Mengapa tak ada mata pelajaran cinta di kurikulum sekolah?
Perancangnya pasti tak paham akan pentingnya cinta, sehingga malah matematika yang dia masukkan. Atau mungkin dia korban kegagalan cinta. Sehingga bila dia tak bisa bahagia oleh cinta, maka biarlah yang lain tersiksa oleh matematika. Ah, egois sekali!
Hampir selama 18 tahun matematika telah menyengsarakan hidup gue. SD adalah masa terparah. Ada satu buku wajib yang sangat gue benci, judulnya CERDAS TANGKAS. Walau namanya menjanjikan, namun buku itu tak sedikit pun membuat gue tambah cerdas atau pun lebih tangkas. Entah mengapa, bu guru senang memberikan PR dari buku terkutuk itu. Jangan-jangan itu cara dia membalas kebandelan murid-muridnya yang sering berisik di dalam kelas.
Dingin tangan ini bila mengingat masa itu. Setiap pulang sekolah gue selalu merasa sedang berjalan menuju kandang singa. Di plank kandang itu tercantum nama sang raja rimba - Ibunda.
Ibu orangnya tak sabaran kalau mengajar. Setiap bikin PR gue selalu dihadapkan dengan sebuah pertanyaan dilematis, yakni “Sudah mengerti?” Kalau gue perhatikan ini sama dilematisnya bapak ketika ditanya ibu, “Aku gendutan, ya?”
Bila gue jawab, “Tidak!” dalam dua kali kesempatan, pasti telinga gue dicapit dan dipelintir. “Kok gak ngerti, ngerti sih, iiih!” “Awwww!” jerit gue. Namun bila gue jawab, “Mengerti!” tapi tak bisa mengerjakan soal berikut, akibatnya lebih parah. “Tadi katanya mengerti!” “Aw! Aw! Awwww! Ampun, ampun bu, aaaa!” Semakin malam, tangan ibu semakin ringan melayang, meliuk-liuk lincah tanpa beban. Kuping gue jadi merah, panas dan pedas.
Setiap malam pasti gue menyelesaikan PR kematian itu dengan terisak-isak dan ingus berceceran. Soal-soal di buku Cerdas Tangkas itu terlalu tinggi buat otak gue. Gue sampai sengaja meneteskan air mata ke atas buku PR, berharap bu guru melihat jejak penderitaan gue dan berhenti memberikan PR Cerdas Tangkas. Ah, harapan kosong. Keesokannya siksa neraka itu terulang lagi. Oleh karena itulah gue kini trauma dengan matematika.
Jahat sekali orang yang merancang kurikulum pendidikan. Segitu pahitnya kah dia dengan cinta?
Sore hari gue pergi menemui Mang Oja. Hati ini bersemangat campur tegang. Ilmu cinta apa yang akan diturunkan ke gue? Mungkinkah cara rayu-merayu tingkat dasar yang bisa membuat cewek mengeluh malu, “Aaah… Mas Joni, nakal...” Gue jadi senyam-senyum sendiri sampai orang yang berpapasan dengan gue nyeletuk, “Gila...”
Mang Oja tampak sedang sibuk “bekerja” di pos jaga, melayani para asisten rumah tangga yang mengerubunginya seakan sedang ada jumpa fans.
“Ehm, selamat sore, Mang Oja,” sapa gue, agak segan menyela kesibukannya.
“Sore Joni,” balas Mang Oja. “Sebentar ya.” Lalu ia bicara ke mbak-mbak di sekelilingnya, “Maaf ya, Mang Oja ada urusan dulu dengan adik ini. Kalian pulang dulu.”
“Yaaa….” keluh cewek-cewek itu enggan. Mereka bubar dengan mulut manyun. Matanya terpicing ke gue. Tajam, seperti istri sedang melihat pelakor. Di antara mereka bahkan ada yang lewat sambil menabrakkan bahunya ke gue. Sungguh hebat pengaruh guru gue ini.
Setelah semuanya pergi. Gue tersenyum dan menyodorkan sebungkus nasi padang dan es kelapa ijo sebagai bentuk sopan santun seorang murid kepada gurunya. “Wah, mantap betul,” ucap Mang Oja berbinar. Ia menerima dan melahap pemberian gue. Dengan sabar gue menunggu guru cinta kenyang dulu. Takutnya kalau dia lapar, nanti gue cuma disuruh mijit pundaknya saja. Lalu berdalih itu pondasi dari segala ilmu yang lebih tinggi.
“Arrgghh!” Mang Oja bersendawa, kemudian menyeruput es kelapa ijo. Ia menepuk-nepuk perutnya yang membuncit. Lima menit kemudian Mang Oja dengan mata agak mengantuk, menatap gue. Lalu bertanya, “Kamu benar mau belajar ilmu cinta?”
“Tentu, mang,” jawab gue bersemangat. Ini dia pertanyaan pembuka yang gue nanti.
“Ok, kemari.”
Gue mendekat.
Mang Oja melongok ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada orang yang melihat. Kemudian Ia mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Kami merapat. Dia menyerahkan sesuatu itu ke dalam tangan gue. Ia berbisik, “Ini barang bagus. Kalau ada yang nanya, barang ini bukan dari aing.” Kenapa kami jadi seperti dua orang yang sedang bertransaksi narkoba? Gue jadi gugup.
Setelah itu gue periksa benda yang ada di telapak tangan. Sebuah kertas kuning berlipat. Gue buka kertas misterius itu. Di dalamnya ada tulisan aksara aneh, mirip jimat pengendali mayat hidup di film-film Cina lawas.
“Apa ini Mang?
“Jimat pengasih.”
“Hah, jimat?”
“Gue peringatkan, Jon. Jangan kau salah gunakan jimat itu. Jika tidak…”
Mang Oja melotot, bola mata perlahan turun dan melirik anu gue, lalu melompat naik lagi ke atas. Tatapannya seolah mewanti-wanti jangan remehkan peringatan aing, menyesal kau nanti.
“Me..menyalahgunakan bagaimana, mang?”
“Pantangan dari jimat itu adalah, kamu tak boleh hemm hemm dengan cewek yang kamu pikat. Kecuali kalau kamu sudah menikahinya.”
“Hemm hemm?”
“HEMM HEMM!” terang Mang Oja dengan wajahnya lebih ekspresif. Namun gue tetap tak mengerti. Akhirnya Mang Oja selepet burung gue. “Oww… hemm hemm!” Barulah gue paham.
“Efek jimat ini apa, mang?”
“Kamu akan terlihat sangat ganteng di mata cewek yang kamu pikat. Kalau dia berada di dekatmu, hatinya akan berdebar-debar. Ketika pulang, wajahmu selalu terbayang-bayang.”
“Begitu dahsyat kah jimat ini?”
“Hem, begitu mereka sudah kelepek-kelepek, mereka akan minta hemm hemm. Kamu tidak boleh berikan itu. Ini ujian bagi pemegang jimat ini.”
“Mang, saya tak percaya dengan hal-hal beginian.”
“Heh kau pikir aing berbohong? Jika kau tak percaya, tak perlu lagi kau jadi murid. Pergi!” Mang Oja tersinggung.
“Ya… maaf tapi…”
“Sudah, tak usah banyak cakap, aing tunjukkan padamu. Lihat ini jimat Mang Oja,” katanya mengeluarkan kertas kuning yang sama. Lalu dia wes... woss... wes… di depan gue.
Tak berapa lama seorang cewek berjalan mendekati pos jaga.
“Kau lihat ini, aing tembak dia, pasti langsung dapat.”
Gue intip baik-baik aksi guru gue dari pos jaga. Mang Oja mencegat langkah cewek itu. Awalnya target terlihat waspada dan curiga. Alisnya mengernyit. Tapi Mang Oja dengan rileks mengajaknya bercakap-cakap sebentar. Eh, lama-lama cewek itu mulai tertawa. Perlahan tapi pasti, pandangannya berubah jadi seperti wanita yang sedang jatuh cinta, lalu menunduk malu. Mang Oja meraih tangan cewek itu. Dia menunjuk cewek itu, kemudian menepuk dadanya sendiri. Cewek itu tersenyum mengangguk-angguk. Mang Oja sumringah, setelah itu ia melirik ke gue dan kepalanya memberi kode, “Kau lihat!” Akhirnya mereka berdua berpisah sambil melempar kiss-bye.
Mang Oja kembali, dan bertanya kepada gue. “Gimana sudah percaya?”
Gue mengangguk-angguk sampai terbungkuk-bungkuk, terkagum-kagum. “Guru sungguh luar biasa!”
Setelah Mang Oja mengajarkan mantra pengaktifan jimat itu gue pulang ke rumah.
Di kamar, gue telentang di tempat tidur, menatap langit-langit dengan dada berdebar. Sekarang gue punya super power. Kalau gue bisa memilih cewek mana pun jadi pacar, siapakah yang akan gue pilih?
Bayangan cewek-cewek cantik di sekolah muncul silih berganti di langit-langit. Ada yang sekelas, ada adik kelas, hemmm… yang mana? Hingga muncul satu bayangan cewek yang tak bisa lagi tergeser. Gue melompat kaget. Inikah targetnya? “Ervinah,” gumam gue. Jantung gue deg degan. Mengapa tidak?
Ervinah, siapa yang tak kenal dia. Cewek idola cowok-cowok tiga angkatan. Tapi semuanya hanya mampu mengagumi dari jauh, mencintai tapi tak bisa memiliki. Dia itu di luar gapaian. Hanya cowok bosan hidup yang akan mencoba mendekatinya. Halangannya begitu besar, ada jurang perbedaan status yang lebar.
Tapi gue punya jimat pengasih ini. Siapa sih yang tak bisa gue taklukkan?
Gue menutup wajah gue dengan bantal, kesenangan. Malu campur gembira gue akan segera punya pacar dan ceweknya bukan kaleng-kaleng.
Gue putuskan untuk menembak dia besok hari di depan orang banyak. Gue akan bikin aksi ini heboh, ekstravaganza. Momen yang akan sangat berkesan untuk dikenang. Nama gue akan diingat oleh anak tiga angkatan sebagai pria terdahsyat. Gue tak sabar menunggu esok hari.
****
Hari telah berganti.
Pagi buta, gue terbangun, langsung ke kamar mandi untuk grooming diri sebaik-baiknya. Bulu hidung, bulu kumis, bulu janggut, bulu ketek bersihkan semuanya, Sabunan sampai tiga kali. Shampo setengah botol habis.
Kelar mandi dengan rambut masih basah dan berbalut handuk, gue berdiri di depan kaca satu badan di kamar.
Simsalabim! Gue menarik lepas handuk penutup itu ke udara. Cringggg! Tampaklah di pantulan kaca sebuah mahakarya. Pundak lebar mendominasi, lengan bersayap siap merajai langit, dada bidang seluas sawah membentang, dan perut papan cuci. Tampan nian kau bujang.
Seperti kata Kaisar Yulius, Veni Vidi Vici, gue datang, gue lihat, gue menang. Tunggulah Ervinah, hari ini engkau akan menjadi daerah taklukan gue.
Gue merasa sangat percaya diri habis.
****
Veni.Hari Senin. Sekolah mengadakan upacara bendera. Para murid dari SD hingga SMU berbaris di lapangan. Dengan sukarela gue berdiri di barisan paling depan, posisi yang diyakini anak-anak bisa bawa sial.
Vidi.Tapi gue sengaja berdiri di situ supaya bisa dengan bebas memandang Ervinah yang berdiri berseberangan dengan kaum murid, yakni di barisan para guru.
Ibu Ervinah adalah guru seni budaya. Dia guru paling muda di sekolah ini, usianya 22 tahun. Penampilannya cantik, menarik, menawan hati dengan jilbab kuning, batik biru dan rok hitam.
Menjelang penutupan, gue bersiap-siap membaca mantra jimat pengasih.
Ketika semua hendak bubaran, gue keluar dari barisan, berlari melewati lapangan dan mengambil mic dari podium pembina upacara. Di microphone gue berkata, “Kepada Ibu Ervinah, boleh saya ngomong sesuatu.” Suara gue terdengar jelas dari pengeras suara.
Sontak seluruh lapisan guru dan murid, hingga burung di pepohonan melompat kaget. Ada apa gerangan.
Gue dengan penuh percaya diri berjalan menghampiri Ibu Ervinah yang berdiri di sekitar para guru yang baru saja hendak membubarkan diri.
Semua mata, dari anak SD sampai kepala sekolah terkunci ke arah gue. Bu Ervinah menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan gue tidak salah orang.
Mata kami terkunci berdua.
Vici.Dengan memakai mic dan suara lantang gue berkata, “Bu Ervinah, maukah engkau menjadi pacarku?”
Seketika guru-guru melongo, murid-murid tenganga, petugas kebersihan terpeleset. Jika bukan karena kehendak Allah, kepala sekolah pasti sudah mangkat. Satu lapangan langsung hening. Hingga suara kentut sunyi pun terdengar.
Bu Ervinah menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat orang-orang sekelilingnya. Wajahnya memerah. Ia tertunduk malu. Gue yakin efek dari jimat itu sudah mulai bekerja.
Lalu dia menjawab…
Karena dia tidak menggunakan mic, dan mulutnya tertutup masker. Jawabannya tidak terdengar oleh yang lain. Gue satu-satunya yang saat itu berada di posisi paling dekat yang bisa mendengar.
Satu sekolah langsung heboh bertanya-tanya, “Apa jawabannya? Apa jawabannya? Bu Ervinah jawab apa????” Mereka semua “mati” penasaran.
Sedetik setelah Bu Ervinah memberikan jawabannya. Nafas gue terasa berat, seberat nafas pasien Covid-19 fase ketiga. Ada sekitar 2 menit gue berdiri memroses ucapannya, sebelum gue berbalik menghadap ke lautan siswa-siswi. Gue menatap mereka, mereka menatap gue. Kami saling bertatapan seperti penagih pinjol dan nasabah tertagih. Semua terdiam. Hening yang kikuk. Lalu gue tersenyum berseri. Dua tangan terangkat ke udara, kemudian menghentak ke samping pinggang, seraya berteriak, “YES!” Seketika itu juga semua anak di lapangan berteriak heboh, melompat-lompat. “WUOOOOOOHHH! WUOOOOOH!”Gue berlari ke arah mereka dengan lengan terbuka. Demikian juga mereka berlari menyambut gue bak striker yang baru saja membobol gawang lawan dan memenangkan liga kampiun. Badan gue mereka angkat ke atas kepala m
"Apa-apaan ini? Jangan tidak sopan, ya! Buka topeng kalian atau kalian akan dikeluarkan seperti Joni !” perintah bapak kepsek seraya menggebrak meja. Satu orang yang badannya paling kurus melompat sambil memegang dada kirinya. Bisa jadinya kurus badannya, karena kurang gizi, hingga jantungnya lemah saat ditakuti. Hampir saja ia melepas topengnya. Untung teman-temannya sigap mencegahnya. “Guoblok!”Satu-satunya cewek di antara mereka yang sepertinya ketua kelompok bertopeng ini berkata, “Selama kita mengenakan topeng ini, bapak kepsek tidak akan mengenali kita, dan dia tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sekolah.”“Siapa sebenarnya kalian!?”Si ketua dengan cepat menjawab, "Kami adalah…!" tapi kemudian terdiam sejenak, lalu mundur seraya berbisik ke teman-temannya yang lain, “Psstt… kita ini siapa?” Kelimanya saling berpandang. Si kurus menjawab, “Nama gue Do…” “SShhht
Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi. Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga.Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik h
Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyin
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m