Share

Berdesir

Siapa yang mengirimnya? Apakah Hana? Apa tujuannya.

Aku akan menanyakannya nanti, kulihat Namira menangis, aku hendak memeluknya dan menjelaskan kesalahpahaman ini, namun lagi-lagi aku teringat perselingkuhannya dengan Ayah, aku urungkan niatku dan berlalu pergi dari kamar.

Aku mencoba untuk menghubungi Hana, saat panggilan tersambung aku langsung menodong Hana dengan pertanyaan.

"Hana apa maksudmu, mengirimkan foto kita yang sedang berpegangan tangan pada Namira?"

"Oh maaf Aidan, aku hanya ingin membantumu, aku tidak tau jika kau akan semarah ini,"

"Membantu apa?"

"Membalas Namira, bukankah kau ingin Namira merasakan apa yang kau rasakan,"

Ada benarnya juga apa kata Hana, tapi kenapa di lubuk hatiku yang terdalam aku tidak suka melihat Namira terluka. Tapi Namira sendiri tega menyakitiku.

"Oh seperti itu,"

Panggilan ku tutup saat Hana telah menjelaskan maksudnya. Aku kembali ke kamar, kulihat Namira sudah berhenti menangis, baguslah.

Hari-hari berlalu aku lebih sering menghabiskan waktu di kantor, Jika hari libur paling keluar bersama Hana, enggan berlama-lama di rumah, Bahkan aku tidak tahu Berapa usia kandungan Namira sekarang.

Malam ini aku pulang larut malam, saat membuka pintu utama aku tertegun melihat Namira yang tertidur di sofa, apa dia menunggumu? Cih! Masih penting kah aku untuknya? Aku mengangkat sebelah sudut bibir.

Aku berjalan melewati Namira yang sedang tertidur, tak berselang lama kudengar Namira menggeliat.

"Mas, kau sudah pulang?"

Aku mengangguk,

"Ayah sudah pulang, tadi sore."

"Oh, baguslah,"

Namira mengulum senyum.

"Mas, apa kau ada masalah dengan Ayah?"

Aku mengangkat sebelah alis, masalah apa? Jika bukan tentang kau, aku tidak bermasalah.

"Kenapa memangnya?"

"Aku lihat kau tidak menyukai kehadiran Ayah akhir-akhir ini."

Aku menghela napas kasar.

"Mungkin hanya perasaanmu saja."

Aku pergi meninggalkan Namira di ruang tamu, masuk ke dalam kamar untuk mandi agar badan terasa segar setelah seharian penuh bekerja.

Namira masuk ke dalam kamar, dengan wajah sendu, kulihat ia ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya terkatup lagi.

"Mas kau sudah makan?" ucapnya.

Apa untuk menanyakan aku sudah makan atau belum dia sampai menarik napas berkali-kali.

"Sudah..." jawabku.

"Bersama Hana." sambungku lagi.

Namira yang semula menunduk langsung mendongak,

"Oh, tidak apa-apa selagi masih dalam batas wajar, aku tidak masalah,"

"Maksudmu, hal wajar yang seperti apa?"

"Hanya sekedar makan malam, tanpa berpegangan tangan, apalagi sampai..."

Aku tersenyum sinis,

"Tentu saja tidak, aku tidak sepertimu,"

"Maksudmu?"

"Ah tidak! Maksudku aku tidak pernah melakukan itu."

Namira berusaha mencerna ucapanku, masih saja dia berpura-pura tidak mengerti.

Aku berjalan menuju ranjang, merebahkan diri disana. Kemudian Namira menyusuliku naik ke atas ranjang juga.

Aku bergegas berbalik badan, memunggungi Namira. Kemudian memejamkan mata.

Tak berselang lama, tidurku terusik saat tangan gemulai melingkar di pinggangku.

Aku langsung menoleh ke arahnya yang ternyata sedang melihat ke arahku. Namira tersenyum, pandangannya sendu.

"Mas, aku tidak bisa tidur,"

"Lalu? Apa hubungannya denganku?"

Namira terlihat malu-malu.

"Bukankah kita sudah lama tidak..."

Aku mengerti kemana arah bicaranya, aku memejamkan mata kemudian menghembuskan napas secara perlahan.

"Aku lelah," lirihku.

Kulihat wajah Namira kecewa, aku bukan tak ingin, hanya saja terbayang akan penghianatannya, membuatku tak bernafsu.

***

Aku terbangun saat mendengar suara orang muntah-muntah di kamar mandi, apakah itu Namira? Ah berisik sekali.

KRIET!

Pintu kamar mandi terbuka, menampakan Namira dengan wajah yang sedikit pucat. Bukankah semalam ia baik-baik saja Bahkan memberitahu keinginannya untuk bercint*, aneh, apa dia tidak mendapatkannya dari selingkuhan nya itu.

Melihat Namira yang seperti itu tak membuat diriku iba, itu adalah buah dari perbuatannya.

Namira berjalan menghampiriku dengan tubuh lunglai. Ia merebahkan diri di sebelahku.

"Mas kepalaku pusing, perutku juga mual."

"Setiap bangun pagi selalu begini, sepertinya anak kita perempuan," dia tersenyum, kemudian mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit.

Aku malas setiap Namira membahas soal anak, aku memandang ke arah lain.

Namira menggenggam tanganku kemudian di arahkan ke perutnya. Hatiku langsung berdesir, aku langsung menarik tanganku kembali, tak ingin berada diperutnya lebih lama.

Melihatku yang seperti itu, Namira langsung terkejut.

"Kenapa Mas?"

"Tidak ada, aku lupa hari ini masuk pagi."

Aku bergegas turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi.

Desiran itu masih terasa, ada apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status