Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.
Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m