POV AuthorPagi hari, di meja makan semua orang berkumpul ada Hamid, Arini, Fadil, Aidan dan Namira.Aidan begitu perhatian terhadap Namira, dia menyuapi Namira dengan penuh kasih sayang, menawari Namira semua makanan yang ada di meja. Sesekali Aidan mengelus pipi Namira, saat biji nasi menempel.Melihat hal itu hati Fadil menjadi meradang. Fadil meletakkan sendok di atas meja dengan keras.BRAK!"Aku kenyang!" tukasnya.Semua mata memandang ke arahnya."Loh nak, tumben kamu sarapannya gak habis,""Aku kenyang ma,"Fadil berjalan cepat menuju luar rumah.Melihat hal itu Namira menjadi gelisah."Sayang ayo buka mulutmu,""Tidak Mas, aku kenyang,""Hem baiklah, ayo aku antar ke kamar,""Em, iya Mas," Namira mengangguk. "Aidan, kamu tidak menyelesaikan sarapanmu dulu," cetus Hamid."Tidak ayah, aku kenyang, aku akan mengantar Namira dulu, sebelum berangkat ke kantor." jelas Aidan. "Aneh, kenapa semua orang mendadak kenyang," cetus Arini. "Sudahlah ayo kita selesaikan sarapan," tukas H
["Setelah membaca surat itu, aku akan memberikannya kembali pada Mas Fadil dan memperingatkannya!, aku tidak bisa terus begini," batin Namira.]Di taman, Fadil merenung seorang diri, kemudian seseorang datang dan duduk di sebelahnya."Aku sudah menawari bantuan tapi kau menolaknya. Lihat tidak mudah untuk mendapatkan Namira, bukan?""Lalu apa maumu?""Aku mau kita bekerja sama, aku rasa itu lebih mudah untuk menghancurkan rumah tangga mereka, bagaimana?"Fadil berdiri Ia enggan untuk mendengarkan ocehan Hana."Hei kau mau kemana?""Aku mau pergi, malas meladenimu,""Dasar pria sombong, akan aku pastikan suatu saat kau pasti akan meminta bantuanku itu."Hana menghentakkan kaki di tanah.***Namira berjalan sambil membaca isi dalam surat yang di berikan Fadil, isinya hanya tentang rindu yang tertahan karena jarak dan waktu, meniti hari hanya dengan menggenggam sebuah janji. Merindukan Namira yang tak ada habisnya.Di lembar kedua-pun masih sama isinya hanyalah puisi cinta, dengan kalima
Dari ujung koridor seorang perawat sedang mendorong brangkar, di atasnya ada seseorang yang sedang mengerang kesakitan. Darah bercucuran kemana-mana.Saat brangkar itu melintasi mereka, Namira terkejut melihat siapa yang sedang berbaring."Ayah!""Mas, Ayah!" Namira menyenggol lengan Aidan. Aidan-pun terbelalak melihat Ayah nya terbaring dengan darah bercucuran."Ayah!" serunya, Aidan lekas berdiri."Ayah kenapa, kenapa bisa begini?""Akhh!" Hamid mengerang kesakitan."Permisi Pak, tolong biarkan kami menangani pasien terlebih dahulu," ucap seorang perawat."Baiklah," Aidan menggeser tubuhnya dan memberi jalan, ia begitu khawatir dengan kondisi Hamid-ayahnya.Melihat itu Namira mengelus lengan Aidan untuk mengenangkan."Ayah pasti baik-baik saja Mas, sebaiknya kita kesana, ayo,"Aidan mengangguk, namun tak lama kemudian Seorang perawat Memanggil nama Namira."Dengan Nyonya Namira..."Namira menoleh, kemudian mendesah pelan."Kau kesana saja dulu Mas, nanti setelah ini aku menyusul.""
Pukul 00.30 dini hari, Namira mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Usia kehamilan yang memasuki trimester kedua. Membuat dirinya sering merasa lapar.Namira tak tega membangunkan Aidan tengah malam, Aidan sudah terlelap setelah bekerja seharian, dia pasti merasa lelah.Namira berjalan mengendap-endap saat semua orang sedang tertidur.Disana masih ada Hamid dan Arini yang masih menginap, Aidan tak mengizinkan Ayahnya pergi sebelum kondisinya pulih.Sesampai di dapur Namira kebingungan hendak makan apa, jika dirinya masak tengah malam begini, pasti akan membangunkan seisi rumah karena peraduan alat masak.Namira mendesah pelan, kemudian berbalik, BUK! Namira tak sengaja menabrak dada bidang seseorang, seketika netranya terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya kini."Mas..." "Aku mencarimu karena tak ada di sebelah ranjang, sedang apa kamu disini, Hem?" "A-aku.." Namira terlihat gugup sekali. "Kenapa sayang?" Aidan menatap Namira lekat. "Aku lapar," lirih Namira. Ai
Namira mulai panik. Kemudian tak berselang lama terdengar suara bedebam yang memekakkan telinga. "MAS AIDAAAAAN!" teriak Namira Histeris.Teriakan itu terdengar oleh seisi rumah, mereka bergegas menghampiri Namira.Hamid dan Arini menghampiri Namira yang sedang duduk di ranjang.Namira terlihat kacau dan frustrasi."Namira... Ada apa? Apa yang terjadi?"Namira bergegas menghampiri Hamid."Ayah, ayah Mas Aidan, ayah... Dia, dia.." ucap Namira menggebu."Mira.. Tenangkan dirimu bicara yang jelas, Ayah tidak mengerti,""Mas Aidan ayah... Ta-tdi aku menelponnya, dia... Dia.. Remnya blong ayah.. Kumohon selamatkan dia ayah, ayo kita susul dia." Ucap Namira sambil terisak, air matanya sudah membasahi pipi."Apa! Aidan mengalami rem blong,""Baiklah kau tenangkan dirimu, ayah akan menghubungi seseorang untuk melacak keberadaan Aidan."Drrtt Drrtt Drttt.Ponsel Namira berbunyi tertulis nama di layar 'Suamiku' itu artinya adalah Aidan yang memanggil.Namira mengusap air matanya kemudian menj
Namun tangan kekar itu mendorong Namira, tatapannya menelisik menatap tidak suka ke arahnya."Kamu siapa?" tanya Aidan. Membuat semua yang berada disana terkejut. "Aidan, dia istrimu, apa kau lupa dengan istrimu sendiri?" ujar Hamid. "Bentar Mas, Aku panggil dokter dulu," tukas Arini.Mata Namira mengerjap, dia melihat tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Aidan-suaminya.Namira tak berani mendekat, tatapan Aidan sperti mengawasinya.Kebahagiaan dan kesedihan menjadi satu, senang karena suaminya sudah sadar, dan sedih karena tidak mengenalinya."Kamu siapa?" pertanyaan yang sama, namun mampu membuat hati Namira berdenyut."Aku istrimu Mas, dan saat ini sedang mengandung anakmu," Namira berucap lirih."Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Namira menatap nanar ke arah suaminya."Istri? Kapan kita menikah?" tanya Aidan tatapannya tajam menatap Namira."Jangan garang! Aku bahkan belum menikah, dan kau malah mengaku-ngaku hamil anakku!" sarkas Aidan.Melihat itu Hana menyunggingk
Sebelum keluar dari ruangan Namira mendengar ucapan Aidan yang menyesakkan dada.Namira berlari kecil menuju kursi taman yang panjang ia duduk di sana, pandangannya hanya lurus ke depan sambil memperhatikan orang yang berlalu Lalang. Yang jelas hatinya kini sedang kacau dengan keadaan suami yang tidak mengingatnya.Seseorang duduk di sebelah Namira, Namira hanya melirik ke arahnya sekilas kemudian pandangannya lurus kembali ke depan."Apa Aidan baik-baik saja?""Em, ya Mas Aidan baru saja melewati masa kritisnya,""Lalu kenapa kau tidak terlihat bahagia Bukankah itu adalah kabar baik?""Aku bahagia... sangat bahagia, namun sayang dia lupa padaku dan juga anak dalam kandunganku."Fadil menghembuskan nafas.Namira kembali terisak, melihat kondisi Namira yang seperti itu membuat Fadil ikut merasakan sakit, secepat kilat Fadil membawa Namira pada pundaknya.Ketika tangis Namira berhenti, ia merasa canggung kemudian mendongak menata Fadil."Menangislah, aku tahu kau butuh pundak saat ini,"
"Aku tidak ingin sekamar dengan wanita itu!"Permintaan Aidan sontak membuat Namira terkejut. Aidan tak hanya tidak mengingat tentang pernikahannya, ia pun enggan dekat-dekat dengan Namira."Itu tidak bisa Aidan, Namira itu istrimu dan saat ini sedang mengandung anakmu, tidak bisa jika Harus Pisah kamar, Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat semuanya," Hamid protes.Namira tak mengucap sepatah kata pun.Mereka semua masuk, Hamid membereskan semua barang-barangnya, tak berselang lama Arini datang dan duduk di sampingnya."Mas, kurasa sebaiknya kita disini saja dulu sampai Aidan benar-benar pulih dan mengingat semuanya,"Hamid menghentikan tangannya yang sedang memasukkan barang ke dalam koper."Kau benar, aku akan membicarakan ini pada Aidan dan Namira, setelah Aidan mengingat semuanya baru kita akan pergi dari sini,"Arini tersenyum, kemudian mengangguk.***Di kamar, Namira terlihat canggung, apalagi tatapan Aidan seperti mengawasi pergerakannya, Namira tak bisa leluasa, padahal bias
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi