POV Namira
Baru saja sebentar tangan mas Aidan ku letakkan di atas perut, ia malah langsung menariknya, aku terkejut. "Ada apa, Mas?" tanyaku. Dia lekas menggeleng. "Tidak, aku baru ingat jika masuk pagi," Ada apa ini, mengapa gelagatnya sangat aneh akhir-akhir ini? Apakah Mas Aidan ada masalah di kantor. Kenapa ia tak pernah bercerita? Sepertinya, aku harus segera menyelidikinya. Setelah mengantar Mas Aidan di pintu, aku mengulum senyum, berharap mendapatkan ciuman di kening seperti biasanya, Namun, setelah menunggu lama, lagi-lagi aku tidak mendapatkan itu. Mas Aidanku telah berubah. Dia tak seperti dulu, yang akan berputar arah pulang ke rumah lagi saat terlupa memberiku kecupan. Aku masuk ke dalam rumah saat mobil Mas Aidan sudah tak terlihat lagi, kuhempaskan tubuh ini di sofa, rasanya semenjak hamil tubuhku terasa sangat lelah. Bukan hanya tubuh, tapi juga hatiku. _ [Sore hari] Tok tok tok! Terdengar suara ketukan di pintu saat aku dengan membaca buku ibu hamil di ruang tengah. "Assalamualaikum...." Aku segera beranjak dari sofa, saat mendengar suara ayah di luar rumah. Aku segera membuka pintu, kemudian tersenyum saat melihatnya. "Walaikumsslaam, ayo masuk, Yah." Aku mempersilahkan Ayah untuk masuk. Pria paruh baya yang sangat menyayangiku itu mengangguk. "Saras, Saras! Tolong buatkan minuman untuk ayahnya Mas Aidan." Aku berteriak, memanggil nama Saras--keponakan Bi Rima, dia juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di sini. Setelah Ayah duduk, tak lama kemudian Saras datang membawa dua minuman di atas nampan. Aku tersenyum, lalu menyuruhnya untuk meletakan di meja. Wajah Saras terlihat berbeda hari ini. Dia seperti sedang senang. Terus tersenyum seperti tengah kasmasaran. Ah, dasar anak muda! Namun tak berselang lama air yang Saras bawah jatuh ke lantai. Sepertinya dia melamun. Entah apa yang ada dalam pikirannya. PRAKK! "Ah! Maaf, Nyonya, aku tidak sengaja." Pekiknya terkejut, saat gelas di tangannya jatuh dan pecah di lantai. "A--aku, akan segera membersihkannya." ucapnya merasa bersalah. "Em, tidak apa-apa, kau buatkan saja lagi." Saras menurut, ia berjongkok mengambil beberapa pecahan gelas itu. Kemudian membawanya menuju dapur kembali. "Hmm, maafkan asisten rumah tangga kami, Ayah." "Tidak apa-apa, Mira. Sepertinya dia tidak sengaja." "Oh, iya, ada apa Ayah datang kemari? Tumben, tanpa mengabari dulu seperti biasanya." Ayah mertuaku itu tersenyum. "Ayah ingin membicarakan sesuatu dengan Aidan. Apa Dia sudah pulang?" Aku menggeleng. "Akhir-akhir ini Mas Aidan selalu pulang larut malam, kurasa malam ini pun dia pulang larut lagi. Sepertinya, ayah harus datang di hari weekend. Mas Aidan tak kemana-mana saat libur." Aku menggigit bibir. Itu dulu, sekarang mana tau, bisa saja Mas Aidan pergi juga saat weekend--tanpa mengajakku. Kudengar Ayah mendesah pelan. "Memangnya ada apa, Yah?" tanyaku. "Jadi begini, Ayah ingin memberitahu Aidan bahwa minggu depan ayah akan menikah. Sebenarnya, ayah takut kalau Aidan tak setuju." HAH? "A-apa?" Apa aku tak salah dengar? Aku mengulum senyum, tidak menyangka bahwa akhirnya Ayah memutuskan untuk menikah lagi setelah bertahun-tahun. "Dengan siapa? Apa Namira mengenal calon Ibu sambung Mas Aidan?" tanyaku memastikan. "Tidak, ayah juga baru mengatakannya padamu. Setelah sekian lama ... rencananya, ingin mengatakan hal ini juga pada Aidan. Tapi anak itu malah tak ada di rumah." Ayah terkekeh. "Baiklah, nanti biar Namira saja yang mengatakannya pada Mas Aidan." Jawabku. Aku memperhatikan sekitar. Kenapa Saras lama sekali? Bukankah aku menyuruhnya untuk mengambil minuman lagi? Baiklah, biar aku saja. Lagipula tak ada camilan di sini. Aku segera bangun, hendak mengambil camilan untuk Ayah, sebab sejak tadi Saras tak kunjung datang. Aku hendak berjalan menuju dapur, namun karena lantai yang licin kakiku tergelincir, aku tak seimbang, "Aaaaaaaaaaaa!" teriakku terkejut. Beruntung, Ayah segera menangkapku, jadi aku tidak terpeleset. Entah apa jadinya jika sampai aku benar-benar terpeleset. "Hati-hati Mira," ucap Ayah. Aku menghela napas. "terimakasih Ayah," balasku. Aku tersenyum kemudian melepaskan pelukan itu, takut jika ada yang melihatnya malah menjadi fitnah. *** [Malam hari] Aku menunggu Mas Aidan pulang malam ini, berharap ia pulang lebih cepat. Dan benar saja pintu terbuka menampakan Mas Aidan, namun ada seseorang di belakangnya yang membuatku tak suka, yaitu Hana. Mau apa dia kemari, aku memutar bola mata malas saat melihatnya. "Mas kau sudah pulang? Tumben pulang cepat?" tanyaku. Mas Aidan tak menjawab pertanyaanku. "Hana ayo duduk, nanti jika kau ingin pulang aku antar," ucap Mas Aidan. "Mas aku masak menu kesukaanmu hari ini, ayo kita makan bersama," aku melingkarkan tangan di lengannya. "Hana, kamu ingin makan?" Lagi-lagi Mas Aidan bertanya tentang Hana bukan tentangku, hatiku berdenyut menyaksikannya. “Iya, aku lapar. Ayok kita makan.” Hana tersenyum, Mas Aidan membalas senyumnya. Kami bertiga berada di meja makan, Bi Rima dan Saras mempersiapkan semuanya di meja makan. Kami bertiga mulai makan dengan tenang, sebelum Hana berbicara. "Aidan boleh aku minta punyamu, kelihatannya enak," ujar Hana, di sela makannya. Mataku membola, Apa-apaan ini? "Tentu," Mas Aidan menggeser piringnya ke arah Hana. "Ah tidak aku hanya minta sedikit, bisa kau suapi aku?" Mas Aidan mulai menyuapi Hana, mataku memanas melihatnya. "Enak, coba kau punya juga," "Tidak," Mas Aidan menggeleng. "Ayolah, ini masakan istrimu." Kemudian Mas Aidan menerima suapan Hana. PRAK! Aku meletakkan sendok di atas meja dengan kencang. Mereka menatapku kemudian melanjutkan menyantap makanan kembali. Aku mengangkat sudut bibir, kemudian menyendok makananku, kuarahkan sendok ini ke arah Hana. "Ayo Hana buka mulutmu, punyaku juga rasanya lebih enak," "Tidak, aku sudah kenyang," wanita dengan rambut sebahu itu menggeleng. "Ayolah, ini demi anakku, ia ingin melihat tantenya di suapi oleh ibunya." Aku tersenyum semanis mungkin. Akhirnya Hana menerima suapanku dengan terpaksa. Ia meringis setelah menerima beberapa suapan dariku, aku sengaja memberikan banyak sambal di setiap suapan untuknya. "Hah, pedas!" "Air, air, aku butuh air," ucapnya seraya mengibas-ibaskan tangan ke mulut. Aku tersenyum, merasa puas. Namun, tak lama. Senyumku lansgung pudar saat melihat Mas Aidan memberikan air minumnya pada Hana. Ah menyebalkan! Hana memegangi perutnya, mungkin sekarang terasa memanas dan perih, seperih hatiku. "Aidan aku ingin pulang...," ia meringis. Mas Aidan menghela napas. "Baiklah, mari aku antar." Aku memutar bola mata malas. "Bukankah kau sudah terbiasa pulang sendiri, Hana?!" sindirku. "Atau, kau memang sengaja, ingin berduaan dengan suami orang!" tandasku. "Jaga mulutmu, Namira!" Mas Aidan membentakku. Aku terkejut mendengar Mas Aidan membentak. "Lain kali jangan begitu, bagaimana jika kamu di posisi Hana?" timpalnya. Aku menatapnya dengan nyalang. "Kenapa kamu membelanya, Mas?!" tak terima, melihat suamiku lebih membela wanita yang jelas ingin merebutnya dariku. "Bagaimana jika Hana ada di posisiku, melihat suaminya suap-suapan dengan wanita lain?!" sambungku, aku menatap tajam ke arah Mas Aidan, Mas Aidan pun melakukan hal yang sama. Kami sama-sama menatap sengit seperti seorang musuh. Aku mengalihkan pandangan, dan segera pergi dari sana. Mengabaikannya, hatiku terlalu sakit.POV AidanTanganku terkepal saat nomor tidak di kenal mengirimkan foto Namira dan Ayah sedang berpelukan, aku menjadi emosi, dan melempar barang-barang di atas meja kerja, kemudian Hana datang."Aidan kau kenapa, tenang kan dirimu,""Kau lihat Hana, liat! Mereka sudah berani terang-terangan saat aku tidak ada di rumah,"Aku ingin berusaha untuk tidak peduli, Namun nyatanya hati ini masih saja merasakan sakit."Mungkin itu tidak sengaja, Dan.""Tidak sengaja Bagaimana, sedangkan kemarin Namira bilang Ayah sudah pulang. Lalu untuk apa mereka janjian kembali? Aku tidak mengerti!"Aku benar-benar emosi, aku mengacak rambut kasar."Kau jangan mau kalah Aidan, jangan mau kalah dari Namira,""Aku akan membantumu, tenang saja," Hana mengusap kepalaku yang sedang menelungkup di atas meja.Dia sangat ... perhatian."Ayo kita pulang, kamu tunjukan pada Namira, bahwa kamu bukanlah manusia lemah,"Aku mendongak, menatap Hana lekat, ia tersenyum kemudian mengangguk meyakinkanku.Aku akan mengikuti
"Adalah apa Mas? Ayo katakan?""Adalah ..." Aku menjeda kalimatku. "Bukan anakmu? Benar begitu, kenapa kau tega tidak mengakui darah dagingmu sendiri mas? HAH?" Namira menangis.Aku terduduk, kemudian menatapnya tajam."Wajar aku berpikiran seperti itu, jika kau tidak memulainya dengan selingkuh!"Emosiku meluap-luap. Kemudian mencengram kuat pergelangan tangannya."Akhh sakit," "Siapa yang selingkuh Mas, aku tidak pernah selingkuh," jawabnya. "Kau tidak usah mengelak lagi Namira," kataku ketus. "Mengelak Bagaimana, aku tidak pernah selingkuh!" Namira bersikeras mengelak. "Kau berselingkuh dengan Ayah, ayahku ayah mertuamu!" Hardikku, semakin ku kuatkan cengkramanku pada tangannya. Namira terbelalak mendengarnya.Kemudian ia menggeleng kuat."Aku tidak pernah selingkuh Mas, kau salah paham," lirih nya. "Aku tidak salah paham, aku melihat sendiri chat mesra yang kau kirimkan kepada ayah, di malam itu di mana kita selesai bercinta," jelasku padanya. "Apa kau tidak pernah berpiki
Setelah tiba di rumah sakit, Namira langsung dinaikkan ke atas brangkar, dan dimasukkan ke dalam ruang IGD. Aidan bergegas mengurus segala persyaratan dari pihak rumah sakit, entah mengapa kini dirinya menjadi cemas memikirkan Bagaimana kondisi Namira di dalam.Aidan mondar-mandir, menunggu dokter yang sedang menangani Namira itu keluar, ia menghembuskan napas kasar.Setelah menunggu selama 30 menit, Dokter wanita yang mengenakan hijab itu keluar, wajahnya sendu, kemudian menatap Aidan."Anda siapanya?""Saya, suaminya Dok,""Yang sabar ya Pak, Janin Bu Namira tidak bisa di selamatkan, ia mengalami pendarahan yang cukup hebat."Aidan menghela napas, Entah mengapa ada rasa sesak di dalam dadanya, namun ia tidak merasa bersalah sedikitpun."Baiklah, Lalu bagaimana kondisi istri saya sekarang dok?""Bu Namira sedang beristirahat sekarang, mohon jangan diganggu dulu. tunggu beberapa jam kemudian setelah kondisinya pulih, baru Anda bisa masuk. ""Baik Dokter, terimakasih,"Dokter wanita it
"JADI KAU YANG MENGIRIMKAN PESAN ITU?!"Suara Bariton seorang pria muncul dari belakang. Mata Saras langsung membola.Saras langsung menunduk tangannya tiba-tiba gemetar."Ss-s-saya..." ucapnya terbata. "KATAKAN!" sentak Aidan dengan suara tinggi, dadanya bergemuruh tangannya terkepal."Kau yang mengirim pesan itu pada Ayahku, iya?" Hardiknya. Saras bergeming tangannya memainkan ujung baju, peluh keringat membanjiri pelipis nya."Saya minta maaf, Tu-tuan," lirihnya. Aidan memejamkan mata, kemudian menghembuskan nafas kasar, kemudian jari telunjuknya diarahkan pada Saras."Jika kau adalah laki-laki sudah ku hajar kau," ucap Aidan dengan Gigi bergemelatuk.Emosinya sudah meluap meluap, kemudian memukul pintu dengan kuat.BRAKK!Saras terperanjat mendengar suara tersebut."Saya minta maaf Tuan, tolong jangan pecat saya," "Saya tidak akan memecatmu
Aidan pulang ke rumah, ia berjalan dengan gontai, kakinya terasa lemas.Aidan berpapasan dengan Hana di halaman rumah. Entah mengapa Hana selalu datang ke rumahnya."Aidan, kau baik-baik saja?" tanya Hana menelisik wajah Aidan yang kusut. "Em ya, aku Baik-baik saja," lirih Aidan. "Hanya saja, Namira tidak mau melihatku, ia begitu marah," sambungnya. Wajah Aidan berubah sendu. "Bagaimana kondisi Namira?""Namira... Sudah lebih baik, dari sebelumnya, hanya.... ""Hanya apa?""Hanya saja, Namira tidak mau melihatku, ia masih marah," Aidan menghembuskan napas kasar. "Ah, aku merasa kasihan padanya." balas Hana. Aidan tertunduk, ia merasa bersalah."Ayo, antar aku kesana,"Mata Aidan membola, ia menggeleng. Bagaimana perasaan Namira saat dia datang bersama Hana.Selama ini Namira secara terang-terangan tidak menyukai kedekatannya dengan Hana. Apalagi dirinya dan Hana sempat membuat Namira cemburu waktu itu. Aidan menepis tangan Hana di lengannya."Maaf Han, aku lelah, aku ingin isti
Larut malam Aidan pulang, dengan langkah gontai ia masuk ke dalam rumah, ia terus berjalan menuju kamar, saat membuka pintu kamar, Aidan terperangah melihat sosok wanita yang sedang duduk di pinggir ranjang."Namira!" "Sa-sayang kau disini, aku telah mencarimu kemana-mana,""Ah syukurlah," Aidan menghembuskan napas perlahan.Namira menatap datar ke arah Aidan."Aku kesini untuk mengemasi baju-bajuku.""Kau mau kemana?""Aku ingin pulang,""Ini rumahmu sayang,"Aidan berjalan mendekat ke arah Namira,"Baiklah begini, jika kamu masih marah padaku tak apa, biar aku yang pergi, asal kau tetap di kamar ini, bagaimana?"Namira bergeming. Ia berpikir sejenak."Bagaimana sayang? Hem?" Aidan menyentuh pundak Namira, membuatnya tersadar dari lamunan."Singkirkan tanganmu dariku, Tuan Aidan!" titah Namira ketus dan datar.DEG!Hati Aidan tersayat, mendengar begitu datarnya sang istri berbicara. Tanpa senyum yang biasa Namira tunjukkan, Aidan rindu senyum itu."Akh!" Namira memekik. "Sayang, ka
"Baiklah jika kamu tidak mau pergi, tapi aku punya satu permintaan padamu Tuan Aidan?!""Apa sayang, ayo katakan?""Ceraikan aku!""Ce-cerai?" tanya Aidan Shock.Namira mengangguk, "Iya, Ceraikan aku, aku lelah menjalani pernikahan tanpa kepercayaan, hanya karena pesan tak jelas kebenarannya, kau langsung percaya begitu saja,""Jangan main-main dengan kata cerai, Namira!""Apa aku terlihat main-main?"Aidan mengatur napas yang terasa sesak, dadanya bergemuruh hebat, dengan mata yang memancarkan luka, Aidan menatap Namira lekat. Tapi istrinya itu malah membuang pandangan ke arah lain, enggan bersitatap dengannya.Tak bisa di pungkiri, sebenarnya Namira pun terluka mengatakan hal itu, sebenci apapun dia terhadap Aidan, rasa cinta itu masih ada."Tatap mataku sayang? Benar kau ingin cerai?"Namira bergeming ia enggan untuk menatap iris mata Aidan."Ayo tatap mataku, jika kau memang benar-benar ingin bercerai,"Mau tidak mau Namira menatap Aidan dengan perasaan yang entah, mata yang biasa
POV Namira Sore hari, ayah datang ke rumah, ia membicarakan tentang persiapan pernikahannya beberapa hari lagi.Ayah membuat kelakar yang bisa membuatku tertawa, ayah benar-benar membuatku terhibur di saat seperti ini.Tawaku terhenti kala kulihat Mas Aidan ada di pintu. Dia menatap ke arah kami, aku memandang ke arah lain, enggan bersitatap dengannya, aku masih merasa kesal akibat ulahnya yang hampir membuat anakku celaka.#FlashbackAku meringis kesakitan di dalam ruangan bernuansa putih, perutku rasanya sakit sekali, aku meraung kesakitan. Dengan teganya Mas Aidan mendorongku padahal ia tahu aku sedang hamil. "Kau harus kuat sayang," ucapku pada Janin yang berumur 8 minggu itu. Tak berselang lama, masuklah dokter wanita kedalam ruangan ku, setelah dokter wanita masuk dan menanganiku, rasa sakit itu sedikit berkurang.Segala pikiran buruk memenuhi pikiranku, aku tak mau sampai kehilangan anakku, aku menggeleng kuat, air mata telah membasahi pipi."Dokter... Tolong selamatkan jani
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi