Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama.
"Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar." Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh. Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel dengan gadis tadi. Ia bersumpah apabila semesta mempertemukannya lagi dengannya, Rendi akan balas dendam. Ia tak sudi menerima umpatan pedas kepala divisinya akibat ulang seorang gadis menyebalkan itu. Beberapa saat kemudian Shinta datang membawa nampan berisi dua porsi mie ramen dan dua gelas jus mangga. Shinta menata makanan tersebut di meja. "Profesi baru, Mba?" Rendi meledek. Shinta yang tak terima dikata demikian sontak mengetuk pelan kepala Rendi dengan nampan yang sudah tak berisi. "Kamu itu harusnya berterima kasih, bukan mengejek seperti itu," ucap Shinta membenarkan posisi duduknya. Rendi meminta maaf. “Dasar laki-laki, tidak pernah peka!” Untuk beberapa menit mereka diam menghabiskan pesanan masing-masing. Jika Shinta dengan lahap memakan ramen yang ia pesan, maka Rendi tampak acuh tak acuh dengan makanan di hadapannya. Ia sibuk mencak-cak makanan tersebut. "Kamu kenapa sayang? Kok belum makan?" Shinta menyadari gelagat tak berselera kekasihnya. “Mienya tidak enak ya? Aku pesankan ulang ya?” Shinta bertanya lagi. Rendi menghela napas lantas berkata, "Hari ini aku dapat SP." Sontak Shinta mengurungkan niatnya yang hendak ke meja kasir lagi. "Apa?" Shinta membelalakkan matanya. "Kok bisa? Ini kan hari pertama kamu kerja, sayang." Rendi dengan wajah malas menceritakan kembali kejadian menjengkelkan pagi tadi. Shinta merasa kasihan dan ikut dongkol mendengar cerita Rendi. Rendi berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Namun, Shinta menentang Rendi untuk menunaikan niatnya. Ia bahkan tidak mengizinkan kekasihnya mencari gadis itu. Rendi bingung dan menanyakan alasannya. "Aku tidak mau kamu bertemu perempuan itu. Aku tidak rela gara-gara kamu bertemu dia lagi, kamu jadi punya rasa sama dia," terang Shinta. "Kamu lucu. Ya kali aku bakal jatuh cinta sama perempuan itu. Bisa-bisa telinga aku rusak diceramahi terus sama dia." Rendi terkekeh sekaligus tak menyangka kekasihnya bisa berpikiran demikian. "Rendi, cinta itu datangnya bisa kapan saja, tidak kenal waktu, tempat, dan orangnya. Cinta itu buta dan tuli," kata Shinta serius. “Iya, buta dan tuli seperti kamu,” timpal Rendi. “Ih, aku serius!” Shinta sedikit menggebrak meja. “Aku jatuh cinta sama kamu juga tidak terencana kan? Tidak ada yang menyangka aku bisa secinta dan sesayang ini sama kamu. I love you so much.” Shinta melayangkan kiss bye pada Rendi yang tampak berusaha menyembunyikan raut tak nyamannya. Rendi pun harus berkata iya demi mengakhiri perbincangan membosankan ini. Ia sendiri heran, sejak kapan kekasihnya jadi romantis seperti ini. "Oh ya, kamu tidak berusaha merayu karyawan perempuan di kantor kamu, kan?" Shinta bertanya lagi. Baru Rendi memuji Shinta, sifat asli pacarnya kambuh lagi. Hal itu membuatnya menarik kata-kata pujian itu dalam hati. "Shin, bagaimana aku bisa naksir? Kenal saja belum. Baru saja aku masuk kerja," sewot Rendi. Ia mengulang cerita betapa malunya ketika para staf di divisi pemasaran itu melirik sinis pada dirinya saat masuk ruang kerja. "Hari ini belum, tapi kapan-kapan bisa saja kan kamu naksir salah satu di antara mereka. Pokoknya aku tidak rela kamu naksir perempuan lain apalagi sampai selingkuh.” Kata-kata Shinta seakan mengancam hak kebebasan bersosialisasi Rendi. Ia sudah jengah dengan pembicaraan ini. Ia berharap waktu berjalan cepat dan memintanya kembali ke kantor. Pucuk dicinta ulam pun tiba. David datang menemui Rendi, memintanya segera kembali ke kantor karena jam masuk tinggal sepuluh menit lagi. Rendi teramat lega meski ia tidak menampakkan kesenangannya di depan Shinta. Sedangkan, Shinta kesal David datang mengganggu waktu romantisnya bersama Rendi. "Sudahlah Shin, aku harus balik ke kantor. Aku tidak mau terlambat lagi dan kena teguran dua kali sehari. Kamu pulang sendiri," pinta Rendi memohon pengertian Shinta. "Tapi sepuluh menit itu masih lama, Rendi!" Shinta menaikkan nada suaranya. "Heh, kamu tidak bisa atur Rendi seenak kamu ya! Kalian kan bisa pacaran lagi nanti sore." David menimbrung. Tanpa basa-basi lagi David menarik Rendi keluar dari restoran tersebut dan meninggalkan Shinta dengan kegeramannya. Di perjalanan Rendi menepuk-tepuk bahu David seraya berterima kasih karena rekannya itu telah menyelamatkan ia dari jeratan singa. *** Sore hari usai kuliah, Syila mampir ke rumah salah satu sahabatnya yang bernama Arfan. Ia ke sana untuk merevisi softfile skripsinya di laptop Arfan. Sebenarnya ia punya laptop, tetapi laptop miliknya sedang diperbaiki. Sehingga dalam merevisi skripsinya, ia meminta bantuan sahabat kala SMP-nya. "Makasih ya, Kak Arfan sudah banyak bantu aku menyelesaikan tugas akhir. Maaf juga kalau sering merepotkan Kakak." Syila meletakkan gelas berisi teh manis ke meja tamu usai menyeruputnya. "Santai saja, Syil. Kakak tidak merasa direpotkan kok. Tidak ada salahnya kan bantu sahabat?" Arfan menyeringai dan terkekeh. Syila mengangguk dan menyuratkan senyum. Arfan kemudian mematikan laptopnya dan mencabut flashdisk milik Syila. Skripsi Syila telah selesai direvisi dan siap dikonsultasikan ulang ke dosen pembimbing. "Syil, kamu yakin mau cetak skripsi sendiri? Kalau kamu mau, Kakak bisa bantu cetak skripsi kamu di kantor Kakak." Arfan mengembalikan flashdisk kepada Syila. Syila menggeleng tanda tak perlu. Ia tidak ingin merepotkan sahabatnya lebih banyak lagi. "Kalau begitu aku pulang dulu ya, Kak. Sekali lagi terima kasih," pamit Syila. "Kak Arfan antar ya?" Arfan menawarkan bantuan. "Hitung-hitung Kakak mau silahturahmi, sudah lumayan lama juga tidak mampir ke rumah kamu," lanjut Arfan. Syila mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian Arfan memarkir mobil avanza miliknya dari garasi rumahnya. Setelah itu, Arfan menyuruh Syila naik di kursi depan. Mereka pun meninggalkan halaman rumah Arfan menuju rumah Syila. Arfan dan Syila memang sahabat yang amat akrab. Syila mengenal Arfan saat ia kelas satu SMP. Saat itu Arfan kelas dua dan menjabat ketua OSIS di sekolahnya. Perkenalan dimulai saat Syila terpilih menjadi bagian dari kepengurusan OSIS dan menjabat sekretaris. Hal tersebut menjadikan Syila dan Arfan sering berinteraksi intens untuk membahas program-program sekolah. Mereka mudah menerima satu sama lain sehingga mereka bisa akrab. Keakraban itu berlanjut hingga Syila sudah kuliah dan Arfan bekerja sebagai manager di PT ADI LAKSANA. *** Braaak!!! Pukul empat sore Rendi tiba di rumah dengan membanting tas kerjanya ke ruang tengah. Padahal ia baru membeli tas tersebut beberapa hari yang lalu. "ARRGH!" Rendi mengerang. Pikirannya kacau. Hari ini hari yang amat kacau untuk Rendi. Sudah terlambat di hari pertama, pacar malah menuntut banyak permintaan. Kepala Rendi serasa ingin pecah memikirkan semua itu. "Kenapa nasib aku tidak pernah baik?! Mengapa harus selalu aku yang mengalami kesialan?! Semua hal buruk menimpa aku. Kapan aku bisa merasa tenang?" Rendi menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Namun, usahanya sia-sia. Wajah Shinta muncul di benaknya saat ia memejamkan mata."ARRRGH!" PRANG! Rendi menyingkirkan kasar vas bunga di meja. Ia memang sulit mengendalikan emosi saat pikiran ataupun hatinya sedang stres. Ia terlalu terbawa amarah. Suara tangisan anak kecil menyadarkan Rendi dari marahnya. Ia mencari suara tersebut. Ia menemukan pemilik tangisan tersebut. Pemiliknya sedang bersandar di pintu kamar sembari menangis. Rendi segera menghampirinya. "Lisa, maafkan Kak Rendi, ya? Kakak sudah membuatmu menangis." Rendi berlutut. Wajahnya yang memerah seketika lenyap saat ia menatap penuh iba kepada satu-satunya adik perempuannya yang berusia sebelas tahun. "Lisa takut... hiks hiks... Lisa nggak suka... hiks... lihat Kak Rendi marah... hiks," ujar Lisa sambil terisak. "Iya, Kakak minta maaf. Kakak janji tidak akan marah-marah lagi di depan kamu. Jangan menangis lagi, ya." Rendi menyeka air mata adiknya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Kak." Lisa melepaskan pelukan kakaknya. "Lisa boleh minta sesuatu?" tanya Lisa. "Kamu mau apa, sayang? Bilang saja, Kakak pasti turuti." Rendi mengelus pipi Lisa. "Lisa ingin dicarikan guru les di rumah. Nilai pelajaran Lisa selalu pas-pasan, tidak seperti teman-teman yang lain. Padahal Lisa sudah belajar, tapi nilainya tetap belum memuaskan," kata Lisa sambil menundukkan kepala. Rendi memalingkan wajahnya. Bibir bawahnya ia gigit. Ia merasa bersalah atas keadaan adiknya. Memorinya menelisik jauh ke belakang. Jauh saat keluarganya masih utuh. Di mana ia bisa mendapat semua yang ia minta dari orang tuanya. Kasih sayang, perhatian, dan pelukan nyata. Namun, sekarang rasanya amat sakit di dada Rendi. Melihat ketidakadilan menimpa adiknya. Ia harus besar dan hidup tanpa pernah merasakan kasih sayang orang tua. Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibunya memilih hidup masing-masing dan melepaskan tanggung jawab terhadap anak. Mereka melarikan kewajiban terhadap kedua anak mereka pada Bi Sumi, asisten rumah tangga di rumah Rendi saat ini. "Kak? Bisa, kan?" Lisa menunggu jawaban. Matanya berbinar mengharap jawaban yang positif. "Kamu tenang saja. Besok Kakak akan carikan kamu guru les." Senyum hangat tersungging di wajah Rendi. Lisa berterima kasih. *** Suara gesekkan sendok dan piring mengiringi aktivitas makan keluarga kecil Syila. Terpantau lima orang tengah duduk dengan manis menyantap tumis kangkong dan ikan bandeng goreng. Mereka adalah Syila, kedua orang tuanya, kakaknya, dan Arfan. Usai mengantar Syila pulang, Arfan diminta ikut makan bersama mereka. "Maaf ya, Bu, Arfan jadi merepotkan," ujar Arfan dengan canggung. "Ibu tidak merasa direpotkan kok. Ibu malah senang kamu datang ke rumah," balas Ibu Sukma. "Iya, Nak Arfan. Lagi pula, kamu ini sudah Bapak dan Ibu anggap seperti keluarga sendiri," timpal ayah Syila, Pak Abdul. "Sebentar lagi jadi keluarga beneran, nih," Hanif menggoda Syila yang sedang asyik makan. Syila mendengus kesal. "Oh ya, Syila, tadi Ibu bilang kamu sempat pulang dan bajumu kotor. Kamu kenapa?" tanya Ayah. Arfan terlihat semakin tertarik mendengarkan.Syila sebenarnya malas membicarakan hal tersebut lagi. Ia sudah melupakannya. Namun, ia harus menghormati pertanyaan ayahnya. Dengan penuh kesantunan ia menceritakan kembali kronologi yang membuat bajunya kotor. "Dan andai saja laki-laki itu mau sedikit bertanggung jawab antar Syila ke rumah, pasti Syila tidak akan telat bimbingan." "Tapi dia itu sudah bagus loh mau ganti rugi ongkos kamu." Ayah menanggapi. "Ayah kok jadi bela laki-laki itu?" Syila cemberut. "Ayah tidak membela dia. Dia tetap salah karena mengebut di jalan raya. Tapi dia kan sudah berusaha tanggung jawab ke kamu. Jangan mendendam seperti itu," jawab ayah. Syila mengembuskan napas kasar. "Pak, Bu, Arfan pamit pulang dulu. Sudah sore," kata Arfan sambil beranjak dari tempat duduknya. "Terima kasih ya, Arfan, sudah mau datang," ujar Ibu sambil mempersilakan Arfan untuk pulang. "Hati-hati di jalan, Kak," pesan Syila sambil mengantar Arfan sampai ke depan pintu rumah. Arfan mengucapkan salam sebelum melangkah pergi. "Syila, menurutmu laki-laki itu tampan nggak?" bisik Hanif tiba-tiba pada adiknya. Syila mendorong pelan lengan kakaknya, lalu bergegas menuju kamar.. *** Malam ini bintang-bintang tak menampakkan dirinya di langit gelap. Bulan sabit jua berkali-kali menyembunyikan pendarnya di balik awan. Angin perlahan mengirimkan dingin menusuk ke kulit Syila. Kini ia sedang menatap kesunyian langit malam dari jendela kamarnya. Matanya menerawang ragam hal. Terselip beberapa mimpi yang perlu diselesaikan segera. “Ku pikir hari ini sudah tidak ada revisi,” gumam Syila. Hari ini bukan pertama ataupun ketiga kalinya ia mengonsultasikan tugas akhirnya. Keharusan merevisi ia peroleh berulang-ulang baik dari dosen pembimbing pertama maupun kedua. “Bulan wisuda semakin dekat. Aku bisa tepat waktu tidak ya?” harap Syila, “Hufftt, Ya Allah, mudahkan aku, lancarkan urusanku. Aku mau sidang bulan ini.” Syila mengusapkan tangan ke wajahnya. ***Keesokkan harinya, matahari bersinar secerah hari sebelumnya. Di ruang kerjanya, Rendi duduk terpaku menatap layar komputer. Bukan untuk mengerjakan tugas kantor, melainkan untuk melamun. Ia bingung harus mencari guru les privat ke mana. Ia tidak begitu akrab dengan dunia pendidikan. Ia tidak tahu cara menentukan guru les yang baik untuk adiknya. Menyadari temannya sedang melamun, David menepuk pundak Rendi sehingga membuyarkan lamunan Rendi. "Ada apa lagi, Ren? Shinta buat masalah lagi? Atau kamu bertemu gadis yang kemarin?" tanya David dengan senyum menyeringai."Jangan asal ngomong. Aku sedang bingung," jawab Rendi sambil menyandarkan punggung ke kursi."Bingung kenapa?" tanya David lagi."Lisa, adikku, minta dicarikan guru les privat. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai jarang punya waktu untuk belajar bersama dia," kata Rendi dengan nada penuh penyesalan."Lantas, apa yang membuatmu bingung? Kamu tinggal pasang lowongan guru les privat saja, k
Hari ini Rendi pulang agak terlambat dari hari kemarin. Pukul 16.30 ia baru tiba di rumah. Kepala divisinya memberi hukuman atas keterlambatannya hari lalu dengan diminta membersihkan gudang kantor. Wajah kusutnya menandakan betapa penatnya ia melewati hari ini.Ia masuk halaman rumah dengan irama langkah tak bersemangat. Saking lelahnya, ia tak sempat mengucap salam saat membuka pintu rumah. "Eh, Nak Rendi baru pulang. Bi Sumi sudah khawatir menunggu dari tadi," sambut Bi Sumi di depan pintu saat melihat Rendi pulang."Terima kasih ya, Bi, sudah khawatirkan aku," jawab Rendi dengan rasa terharu atas perhatian dari sosok yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya."Oh ya, di dalam ada perempuan cantik. Dia sedang bersama Nak Lisa," ujar Bi Sumi sambil menggantungkan tas kerja Rendi di tangannya."Oh, itu pasti guru les Lisa. Kalau begitu, aku masuk dulu ya, Bi," kata Rendi sambil meninggalkan Bi Sumi.Rendi menuju ruang tengah, tempat Lisa belajar bersama guru les baru. Rendi meli
Syila masuk ke ruang dosen dan menemui pembimbing skripsinya. Ada hal penting yang hendak disampaikan pembimbingnya terkait skripsinya. Kini mereka saling berhadapan. Syila membuka lembar per lembar skripsi miliknya. "Saya harap saat minggu depan kamu sidang skripsi, presentasikan apa yang sudah kamu susun dengan baik. Usahakan saat presentasi hindari pengucapan yang terbata-bata. Santai saja, tapi tetap fokus. Saya tidak mau skripsi keren seperti ini dipresentasikan dengan situasi yang berantakan. Jelaskan secara runtut!" dosen pembimbing skripsi Syila memberi petuah. “Oh ya, satu lagi, buat materi presentasi yang ringkas, ya.”"Baik, Bu. Saya akan lakukan yang terbaik." Syila menarik kedua ujung bibirya membentuk senyuman hangat. Syila beruntung bisa memperoleh pembimbing seperti dosen di hadapannya. Beliau sangat banyak membantu Syila. Beliau memang terkenal tegas dalam membimbing mahasiswa yang sedang dikejar skripsi. Namun, selama tahap revisi, beliau tidak pernah melontarkan
Saat ini Syila sedang duduk di bangku kantin bersama kedua sahabatnya. Ia mengaduk-aduk es teh di hadapannya dengan malas. Wajahnya muram. Ia bahkan tak antusias mendengar kelakar Marsya dan Alyaa. Pikirannya masih terdistrak oleh insiden baru tadi. Ia menyesal dan tak menyangka takdir akan mempertemukan mereka lagi."Hei, wajahmu ditekuk terus, ada apa? Lagi kurang bahagia ya?" celetuk Marsya mengganggu ketenangan Syila."Mau bahagia bagaimana, hari ini laki-laki menyebalkan itu muncul lagi?" Kepala Syila mendongak ke sembarang arah. "Laki-laki? Maksudmu yang kemarin sudah buat kamu terlambat ikut bimbingan?" tanya Marsya. Syila mengangguk tak bersemangat. "Whuahaha, benar kan apa yang aku bilang?! Kamu pasti bertemu dia lagi." Marsya tertawa mengejek. "Jangan-jangan ini awal kalian berjodoh," sambung Alyaa meledek."Ih, kalian itu tidak asyik banget sih! Bukannya menghibur malah tambah buat kesal." Syila makin memperlihatkan raut masamnya. Syila mencurahkan betapa jengkelnya ia d
Sekarang ini, Rendi sedang makan siang bersama Alyaa. Rendi mengajaknya ke restoran di dekat kantornya. Kebetulan waktu sudah menunjukkan jam istirahat bagi Rendi."Ayo dimakan ayamnya. Nanti dingin kalau cuma didiamkan begitu. Nggak usah sungkan, " kata Rendi menyadari Alyaa terus memandanginya."Eh, iya, Mas." Alyaa menurunkan pandangannya. Ia pun melahap sedikit demi sedikit makanan di depannya. "By the way, saya suka sama kamu," ucap Rendi tiba-tiba. "Uhuk! Uhuk!" Alyaa kaget mendengar pernyataan Rendi sehingga ia tersedak. Rendi membantunya memberikan air minum. "Kaget, ya? Hehe. Saya ngomong jujur. Kamu orangnya asyik diajak mengobrol. Kamu juga ramah," tutur Rendi menatap manik mata Alyaa yang mendadak berbinar. Entahlah, apakah Rendi sadar sikapnya hampir mengutik sisi sensitif Alyaa."Tenang Alyaa, dia cuma bilang suka, nggak lebih." Alyaa membatin. Ia mungkin tak akan sanggup jika mendengar hal lebih dahsyat dari kata suka. Mungkin jantungnya akan copot karena tak kuasa m
Rendi benar-benar pasrah saat surat peringatan kedua dibanting kasar ke atas meja oleh kepala divisi pemasaran. Ia mendapat teguran pedas tanpa ampun. Ia sadar ia salah. Ia datang amat terlambat ke kantor. Batas maksimal ia harus tiba di kantor usai jam makan siang yakni pukul 13.15. Akan tetapi, akibat ulah kekasihnya ia harus menahan malu karena masuk pukul 13.45. "Kamu benar-benar niat bekerja di sini atau tidak, sih?! Ini bukan pekaranganmu yang bisa kamu garap semaunya, datang seenaknya, pulang juga semaunya! Kamu anak baru tapi sudah berani buat citra PT JATI PERSADA turun," omel kepala divisi. Gestur berkacak pinggangnya menunjukkan bahwa dia sangat jengkel."Maaf, Pak." Rendi tertunduk tak berdaya. “Jangan mentang-mentang perusahaan ini pernah jadi milik keluarga kamu, kamu bisa sewenang-wenang di sini! Masih untung kami bersedia memberi kompensasi bulanan untuk hidup kamu!” Kepala divisi itu melayangkan tatapan buas ke arah Rendi."Ini kesempatan terakhir saya memberikan ma
Rendi pulang lebih cepat hari ini. Tepat pukul 15.30 ia langsung keluar kantor. Ia menghindari beberapa kerumunan karyawan yang masih asyik bergurau atau sekedar membahas pekerjaan. Ia tahu citranya di kantor sedang tidak baik. Ia terpaksa kabur dari kerumunan demi menghindari malu. Ia juga menancap gas mobilnya dengan kencang. Setiba di rumah, Rendi melempar tas kerjanya ke sofa ruang tengah. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di sana dan memejamkan mata. Dalam sekejap ia terlelap. Lelah bekerja dan lelah bertengkar dengan Shinta membuat badannya amat pegal. Pegal badan sekaligus lelah hati. Lima belas menit kemudian, dentingan notifikasi pesan di ponsel Rendi membangunkannya dari mimpi sore. Ia membuka notifikasi tersebut yang rupanya dari David. "Aku otw rumah." Isi pesan tersebut. "Jangan kelamaan." Rendi mengetik balasan pesan untuk David. Ia lalu pergi ke luar rumah. Ia duduk di bangku teras sembari menunggu kedatangan David. Sembari menunggu, ia mencari kontak Alyaa di ponsel
Tepat Kamis, 10 Februari 2022, Marsya dan Alyaa tengah bergembira ria. Mereka sedang murah uang untuk mentraktir Syila atas lulusnya skripsi mereka dan bisa lanjut sidang. Syila bersyukur, setelah perjuangan panjang akhirnya ia dan sahabat-sahabatnya tinggal butuh satu langkah lagi menyelesaikan jenjang kuliahnya. "Huaaaahhhhh! Aku bahagia banget, sumpah. Dosen killer itu untuk pertama kalinya puji hasil skripsi aku." Marsya berteriak histeris akibat rasa senangya. "Bahagia sih bahagia, tapi jaga suara juga dong," sindir Syila kemudian memasukkan potongan bakso ke mulutnya. "Aaah, reseh kamu." Marsya memanyunkan bibirnya. Syila terkekeh. "Kamu dapat jadwal sidang hari apa, Al?" tanya Syila beralih memandang Alyaa yang duduk di sebelahnya. "Hari Kamis, Syil. Aku bersyukur banget bisa dapat ACC hari ini. Capek banget tiap hari harus bertemu revisi, revisi, dan revisi," jawab Alyaa ramah. "Waaah, Berarti jadwal kita sama, Al. Kamu juga hari Kamis kan, Syil?" tanya Marsya. Syila han
Pukul 19.45, Arfan masih belum juga muncul di halaman rumah Rendi. Situasi kian mengguncang kesabaran Syila. Baru saja ia melakukan dua panggilan. Namun, benar-benar tak ada jawaban. Sedikit pesan pun tak diterima dari sahabatnya.Mata Syila mulai panas menahan emosi. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pandangannya beralih ke jalan depan rumah Rendi, berharap menemukan siluet Avanza yang dikenalnya. Angin malam berembus menusuk kulit, membawa aroma petrikor yang samar tercium. Jemarinya meremas kuat rok panjangnya, menyalurkan kekesalan yang kian memuncak.“Masih belum datang, Syil?”Suara Rendi membuat Syila menoleh. Lelaki itu baru saja keluar dari rumah setelah memastikan adiknya sudah makan malam. Syila hanya menggeleng pelan, tanda pasrah.Tanpa banyak kata, Rendi menyodorkan sebuah jaket berwarna army kepadanya. "Kamu nggak mau saya antar pulang aja?" tawarnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Syila menatap jaket itu sekilas, lalu mengabaikannya begitu saja
Adzan Maghrib telah berkumandang sejak lima belas menit yang lalu. Gerombolan burung telah terbang kembali ke sarang. Binatang-binatang malam mulai memamerkan suaranya, menyongsong terbitnya bulan. Langit malam ini tampak cerah, walaupun embusan dingin menusuk kulit.Syila masih duduk tenang di ruang tamu rumah Rendi sambil memainkan ponselnya. Baris teratas dari kolom pesannya menunjukkan nama “Kak Arfan || SMP.” Ia baru saja mengabari sahabatnya bahwa pelajaran telah selesai, ia siap dijemput. Balasan pesannya juga memperlihatkan kalau Arfan sudah sedang meluncur ke lokasi.Tak berselang lama, Rendi muncul dari kamarnya. Dia baru selesai melaksanakan shalat Maghrib.Sambil terus berjalan, Rendi menegur, “Arfan udah di jalan?”Syila berdiri—menyambut, “Udah.”Rendi mengangguk. Dia menawarkan agar Syila tetap menunggu penjemputnya di ruang tamu. Akan tetapi, Syila tak berkenan dan lebih nyaman menunggu di bangku teras. “Lagipula, kalau di sana kan saya bisa langsung tahu kalau Kak Ar
Hari mulai menuju senja. Semburat jingga telah melambaikan sinarnya, mengisyaratkan malam segera berlayar. Saat ini, Syila sudah menyelesaikan tugasnya untuk mengajar Lisa. Ia senang bisa mentransfer pengetahuan yang dipelajarinya selama kuliah kepada orang lain. Apalagi Lisa sebenarnya anak yang cerdas. Dia mudah belajar hal-hal baru. Gadis kecil itu hanya kurang pendampingan dari orang-orang di sekitarnya.“Terima kasih ya, Kak. Kak Syila baiiiiikkk banget. Aku suka sama Kakak,” seru Lisa, matanya berbinar saat memeluk erat buku-bukunya.Syila tersenyum, meraih kepala Lisa dan mengusapnya lembut. “Sama-sama. Kakak juga suka. Semangat terus, ya!” pesannya."Kalau begitu Lisa ke kamar dulu ya. Daaah!" Lisa berlari ke kamarnya membawa buku pelajarannya tadi. Syila tersenyum melihat kepergian gadis kecil itu, lalu merapikan beberapa buku di meja. Syila melepas napas ringan, lalu menoleh ke arah Rendi yang duduk di sofa seberang. Sejak tadi, lelaki itu ikut menemani mereka belajar, ses
Pikiran Syila masih berputar perihal menerka gelagat tak biasa dari sahabat laki-lakinya. Bahkan setelah panggilan berakhir pun, logikanya tak dapat menemukan jawaban atas keheranannya. Oleh karena itu, ia memutuskan tak mengambil pusing percakapan tersebut dan fokus pada agendanya saat ini. Namun, alangkah terkejutnya saat dia berbalik badan, Rendi sudah berada di belakangnya."Arfan cemburu ya kamu ke sini?" tanya Rendi dengan ekspresi yang dingin.“Mas Rendi?!” Mata Syila membulat. “Dari tadi menguping?” tuduhnya kesal."Hmm... mungkin," jawab Rendi santai.Syila mendengus pelan, ekspresinya semakin muram."Udah, saya nggak bakal tanya macam-macam. Ayo masuk!" ajak Rendi, setengah menyeret langkahnya.Syila akhirnya menurut.Begitu masuk, Rendi kembali memperkenalkan Syila kepada Lisa. Ia menjelaskan bahwa mulai sekarang, Syila akan menggantikan Alyaa sebagai guru privat Lisa. Alyaa mengangguk membenarkan.Lisa tampak senang. Setidaknya, ia masih bisa belajar di rumah dengan seseor
Waktu seolah bergulir tanpa henti. Siang yang terik menggantikan sejuknya pagi, lalu berangsur meredup menuju sore. Jalanan disesaki kendaraan pribadi yang bergegas pulang dari kantor, sedangkan angkutan umum berdesakan dengan para penumpang yang ingin segera sampai ke tujuan. Hiruk-pikuk kota seolah menjadi irama rutin yang menemani kepulangan banyak orang.Di dalam sebuah taksi yang melaju perlahan di antara padatnya lalu lintas, Syila duduk berdampingan dengan Alyaa. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Rendi, menyelesaikan sebuah urusan yang tak bisa ditunda. Suasana dalam taksi terasa nyaman meski laju kendaraan sesekali tersendat akibat kepadatan jalanan. Untuk mengusir kejenuhan, mereka mulai bercakap-cakap."Aku masih heran, kamu bisa berubah pikiran dan akhirnya terima tawaran aku," ujar Alyaa tiba-tiba, memecah keheningan.Syila menoleh, menatap sahabatnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Aku juga nggak menyangka akan setuju. Tapi ada satu hal yang bikin aku akhirnya
Keesokan harinya, matahari tak malu-malu menampakkan sinar kuningnya di pagi hari. Gerombolan awan menghiasi langit, melukiskan suasana pagi yang lebih sejuk. Kicauan burung bersahutan, menambah syahdu pesona pagi yang perlahan menggeliat dari kantuknya.Di tengah pagi yang cerah itu, Rendi baru saja mengantarkan adiknya ke sekolah. Ia berdiri di sisi kanan gerbang, mengawasi Lisa yang bersiap memasuki area sekolah."Sekolah yang benar! Dengarkan kata Bu Guru," pesan Rendi lembut, memastikan adiknya benar-benar siap menjalani hari."Iya, Kak. Nanti Kakak nggak usah jemput Lisa. Biar Bi Sumi aja yang ke sini. Kakak fokus kerja aja ya," balas Lisa. Ia menyambar lembut tas gendong yang sejak tadi ditenteng kakaknya.Awalnya Rendi tampak ragu. Lisa jarang sekali berkata seperti itu. Namun, tatapan mata bulat adiknya yang penuh keyakinan membuatnya luluh. Dengan senyum tipis, ia akhirnya mengangguk.Lisa pun mencium punggung tangan kakaknya dengan penuh hormat. Sebelum berbaur dengan gerom
Arfan terus mengikuti langkah Syila menuju tempat mobilnya terparkir. Dia tak hanya menemani, tetapi juga memastikan sahabatnya sampai di sisi pintu dengan aman. Sesampainya di sana, dia menyerahkan tas selempang kecil milik Syila.“Terima kasih ya, Kak,” ucap Syila seraya menerima tasnya.“Ayo pulang!” titah Arfan singkat. Ekspresinya dingin, tetapi menyimpan kesan protektif yang hanya bisa diterka oleh Syila.Saat Arfan hendak membuka pintu untuknya, Syila buru-buru menahan gerakan tangannya. “Aku bisa buka sendiri, Kak,” tegur Syila dengan ramah.Arfan tidak memberi jawaban—hanya mengangguk singkat sebelum berbalik menuju sisi kemudinya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Syila merogoh tas dan mengambil ponselnya. Seketika, gadis itu tersenyum kecil saat membaca pesan di layar.Arfan menyipitkan mata, rasa penasaran berkelebat dalam benaknya. Siapa yang mengirimi Syila pesan sampai membuatnya tersenyum seperti itu?Sementara itu, Syila masih terpaku pada layar ponselnya. Sen
Kini Rendi dan Syila sudah duduk bersisian di bangku taman rumah sakit. Bangku yang baru saja ditempati Syila beberapa saat lalu. Saat ini Rendi duduk di sebelahnya, dengan pandangan kosong yang tak beranjak dari lorong lobi rumah sakit. Ia terlihat gelisah, jemarinya terus mengusap-usap telapak tangannya sendiri, seolah mencari ketenangan dari kegelisahan yang tak terlihat.Syila meliriknya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu ada yang ingin disampaikan Rendi, tapi lelaki itu tampaknya masih ragu untuk memulai. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi meskipun di kejauhan terdengar sesekali suara langkah orang-orang yang berlalu lalang di lobi.“Saya nggak tahu, Syil,” akhirnya Rendi membuka suara, pelan dan berat. “Apakah langkah saya hari ini sudah bijak atau justru ceroboh.”Syila tak segera menanggapi. Ia memilih diam, membiarkan Rendi mengutarakan apa yang mengganjal di pikirannya tanpa tergesa-gesa.“Saya bertengkar hebat dengan pacar saya siang tadi,” lanjut Rendi, masih d
“Non Shinta kecelakaan.” Suara itu masih menggema di telinga Rendi yang baru saja tiba di teras rumahnya. Kabar itu seolah petasan yang memekakkan telinganya. “Shinta celaka? Hah?” Rendi masih terperangah, tak percaya. Sore ini ia baru saja melepas kepergiannya dengan hati yang dipenuhi amarah, dan kini mendengar kabar bahwa Shinta kecelakaan—sesingkat itu? Sekujur tubuhnya mendadak memanas. Bi Sumi berdiri di hadapannya, wajahnya cemas. “Dia ada di Rumah Sakit Azzahro. Keluarganya bilang, Non Shinta sakit gara-gara Nak Rendi.” Guncangan menghantam dada Rendi, membuatnya terdiam sesaat. "Gara-gara Rendi? Kok bisa?" tanyanya, masih kebingungan. Tangannya otomatis mulai melepas kancing lengan kemeja panjangnya. Bi Sumi menggeleng, matanya tak lepas dari wajah Rendi yang mulai tampak tertekan. “Bibi juga nggak tahu pasti. Mungkin Nak Rendi lebih baik ke rumah sakit sekarang.” Rendi menatap Bi Sumi dengan tajam, berusaha menenangkan dirinya yang bergejolak. Tanpa berkata banyak, ia