Dari daftar orang yang gue kenal, ada satu yang pasti bisa membantu. Dia orang terkenal, lebih terkenal dari Iko Uwais. Semua orang di RT gue dan RT sebelah tahu siapa dia. Dia seorang CEO yang terpandang. Namanya Mang Oja, CEO keamanan alias satpam lingkungan. Tiap orang yang lewat memandang kepadanya, mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam. Dan dia selalu menyambut sapaan itu dengan senyuman tanpa lelah.
Tiap pagi, jika tidak siang dan malam kerjaan sang jawara cinta selalu menggoda asisten rumah tangga yang cantik-cantik, yang hilir mudik melewati pos jaga. Kebetulan pos itu berdiri strategis di jalan utama dan banyak asisten yang harus belanja ke pasar dan keperluan lain.
Pandai sekali dia memikat gadis-gadis itu. Khazanah rayuan seluas perpustakaan legendaris Alexandria di Mesir. Gombalannya sering membuat wanita mengeluh, “Iiih, Mang Oja…!” tapi kemudian berlalu sambil senyam-senyum senang dengan wajah memerah. Hanya dengan mbok tua dan lekong saja, ia bersikap profesional.
Mang Oja seorang womanizer, playboy, player, fakboi, petualang cinta atau apalah. Meskipun para majikan sudah memperingati asistennya untuk berhati-hati terhadap satpam satu itu, tetap saja tak sedikit yang kecantol. Warga sekitar sebenarnya agak resah dengan pria kepala tiga itu. Karena dia seperti kucing oyen liar yang grasak grusuk dengan kucing betina muda piaraan orang. Takutnya ada yang berakhir bunting. Namun tak ada yang berani memecatnya, bahkan malah respect padanya. Sebab pandai sekali dia menangkap tikus alias maling. Larinya cepat dan orangnya pemberani. Sudah beberapa kali rumah warga kena garong. Malingnya kabur, tapi selalu berhasil dikejar oleh Mang Oja. Meski dikeroyok tiga orang dengan celurit, tak gentar dia melawan, walau berakhir di rumah sakit dengan luka sabetan. Tetapi bekas luka itu justru jadi kebanggaan yang sering dia pamerkan, terutama bekas luka di wajah yang melintang dari kening ke pipi kiri melewati matanya. Baginya itu tanda kepahlawanan.
Sore hari gue putuskan untuk mendekatinya. Gue beli es kelapa dekat rumah sebagai pelicin untuk calon guru. Bukan yang model oplosan yang kalau tanpa gula, tak ada rasa. Gue beli yang seratus persen murni, dan bukan kelapa biasa, melainkan kelapa ijo. Kelapa termahal di antara jenis kelapa.
“Mang,” sapa gue.
“Ada apa bos?”
“Sudah sore, pasti haus kan. Es kelapa buat emang.”“Wih, mantap, bos, tumben ada yang ngasih minuman,” katanya menerima pemberian gue. Ia membuka ikatan karetnya, lalu menyedotnya dalam-dalam pakai sedotan. “Aaaahhhhh…. dahaga aing hilang. Terima kasih bos, air kelapanya seger.” Dia sedot beberapa kali lagi menikmatinya. Gue perhatikan airnya turun sampai setengah kantong plastik. Sesudah sogokan gue lewat kerongkongannya, masuk hingga ke usus dua belas jari dan tak mungkin lagi dia muntahkan, calon murid mulai menyampaikan niatnya kepada calon guru.
“Mang, aku mau minta tolong.”
Mang Oja langsung berhenti menyedot minumannya. Bibirnya icip icip sisa air kelapa di bibirnya. “Mau minta tolong apa, bos?” tanyanya dengan nada sedikit menyesal setelah tahu ada udang di balik batu.
"Ajari saya cara mendapatkan cewek.”
“Hah? Halah mau buat apa, belajar saja lah kau baik-baik di sekolah, biar kelak tak jadi satpam seperti aing,” jawabnya sambil menyelepet burung gue. Gue terbungkuk refleks meng-cover kemaluan gue seperti pemain bola waktu tendangan penalti. Mungkin dia pikir gue ini macam dogi sedang birahi di musim kawin, mencari betina buat pelampiasan. Diselepet buat menurunkan tensinya. Atau sekedar sengaja mengusir gue.
“Bu...bukan gitu, mang. Ini buat riset.”
“Riset apa? jangan bohong kau! Baru kali ini aing dengar orang cari cewek buat riset.”
“Beneran, mang. Aku mau nulis novel cinta. Tapi aku buta tentang cinta. Jadinya novelku serasa coklat campur terasi. Gagal terus aku untuk mendapat kontrak eksklusif dari penerbitku,” jelas gue berharap dia mengerti, merasa iba, atau menangis bila perlu.
“Begini ya, bos, apa pun alasanmu, tak bisa aing beritahu rahasianya. Ini warisan leluhur, diturunkan turun temurun hanya kepada garis keturunan.”
“Ayolah, mang, bantu aku,” mohon gue, memelas seperti orang habis kena tipes.
“Tidak!” Mang Oja terus bersikukuh untuk tidak menerima murid. Gue jadi desperado, lalu gue bersimpuh di depan pos jaga dengan kedua tangan di depan lutut, menempelkan jidat gue ke punggung telapak. “Saya takkan beranjak dari tempat ini, sampai Mang Oja mengajarkan saya,” ucap gue dengan penuh kesungguhan. Gue terinspirasi dari film-film laga Hong Kong ketika seseorang memohon kepada ahli silat untuk menerimanya sebagai murid.
“Astaga, sudah gila kau rupanya. Kau pikir ini film Sun Wukong atau San Pek Eng Tai? Malam hari di sini nyamuknya berjibun. Kena malaria, baru tahu rasa,” kata Mang Oja menakuti. Namun tekad gue sudah bulat, takkan goyah meski banjir bandang.
“Terserahlah, aing mau keliling!” Mang Oja beranjak meninggalkan gue. “Mang! Mang!” Panggilan gue tak digubrisnya. Ini ujian, harap bersabar. Gue memutuskan tetap tinggal di situ dengan posisi merunduk seperti semula. Cepat atau lambat dia pasti kembali. Tak bisa dia menghindari gue selamanya.
Lama kelamaan gue malah jadi tontonan warga yang lalu lalang. Gue menciptakan pemandangan tak lazim. Gue dengar ada suara jepretan foto hape segala. Apa mereka kira gue objek wisata kota? Sampai anak-anak kecil pun bermain mengelilingi gue. Punggung gue dipukul-pukul, ditusuk-tusuk pakai ranting. Mungkin mereka sedang melakukan uji coba, apakah gue masih hidup. “Kakak ngapain?” Gue menggeleng, diam mau tak menjawab. Mereka tak kan mengerti jalan ninja seorang jomblo.
Sore berganti malam. Gue masih belum beranjak. Gerombolan nyamuk perawan mulai genit mencumbu dan menggerayangi gue. Mereka butuh darah perjaka supaya bisa hamil melahirkan.
Tiba-tiba terdengar langkah datang, apakah Mang Oja?
“Ngapain lo, Jon? Masya Allah.”
Bukan, itu suara bapak gue. Suaranya terdengar sangat sangat prihatin. “Tetangga pada bilang lo lagi pesugihan di sini. Ingat, Jon itu musyrik!” Hah, gimana, pesugihan, loh kok? Tetangga nih memang kalau ngegosip, ceritanya jadi kemana-mana.
“Pulang, Jon!” bujuk bapak.
Tapi gue belum bisa pulang. Urusan gue belum kesampaian. Jika gue pulang sekarang, sia-sia seluruh bentol di tangan dan leher ini.
“Ampuun Jonnn, lo kenapa jadi begini….” Waduh, kali ini suara ibu gue sambil nangis-nangis sinetron. “Pulang Jon, minta rezeki sama Allah, jangan sama jin.” Aisshhh, kalian salah paham. Sudahlah, kalian berdua pulang lah dulu, biarkan gue di sini. Bingung, gue gak mungkin menjelaskan duduk perkaranya ke mereka. Sebab mereka sudah mewanti-wanti gue tak boleh pacaran. Sedangkan gue di sini untuk menuntut ilmu mencari cewek.
Gue mulai mendengar suara orang makin ramai di belakang gue.
Tak lama kemudian bapak datang bersama teman-temannya. Dia berkata, “Bantu, bantu, bawa anak saya pulang ke rumah. Gotong.” Aduh, mengapa kalian tak dapat mengerti usaha keras anak kalian untuk bisa mendapatkan kontrak eksklusif. Gue tak bisa membiarkan mereka memupuskan hasil keras gue. Gue harus melakukan sesuatu. Dalam situasi genting ini, akhirnya gue nekat. Pura-pura kesurupan. “GRRR….Groaaaaar!” Gue mengerang dan mengaum supaya mereka tak mendekat.
“Astaghfirullah, Jon!” teriak ibu histeris.
Gue bikin konflik lebih memuncak, gue bertingkah seperti harimau marah. Berjalan dengan empat kaki, mengernyit dan memandangi mereka dengan tajam. Sesekali mencoba mencakar. “Jangan mendekat…, bubar, bubar, Groaaar!” erang gue.
Kabar Joni, anak RT 04 kesurupan menyebar dengan cepat ke warga lain. Kerumunan makin padat. Mereka penasaran. Seakan sedang melihat puncak atraksi debus yang biasanya tak sampai klimaks, karena uang sumbangan tak cukup banyak.
Pak RT datang bersama seorang ustadz. Gue dibaca-baca ayat kursi untuk mengusir dedemit yang memasuki gue. Dari antara kerumunan ada warga yang melempari gue dengan garam dan beras, berharap setan pengganggu keluar dari badan gue. Situasi tambah heboh, ketika ada seseorang mengaku orang pintar berseru, “Ada siluman harimau yang merasuki anak ini!” Dukun palsu! Tapi gue manfaatkan situasinya dengan makin menggila, melompat ke sana kemari. Akting gue sudah seperti aktor Bollywood yang filmnya actionnya suka absurd menyalahi hukum fisika. Ibu gue tambah panik, “Pak tolong anak kita, pak!”
Makin lama, gue merasa terpojok, lebih tepatnya terpojok oleh rasa malu. Sudah kepalang tanggung. Gue bingung harus gue terusin akting ini sampai kapan? Capek juga soalnya. Atau sebaiknya gue berhenti dan mengakui segalanya.
Tiba-tiba Mang Oja keluar dari antara kerumunan. Dia datang mendekat dan memperhatikan gue. “Lo kenapa, bos!?” Gue kasih dia kode kedipan mata. Awalnya di tidak paham. Gue kode-kode terus sampai akhirnya dia mengerti, bahwa gue tak benar-benar kesurupan. Dia mengangguk-angguk.
Dia memejamkan mata dan mulutnya komat-kamit. Tangannya naik turun seolah sedang mengambil kekuatan dari semesta. Setelah itu ia mendekat dan menempeleng kepala gue dari belakang. “Sudah jangan bikin keributan lagi!” Itu kode buat gue supaya berhenti berakting. Dia menutup wajah gue, lalu mengusapnya. Gue pun pura-pura tersadar. Warga langsung riuh. "Mang Oja hebat!"
Sejak hari itu Mang Oja jadi tambah terkenal tidak hanya sebagai CEO terpandang, melainkan juga sebagai orang sakti, dan gue jadi orang tersesat yang hendak bersekutu dengan jin. Bapak dan ibu gue menceramahi gue habis-habisan. Dengan jurus Tai Chi gue memasukkan kata-kata ortu gue di kuping kiri dan gua alirkan ke kuping kanan.
Keesokan harinya saat gue mau berangkat sekolah, Mang Oja sudah menanti di depan gerbang rumah. Dia merangkul leher gue, dan berkata, “Nanti sore datang ke pos jaga, akan kuajari kau cara menggaet wanita.”
Hah!? Tak gue sangka-sangka, akhirnya gue diterima jadi murid. Yes! Gue sudah selangkah lebih dekat lagi dengan kontrak eksklusif.
Mengapa tak ada mata pelajaran cinta di kurikulum sekolah?Perancangnya pasti tak paham akan pentingnya cinta, sehingga malah matematika yang dia masukkan. Atau mungkin dia korban kegagalan cinta. Sehingga bila dia tak bisa bahagia oleh cinta, maka biarlah yang lain tersiksa oleh matematika. Ah, egois sekali!Hampir selama 18 tahun matematika telah menyengsarakan hidup gue. SD adalah masa terparah. Ada satu buku wajib yang sangat gue benci, judulnya CERDAS TANGKAS. Walau namanya menjanjikan, namun buku itu tak sedikit pun membuat gue tambah cerdas atau pun lebih tangkas. Entah mengapa, bu guru senang memberikan PR dari buku terkutuk itu. Jangan-jangan itu cara dia membalas kebandelan murid-muridnya yang sering berisik di dalam kelas.Dingin tangan ini bila mengingat masa itu. Setiap pulang sekolah
Sedetik setelah Bu Ervinah memberikan jawabannya. Nafas gue terasa berat, seberat nafas pasien Covid-19 fase ketiga. Ada sekitar 2 menit gue berdiri memroses ucapannya, sebelum gue berbalik menghadap ke lautan siswa-siswi. Gue menatap mereka, mereka menatap gue. Kami saling bertatapan seperti penagih pinjol dan nasabah tertagih. Semua terdiam. Hening yang kikuk. Lalu gue tersenyum berseri. Dua tangan terangkat ke udara, kemudian menghentak ke samping pinggang, seraya berteriak, “YES!” Seketika itu juga semua anak di lapangan berteriak heboh, melompat-lompat. “WUOOOOOOHHH! WUOOOOOH!”Gue berlari ke arah mereka dengan lengan terbuka. Demikian juga mereka berlari menyambut gue bak striker yang baru saja membobol gawang lawan dan memenangkan liga kampiun. Badan gue mereka angkat ke atas kepala m
"Apa-apaan ini? Jangan tidak sopan, ya! Buka topeng kalian atau kalian akan dikeluarkan seperti Joni !” perintah bapak kepsek seraya menggebrak meja. Satu orang yang badannya paling kurus melompat sambil memegang dada kirinya. Bisa jadinya kurus badannya, karena kurang gizi, hingga jantungnya lemah saat ditakuti. Hampir saja ia melepas topengnya. Untung teman-temannya sigap mencegahnya. “Guoblok!”Satu-satunya cewek di antara mereka yang sepertinya ketua kelompok bertopeng ini berkata, “Selama kita mengenakan topeng ini, bapak kepsek tidak akan mengenali kita, dan dia tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sekolah.”“Siapa sebenarnya kalian!?”Si ketua dengan cepat menjawab, "Kami adalah…!" tapi kemudian terdiam sejenak, lalu mundur seraya berbisik ke teman-temannya yang lain, “Psstt… kita ini siapa?” Kelimanya saling berpandang. Si kurus menjawab, “Nama gue Do…” “SShhht
Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi. Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga.Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik h
Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyin
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m