"Halo semuanya!"Tiba-tiba saja terdengar suara dari luar, kami semua menoleh, aku terkejut, Mas Aidan tak kalah terkejut dariku. "Hana!" Seru aku dan Mas Aidan bersamaan.Hana berjalan mendekat ke arah kami. Hana tersenyum sumringah saat sudah sampai.Ah mau apa Wanita ini? Aku malas melihatnya, ku alihkan pandanganku ke arah lain."Apa kau tidak punya pekerjaan lain, selain datang kemari Hana,"Aku menoleh saat Mas Aidan berkata begitu. Kulihat Hana terkejut."Kau tidak menyukai kehadiranku Aidan?""Bukan begitu, kau terlalu sering kemari, aku menjadi risih, takut Namira salah paham juga," Mas Aidan merapatkan duduknya padaku, lalu merengkuh pundakku, tak kusia-siakan aku sandarkan kepalaku di bahu Mas Aidan."Mas.. Aku ngidam," rengekku manja, "Mau apa sayang, nanti aku belikan," ucap Mas Aidan dengan mengelus rambutku. Hana terlihat kesal melihatnya, saat mata kami saling beradu, sengaja ku kedipkan sebelah mata, agar ia sadar bahwa kami saling mencintai.Hana menghembuskan na
Mas Fadil tak pernah berubah."Ada apa ini?"Suara Bariton di pintu membuatku dan Mas Fadil menoleh. "A-ayah," Aku terkejut melihat kedatangan ayah yang tiba-tiba, aku langsung menarik tanganku yang digenggam oleh Mas Fadil."Tanganmu kenapa Mira?""Ta-tanganku teriris pisau, Mas Fa-fadil hanya membantu mengobatinya," Aku tergagap. "Oh begitu, syukurlah jika sudah diobati, semoga tidak infeksi," balas ayah. "Iya ayah," Aku mengangguk. "Ayah mau apa?" tanyaku lagi. "Oh tidak, Ayah hanya kebetulan lewat saja, dan tak sengaja melihat kalian berdua, itu saja."Aku bernafas lega untung Ayah tidak berpikiran macam-macam tentangku dan Mas Fadil. "Aku sudah menaruh obat P3K ke dalam tempatnya, lain kali hati-hati jangan sampai terulang lagi untung baru jarimu, bukan... Hatimu,"Aku terperangah mendengar kalimat terakhirnya, Mas Fadil kemudian pergi meninggalkanku sendiri.Setelah selesai memasak aku kembali ke kamar menemui Mas Aidan, sedang apa dia di dalam sana.Ku buka pintu perlahan
POV AuthorPagi hari, di meja makan semua orang berkumpul ada Hamid, Arini, Fadil, Aidan dan Namira.Aidan begitu perhatian terhadap Namira, dia menyuapi Namira dengan penuh kasih sayang, menawari Namira semua makanan yang ada di meja. Sesekali Aidan mengelus pipi Namira, saat biji nasi menempel.Melihat hal itu hati Fadil menjadi meradang. Fadil meletakkan sendok di atas meja dengan keras.BRAK!"Aku kenyang!" tukasnya.Semua mata memandang ke arahnya."Loh nak, tumben kamu sarapannya gak habis,""Aku kenyang ma,"Fadil berjalan cepat menuju luar rumah.Melihat hal itu Namira menjadi gelisah."Sayang ayo buka mulutmu,""Tidak Mas, aku kenyang,""Hem baiklah, ayo aku antar ke kamar,""Em, iya Mas," Namira mengangguk. "Aidan, kamu tidak menyelesaikan sarapanmu dulu," cetus Hamid."Tidak ayah, aku kenyang, aku akan mengantar Namira dulu, sebelum berangkat ke kantor." jelas Aidan. "Aneh, kenapa semua orang mendadak kenyang," cetus Arini. "Sudahlah ayo kita selesaikan sarapan," tukas H
["Setelah membaca surat itu, aku akan memberikannya kembali pada Mas Fadil dan memperingatkannya!, aku tidak bisa terus begini," batin Namira.]Di taman, Fadil merenung seorang diri, kemudian seseorang datang dan duduk di sebelahnya."Aku sudah menawari bantuan tapi kau menolaknya. Lihat tidak mudah untuk mendapatkan Namira, bukan?""Lalu apa maumu?""Aku mau kita bekerja sama, aku rasa itu lebih mudah untuk menghancurkan rumah tangga mereka, bagaimana?"Fadil berdiri Ia enggan untuk mendengarkan ocehan Hana."Hei kau mau kemana?""Aku mau pergi, malas meladenimu,""Dasar pria sombong, akan aku pastikan suatu saat kau pasti akan meminta bantuanku itu."Hana menghentakkan kaki di tanah.***Namira berjalan sambil membaca isi dalam surat yang di berikan Fadil, isinya hanya tentang rindu yang tertahan karena jarak dan waktu, meniti hari hanya dengan menggenggam sebuah janji. Merindukan Namira yang tak ada habisnya.Di lembar kedua-pun masih sama isinya hanyalah puisi cinta, dengan kalima
Dari ujung koridor seorang perawat sedang mendorong brangkar, di atasnya ada seseorang yang sedang mengerang kesakitan. Darah bercucuran kemana-mana.Saat brangkar itu melintasi mereka, Namira terkejut melihat siapa yang sedang berbaring."Ayah!""Mas, Ayah!" Namira menyenggol lengan Aidan. Aidan-pun terbelalak melihat Ayah nya terbaring dengan darah bercucuran."Ayah!" serunya, Aidan lekas berdiri."Ayah kenapa, kenapa bisa begini?""Akhh!" Hamid mengerang kesakitan."Permisi Pak, tolong biarkan kami menangani pasien terlebih dahulu," ucap seorang perawat."Baiklah," Aidan menggeser tubuhnya dan memberi jalan, ia begitu khawatir dengan kondisi Hamid-ayahnya.Melihat itu Namira mengelus lengan Aidan untuk mengenangkan."Ayah pasti baik-baik saja Mas, sebaiknya kita kesana, ayo,"Aidan mengangguk, namun tak lama kemudian Seorang perawat Memanggil nama Namira."Dengan Nyonya Namira..."Namira menoleh, kemudian mendesah pelan."Kau kesana saja dulu Mas, nanti setelah ini aku menyusul.""
Pukul 00.30 dini hari, Namira mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Usia kehamilan yang memasuki trimester kedua. Membuat dirinya sering merasa lapar.Namira tak tega membangunkan Aidan tengah malam, Aidan sudah terlelap setelah bekerja seharian, dia pasti merasa lelah.Namira berjalan mengendap-endap saat semua orang sedang tertidur.Disana masih ada Hamid dan Arini yang masih menginap, Aidan tak mengizinkan Ayahnya pergi sebelum kondisinya pulih.Sesampai di dapur Namira kebingungan hendak makan apa, jika dirinya masak tengah malam begini, pasti akan membangunkan seisi rumah karena peraduan alat masak.Namira mendesah pelan, kemudian berbalik, BUK! Namira tak sengaja menabrak dada bidang seseorang, seketika netranya terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya kini."Mas..." "Aku mencarimu karena tak ada di sebelah ranjang, sedang apa kamu disini, Hem?" "A-aku.." Namira terlihat gugup sekali. "Kenapa sayang?" Aidan menatap Namira lekat. "Aku lapar," lirih Namira. Ai
Namira mulai panik. Kemudian tak berselang lama terdengar suara bedebam yang memekakkan telinga. "MAS AIDAAAAAN!" teriak Namira Histeris.Teriakan itu terdengar oleh seisi rumah, mereka bergegas menghampiri Namira.Hamid dan Arini menghampiri Namira yang sedang duduk di ranjang.Namira terlihat kacau dan frustrasi."Namira... Ada apa? Apa yang terjadi?"Namira bergegas menghampiri Hamid."Ayah, ayah Mas Aidan, ayah... Dia, dia.." ucap Namira menggebu."Mira.. Tenangkan dirimu bicara yang jelas, Ayah tidak mengerti,""Mas Aidan ayah... Ta-tdi aku menelponnya, dia... Dia.. Remnya blong ayah.. Kumohon selamatkan dia ayah, ayo kita susul dia." Ucap Namira sambil terisak, air matanya sudah membasahi pipi."Apa! Aidan mengalami rem blong,""Baiklah kau tenangkan dirimu, ayah akan menghubungi seseorang untuk melacak keberadaan Aidan."Drrtt Drrtt Drttt.Ponsel Namira berbunyi tertulis nama di layar 'Suamiku' itu artinya adalah Aidan yang memanggil.Namira mengusap air matanya kemudian menj
Namun tangan kekar itu mendorong Namira, tatapannya menelisik menatap tidak suka ke arahnya."Kamu siapa?" tanya Aidan. Membuat semua yang berada disana terkejut. "Aidan, dia istrimu, apa kau lupa dengan istrimu sendiri?" ujar Hamid. "Bentar Mas, Aku panggil dokter dulu," tukas Arini.Mata Namira mengerjap, dia melihat tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Aidan-suaminya.Namira tak berani mendekat, tatapan Aidan sperti mengawasinya.Kebahagiaan dan kesedihan menjadi satu, senang karena suaminya sudah sadar, dan sedih karena tidak mengenalinya."Kamu siapa?" pertanyaan yang sama, namun mampu membuat hati Namira berdenyut."Aku istrimu Mas, dan saat ini sedang mengandung anakmu," Namira berucap lirih."Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Namira menatap nanar ke arah suaminya."Istri? Kapan kita menikah?" tanya Aidan tatapannya tajam menatap Namira."Jangan garang! Aku bahkan belum menikah, dan kau malah mengaku-ngaku hamil anakku!" sarkas Aidan.Melihat itu Hana menyunggingk