Share

Keramas

"Hahahaha Ayah!"

Aku berjalan mengendap-endap ke kamar tamu, lalu mengintip di celah pintu.

Aku terkejut mataku rasanya memanas melihat pemandangan di depan mata. Ternyata benar dugaanku Namira ada di kamar tamu, mereka sedang berpelukan mesra sekali.

Aku masih terdiam di ambang pintu, menyaksikan istriku yang amat kucintai tega mengkhianati hati ini. Tak pernah kusangka cinta kami akhirnya akan begini. Dulu, kupikir Namira wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatan suami. Apalagi dia sangat lugu. Lugu dalam setiap hal, kini semuanya berubah. Namiraku jadi wanita nakal yang suka menggoda.

Entah siapa diantara mereka yang merayu lebih dulu. Aku tak snaggup membayangkannya. Itu adalah hal yang sangat menjijikan untukku.

Ingin ku potret mereka yang sedang berpelukan. Namun sayang, ponselku tertinggal di kamar. Aku langsung bergegas pergi dari sana tak ingin melihat pemandangan yang lebih menyakitkan.

Aku menunggu Namira di kamar, dengan perasaan hati yang hancur. Setelah sekian lama menunggu. Dia tak kunjung kembali. Ingin rasanya kususuli lagi. Menarijnya paksa karena emosi dan sakit yang menjadi satu di dalam diri. Namun sepertinya Namira takkan kembali ke sini, ia terlalu asik bersama dengan kekasihnya ... Ayahku.

*

Pagi hari, Kami semua sarapan bersama. Namira terlihat sangat ceria ia menyendokkan nasi ke piringku. Lalu menyendokkan nasi ke piring Ayah juga. Tatapan mereka begitu lekat, membuat aku menjadi muak.

Aku benci dengan semua ini, aku berpikir lebih baik kuceraikan saja Namira. Terserah dia akan bersama siapa setelahnya, Meskipun aku sendiri yang nantinya akan terluka.

Kami semua mulai menyantap makanan yang dimasak Namira rasanya memang selalu pas di lidah, tapi tidak dengan hatiku.

Kulihat Namira seperti menahan rasa mual apakah ia sakit karena begadang semalaman bersama Ayah?

"Kau tidak apa-apa, Mir?" tanya Ayah, ia memegang pundak Namira.

Romantis sekali!

Aku menyantap makananku kembali, tak ingin menghiraukan pasangan aneh ini.

Aku pergi ke kantor ingin menenangkan pikiran dan hatiku di sana.

Baru saja tiba di kantor Hana langsung menghampiriku.

"Aidan, Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali," tanya Hana, seraya memandangku lekat. dia duduk di depan meja kerjaku.

"Aku baik-baik saja Han, hanya sedikit ... kurang tidur belakangan ini," jawabku berbohong. Padahal aku sangat resah belakangan ini gara-gara memikirkan perselingkuhan istriku.

"Kau yakin?"

"Em," aku mengangguk.

"Kenapa kau begadang, apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Aku menggeleng. Sebaiknya jangan menceritakan hal itu pada Hana dulu. Lagipula masalah ini belum jelas.

"Ayolah Aidan cerita padaku, aku sepupumu bukan?" tanya Hana lagi setenga memaksa. membuatku mengembuskan napas kasar.

"Ya, ada yang mengganggu pikiranku, tapi aku tidak bisa menceritakannya dulu padamu, kuharap kau mengerti, Hana."

Hana memegang tanganku.

"Baiklah, jika sudah waktunya ceritakan padaku,"

Aku tersenyum. Hana memang selalu ada untukku.

***

Aku pulang sore hari. Rasanya tak semangat. Tak seperti biasanya. Kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumah. Baru saja membuka pintu aku di kejutkan dengan sosok Namira yang terlihat sangat berantakan. Rambut kusut dan juga baju yang sedikit berantakan. Dia terkejut melihat kehadiranku dan langsung menyeka keringat di pelipisnya.

“Mas, tu--tumben ka--kamu udah pulang?” tanya Namira dia terlihat sangat gugup. Seraya terus menoleh ke belakang seperti seseorang yang tengah menyembunyikan sesuatu.

Aku tak menanggapi ucapannya dan langsung menyerobot masuk ke dalam. “Mas, tunggu ... jangan masuk ke kamar dulu.” cegahnya. Membuat langkahku terhenti. Aku mengernyit. Lalu menoleh ke arahnya.

“Kenapa? Aku lelah, aku mau istirahat di kamar.” tanyaku dengan mata memicing.

“Iya aku tau. Maksudnya, bisakah kamu tunggu di sini sebentar. Kamar sangat berantakan. Aku ... aku baru saja membersihkannya dan belum selesai. Tunggu di sini ya, nanti setelah selesai aku panggil.” ucapnya. Kemudian berlari langsung naik ke atas dimana kamar kami berada.

Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

Krek!

Aku menoleh saat mendengar suara kamar tamu terbuka. Di sana ada Ayah yang baru saja keluar dari kamarnya. Dia tampak segar dengan rambut yang basah.

“Hei, Aidan. Baru pulang?”

Aku mengangguk.

“Ayah tampak segar sekali. Tidak seperti biasanya.” sindirku.

“Ah, iya, Ayah baru saja pulang dari tempat pijat. Tubuh Ayah yang tadinya pegal langsung hilang. Dan jadi segar bugar.”

Huh!

Aku mengembuskan napas kasar. Mengerti apa kata pijat yang Ayah maksud.

“Mas ... kamarnya sudah selesai aku rapihkan.“ ucap Namira di belakangku. Aku segera menoleh ke arahnya.

“Lho, Mira. Katanya mau mandi, masih belum mandi juga.” celetuk Ayah.

Aku langsung menoleh ke arah Namira dan Ayah bergantian.

Apakah urusan mandi atau tidaknya istriku sekarang jadi urusan Ayah?

“Hmm, iya, Ayah. Tadi Mira sibuk membereskan kamar yang sedikit berantakan. Tapi sekarang sudah rapih. Mira juga mau mandi setelah ini.”

Aku tak ingin mendengar apapun lagi. Dan segera pergi dari sana, berjalan menaiki tangga. Meninggalkan Ayah dan Namira berdua.

“Mas, mau aku buatkan kopi?” tanya Namira seraya mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk.

Aku yang sedang duduk di ranjang hanya meliriknya sekilas. “Tidak perlu. Aku bisa membuatnya sendiri.”

“Ya sudah.“ balasnya. Kemudian duduk di depan meja rias.

“Kamu keramas?” tanyaku, menatapnya dari pantulan cermin.

“Iya, Mas, kenapa?”

“Tidak ada. Hanya sedikit aneh saja. Ayah keramas dan kamu juga keramas.” jawabku seraya tersenyum kecut.

“Ya, mungkin Ayah juga merasakan hal yang sama, Mas. Akhir-akhir ini kan cuaca sedang panas-panasnya.”

“Hmm, ya.”

Tak ada percakapan lagi setelah itu. Aku hanya fokus pada laptop yang ada di pangkuanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status