“Lo mau gak jadi pacar gue?” gue menyatakan cinta kepada cewek yang gue taksir sejak lama. Hati ini berdebar-debar dan penuh harap. Serasa sedang menunggu hasil ujian akhir. Dia diam menunduk. Mungkin malu. Satu menit kemudian dia mengangkat wajahnya, dengan tersenyum dia berkata,
"Menjijikkan!”
Itu memori gue waktu SD. Sejak itu hati gue patah jadi dua dan gue lakban sampai SMU.
Gue tidak mengerti mengapa sebagian cowok sangat mudah mendapatkan cewek. Bahkan bisa bergonta-ganti pasangan. Sementara gue, satu saja sulit
Tapi itu dulu. Sekarang gue malah kebingungan, karena banyak banget wanita yang mendekat. Sebagai konsekuensinya harus ada yang patah hatinya. Gue mau cerita, bagaimana awal mula semua ini terjadi.
*****
Suatu pagi itu di area parkir sekolah.
Sambil jalan gue menyantap sebuah roti pizza. Tadi tak sempat sarapan di rumah. Gara-gara kelamaan di toilet. Biasa, penyakit pagi hari. Suka mules-mules tak jelas. Pas duduk di toilet, tak kunjung keluar, tapi pas pakai celana, mules lagi. Kalau diberi kesempatan lagi, keluarnya malu-malu kucing. “Engghh! Engghh!” ngeden-ngeden keras sampai akhirnya kena wasir. Menyebalkan!
Sedang asyik makan terdengar suara motor dari belakang, “Brrmm!” Gue melipir memberi jalan. Tapi “BREMM!” suara gas digeber, jaraknya sangat dekat dan “Buk!” gue terserempet. Alhasil gue terpelanting nyungsep mencium alang-alang. Seragam gue jadi kotor oleh saus roti dan tanah. Padahal gue yakin banget sudah cukup memberi jalan.
Gue tengok, pengendaranya menunggang Ninja 250 CC berwarna hijau limau ciri khas Kawasaki, kombinasi hitam arang, dan putih. Mengekor di belakangnya enam kuda besi lainnya, "Bremm! Breeemm! Brem!" melaju mencari parkir tak jauh dari sini.
Hati gue dongkol. Gue yakin si pengendara Ninja sengaja. Gue susul orangnya. Sebelum dia sadar, kaki gue melayang menghantam kepalanya. "Plak!" Kaca helm full face-nya copot mental melesat ke udara. Tinju menyerang perut dan menerjang ulu hatinya, tajam dan keras seperti pukulan Manny Pacquiao. Hanya dalam hitungan detik dia jatuh terkapar, meminta ampun. Persetan dengan maaf! Gue siram motornya dengan bensin. Bakar. Asap hitam membumbung tinggi. Puas rasanya! Jangan main-main dengan jagoan di sekolah ini. Hahahahaaaaa…. tapi semua itu tidak nyata, hanya bayangan di kepala gue saja
Kenyataannya gue hanya seorang siswa underdog dari kumpulan terbuang di sekolah swasta Merah Putih. Di posisi ini keberadaan gue tak diakui, suara gue tak didengar, dan tak ada cewek yang berminat.
Beda dengan si pemilik Ninja itu. Dari sadel boncengannya turun seorang siswi rok abu-abu. Tubuhnya semok berisi bak beras pulen. Saat dia buka helm, rambut panjangnya langsung jatuh terurai sepunggung. Wajahnya mirip Brisia Jodie. cantik sekali. Apalagi ketika dia geleng-geleng dan rambutnya meliuk-liuk seperti model iklan shampoo.
Dua siswi lain lewat di depan gue. Langkah mereka melambat, berbisik-bisik dari kejauhan, mengamati si penunggang Ninja turun dari motornya. Ketika cowok itu melepaskan helmnya, kedua cewek itu langsung melompat-lompat kegirangan seperti melihat artis idola. Mereka maju ingin menyapa, tapi si cantik berambut panjang terlihat bete, lalu mengencingi cowoknya sebagai tanda kepemilikan, kemudian menggeram dan mengusir dua betina yang dianggap rival. Kedua cewek itu lari terbirit-birit ketakutan. Semua cerita gue itu benar, kecuali di bagian dia mengencingi cowoknya.
Si cowok menenangkan pacarnya. Diangkat dagunya, dipeluk pinggangnya, ditarik mendekat dan dicium bibirnya di depan teman-temannya. Alamak, iler gue ngeces di sudut. Apa rasanya menempelkan bibir ke bibir cewek seperti itu? Ah, jangankan merasakan ciuman, mandang cewek saja gue bisa kena hardik. Nasib jadi underdog.
Siswa-siswi kawanan bermotor itu melenggang masuk ke dalam sekolah. Menyisakan tatapan cewek-cewek di sekitar yang tak bisa lepas kayak noda membandel ke punggung cowok itu.
Gue berjalan mendekati parkiran motor. Gue jelalati motor batangan itu. Hemm, kalau gue punya motor seperti ini yang keren, mahal, dan bertenaga di antara paha dan selangkangan gue, pasti gue juga akan jadi sekeren itu. Tak ada lagi kasus nembak cewek, dan dijawab, "Menjijikkan!"
Gue juga mau punya motor!
*****
Malam hari saat makan malam bersama bapak dan ibu, gue menyampaikan keinginan gue, "Bapak, Joni mau motor."
Kedua orangtua gue saling pandang. "Kamu mau buat apa motor?"
"Buat ke sekolah."
Bapak manggut-manggut. "Bisa, bisa." Wah gue senang dapat tanggapan yang positif. "Teman bapak kebetulan mau jual motornya, Honda Karisma." Gue langsung memble. Gue tahu motor seperti apa yang terkenal irit itu.
"Motor baru donk, pak. Masak yang bekas," gerutu gue.
"Mau baru atau bekas kan tetap bisa sampai ke sekolah, Joni," kata ibu.
Gue menghembuskan nafas panjang. Keduanya tak mengerti.
"Baik, baik memang kamu mau motor apa?" tanya bapak. Nah ini pertanyaan yang bikin semangat. Gue mengeluarkan sebuah brosur dan menyerahkannya ke bapak.
"Itu pak, yang Joni lingkari."
Begitu Bapak melihat brosur itu ia langsung tersedak dan terbatuk-batuk, "Uhuk! Uhuk!" "Pak, minum, pak," kata ibu. Bapak meneguk segelas air putih. Setelah tenang ia berkata, "Joni, harga motor ini hampir 100 juta."
Gue memandang polos ke bapak dan bertanya, "Memang kenapa?"
"Kamu pikir uang tumbuh di pohon?"
Gue mikir sebentar lalu menjawab, "Uang dari kertas, dan kertas dari pohon. Jadi uang memang tumbuh di pohon."
Bapak geleng-geleng.
"Motor seperti itu biaya perawatannya juga mahal. Bensinnya apa lagi. Kalau kamu mau motor itu, kamu cari uang sendiri."
"Pak, Joni masih sekolah, nanti pelajarannya terganggu," kata ibu.
"Bu, kita sekolahkan anak kita tujuannya supaya dia bisa cari uang sendiri nantinya. Bukan supaya nilai rapornya bagus-bagus. Kalau dia bisa mendapatkan uang dengan keringatnya sendiri, berarti pendidikannya berhasil."
*****
4 bulan kemudian.
Malam itu, gue duduk di depan sebuah laptop tua. Wajah sayu seperti sayur yang sudah sebulan di luar kulkas. Gue garuk-garuk kepala sampai rambut acak-acakkan. Salju lokal alias ketombe pun turun.
"Haaaaaaaaaaah..." keluh gue panjang, sepanjang rel kereta api cepat Jakarta Surabaya. Sudah sepuluh novel setengah jadi gue buat, tapi tak ada satu pun melayangkan kontrak eksklusif di platform menulis online. Kontrak yang penuh dengan janji-janji bonus menggiurkan itu.
"Sebel! Sebel! Sebel!" Ingin rasanya gue pecahkan pot tanaman yang nangkring di sebelah laptop, biar gaduh sekalian. "Hih!" Apalagi sedetik kemudian tanaman itu berjoget-joget sambil mengulang kata-kata gue. "Sebel! Sebel! Sebel!" Eh, ngajak berantem lo!? Gue ajak ribut mainan mainan kaktus joget yang viral di Tik Tok itu.
Gue melompat ke atas kasur single bed dan membekap wajah gue ke bantal. Yah, rasa ingin bunuh diri. Akibat sakit hati ditolak in house editor untuk mendapat kontrak eksklusif. Apakah mereka tak memiliki empati? Tak sadarkah mereka telah merobek-robek hati gue. Sekalian ambil nyawa gue! Tapi akhirnya gue kehabisan nafas dan mengangkat kepala tinggi-tinggi dari bantal, menghirup akal sehat.
Sudah sekitar empat bulan gue menjajal karir menjadi seorang penulis. Profesi yang dikutuk oleh para orang tua sedunia. Profesi yang setara dengan aib. Profesi yang bila ditanya tetangga tentang kerjaan anak mereka, lebih baik mereka diam, atau alihkan perhatiannya, atau culik sekalian orang itu dan buang ke sungai Katulampa saat siaga satu. Profesi yang bila seorang anak sampaikan ke orang tua pasti akan mengundang kernyit di dahi sampai menakutkan seperti dedemit dan dia harus mengeluarkan ilmu batu saat digempur dengan nasehat bertuah yang sakti sampai berbusa-busa.
Semua ini gara-garanya gue terjebak sebuah promosi yang lewat di beranda F******k. Tawarannya menggoda banget. Katanya menulis bisa dapat uang. Apalagi ada tiga digit angka yang bersanding dengan tanda dolar, ditulis besar-besar, $150 sampai dengan $325. Belum lagi iming-iming pembagian royalti yang cukup besar. Bagi anak SMU macam gue yang masih harus mengemis-ngemis ke orang tua buat beli motor, angka-angka itu sama seksinya dengan melihat cewek telanjang. Jahanam kali jebakan ini!
Zaman telah berubah. Media untuk menikmati novel tidak lagi berbentuk buku. Sekarang serba digital. Berbagai perusahaan berlomba-lomba membuat aplikasi menulis. Penulis tinggal d******d di hape. Ketik-ketik sedikit, unggah dan uang pun berdatangan. Setidak itu yang gue kira. Namun kenyataan tak seindah pulau dewata dengan cewek-cewek bule berbikini, dengan bokong dan payudara aduhai. Lebih mirip Bantar Gebang daerah Bekasi, tempat pembuangan sampah. Bau.
Gue harus menerima kenyataan, bawah tren platform menulis didominasi dengan hal yang sama sekali gue buta. Yaitu, cinta, kehidupan CEO kaya, dan seks. Demi genre-genre seputar inilah orang bersedia membeli koin untuk membuka bab-bab novel yang buat mereka tergila-gila dengan tokoh-tokoh halu karangan penulis. Namun sayangnya gue jomblo dan sumber pemasukan utama gue adalah uang jajan dari orang tua. Apalah yang gue tahu tentang cinta dan kehidupan CEO kaya? Apalagi seks, selain sebatas situs-situs bokep.
Kalau saja bukan karena gue ingin beli motor, takkan tergiur gue dengan rayuan pulau kelapa menjadi penulis penghasilan dolar.
Gue merenung, ah gue yakin, penyebab novel-novel gue gak lolos kontrak eksklusif, pasti karena gue jomblo. Gue harus punya pacar dulu nih, supaya paham bagaimana mengubah cinta menjadi kata-kata. Setidaknya cari pacar itu jalan terdekat bagi gue untuk bisa menjadi raja diraja, penguasa platform menulis online.
Tapi bagaimana seorang underdog bisa menemukan cinta?
Kalau bicara tentang cinta, gue layaknya bocah ingusan dilepas sendirian negeri antah berantah. Kemana dan bagaimana gue harus mencari cinta? Tanyakan saja sekalian bagaimana alam semesta tercipta, gue sama butanya. Kepada siapa gue harus mencari jawab?Ah bodoh sekali! Ayahanda dan ibunda tentu paham tentang cinta. Mereka pelaut kawakan yang telah mengarungi lautan rumah tangga bertahun-tahun, dengan bapak sebagai kapitan gagahnya dan ibu mualim-nya. Bahkan saking cintanya, dua tahun lalu mereka sempat merapat ke dermaga pengadilan agama, tempat orang-orang baris-berbaris untuk pecah kongsi.Ibu menggugat cerai bapak.Kala sidang dibuka dan Majelis Hakim berkata, “Bla..bla… [Nama ibu] sebagai penggugat MELAWAN [Nama bapak] sebagai tergugat…,” gue merasa pengadilan i
Dari daftar orang yang gue kenal, ada satu yang pasti bisa membantu. Dia orang terkenal, lebih terkenal dari Iko Uwais. Semua orang di RT gue dan RT sebelah tahu siapa dia. Dia seorang CEO yang terpandang. Namanya Mang Oja, CEO keamanan alias satpam lingkungan. Tiap orang yang lewat memandang kepadanya, mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam. Dan dia selalu menyambut sapaan itu dengan senyuman tanpa lelah.Tiap pagi, jika tidak siang dan malam kerjaan sang jawara cinta selalu menggoda asisten rumah tangga yang cantik-cantik, yang hilir mudik melewati pos jaga. Kebetulan pos itu berdiri strategis di jalan utama dan banyak asisten yang harus belanja ke pasar dan keperluan lain.Pandai sekali dia memikat gadis-gadis itu. Khazanah rayuan seluas perpustakaan legendaris Alexandria di Mesir. Gombalannya sering membuat wanita mengeluh, “Iiih
Mengapa tak ada mata pelajaran cinta di kurikulum sekolah?Perancangnya pasti tak paham akan pentingnya cinta, sehingga malah matematika yang dia masukkan. Atau mungkin dia korban kegagalan cinta. Sehingga bila dia tak bisa bahagia oleh cinta, maka biarlah yang lain tersiksa oleh matematika. Ah, egois sekali!Hampir selama 18 tahun matematika telah menyengsarakan hidup gue. SD adalah masa terparah. Ada satu buku wajib yang sangat gue benci, judulnya CERDAS TANGKAS. Walau namanya menjanjikan, namun buku itu tak sedikit pun membuat gue tambah cerdas atau pun lebih tangkas. Entah mengapa, bu guru senang memberikan PR dari buku terkutuk itu. Jangan-jangan itu cara dia membalas kebandelan murid-muridnya yang sering berisik di dalam kelas.Dingin tangan ini bila mengingat masa itu. Setiap pulang sekolah
Sedetik setelah Bu Ervinah memberikan jawabannya. Nafas gue terasa berat, seberat nafas pasien Covid-19 fase ketiga. Ada sekitar 2 menit gue berdiri memroses ucapannya, sebelum gue berbalik menghadap ke lautan siswa-siswi. Gue menatap mereka, mereka menatap gue. Kami saling bertatapan seperti penagih pinjol dan nasabah tertagih. Semua terdiam. Hening yang kikuk. Lalu gue tersenyum berseri. Dua tangan terangkat ke udara, kemudian menghentak ke samping pinggang, seraya berteriak, “YES!” Seketika itu juga semua anak di lapangan berteriak heboh, melompat-lompat. “WUOOOOOOHHH! WUOOOOOH!”Gue berlari ke arah mereka dengan lengan terbuka. Demikian juga mereka berlari menyambut gue bak striker yang baru saja membobol gawang lawan dan memenangkan liga kampiun. Badan gue mereka angkat ke atas kepala m
"Apa-apaan ini? Jangan tidak sopan, ya! Buka topeng kalian atau kalian akan dikeluarkan seperti Joni !” perintah bapak kepsek seraya menggebrak meja. Satu orang yang badannya paling kurus melompat sambil memegang dada kirinya. Bisa jadinya kurus badannya, karena kurang gizi, hingga jantungnya lemah saat ditakuti. Hampir saja ia melepas topengnya. Untung teman-temannya sigap mencegahnya. “Guoblok!”Satu-satunya cewek di antara mereka yang sepertinya ketua kelompok bertopeng ini berkata, “Selama kita mengenakan topeng ini, bapak kepsek tidak akan mengenali kita, dan dia tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sekolah.”“Siapa sebenarnya kalian!?”Si ketua dengan cepat menjawab, "Kami adalah…!" tapi kemudian terdiam sejenak, lalu mundur seraya berbisik ke teman-temannya yang lain, “Psstt… kita ini siapa?” Kelimanya saling berpandang. Si kurus menjawab, “Nama gue Do…” “SShhht
Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi. Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga.Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik h
Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyin
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m