Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.
Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyinya seperti tutup botol sampanye yang lepas. Gue langsung kempes tak bernyawa. Mata sayu, pipi merona merah, dan hidung mimisan. Kurang ajar! Pasti tadi ada vampir menyedot darah gue saat gue sedang berciuman.
Siapakah engkau wahai nomor satu? Bahkan sekedar nama asli lo saja gue tak tahu. Tapi lo telah mencuri ciuman pertama gue. ITU JAHAT!
Ah, tapi curilah lagi. Aku kan menutup mata.
Entah bagaimana rupamu nomor satu, yang pasti ciuman tadi, sensasional! Subarashii! kata orang Jepang.
Nomor satu memencet hidung gue. "Tutup hidungnya supaya tidak menghirup wangi nasi goreng," katanya. “Ah, ok!” Gue menurut. Nakama lain juga menutup hidungnya di balik topeng.
"Hah, jurus nasi goreng, bapak sudah tak mempan!" seru nomor satu dengan suara sengau, “Kami dapat bertahan.”
Bapak kepsek bermuram durja. Awan kelabu menaungi kepalanya. "Saya pasti akan kembali, anak-anak, lihat saja!"
"Hapus hukuman DO Joni! Hukum itu tak adil!" seru si nomor satu berorasi. Diikuti dengan bersemangat oleh kami. "Hapus hukuman DO Joni! Hukum itu tak adil!" Para nakama merasa senang karena berhasil melewati ronde pertama bersama-sama.
Bapak kepsek meninggalkan TKP. Orang-orangnya membereskan seluruh perlengkapan masak itu dan membawanya pergi.
Nomor satu berdiri agak sedikit menjauh, bersembunyi di belakang keempat lainnya.
Setelah itu gue meminta maaf kepada mereka. "Maaf, telah menyusahkan kalian."
Nomor empat berkata, "Tak apa, setiap superhero punya kelemahan. Superman dengan Kryptonitenya atau Samson dengan rambutnya, apalagi kita hanya manusia biasa. Yang penting kita saling menjaga."
"Ore tachi nakama dakara! (karena kita adalah teman seperjuangan!)" seru nomor tiga dengan aksen ciri khas anak Jepang berandalan dan mengangkat tangannya, menunjukkan tanda X. Semuanya jadi bersemangat ikut mengangkat tangan.
“Pret!” Tiba-tiba gue kentut. Gara-gara gue masih tegang akibat ciuman tadi. Gue mah orangnya gitu, mules kalau tegang. Topeng-topeng Dali itu memandang ke arah gue. Ah, topeng-topeng itu terlihat kurang senang.
"Ih, kak Joni gak keren ah! Merusak momen…," keluh si nomor satu.
"Ma..maaf." Ini juga salah satu kelemahan gue yang mengganggu.
"Gue mesti ke WC dulu nih kayaknya. Ini urusannya bagaimana yah?"
"Ya, pakai saja WC sekolah."
"Oh, ok," jawab gue mengangguk. Gue segera beranjak dari depan tenda.
“Tunggu!” cegah si nomor satu. Ia menyusul gue dan menarik gue menjauh dari yang lain dan ke tempat yang agak sepi. Jangan-jangan dia ingin melanjutkan yang tadi. Pikiran mesum gue melayang-layang. Sialnya, pikiran itu tercetak di wajah gue
"Kak Joni kenapa sih?!" tegur si nomor satu. Suaranya terdengar risih.
"Hah, oh, gak kenapa-kenapa. Ada apa?"
Nomor satu berdehem. “Mengenai ciuman tadi jangan dianggap apa-apa, ya. Itu hanya untuk membuat Kak Joni sadar saja. Bukan yang lain.”
“Oh...ya, ya, tentu jangan khawatir," jawab gue. Bukan yang lain? Ada sedikit rasa kecewa sih. Padahal ada sedikit harapan akan bukan yang lain itu. Tapi ya, sudahlah.
Hah, gue segera menyadari sesuatu. Baru kemarin gue menembak Bu Ervinah, sekarang mengharapkan cewek lain. Jangan-jangan gue punya bakat playboy terpendam. Apakah gue sedang bermetamorfosis menjadi buaya? Merinding gue mulai mengenali sisi diri gue yang lain.
Gue meninggalkan nomor satu, menuju gerbang masuk, melewati lapangan parkir. Namun di pintu gerbang satpam penjaga sekolah mencegah gue. “Maaf ini perintah bapak kepala sekolah, kamu dan teman-temanmu tidak boleh masuk ke dalam.”
Gue kaget juga. Serasa diusir begini. “Tapi saya mau ke WC, pak, sakit perut.”
Pak satpam hanya tersenyum mengangguk dan tangannya mempersilahkan gue pergi.
“Sial, ini pasti salah satu cara bapak kepsek untuk membuat kami menyerah. Menghalangi kami untuk bisa buang air. Metode yang pintar sekaligus kejam."
Gue intip sisi sebelah kanan pak satpam yang terlihat agak kosong. Tapi dia segera berpindah selangkah menghalangi pandangan gue. Gestur tubuhnya seolah berkata, "Maaf selama saya yang menjaga, berpikir untuk lewat pun, jangan."
"Pret!" Waduh, perut gua sudah memberi sinyal lagi. Waktunya tak lama lagi. Hidung pak satpam bergoyang-goyang mendeteksi aroma tak sedap. Gue senyum-senyum saja.
Gue coba berjalan ke kiri, dia ikuti. Gue berjalan ke kanan dia ikuti. Menyebalkan. Gue berbalik badan, membungkuk tak berdaya.
"Bagus, pergilah sana," kata pak satpam dengan nada meremehkan.
Itu tipuan, bos! Gue langsung memutar badan dan nekat menerjang masuk dengan gaya seperti Valentino Rossi memotong lawan di tikungan. Brmmm…! Kami bertabrakan. Badan gemuk beradu badan kekar. Hasilnya gue mental ke belakang terhuyung-huyung. Wah, ngajak ribut nih orang! Gue gulung kedua lengan seragam gue.
Gue mundur dua langkah. Gue dan satpam sekolah berhadap-hadapan. Suasananya langsung berubah, kami menjadi seperti dua koboi yang akan berduel sampai mati. Pasir kering dan kantong kantong plastik kresek beterbangan ditiup angin. Gue bisa mendengarkan suara drum berdentam, denting banjo, suling, siul dan harmonika seperti film Wild West. Eng ii eng… wawawaa…. tulilili…
Tangan pak satpam mengembang siap menghalangi. Berjalan menyamping ke kiri dan ke kanan seperti kepiting, menyalahi kodratnya sebagai manusia. Duel Gobak Sodor dimulai.
Gue mendekat perlahan-lahan sambil berjalan ke kanan. Dia mengikuti, bagus sisi kiri mulai terbuka. Gue gertak ke kiri. Satpamnya kaget, tapi tak cukup untuk membuatnya jatuh. "Ah, why you so serious lah, pak? "
"You no enter understand? " jawabnya.
Gue lari cepat ke kiri, tahan, lari lagi. Si satpam mengikuti irama gocekan gue. Lalu gue sikat cepat lari ke kanan agak jauh. Masih saja dia lengket seperti permen karet.
Gue lompat ke kiri, lompat ke kanan, tetap saja orang ini ikut seperti pantulan kaca. Ngos, ngosan gue jadinya.
Ah, sudahlah tabrak lagi saja! Tapi kali ini telapak gue menerjang ke depan bak tombak, mendorong dada dan wajah pak satpam. Hia! Hia! Hia! Dia kaget, tak mau kalah dia membalas serangan gue. Hah! Hah! Hah! Wajah gue meleot ke sana kemari. Rasanya muka ini jadi seperti adonan roti yang dibejek-bejek. Duel Gobak Sodor berubah jadi ajang pertarungan sumo. Hia! hah! hia!
Alas! gue kalah kuat, kalah fit dengan pak satpam yang kelihatannya rajin olahraga raga. Pak satpam tidak melepas kesempatan itu dan melangkah maju meninggalkan garis pintu masuk, menyerang lebih gencar. Kaki gue selangkah demi selangkah terdesak ke belakang, gue berusaha sebisa mungkin bertahan. Badan atas gue mulai melengkung ke belakang. Lama-lama gue pasti akan jatuh.
Pret! Waduh, kalau begini terus gue bakal berak di celana. Lalu gue bakal gugur karena harus pulang ke rumah.
Di tengah situasi genting gue terbersit sebuah ide. Tepat saat telapak pak satpam hendak menyarangkan telapak mautnya. Gue menghilang dari pandangannya. Gue kemana? Pertanyaan bagus. Gue berjongkok dan langsung berdiri lagi masuk ke wilayahnya, menempelkan badan gue ke tubuhnya, mengunci serangannya. Gue renggut ban pinggangnya yang segede gaban itu. Dengan segenap kekuatan gue angkat dan pindahkan tubuhnya ke belakang gue. Saking full power-nya, gue kentut sejadi-jadinya. Pret! Pret! Pret! Suaranya sudah seperti knalpot motor.
Posisi kami kini terbalik. Gue yang berada di dekat pintu masuk. Kami berdua melongo menyadari situasi ini. Jalan pintu masuk terbuka lebar. Gue buru-buru berlari ke pintu. Prott! Gue tambahkan gas beracun terakhir untuk memperlambat gerakan pak satpam.
"Sial, bau banget!" seru pak satpam, menutup hidung dan mengibas-ibas berusaha untuk tidak keracunan. Bau? Ya tentu saja, taiknya sudah di penghujung. Rasakan!
Sambil memegang pantat mencegah isinya keluar. Gue berlari seraya mengepit pantat, masuk secepatnya ke dalam sekolah.
Demi menghindari kejaran pak satpam gue nekat pakai WC guru yang terletak di luar. Meskipun aturannya murid tidak boleh pakai. Tapi sekarang sedang jam belajar seharusnya WC guru sepi.
Cepat-cepat gue masuk ke dalam bilik, buka celana dan duduk di atas singgasana. Begitu pantat menyentuh ring duduk seluruh isinya langsung berhamburan keluar. Suaranya pun cukup mengerikan, bagai rentetan tembakan senapan mesin. Brot! Brot! Brot! Brot! Brot! Plung! Plung ! Plung! Plung! Plung! Rasanya enghhh bagai KING.
Tiba-tiba terdengar langkah dua pasang sepatu memasuki WC. Salah satunya membuka kran dan mencuci tangan, yang lainnya membuka ban pinggang, resleting, lalu kencing. Mereka berdua berbincang-bincang. Gue kenal salah satu suaranya.
"Anak-anak yang mogok makan itu hari ini pasti akan bubar. Saya sudah mengumpulkan daftar absen dari setiap kelas. Nanti setelah saya baca, saya bisa tahu siapa saja yang tidak hadir hari ini. Di antara yang tidak hadir pasti ada lima anak di depan sana. Kemudian saya akan mengambil tindakan tegas." Itu suara bapak kepsek. “Kemenangan berada di pihak sekolah, Ha..ha..ha…!”
Gue kaget, berarti identitas nakama akan diketahui.
Bahaya! Bahaya! Bahaya!
Nasib para nakama dalam bahaya! Gawat ini mereka akan dikeluarkan. Apa yang harus gue lakukan.
Keduanya menyelesaikan urusan mereka, lalu pergi keluar. Gue mikir lama banget dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian, seakan nyawa satu juta orang akan tergantung pada keputusan gue…. barang lima menit. Kemudian gue putuskan satu-satunya cara untuk menyelamatkan para nakama, gue harus mencuri daftar absen itu dari kepala sekolah sebelum dia membacanya.
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m