari sebelumnya, Syila telah berdamai dengan rasa cemburunya pada Marsya. Ia memutuskan untuk melupakan prasangka tak beralasannya. Persahabatannya jauh lebih penting daripada ego pribadi. Ia bahkan berencana memberi ha
Cling! Cling!Nama “Mas Rendi” terpampang nyata di layar ponsel Syila saat dering telepon memanggil. Keringat dingin mulai menyelimuti Syila. Jika ia angkat panggilan tersebut ia akan gugup. Tapi jika ia biarkan, bisa-bisa ia akan diteror oleh orang itu. “Sekian pertemuan dengannya sudah cukup membuatku tahu kalau dia memang manusia menyebalkan,” pikir Syila, seraya menimbang pilihan.Dengan segala keberanian yang tersisa dan mengusir pikiran negatif, Syila akhirnya menerima panggilan itu."Anda siapa? Anda kurang kerjaan ya teror saya? Saya nggak suka Anda teror seperti ini. Kalau kita ada masalah mainnya pakai cara yang gentle, dong," sergah Rendi di ujung sana dengan nada tajam dan menohok. Bentakan itu sontak mengusir sisa ketenangan di hati Syila. Tangannya bergetar, tapi ia mencoba menjawab."Eh, enggak enggak!" ucap Syila secara spontan. Ia sangat gugup.Rendi pun terkejut mendengar suara perempuan di speaker ponselnya. Ia seperti mengenal suara perempuan itu. Tapi siapa, piki
Syila seketika terkesiap saat mendadak suara yang dikenalinya memanggilnya. Ia bangkit dari kursinya dan menghadap ke asal suara. Wajahnya mendadak pucat, guratan kegugupan terlihat jelas di raut wajahnya. Di sana, tak jauh darinya, Arfan berdiri dengan ekspresi serius. Kehadirannya begitu tiba-tiba, membuat pikiran Syila penuh tanda tanya.Apakah dia telah memantaunya sejak tadi? Apakah Arfan sudah menantinya di belakang sedari lama? Apakah Arfan mendengar obrolannya tadi? Deretan pertanyaan penuh kegugupan mencecar batin dan pikiran Syila."Kamu dari tadi di sini? Kakak dari tadi nunggu kamu, loh,” ujar Arfan dengan nada yang sedikit menegur, alisnya mengerut menandakan kekecewaan.Syila tersentak, bola matanya menggelandang tak tentu arah. Ia mencoba mencari alasan yang masuk akal dan tak menambah kekecewaan Arfan. "M-maaf, Kak. Dari tadi—aku tunggu toilet sepi—lama banget antrenya." Syila tergagap. Ia tidak mungkin mengatakan ia menghabiskan waktu bersama Rendi, seorang lelaki ya
Arfan tengah berbincang akrab dengan Marsya, seorang perempuan yang baru dikenalnya kemarin. Marsya muncul beberapa saat setelah Syila pamit ke toilet. Ia mampir ke restoran setelah berbelanja kebutuhan wisudanya, tanpa disangka, ternyata restoran itu juga menjadi tempat yang sama di mana Arfan berada.Marsya langsung berseri-seri begitu melihat Arfan. Dengan santai, ia menghampiri dan menyapa tanpa ragu. Arfan pun menyambut kehadiran Marsya dengan senyuman hangat, merasa nyaman dengan obrolan ringan yang mulai mengalir di antara mereka. Marsya kemudian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Syila, seolah semuanya sudah menjadi kebetulan yang menyenangkan.“Kamu bawa apa saja, Sya?” tanya Arfan seraya melongok dua kantong yang dibawa Marsya.“Oh, ini!” Marsya tersenyum anggun sambil meletakkan belanjaannya di atas meja. Satu per satu isi kantongnya ia keluarkan secara bergiliran. Terpancar antusias yang tinggi ketika menunjukkan berbagai barang seperti skincare, kosmetik, headp
Udara sore ini cukup bersahabat. Tak panas, juga tak mendung. Cocok untuk menyeduh segelas americano panas juga menyesap cappuccino dingin. Perpaduan aroma yang menenangkan dan menyegarkan di atas meja persegi di sebuah restoran. Langit jingga turut melengkapi kehangatan suasana dalam obrolan dua orang di pojok restoran tersebut. Mereka adalah Syila dan Arfan.Syila batal menemani Alyaa mengajar les bukan disebabkan ada acara keluarga, melainkan ia menemui Arfan di sebuah restoran cepat saji. Sengaja ia mengajak Arfan bertemu di jam sore agar memiliki alasan untuk menolak ajakan Alyaa. Lagipula siang tadi ia baru tiba di rumah dan harus menadahi sambutan selamat dari keluarganya. Ia tentu butuh istirahat untuk menghemat energi dan baterai sosialnya. Ditambah lagi, Arfan baru bisa menemuinya ketika jam kerja selesai."Selamat ya, Syila. Adik Kak Arfan yang manis ini akhirnya hampir lulus juga.” Arfan tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan saat mengucapkan kalimat itu.“Teri
Ting Tong! Ting Tong! Rendi berjalan ke pintu dengan langkah tak bersemangat. Ia menarik kenop pintu. Begitu pintu dibukanya, Rendi terpaku. Rendi berdiri mematung di depan pintu yang terbuka lebar, matanya terpaku pada sosok tamu yang berdiri di sana. Perempuan itu tersenyum lembut, mengenakan blouse putih bermotif bunga kecil dan celana panjang hitam yang rapi. Rambutnya disanggul sederhana, dengan beberapa helai tergerai di sisi wajah. Di tangannya tergenggam tas kecil yang tampak penuh buku.“Alyaa…” Rendi akhirnya bersuara, seolah terbangun dari lamunannya. Bagai angin segar yang menerpa, Rendi menyungging senyum lebar ke arah Alyaa.“Iya, Mas. Ini saya, Alyaa. Mas Rendi nggak lupa kalau hari ini Lisa ada jadwal les, kan?” Alyaa membalas senyum tuannya dengan kehangatan wajah yang menjejakkan ketulusan.Sore ini jadwal Alyaa mengajar. Ia datang lebih awal dari biasanya. Ia datang sendiri, tidak ditemani lagi oleh Syila. "Iya, saya ingat, kok,” jawab Rendi cepat. “S-saya cuma—