Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.
Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Di luar sana alarm-alarm mobil turut panik, bersahut-sahutan dengan suara klakson yang beraneka nada. Nguing! Nguing! Ngek! Ngok! Ngek! Ngok! Tin! Tin! Sudah macam ajang kompetisi alarm paling berisik.
Gue segera keluar dari bilik sambil menarik ritsleting. "Aw!" Kulit burung gue kejepit benda kecil itu. Kebayang tidak sakitnya? Belum lagi pakai digoyang-goyang gempa. Aadu adu aduu! Susah payah gue melepaskannya sampai keringetan. Setelah berhasil, secepatnya gue menutup celana gue, dan langsung pergi keluar, sudah tidak sempat lagi cuci tangan apalagi flush!
Di luar murid-murid berhamburan seperti kelereng. Ada yang bertabrakan dan terjatuh, ada yang terpeleset kehilangan pijakan, ada pula yang berjalan merangkak. Sebagian lain mencoba berpegangan pada apa pun yang bisa jadi penopang, tiang, pohon, termasuk kepala temannya. Yang tidak dapat pegangan, merendahkan badannya, melebarkan tangannya seperti orang sedang berselancar di pantai. Di momen ini orang-orang terlihat ingat pada Tuhannya masing-masing. Mulut mereka komat-kamit sambil mata menatap langit. Ada pula yang bernyanyi-nyanyi pujian, “How great Thou art…” Tapi ada juga yang memanfaatkan momen untuk live streaming, "Hai guys, bersama David di sini…"
Sekonyong-konyong terdengar suara teriakan wanita, “Toloooong!” Suara itu agak tersembunyi di belakang. Gue menengok kiri-kanan memastikan arah sumber suara. “Tolooong!” Gue bergegas mendekati suara itu sambil berpegangan tembok. Sumber suara berasal dari ruang penyimpanan peralatan. Gue masuk ke dalam menyelidiki. Di ruangan itu tampak Ibu Ervinah sudah terpojok. Matanya terpaku pada sesuatu di lantai. Seekor ular sepanjang satu meter. Badannya membentuk huruf S seakan siap menyerang. Mungkin akibat gempa makhluk itu keluar dari sarangnya dan kebetulan menemukan Bu Ervinah dan menuduhnya sebagai orang yang rese mengguncang-guncang sarangnya.
Gempa lalu berhenti.
Melihat ular gue ketar-ketir. Belum pernah gue berurusan dengan reptil bersisik itu seumur hidup. Akan tetapi sebagai laki-laki gue harus melakukan hal yang benar, yaitu… pergi mencari orang yang lebih tepat untuk menolong. Gue berbalik dan melangkah pergi.
Akan tetapi baru beberapa langkah terdengarlah jeritan itu, “Kyaaaa!” Jeritan wanita dalam kesulitan. Sial. Gue buru-buru kembali lagi. Bu Ervinah sudah terjatuh di lantai memegangi kakinya. Darah mengalir keluar dari sela-sela jarinya.
Da...darah… lemas gue melihat darah. Namun kondisi Bu Ervinah yang terluka dan dalam bahaya membuat insting laki-laki gue tidak bisa lagi berpaling. Antara ular itu yang tertangkap atau gue yang mati. Yang utama Ibu Ervinah harus selamat! Fight! Fight! Fight! Tapi kaki gue tak mau berhenti gemetar dan telapak tangan terasa dingin.
Ular itu sudah siap untuk menyerang lagi. Gue tengok ke kanan kebetulan ada sebuah ember merah. Gue ambil benda itu dan bergegas masuk. Rencananya gue akan sergap ular itu dan memasukkannya ke dalam ember. Gue mengendap-endap dari belakang. Ketika jarak kami tersisa tinggal dua langkah, gue melompat. Target sudah terkunci.
Sialnya…
Gue kesrimpet dan jatuh tepat di samping sang ular. Kepala makhluk bersisik itu langsung terangkat dan menatap gue dengan tak senang. Lidahnya yang bercabang menjulur-julur cepat, mendesis-desis, pipinya membesar mengintimidasi, lalu mulutnya menganga memperlihatkan kedua taringnya yang panjang. Tanpa ba-bi-bu lagi ular itu langsung menyerang wajah gue. Refleks gue angkat ember. "Bak!" Tenaga makhluk itu cukup terasa saat menabrak. Di bagian bawah ember langsung terlihat dua lubang bekas taringnya.
Gue langsung menggelinding mengambil jarak. Karena gue bulat, cara itu lebih cepat daripada harus bangun dulu dan berlari. Tapi ular itu malah ikut meliuk-liuk mengejar gue. Wah, gawat. Gue terus berguling sampai menabrak tongkat pel tali. Langsung gue ambil dan sodok ular itu. Sang ular itu terdorong ke belakang, berdesis tak senang. Setiap kali binatang itu hendak maju menyerang, gue tahan pakai pel. Tali-tali itu cukup membantu menjaga jarak dan menghalangi pandangan si ular.
Mungkin bete tak kunjung bisa menggigit ular itu berbalik lagi ke Bu Ervinah, santapan yang lebih mudah.
"Joni, tolong!" teriak Bu Ervinah ketakutan.
Feeling gue semakin tak enak. Benar saja ular itu menyambar wajah Bu Ervinah. "Kyaa!" Untung sebelum kena, gue sudah keburu pegang ekor dan menariknya. Bu Ervinah sampai menangis ketakutan, syok. Matanya berkaca-kaca.
Sekarang gue yang panik memegang ular itu di tangan kiri, hingga melompat-lompat seperti sedang tap dancing. Apalagi kepala si ular sekarang mengarah ke gue dan langsung menyerang perut gue, menyerang kemaluan gue. Badan gue sampai mundur-mundur menghindari serangan. Dia benar-benar kelihatan sangat marah, mungkin sedang PMS. Badannya melengkung, tiba-tiba saja menggigit dan melilit tangan gue. Haaa… Ya Allah. Melihat ular itu menancapkan taringnya ke tangan gue, mau pingsan. Gue harus apa? Di tengah kebingungan itu, gue melihat lakban hitam, tanpa pikir panjang gue ambil dan lilit kepalanya dengan lakban ke lengan bawah gue, sampai dia tidak bisa bergerak. Ow… ow… taringnya lumayan perih juga. Ini satu-satu cara yang terpikirkan untuk melumpuhkannya. Nanti gue akan keluar dan mencari pertolongan.
Gue menghampiri Bu Ervinah hendak memeriksa keadaannya. Tapi dia agak ketakutan melihat ular itu di tangan gue.
"Tenang, bu. Ular ini sudah aman terkendali," ucap gue sok cool. Padahal hati menjerit-jerit. "Ibu bisa jalan?"
"Gak tahu," jawabnya sedikit terisak-isak.
Gue pelan-pelan mendekatinya dan bantu dia berdiri. Tiba-tiba gempa susulan sebuah. Sebuah kepala barongsai merah yang disimpan di atas lemari, jatuh. Secara insting gue langsung memeluk Bu Ervinah, dan berganti posisi untuk melindunginya. Benda yang cukup besar dan berat itu menghantam punggung gue. "Buak!" Alamak, rasanya seperti ketimpa tabung gas. Kami terdorong ke depan dan terjatuh bersama-sama. Posisi gue berada di atasnya, menindihnya, wajah kami jadi begitu dekat. Wow, dari close up dia memang cantik sekali.
"Be… berat!" keluh Bu Ervinah megap-megap.
"Maa. Maaf!" Gue buru-buru memindahkan badan gue ke samping. Sebentar lagi gue pasti diomelin lagi.
Di luar dugaan Bu Ervinah memegang punggung tangan kanan gue dan bertanya, "Joni, kamu tak apa-apa?" Wuoohhoo… apa ini. Gue merasakan jemarinya yang lentik di kulit, lembut sekali seperti es krim yang creamy.
Gue pandang Bu Ervinah, tidak nampak pandangan mata yang dingin menusuk sumsum seperti dulu. Gue langsung menjaga wibawa dan mengangguk-angguk, "Ehm… ehm… tentu, saya baik-baik saja." Padahal punggung gue terasa nyeri. Kalau pulang mesti panggil tukang urut langganan.
Gue berdiri, sambil memegang tangan Bu Ervinah membantunya berdiri. Tapi dia terjatuh dalam pelukan gue. Hehh… gemetar gue. Apalagi parfumnya begitu wangi yang soft.
"Ehm… ibu sepertinya tak bisa jalan," katanya.
"T...tak apa, saya akan gendong."
Gue angkat Bu Ervinah dengan kedua tangan gue. Entah gue dapat kekuatan dari mana padahal perut lagi keroncongan dan tangan kiri sedang di gigit ular. Mungkin kah ini ego laki-laki yang tak mau terlihat lemah di depan wanita? Gue berusaha sekuat tenaga membawanya ke luar ke lapangan supaya kami bisa segera mendapat pertolongan. Satu yang terlintas di pikiran, apakah semua wanita itu seberat ini?
Baru gue mau tanya, "Ibu beratnya berapa sih?" Tapi dia keburu memotong, “Joni, maafkan ibu telah memanggilmu gendut tempo hari.”
"I...iya bu. Tak usah dipikirkan."
Bu Ervinah mengambil hape dari kantongnya. "Boleh ibu tahu nomor hape kamu?"
"085711456678. Mau buat apa, bu? "
Bu Ervinah diam tak menjawab.
"Terima kasih ya, Jon."
"Sama-sama."
Sesampai di lapangan, begitu anak-anak melihat kami, mereka langsung heboh. Apalagi melihat Bu Ervinah begitu pasrahnya dalam pelukan gue. “HAaaaaaaaaaah!” seru mereka melongo. Pasti mereka bertanya-tanya ada kejadian apa? Saat ini mungkin gue terlihat seperti Superman yang tengah menggendong Lois Lane. Gagah. Heroik.
"Bluk!" Waduh Bu Ervinah terlepas jatuh. Maaf, gue lemas karena keroncongan. Tak enak hati gue jadinya.
"Tolong, bantu bawa Bu Ervinah ke rumah sakit. Dia digigit ular." Lalu gua angkat tangan kiri gue yang sedang digigit ular. Orang-orang tambah kaget dan melongo. “Sekalian juga tolong cari orang yang bisa menangani ular ini.”
Guru Biologi datang dan mengamati ular itu. “Oh, tenang saja, ular ini tak berbisa. Tak perlu di bawa ke rumah sakit. Bawa saja ke UKS dan berikan perawatan di sana. Guru-guru dengan sigap membantu memapah Bu Ervinah dan gue ke UKS. Akhirnya ular di tangan gue diamankan dan tangan gue diperban.
Heboh-heboh gempa bumi dan Bu Ervinah berakhir. Anak-anak kembali ke kelas melanjutkan jam pelajaran yang tersisa.
Akibat dari peristiwa itu gue dibawa masuk lagi ke kantor kepsek, diinterogasi. Gue menjawab dan menerangkan kejadian yang sebenarnya.
Akan tetapi di ruangan itu ada satu hal yang menjadi perhatian gue, yaitu map yang ada di depan bapak kepsek di atas meja. Dari semenjak gue masuk, tangannya selalu berada di atas map itu, bahasa tubuhnya mengisyaratkan ada sesuatu yang ia ingin sembunyikan. Mencurigakan. Pasti itu daftar absen! Bagaimana caranya gue bisa mengambil map itu dan menghapus barang bukti untuk menyelamatkan nakama gue?
"Yah, bapak sudah cukup mendengar keterangan darimu. Kamu boleh meninggalkan ruangan ini."
Oh tidak, gue belum menemukan caranya sudah disuruh keluar.
Gue melirik map itu. Bapak kepsek menyadari lirikan gue, lalu dia melirik gue. Gue gantian melirik bapak kepsek. Kami saling lirik-melirik. Tiba-tiba saja gue melompat dan mencoba merebut map itu. Bapak kepsek menahannya. Kami saling rebutan. "Crak!" Map itu robek terbelah dua. "Kamu bapak keluarkan!"
Ah, itu cuma bayangan gue saja. Kelihatannya bukan ide yang bagus. Gue tersenyum dan memohon diri.
Sambil terus berpikir gue berjalan melewati ruangan kelas yang kosong. Hanya tas-tas murid saja yang ada. Dari lapangan, terdengar suara tepakan tangan menghantam bola dan "Jeding!" suara benda menghantam lantai konkrit. Seperti orang sedang bermain bola voli. Mungkin mereka sedang mata pelajaran olahraga. Sekonyong-konyong terlintas sebuah ide. Gue masuk ke dalam kelas itu dan dengan berdebar-debar gue membuka salah satu tas. Bingo! Gue menemukan sesuatu yang gue cari. Pakaian dalam wanita!
Biasanya murid-murid yang ada aktivitas olahraga akan membawa pakaian ganti.
Hei, jangan salah sangka, jangan berprasangka buruk, gue bukan ecchi atau hentai. Atau punya kegemaran aneh seperti para maling pakaian dalam. Percayalah ini untuk tujuan mulia.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m