Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi. Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga.
Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik hukuman DO Joni yang tidak adil.” Inilah inti perjuangan kami. Kemudian kami membagi-bagikan pamflet fotocopy meminta dukungan para orang tua murid yang lalu-lalang, menjelaskan duduk perkara dan meminta dukungan lewat tanda tangan petisi.
Menit demi menit berlalu, matahari semakin meninggi. Panas dan terik memeras peluh. Para nakama sudah basah berkeringat. Jumlah tanda tangan yang terkumpul, nol. Usaha mengkhianati hasil. Para orang tua sepertinya khawatir jika berurusan dengan kebijakan sekolah nanti akan membawa masalah kepada anak mereka.
Ah, tenggorokan sudah terasa kering. Dehidrasi. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di dalam tenda dan melepas dahaga. Pas di dalam aroma perjuangan langsung menusuk hidung. Buru-buru kami buka jendela dan duduk agak menjauh memutar badan. Padahal ini baru awal perjuangan.
Gue sendiri lemas menahan lapar. Bekerja keras seperti ini membuat gue sangat keroncongan. Padahal di dekat tenda berjejer jualan yang enak-enak dan segar-segar, seperti gorengan, siomai, mie ayam, es teler, es cincau dan lain-lain. Selangkah saja dan dengan hanya sedikit uang, gue bisa menikmati surga dunia. Gue laaperrr.
Di kesempatan itu gue memutuskan untuk berkenalan dengan kelima nakama, “Oh ya nama kalian sebenarnya siapa?”
Si cewek ketua menengok kiri kanan, lalu menjawab, “Maaf, Kak Joni demi keamanan, sebaiknya kami tidak menyebut nama di sini. Sebab tembok bisa bertelinga.”
“Lalu gue harus memanggil kalian apa?”
“Ah, supaya mudah, panggil saja gue nomor satu, si kurus ini, nomor dua, dia nomor tiga, nomor empat dan nomor lima,” kata si cewek.
"Oh okay, berapa hari kira-kira kita akan aksi mogok makan?" tanya gue.
"Tentu saja, sampai tuntutan kita dikabulkan."
"Kalau tidak dikabulkan?"
"Kita mati."
"Hah!" Gue membayangkan emak gue menangis tersedu-sedu, saat mendapati anaknya tidak bernyawa. Sudah capek-capek dikasih makan, belum menghasilkan sudah meninggal kayak si Ayuningsih. Waktu itu gue sampai nangis tiga hari tiga malam, menangisi ayam piaraan gue itu. Dari kejauhan terdengar sirene ambulans menambah kental atmosfer kematian.
"Tenang, ha...ha...ha...," si nomor satu tertawa, "Tidak mungkin bapak kepala sekolah akan membiarkan kita sampai celaka, karena itu akan membuat nama baiknya dan nama baik sekolah jadi jelek dengan insiden semacam ini. Kalau sampai kondisi kita dibiarkan memburuk, orang tua murid yang setiap hari lalu-lalang pasti akan mulai protes ke sekolah. Hanya ada dua pilihan bagi bapak kepsek, mengabulkan tuntutan kita atau menggagalkan aksi ini.”
"Nomor satu memang jenius, dialah dalang dari aksi ini," kata nomor tiga, "Tensai da kono ko!" (Jenius anak ini!)
"Mengapa sih kalian mau bersusah-susah melakukan ini?" tanya gue. Terus terang gue sendiri tidak merasa ada yang istimewa dari diri gue, yang patut diperjuangkan seperti ini. Gue ini siapa? Gue bukan siapa-siapa. Malah gue ada perasaan bersalah membuat mereka berlima di posisi ini.
Nomor lima mendekat, mengambil dompetnya, mengeluarkan sebuah foto, dan memperlihatkannya kepada gue. Di foto itu ada seorang gadis berambut panjang memegang payung di bawah pohon beringin, mengenakan dress ungu.
"Saat saya melihat kakak menembak Bu Ervinah di lapangan menggunakan mikrofon di depan orang banyak. Hati saya bergetar, betapa saya ingin memiliki keberanian seperti orang itu.
Saya berteman dengan cewek di foto ini selama tiga tahun. Walau lama-lama saya memiliki hati untuknya, tapi saya tak pernah berani mengungkapkan perasaan.
Melihat aksi Kak Joni saya terinspirasi dan mendapatkan kekuatan untuk menembak dia. Kak Joni telah mengubah hidup saya. Terima kasih, kak. Oleh karena itu saya merasa tidak adil kalau Kak Joni harus dihukum sampai dikeluarkan dari sekolah."
"Ooo, jadi berkat gue, lo sekarang sudah tidak jomblo?"
Si nomor lima terdiam sepertinya ia bingung menjawab pertanyaan itu.
"Sepertinya, sih..."
"Hah, sepertinya?"
"Mmm… orang bilang dia kena guna-guna. Karena ada yang tak senang dengan bapaknya. Sejak tiga tahun lalu setiap hari dia selalu berdiri di bawah pohon beringin itu sambil memegang payung. Hanya berdiri dengan pandangan kosong. Tanpa ekspresi. Tak pernah berkata sepatah kata pun.
Tiga tahun yang lalu saya menjadikannya teman. Dia menjadi tempat curhat saya. Orang bilang saya gila karena terus-terusan berbicara dengannya. Tapi saya merasa nyaman bersamanya.
Saya memutuskan untuk menembaknya. Untuk pertama kalinya dalam 3 tahun itu, saya melihatnya tersenyum. Walau hanya sebentar. Saya menganggap itu sebagai jawaban iya. Tapi…. tak tahu juga."
Gue agak melongo mendengar cerita si nomor lima. Wibu memang abnormal. Tapi setidaknya masih mending ia memiliki ketertarikan dengan manusia sungguhan dan bukan bantal panjang bergambar tokoh anime cewek seksi. Gue manggut-manggut mendengar cerita cinta supranatural itu.
Tiba-tiba datang beberapa orang tak dikenal grasak-grusuk membawa kompor masak, meja, peralatan dapur, bumbu-bumbu, botol kecap, sayuran, daging dan nasi sebakul tepat di depan tenda kami.
Ada apa ini?
Bapak kepsek muncul dengan tersenyum. "Lihat siapa yang bapak bawa...” Satu sosok wanita paruh baya datang menyusul, memanggul wok masak tembaga selebar punggung dan spatula. Dari cara jalannya saja orang bisa merasakan tekanan wibawa seorang juru masak yang agung. Dia adalah….
“Ibu Serojah!” seru kami bersama-sama.
Ibu Serojah, penjual Nasi Goreng Tapak Api legendaris di sekolah ini. Lezat masakannya tiada banding. Kiosnya selalu ramai diserbu anak-anak sekolah. Sedikit membuat iri penjual lain dan bergosip dia pakai penglaris. Saking enaknya, komandan polisi, para pejabat hingga presiden pun datang berkunjung untuk mencicipi. Buktinya ada di foto-foto yang terpajang di kiosnya.
Orang bilang dia eks juru masak pribadi Sultan Keraton Yogyakarta. Ada juga yang bilang ahli silat yang banting stir jadi koki. Ada juga yang berkata dia eks BIN yang menemukan passion di kuliner akibat terlalu sering menyamar jadi tukang masak. Masih ada lagi katanya, katanya yang simpang siur.
Pakaian Ibu Serojah sangat khas, lengan panjang di kanan dan lengan buntung di kiri, memamerkan lengan kirinya yang terlihat sangat berotot dan lebih besar dari tangan kanannya.
Ibu Serojah berdiri di depan kompor. Dia berkata, “Maaf, ya anak-anak. Bapak kepsek memaksa ibu melakukan ini, jika tidak, katanya ibu tidak boleh berjualan lagi di sekolah.”
"Betul," timpal bapak kepsek, "Dan ibu telah turut andil dalam menegakkan kedisiplinan di sekolah ini. Dengan kehebatan Ibu Serojah mereka pasti akan menyerah membangkang aturan sekolah."
Huh, penyalahgunaan wewenang.
Gas dibuka. Api biru kompor yang panas menyala tinggi hingga sekepala. Tangan kiri berotot itu menaruh wajan besar di atasnya. "Klang!" Dari bunyi nya saja sudah terdengar betapa berat wok tembaga itu. Api dengan cepat menggeluti dan memanaskan permukaannya. Hawa panas mencakar hingga radius satu meter. Julukan Tapak Api memang pantas disandang nasi goreng buatannya. Minyak dituang, dibiarkan hingga panas, setelah itu bumbu-bumbu rahasia masuk ke dalam. Cssssssss…. hemmm harum sekali aromanya. Liur terkumpul di mulut tak dapat berhenti, bocor di sudut bibir. Perut gue langsung bergemuruh. Kalau perut gue Gunung Krakatau, ini sudah masuk level waspada.
Ibu Serojah memasak dengan sangat piawai. Gerakannya seperti orang menari Saman atau tarian 1000 tangan. Memotong-motong sayur dan daging, mengoseng-oseng, memasukkan bumbu seakan dilakukan hampir secara bersamaan. Gerakannya mengalir seperti air, semuanya berkesinambungan.
Nasi pulen satu bakul besar masuk ke dalam kuali. Kecap hitam kacang kedelai murni kental tertuang membaluri permukaannya. Asap putih mengepul hebat. Kalau orang biasa yang masak itu artinya gosong. Tapi berbeda kalau Ibu Serojah, artinya masakan itu sedang bermetamorfosis menjadi masakan bercita rasa dewa.
Ibu Serojah mengangkat gagang kayu woknya dengan tangan kiri. Otot-otot lengannya berkontraksi membesar. Ia melempar-lempar semua isinya tinggi ke udara. Butiran nasi, sayur, daging dan bumbu berakrobat dengan indahnya, bercampur aduk jadi satu. Nasi putih itu kini berubah coklat keemasan, berkilau memukau.
Pertunjukkan sudah hampir mencapai puncak. Ibu Serojah menyiapkan lima piring dan menuangkan isinya ke masing-masing piring. Lalu ia taburkan bawang goreng, toping kerupuk serta sesendok acar ke atasnya. Wanginya makin kuat menusuk hidung, membuat gila.
Akibatnya gue jadi seperti anjing penjaga pintu neraka, Kerberos yang lupa dikasih makan selama sebulan oleh raja neraka, Hades. Gue kalap dan berdiri dengan cepat hendak menyantap nasi goreng ternikmat sedunia itu.
"Semuanya tahan kak Joni!" komando nomor satu.
Para nakama segera melompat mencegah gue. Ada yang memeluk kaki, menarik kerah, menarik tangan, menahan pinggang. Mereka sampai terseret-seret seperti tim adu tarik tambang yang hampir kalah. Mata gue melotot. Lidah gue menjulur keluar, menggapai-gapai ke arah nasi goreng itu.
"Lepasin gue, mau makan! Lapaaaar!"
"Jangan kak Joni, plis!"
Bapak kepsek tertawa terbahak-bahak melihat gue yang tak kuasa menahan lapar. “Ayo, kemari, makanlah sepuasnya. Tambah jika perlu!”
Suara nakama terasa menjauh. Dari awal gue merasa sebagai mata rantai terlemah. Benar juga kata ibu, gue tak cocok melakukan aksi mogok makan. Sungguh ia mengenal gue.
Gue ingat, semuanya bermula ketika gue masih kecil. Keluarga kami terbilang kurang secara ekonomi. Oleh karena itu bapak suka lembur tiba-tiba jika ada kesempatan. Sebagai konsekuensinya, masakan ibu sering jadi sia-sia. Di meja makan gue sering melihat ibu sedih dan muram. Gue jadi ikut sedih. Oleh karena itu gue bilang, "Ibu jangan sedih, biar Joni yang makan semua masakan ibu." Lalu gue lahap lah semua yang ada di meja makan. Ibu mencegah gue, "Jangan, sudah cukup, Joni." "Gak bu, Woni masih wapar," jawab gue sambil terus mengunyah. Padahal perut sudah sangat kekenyangan. Jadilah gue tumbuh menjadi anak yang kelebihan gizi, gendut dan bulat dengan kebiasaan makan yang banyak hingga sekarang.
“Kak Joni sadar….” Sayup-sayup terdengar suara si nomor satu. Ia sudah berdiri di depan gue. Ia memutar tubuh atasnya ke belakang, jari-jari telapaknya mengembang bak sayap rajawali, lalu terbang melesat cepat dan menampar pipi gue. “Plak!” (bergema: plak…! plak…! plak…!) Semuanya terasa bergerak secara lambat. Anehnya gue tak merasa perih sedikit pun. Hanya ada satu di otak gue. “La...lapaaar…” Pandangan gue tetap terkunci ke Nasi Goreng Tapak Api legendaris. Aromanya masih terus memanggil gue, “Joooni….. JOOoonii…...sentuh aku Jonii, aku menginginkanmu..., aku membutuhkanmu… sudah sebulan kau abaikan aku.” “Oh, a..aku segera datang, sayanghh…”
"Kak Joni tahan… jangan menyerah!" Si nomor satu mengangkat Topeng Dalinya sehidung, menyingkap sepasang bibir feminim berwarna pink sakura, terpoles lip balm mengkilap. Kemudian dia melakukan sesuatu yang mengguncang alam semesta.
Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyin
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m