Sedetik setelah Bu Ervinah memberikan jawabannya. Nafas gue terasa berat, seberat nafas pasien Covid-19 fase ketiga. Ada sekitar 2 menit gue berdiri memroses ucapannya, sebelum gue berbalik menghadap ke lautan siswa-siswi. Gue menatap mereka, mereka menatap gue. Kami saling bertatapan seperti penagih pinjol dan nasabah tertagih. Semua terdiam. Hening yang kikuk. Lalu gue tersenyum berseri. Dua tangan terangkat ke udara, kemudian menghentak ke samping pinggang, seraya berteriak, “YES!” Seketika itu juga semua anak di lapangan berteriak heboh, melompat-lompat. “WUOOOOOOHHH! WUOOOOOH!”
Gue berlari ke arah mereka dengan lengan terbuka. Demikian juga mereka berlari menyambut gue bak striker yang baru saja membobol gawang lawan dan memenangkan liga kampiun. Badan gue mereka angkat ke atas kepala mereka. Tangan-tangan di bawah mengarak gue ke sana-kemari. “Joni! Joni!” Nama itu menggema di udara. Gue melejit menjadi pria terdahsyat, sebagai seorang siswa yang berhasil merebut hati guru tercantik di sekolah.
Hanya satu hal yang mereka tak tahu…….., yaitu jawaban Bu Ervinah yang sesungguhnya.
Hari itu.... setelah anak-anak kembali ke kelas, gue mengendap-endap, menyelinap pulang ke rumah. Gue bolos. Jujur, gue gak tahu apakah gue bisa kembali ke sekolah itu lagi.
Di kamar di depan laptop gue mewek. Jari-jari gue mengetik dengan cepat, inspirasi mengalir sederas sungai kala banjir, namun bukan tentang mahadaya cinta, lebih tepatnya akan kebodohan cinta, sakitnya cinta, dan malunya cinta. Ohohohoho…. “Ya Allah, begini amat rasanya.”
Sesungguhnya inilah yang terjadi. Tadi siang setelah gue tembak, Bu Ervinah menunduk malu, tapi bukan karena senang atau hatinya berdebar-debar, melainkan lebih kepada marah dan merasa telah dipermalukan di depan umum. Tatapannya begitu dingin di bawah nol, terasa menusuk hingga ke sumsum tulang belakang. Beliau bilang, “Dasar gendut, ibu benci kamu!” Mental gue terguncang. Akh! Gue tak pernah menyangka, kalau drama tragedi bisa dirangkum dalam lima kata.
Tiba-tiba punggung gue merasakan tekanan sejuta tatapan. Gue menoleh ke belakang. Tangan gue dingin dan berkeringat. Kalau sampai mereka tahu jawaban Bu Ervinah, bagaimana gue bisa hidup setelah ini? Detik itu juga otak gue berkata, “Berakting lah! Bersandiwara lah seperti topeng monyet bila perlu.” Melihat tak ada jalan keluar lain, gue berpura-pura seolah Bu Ervinah menerima cinta gue. Gue pasang ekspresi bahagia, dan berteriak YES! untuk menyembunyikan malu.
Ah, paling sebelum jam pulang sekolah, anak-anak akan tahu kebenarannya. Bangkai tak bisa lama-lama ditutupi. Nama gue memang akan diingat, tidak hanya oleh tiga angkatan, tapi juga sampai angkatan ke bawah-bawah. Hanya saja bukan sebagai jawara cinta, melainkan sebagai seorang pembohong dan pecundang, cowok tergoblok sepanjang masa.
Ah, apakah jabatan menteri pendidikan sedang lowong? Rasanya gue ingin melamar, supaya bisa menambah jumlah jam pelajaran matematika buat kalian.
Efek kata-kata Bu Ervinah bagai mantra sakti penggugur mantra pengasih. Tidak, tidak bahkan lebih berat dari itu, mampu mengubah pangeran tampan menjadi seekor katak. Tidak, lebih buruk dari itu, seekor babi.
Gue tarik sebuah timbangan di depan kaca. Jarumnya bergerak melesat melebihi ekspektasi, tahu-tahu sudah menunjuk angka 110. Gue tatap kaca, di saat itu juga self image positif gue yang ganteng bak artis Korea, hancur. Tak ada lagi mahakarya Michelangelo. Yang ada berubah menjadi siluman babi, Cu Pat Kai. Jangan-jangan gue adalah Laksamana Tian Feng yang dihukum kaisar langit untuk menjalani 1000 reinkarnasi sebagai siluman dan dalam setiap kehidupannya harus merasakan penderitaan cinta.
“Ah, dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir…”
Mungkin karena suratan takdir, maka jimat pun tak mampu menolong. Seperti Cu Pat Kay yang tak bisa berbuat apa-apa saat Chang E, dewi bulan yang ditaksirnya, jatuh dari bulan ke pelukan laki-laki lain. Berapa kali pun ia memutar Roda Waktu, ia tidak bisa mengubah nasib. Atau jangan-jangan Mang Oja berbohong sama gue. Jimat kuning itu tak lebih hanya kertas biasa. Entahlah.
Buntut dari insiden itu pihak sekolah menelpon ke rumah. Gegerlah pecinan, eh orang tua gue. Alhasil nyokap mendobrak pintu kamar, sambil membawa kemoceng bulu ayam dan mengejar-ngejar gue. “Anak durhaka! Anak tak tahu diri!” Melompat lah gua mencari selamat, menghindar ke kiri dan ke kanan, menempel, memanjat tembok bagai cicak dikejar emak-emak. “Jangan menghindaaaar!” teriak ibu gemas.
Nasi sudah menjadi bubur. Aib sudah tercoreng. Gilotin telah diasah, menanti leher terdakwa.
Gue dan ortu diminta menghadap kepala sekolah keesokan harinya. Jikalau seorang murid harus pergi menemui orang nomor satu di sekolah itu bersama ortu, bisa kebayang beratnya permasalahan ini.
Di sekolah, ibu gue nangis-nangis persis kala di pengadilan agama. Bapak berusaha menenangkannya. Kalian tidak tahu rasanya pergi ke sekolah hari itu, rasanya lebih menakutkan daripada pulang ke kandang singa.
Sejak dari gerbang sekolah waktu bergerak sangat lambat. Semua orang memandang ke arah gue dan mencibir. Gue menengok kiri dan kanan, berharap ada pejabat korup berjaket oranye KPK di sekitar gue. Ternyata tidak ada. Semua itu ditujukan ke gue.
Sebuah telur mentah melayang dan pecah di belakang kepala. Prak! Rambut gue jadi lengket dan amis. Mau marah? Ah sudahlah ini hukuman yang pantas buat gue. Gue telah berbohong ke mereka. Bersihkan saja ke toilet. Setidak telur masih bisa dibersihkan, tidak seperti nama.
Sesudah itu, kami lanjut menuju ke ruangan kepala sekolah. Di dalam ruangan itu telah menanti bapak kepala sekolah dan Ibu Ervinah. Wanita itu duduk dengan tegak, bahasa tubuhnya terkontrol. Dengan baju seragam, jilbab kuning dan blouse batik biru, membuatnya seperti merak yang anggun. Ia melirik kedatangan gue dari sudut mata, tak sudi memandang.
Bapak berbisik kepada ibu, “Itu guru yang ditembak Joni?”
“Sepertinya,” jawab ibu.
“Wah, memang cantik sih.”
Komentar bapak membuat ibu cemberut. Sepertinya dia panas. “Jaga matamu!”
Selanjutnya ibu menghampiri Bu Ervinah dengan wajah tak enak hati dan berkata, "Ibu Ervinah, ya? Aduuuh maafkan lah anak saya, maafkan lah dia. Dia memang kurang ajar, anak tidak tahu diri. Suka berbuat yang aneh-aneh. Kalau bisa mau saya jual saja anak itu. Keterlaluan memang dia."
“Joni, minta maaf kepada Bu Ervinah!” perintah bapak.
Gue menurut, menghampiri Bu Ervinah dan menjulurkan tangan gue terbungkuk-bungkuk, “Bu, maaf…” Tapi tangan gue tak digubrisnya. Gue menengok ke bapak ibu. Mereka hanya menghela nafas panjang.
“Silahkan duduk,” kata bapak kepala sekolah.
Di ruangan itu gua habis disidang oleh bapak kepala sekolah mengenai sopan santun, etika, cara bersikap, menghormati guru dan sebagainya. Ditambah Bu Ervinah yang juga menumpahkan uneg-unegnya (tapi ia tetap cantik walau lagi marah). Gue gunakan jurus membantu dan Telinga Tai Chi. Namun kali ini kedua ilmu ini tak kuat menghadapi gempuran sekuat Tsunami. Apalagi ketika bapak kepala sekolah melancarkan satu serangan mematikan, yaitu, “Jadi demi menjaga marwah sekolah, Ibu Ervinah, dan staf guru dengan sangat berat hati, bapak harus mengeluarkanmu dari sekolah.”
Gue lemas. Kenapa hukumannya seperti siswa pengguna narkoba?
Ibu gue histeris mendengar vonis sidang itu. Ia menjerit ke bapak,"Pak, anak kita, pak!" ia mengguncang-guncang tubuh bapak, “Lakukan sesuatu, pak!”
Bapak menjawab, "Mau bagaimana lagi?"
Ibu melompat dari bangku, bergegas ke sebelah bapak kepala sekolah, gantian mengguncangnya. "Bapak kepala sekolah, jangan keluarkan anak saya," mohon ibu, “Beri dia kesempatan.”
"Maaf, keputusan sudah diambil," jawabnya dengan suara bergetar.
Ibu beralih ke Bu Ervinah, dan giliran ibu mengguncang-guncangnya, "Saya yang salah sebagai orang tua, tak bisa mendidik anak. Maafkan anak saya… Hukum saya saja…, hukum saya saja, Bu Ervinah."
Ibu Ervinah diam saja, ia tampak bingung juga menghadapi reaksi ibu.
Bapak segera berdiri, menghampiri ibu, berusaha menenangkannya dan mengajaknya kembali duduk. "Sudah, sudah, jangan bikin malu."
“Anak kita, pak….”
“Sudah….”
Setelah ibu agak tenang, bapak kepala sekolah kembali bicara. “Baiklah terhitung mulai hari ini, Joni bukan lagi siswa sekolah ini."
Gue pasrah mendengar keputusan itu.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dari arah pintu, "Kami menolak keputusan bapak!"
Lima anak berseragam SMA masuk ke dalam ruangan mengenakan Topeng Dali. Sebuah topeng yang berciri khas kumis panjang melengkung ke atas. Di pergelangan lengan kiri mereka terikat kain merah.
Salvador Dali, pelukis legendaris dari Spanyol. Seniman yang boleh disejajarkan selevel Pablo Picasso, seorang pionir bergaya surealis. Aliran lukisannya menggambarkan pemberontakan kepada definisi seni yang baku pada masanya. Oleh karenanya ia sering dianggap melambangkan perlawanan.
"Joni adalah seorang pahlawan. Kami ingin dia tetap berada di sekolah ini," kata salah satu dari mereka yang mengenakan rok, sementara empat lainnya memakai celana panjang.
Siapa kelima murid ini?
"Apa-apaan ini? Jangan tidak sopan, ya! Buka topeng kalian atau kalian akan dikeluarkan seperti Joni !” perintah bapak kepsek seraya menggebrak meja. Satu orang yang badannya paling kurus melompat sambil memegang dada kirinya. Bisa jadinya kurus badannya, karena kurang gizi, hingga jantungnya lemah saat ditakuti. Hampir saja ia melepas topengnya. Untung teman-temannya sigap mencegahnya. “Guoblok!”Satu-satunya cewek di antara mereka yang sepertinya ketua kelompok bertopeng ini berkata, “Selama kita mengenakan topeng ini, bapak kepsek tidak akan mengenali kita, dan dia tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sekolah.”“Siapa sebenarnya kalian!?”Si ketua dengan cepat menjawab, "Kami adalah…!" tapi kemudian terdiam sejenak, lalu mundur seraya berbisik ke teman-temannya yang lain, “Psstt… kita ini siapa?” Kelimanya saling berpandang. Si kurus menjawab, “Nama gue Do…” “SShhht
Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi. Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga.Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik h
Bibir nomor satu menekan rapat bibir gue yang masih perjaka dengan lembut. Badan gue langsung semriwing dari ujung jempol naik ke akar rambut, suhu badan meningkat, jantung berdebar, hidung kembang-kempis dan telapak tangan berkeringat. Roh gue ketarik melayang-layang ke bulan, berdansa waltz dengan si nomor satu di antara gemerlapnya bintang. Oh baby, ini kah rasanya ciuman pertamaaah….. Sekedip mata seluruh nafsu dan hasrat gue untuk makan sirna. Gue hanya ingin tenggelam di lautan as… anjing ngaceng gue.Sayangnya, ciuman itu tak berlangsung lama. Ah, nanggung. Si nomor satu melepaskan bibirnya yang memabukkan itu. Pop! begitu bunyin
Tahap pertama, selesaikan dulu urusan perut. Luncurkan bom nuklir Hiroshima Nagasaki! BROOOOT!!! BUM! Lantai toilet langsung bergoyang ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, tak beraturan. Gue sampai kehilangan keseimbangan. Eh, kenapa nih? Di luar terdengar sayup-sayup suara murid-murid cewek berteriak. "Aaaaaaa!" dan suara guru-guru memberi instruksi, "Gempa bumi! Keluar, keluar semua dari kelas!" Serpihan debu turun dari langit-langit. Lampu berkedap-kedip disko. Astaga, sebegitu dahsyatnya kah boker gue? Ini kebetulan, pasti cuma kebetulan.Buru-buru gue cebok pakai semprotan air. Tidak lucu bila nanti gue muncul di koran, “Ditemukan Seorang Siswa Tertimbun Reruntuhan Posisi Sedang Buang Air Besar.”
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m