Share

Sebuah foto

POV Aidan

Aku merasa puas saat melihat Namira terluka, Aku memang mabuk, tapi tidak terlalu parah.

Namira membuka sepatuku, aku mengangkat sudut bibir sebentar lagi Namira akan membuka jas yang aku kenakan.

Dan benar saja, Namira melakukannya, kulihat tangannya terhenti kala melihat ruam merah di leherku, yang aku buat sendiri dengan cara mengeroknya.

Namira meninggalkanku, aku bangun, kemudian tersenyum saat dirinya telah hilang dibalik pintu.

Bagaimana? Sakit bukan? Itu yang aku rasakan, apalagi kau selingkuh dengan orang yang aku kenal. Tidak habis pikir dengan dirimu Namira, kamu berselingkuh dengan Ayah Mertuamu sendiri.

Aku menerima usul Hana untuk membalas Namira, Hatiku terlalu sakit untuk menerima penghianatannya.

Aku bangun hendak minum, tenggorokanku rasanya haus sekali. Aku membuka pintu perlahan berharap tidak kepergok oleh Namira.

Aku berbalik mengumpat di balik tembok saat melihat Ayah dan Namira berada di ruang tamu.

Mereka sedang membicarakan apa? Aku menajamkan indra pendengaran.

"Kau jaga kandunganmu baik-baik, ya,"

Wow perhatian sekali, seorang kakek kepada cucunya atau seorang Ayah pada anaknya?

Aku mengangkat sudut bibir, kemudian kembali ke kamar. Rasanya muak berada di lingkungan orang-orang munafik.

***

Aku bangun di pagi hari, lebih tepatnya Namira yang membangunkanku. Aku membuka mata kemudian bergegas masuk ke kamar mandi tanpa menyapanya, seperti yang biasa aku lakukan.

Selepas mandi kulihat Namira telah menyiapkan bajuku di atas ranjang. Aku lebih memilih baju yang lain di dalam lemari.

Aku keluar kamar, kemudian berjalan menuju meja makan, untuk sarapan.

Ternyata disana sudah ada Ayah, ia menatapku lekat, aku merasa jengah. Kemudian menghembuskan napas kasar.

"Aidan,"

"Hem," jawabku malas.

“Apa Ayah boleh bertanya?” tanya Ayah. Ia menatap lekat ke arahku.

“Hem, tanyakan saja.” jawabku.

"Kenapa kamu mabuk?"

"Untuk mengurangi stres, akibat kebusukan seseorang," aku tersenyum sinis.

Ayah menautkan alis. "Apa maksudmu?"

"Tidak ada, hahaha." Aku tertawa keras.

Namira datang, kemudian menatapku, lebih tepatnya melihat ke arah baju yang aku kenakan, kulihat ia menghela napas kemudian menghampiri kami.

Hari ini kantor libur, sebenarnya aku malas jika harus seharian di rumah. melihat dua penghianat, yang masih berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Selesai sarapan, aku masuk ke dalam kamar, melewati Namira yang sedang duduk di meja rias, untuk mengambil kunci mobil.

Namira mencekal pergelangan tanganku, aku langsung menatapnya.

"Ada apa?" ucapku dengan ketus.

Aku menatapnya dengan datar.

"Bukankah hari ini libur, Mas."

"Tentu," balasku.

"Lalu kamu mau kemana?"

"Aku ingin mencari udara segar diluar."

"Antar aku ke rumah sakit, bisa?"

Aku menautkan alis memindainya dari atas sampai bawah, tidak ada yang luka, malah yang terluka adalah hatiku.

"Untuk apa ke rumah sakit, bukankah kau baik-baik saja." Kataku dengan mata memicing.

"Aku ingin cek kandungan." Namira tersenyum.

"Maaf aku tidak bisa, aku lupa ternyata aku punya urusan lain,"

Namira membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu.

"Kau bisa sendiri kan?"

Namira mengangguk.

***

Aku menikmati secangkir kopi di cafe dengan nuansa outdoor. Memejamkan mata sebentar, untuk menenangkan pikiran yang kacau.

"Hai Dan, lama nunggu ya?"

Aku menggeleng saat Hana datang, kami memang telah membuat janji sebelumnya.

"Bagaimana Namira?"

"Dia baik-baik saja,"

"Kau jangan lemah, Dan. Kalau Namira bisa menyakitimu, kau harus membalas dengan menyakitinya kembali."

Aku bergeming, kemudian menatap Hana.

Hana memegang tanganku, dia menatapku dengan lekat kemudian tersenyum.

"Kau tenang saja Aidan, masih ada aku,"

Hana benar, dia memang selalu ada di saat suka dan dukaku.

"Kau akan baik-baik saja tanpa Namira," ucapnya meyakinkanku.

Aku pulang sore hari setelah menghabiskan waktu bersama Hana.

Aku terperangah melihat Namira datang bersama Ayah.

"Kalian habis dari mana?" tanyaku.

"Rumah sakit, mengantar Namira."

"Harusnya kau yang mengantarnya." sambung Ayah.

"Kenapa harus aku?"

Ayah menatap tajam ke arahku.

Loh kenapa Ayah marah padaku? seharusnya aku yang marah, dia berjalan menghabiskan waktu bersama istriku.

Namira pergi meninggalkan kami, aku menjadi emosi. Bukankah ia tadi pagi menyanggupi untuk pergi sendiri, lalu kenapa mengajak Ayah, jelas ini salah! Atau dia memang sengaja membiarkan agar aku tau perselingkuhan mereka.

Aku bergegas menyusuli Namira, saat tiba di kamar aku mencekal pergelangan tangannya dengan kuat.

"Aw sakit Mas," pekiknya, namun tak kupedulikan.

"Apa maksudmu?"

"Apanya?" tanya Namira.

"Kau pergi bersama ayah, bukankah kau menyanggupi untuk pergi sendiri?"

"Iya aku memang menyanggupinya, tapi Ayah bersikeras untuk mengantarku, karena kamu sibuk! sibuk bersama Hana!"

"Hei, apa maksudmu!" aku memelintir tangannya hingga kebelakang.

"Apa? Kamu mau mengelak?!"

"Ini liat!" Namira melemparkan ponsel, dengan sebelah tangannya ke arah ranjang.

Aku segera mengambilnya, dan terperangah saat melihat fotoku dan Hana sedang berpegangan tangan.

Siapa yang mengirimnya? Apakah Hana? Apa tujuannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status