Share

POV Namira

Hari itu keran di dapur rusak, Aku tidak tahu harus menghubungi siapa, sedangkan Mas Aidan tak suka jika aku mengganggunya saat sedang bekerja. Pernah waktu itu aku memintanya untuk pulang sebentar karena listrik korslet. Dan, dia malah menyuruh orang untuk datang memanggilkan petugas PLN. Tanpa tau betapa ketakutannya diriku.

Jadi, di saat seperti ini. Hanya ada satu orang yang selalu kumintai bantuan yaitu ... Ayah.

Ayah mertua yang sudah seperti Ayahku sendiri, dia begitu menyayangiku melebihi Mas Aidan--putranya.

Mas Aidan tidak suka jika aku merepotkannya apalagi dalam urusan perdapuran. Urusan dapur adalah urusan wanita. Apa dia tidak pernah melihat chef di tv kebanyakan laki-laki? Dasar--suamiku itu.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menghubungi Ayah, aku mengambil ponsel di atas nakas. Sudah beberapa hari tidak membukanya. Sibuk dengan urusan di rumah. Aku terkejut saat melihat balasan chat yang tidak pantas.

Aku merasa tidak pernah mengirimkan chat semacam itu apalagi untuk Ayah. Siapa orang iseng yang sudah membalas chat Ayah Mertuaku dengan tidak sopan seperti ini?

Aku langsung menghapus pesan tersebut, takut jika Mas Aidan yang membacanya pasti ia akan salah paham.

Tak berselang lama ...

Ayah datang, ia lalu bergegas membetulkan keran wastafel di dapur. Dan aku menemaninya. Sesekali dia bercerita tentang masa mudanya dulu.

Ayah bilang, Ibunya Mas Aidan sering mengeluhkan hal yang sama. Tentang keren rusak dan lain-lain soal yang ada di dapur. Namun, Ayah tak pernah merasa terganggu.

Aku tersenyum saat Ayah mebetulkannya dengan cekatan. “Sudah, tinggal kita coba ya?”

Aku mengangguk, Ayah memutar keran air tersebut, namun airnya menciprat kencang ke wajahku. Sehingga, membuatku gelagapan.

"Awh, ahh ... pelan-pelan, Ayah!" seruku.

Ayah langsung memutar keran secara perlahan.

Karena air yang licin Ayah menjadi tergelincir, untungnya dengan cepat ia memegang keran dengan kuat, dan air menciprat lagi.

"Ahh Ayah ini, hahaha," aku tertawa merasa lucu dengan kejadian ini.

Namun tawamu terhenti kala melihat Mas Aidan yang datang secara tiba-tiba. Tanpa mengabariku sama sekali.

Aku sama sekali tak tau jika Mas Aidan akan pulang lebih cepat, Bukankah, biasanya ia pulang sampai larut malam.

Mas Aidan mendekat ke arah kami dengan wajah datar.

Kulihat, dia seperti tidak suka dengan kehadiran ayah di rumah. Apalagi saat Ayah mengatakan akan menginap dalam waktu 1 minggu di sini.

Aku membujuknya karena merasa kasihan pada Ayah yang selalu merindukan putranya.

Akhirnya Mas Aidan setuju, aku merasa sangat senang.

***

Malam hari ....

Entah mengapa malam ini tubuhku rasanya gerah sekali. Aku sengaja memakai baju tidur dengan bagian dada yang rendah untuk mengurangi rasa panas. Sepertinya akan turun hujan.

Mas Aidan memperingatkanku, untuk tak memakai baju seperti ini. Di rumah ada Ayah katanya. Lucu sekali! Tentu saja aku akan memakai sweater atau jaket saat keluar. Tak mungkin kelur kamar dalam keadaan seperti ini.

Tak lama, suamiku itu bertanya, 'apakah Aku masih mencintainya?' itu adalah hal yang konyol yang ia tanyakan. Tentu saja aku sangat mencintainya, untuk apa dipertanyakan lagi? apakah baktiku selama ini terhadapnya masih belum cukup?

Dasar, lelaki! Masih saja merasa kurang.

Tengah malam aku tidak bisa tidur. Sedangkan Mas Aidan sudah mendengkur, terlihat dia tidur sangat nyenyak. Aku tak ingin membangunkannya sepertinya ia kelelahan setelah bekerja.

Aku berjalan menuju dapur, tanpa disengaja kulihat kamar tamu dalam keadaan terbuka.

Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka. Kulihat Ayah sedang duduk sambil menatap foto seorang wanita, dan wanita itu adalah ibu-nya Mas Aidan.

Aku masuk tanpa permisi, melihat kehadiranku Ayah langsung menyeka sudut matanya, sepertinya beliau habis menangis.

Aku mencoba untuk menghiburnya dengan menceritakan hal-hal konyol tentang anaknya, Ayah tertawa kemudian mengelus pucuk kepalaku.

Aku memeluknya, aku begitu menyayanginya, beliau mengingatkanku pada sosok Ayah kandungku yang telah tiada.

***

Pagi hari aku merasa tidak enak badan, perutku terus saja bergejolak namun masih bisa kutahan. Dan aku teringat bahwa aku telah telat datang bulan selama 1 minggu.

Aku harap-harap cemas. Mungkinkah aku sedang mengandung?

Jika Iya, aku sangat bahagia. Aku dan Mas Aidan telah menantikan kehamilan ini. Jika nanti, aku benar-benar hamil. Akan kuberikan kejutan ini untuk Mas Aidan.

Aku bergegas keluar rumah untuk membeli tes kehamilan di apotek. Setiba di rumah, aku langsung mencoba alat tersebut.

Degup jantungku berdetak kencang. Aku gelisah, dan juga cemas. Ada sedikit rasa takut. Jika aku tidak hamil. Pasti itu karena aku stres akhir-akhir ini.

Setelah menunggu beberapa saat, aku terperangah. Senyumku merekah, alat itu menunjukkan dua garis yang artinya aku positif ... hamil.

Aku berniat memberikan Mas Aidan kejutan dengan tespack ini. Segera keluar dari kamar mandi dan menghampirinya yang sedang berbaring seraya memainkan ponselnya.

Namun jawaban Mas Aidan malah menyakitiku. Dia tidak mengakui anaknya sendiri.

Ada apa dengannya? Mas Aidanku tidak seperti ini sebelumnya.

Aku bergegas keluar rumah, mengunjungi suatu tempat, untuk menenangkan diri.

Hatiku rasanya sakit. Kehamilan yang kunantikan selama ini malah tak membuat suamiku senang. Dia malah menuduhku telah berkhianat.

Aku menenangkan diri di sebuah taman dekat dengan danau. Hingga sore aku di sana. Tak ada tanda-tanda Mas Aidan mencariku. Dia telah berubah. Biasanya jika aku pergi sebentar saja dia langsung protes dan mencariku.

Sekarang tidak! Padahal sudah dua jam aku disini. Di tempat ini, seorang diri.

Aku bangkit, berniat untuk pulang. Namun sial, aku malah bertemu dengan Hana sepupu Mas Aidan, yang tempo hari secara terang-terangan menyukai suamiku.

"Halo, Namira," sapanya.

Hana tersenyum. Dia menghadang langkahku. Sungguh menyebalkan.

Aku memandang ke arah lain, merasa kesal dengan kehadiran Hana.

"Kau mau apa? Minggir, aku mau lewat!” ketusku.

Dia tersenyum, kemudian mencondongkan wajahnya. "Aku mau ... suamimu!"

"Kau gil4!" pekikku.

Hana menyeringai licik. "Terserah, apa katamu! Yang jelas, sebentar lagi aku akan mendapatkannya. Mendapatkan Aidan--pujaan hatiku." ucapnya, tanpa rasa malu.

"Itu tidak mungkin, Hana, aku dan Mas Aidan saling mencintai." sarkasku. Menatapnya tak kalah sengit.

"Bagaimana jika dibelakangmu Aidan selingkuh?"

Aku mengangkat sudut bibir. "Aku pastikan perempuan itu yang menggodanya lebih dulu."

"Wow!" Hana bertepuk tangan. Dia mengejekku.

“Minggirlah, aku malas melihatmu! Dasar tak tahu malu!”

Aku malas meladeni Hana, tak ingin mendengar ocehanya lebih lama. Kudorong ia perlahan agar menyingkir, setelah itu melambaikan tangan pergi menjauh darinya.

***

[Malam hari]

Aku menunggu Mas Aidan di ruang tamu. Gelisah, menunggu kepulangannya. Bagaimana tidak? Hingga larut malam dia tak kunjung pulang, kemana Mas Aidan pergi?

Pikiranku sangat cemas, aku begitu khawatir, apalagi kami sempat bertengkar tadi. Aku tak ingin Mas Aidan berpikir yang macam-macam. Dia harus menjelaskan apa maksud dari perkataannya tadi.

Ini semua salahku. Aku yang terbawa perasaan sehingga lansgung pergi meninggalkannya keluar dari rumah.

"Bu, sebaiknya ibu makan dulu, sejak sore kan ibu belum makan." ucap asisten rumah tangga kami, membuyarka lamunanku.

Aku tersenyum. Asisten rumah tanggaku itu perhatian sekali.

Namanya Bi Rima, dia sangat baik sekali padaku. Bik Rima sudah lama bekerja disini, sebelum Mas Aidan meminangku.

Disini ada 2 asisten rumah tangga.

Jadi, saat aku bertemu dengan Ayah Mertua, tidak pernah hanya berdua. Salah satu diantara mereka pasti ada. Entah sekedar lewat ataupun sedang berberes.

"Nanti saja, Bi. Nunggu Mas Aidan pulang," kataku padanya.

"Apa nggak kasian sama si jabang bayi? Dia butuh asupan dan nutrisi?”

Aku tersenyum lirih. Kemudian menggeleng lemah.

"Tunggu Ayahnya pulang dulu, nanti kita makan malam bersama."

Aku mengelus perutku yang masih rata, lalu memejamkan mata, hatiku berdenyut saat Mas Aidan tidak mengakuinya.

BRAKK!

pintu terbuka dengan keras.

Kulihat Mas Aidan berjalan sempoyongan, dengan Hana di sampingnya.

Aku langsung bergegas menghampiri mereka. "Mas kamu kenapa?" tanyaku.

"Minggir kamu! Haaa!" Mas Aidan mendorongku agar tak menghalangi jalannya.

"Mas kamu mabuk?" sambungku, menghadang langkah keduanya.

"Sini biar aku saja yang membawanya ke kamar, kau bisa pulang, Hana!"

Mas Aidan mengangkat tangan, menghentikan langkahku.

“Tidak, kamu tetap di sini. Tak sudi aku di bantu oleh wanita sepertimu!”

“Hana antarkan aku sampai ke kamar bisa?” pintanya.

Ada apa ini? Ada apa dengan Mas Aidan? Bukankah ia sudah berjanji tidak akan mabuk lagi. Lalu kenapa seperti ini?

"Tentu saja." balas Hana.

Hana membantu Mas Aidan berjalan menuju kamarnya. Saat hendak melewatiku, ia mengedipkan sebelah matanya.

Sangat menyebalkan!

Hatiku bergemuruh, kemudian mengikuti mereka dari belakang. Saat tiba di dalam kamar, aku ikut masuk ke dalam, terlihat Hana sedang membaringkan Mas Aidan di ranjang.

"Sudah selesai, 'kan? Pergilah, suamiku biar menjadi urusanku." ketusku.

"Baiklah, Aidan aku pergi dulu, sampai jumpa ...!"

Mas Aidan tersenyum kemudian ikut melambaikan tangan, hatiku rasanya panas sekali.

"Sampai jumpa."

Aku langsung menutup pintu saat Hana keluar dari kamar.

Aku mendekat ke arah suamiku itu. Lalu melepaskan baju dan sepatu yang dia kenakan. Mas Aidan masih meracau tidak jelas. Membuatku sedikit kesal.

"Mas, kenapa kamu begini? Bukankah kamu pernah berjanji, tidak akan mabuk lagi?"

“Ah, berisik sekali. Jangan menggangguku.”

Aku menghela napas, percuma saja bertanya sekarang, dia tidak sadar. Aku segera melepaskan jas yang ia kenakan. Seketika, gerakan tanganku terhenti. Netraku tak sengaja melihat ruam merah di leher Mas Aidan.

Deg!

Aku tidak pernah melakukannya, lalu siapa? Mendadak mataku langsung memanas, hatiku berdenyut ... sakit.

Apa itu perbuatan, Hana?

Aku segera berdiri, meninggalkannya di kamar, keluar untuk mencari udara segar, menenangkan diri.

Tak berselang lama, Ayah memanggilku.

"Namira ...,"

Aku menyeka sudut mata yang tadi sempat mengembun.

"Hem, ya." sahutku.

"Ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu." ucap Ayah.

"Baiklah, dimana?" tanyaku.

"Di ruang tv saja."

Aku mengangguk, “Baiklah, Ayok.”

Setelah sampai di ruang tv, aku menunggu apa yang ingin di katakan Ayah.

"Ayah ingin bertanya mengenai ... chat ini," ucap Ayah sambil menunjukkan ponselnya.

Sudah kuduga Ayah pasti akan meminta penjelasanku.

"Em, Itu ...."

"Ayah tau bukan kamu yang mengirimkannya,"

Syukurlah, untung saja Ayah tidak berpikiran yang macam-macam.

"Ya, Namira tidak pernah mengirim pesan sepeti itu, tiba-tiba saja ada di ponselku, Aku baru mengetahuinya saat hendak menghubungi Ayah kemarin."

"Sepertinya, ada yang ingin memfitnah kita." sambungku.

"Lalu apa tujuannya?" tanya Ayah. Kenapa orang itu iseng sekali?

"Rumah tanggaku."

"Apa Aidan tau tentang ini?"

Aku menggeleng, kemudian mengembuskan napas perlahan.

"Namira tidak tau, bisa ia dan bisa tidak, apalagi sikap Mas Aidan berubah akhir-akhir ini."

PRAKK!

Sebuah suara mengejutkan aku dan Ayah. aku dan Ayah saling berpandangan.

"Siapa disana!" teriakku. Aku segera berjalan menghampiri sumber suara.

Namun sayang, di sana kosong. Tak ada siapapun, selain pecahan vas bunga yang teronggok di lantai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status