Semalam, aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku. Aku takut Namira mengendap-endap keluar dari kamar menuju kamar Ayah seperti malam kemarin.
Aku memijat pelipis, kemudian melirik ke arah Namira yang terlihat pucat hari ini. Apa dia juga tak bisa tidur semalam, karena terus memikirkan Ayahku? “Mas, aku tak bisa membuat sarapan pagi ini. Badanku rasanya pegal-pegal dan mual.” “Hmm, ya.” jawabku dengan datar. Aku segera turun dari ranjang, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Butuh waktu lima belas menit untuk aku menyelesaikannya. Setelah itu keluar dengan handuk yang melilit di pinggang. Aku memperhatikan setiap sudut mencari keberadaan Namira, tetapi wanita itu sudah tidak ada di sana. Bukankah dia bilang sedang tak enak badan? Lalu kemana pagi-pagi begini? Aku segera memakai pakaian kerjaku. Kemudian turun ke bawah untuk mencari keberadaan istriku itu. “Hahahaha!” Di tangga, aku mendengar suara tawa renyah dari ruang tamu. Aku segera berjalan dengan cepat, kemudian menghampiri mereka. Disana ada Ayah dan juga istriku. “Mas, kamu sudah selesai?” Aku melirik ke arah meja. Di sana sudah tersedia roti bakar dengan selai coklat. Kemudian menatap ke arah Namira, meminta jawaban. “Bukannya kamu sedang tidak enak badan?” tanyaku, seraya tersenyum kecut. “Em, ta--tadi Ayah bilang dia lapar. Jadi, aku buatkan roti bakar untuk ayah. Tidak lama, hanya sebentar langsung jadi. Kamu mau, Mas? Biar aku buatkan juga?” Aku menggeleng. Rasanya sudah tak berselera makan masakan Namira. “Tidak perlu, aku sarapan di kantor saja. Kamu urus saja ayahku. Bila perlu semua kebutuhannya.” sindirku. Aku segera pergi dari sana. “Mas ... tunggu, Mas!” teriak Namira mengejarku. Aku tak perduli dan segera masuk ke dalam mobil. Aku mengendarai mobilku dengan cepat, rasanya dadaku terbakar. Aku sangat marah dan juga kecewa. Aku ingin menghajar mereka berdua, tetapi tak bisa melakukan apapun. *** [Di kantor] “Kamu kenapa sih, Dan? Lesu banget?” tanya Hana saat kami selesai rapat. Aku menggeleng, seraya membereskan dokumen di atas meja. “Aku hanya kurang tidur, Han. Tidak apa-apa, nanti juga seperti semula lagi.” kilahku. Aku tidak tau sampai kapan aku akan terus seperti ini? “Kalau ada masalah, cerita sama aku? Hem?” Hana menyentuh tanganku. Biasanya aku menepis, ingin menjaga perasaan istriku. Tapi sekarang, kubiarkan saja. Toh, Namira juga telah berkhianat. Bukan hanya berpegangan tangan. Bahkan tubuhnya-pun sudah dia berikan. “Aku belum bisa cerita sekarang.” “Baiklah, kalau begitu. Kita makan siang bersama, bagaimana?” “Boleh.” Kami segera keluar dari kantor menuju kantin atau cafe terdekat. Setiba di sana, Hana langsung memesankan makanan untukku. Wanita itu memang tau, apa yang aku suka dan tidak suka. “Han, aku—” “Sttt, sudah aku pesankan. Seperti biasa.” Selama makan, aku hanya mengaduk-aduk makananku saja. Beberapa hari belakangan rasa lapar, menaguar begitu saja. "Aidan, ayok dimakan.” ucap Hana padakku. Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian mengangguk. “Aku suapi, ya?” Aku langsung menggeleng kuat, “Tidak Hana, aku tak enak dengan pegawai lain. Bagaimana jika mereka melihat kita.” Hana tertawa kecil. “Abaikan saja. Toh, aku sepupumu. Mereka tidak akan berpikiran yang macam-macam.” Hana menyodorkan masakan itu padaku. Aku-pun menerima suapannya dengan terpaksa. *** Malam hari, aku memainkan ponsel mengecek pesan masuk di Aplikasi hijau. Tak menanggapi Namira yang terus bicara. Menceritakan apa yang terjadi di rumah setiap harinya. Aku sengaja mengabaikan Namira, tak menghiraukan ucapannya, biarlah dia melakukan apapun sesuka hatinya, aku sudah tidak perduli, lebih tepatnya Aku berusaha untuk tidak peduli! Aku berniat untuk menggugat cerai Namira dalam waktu dekat. Percuma saja membina rumah tangga, namun ia berkhianat di dalamnya. Setelah perselingkuhannya dengan Ayah kubongkar, aku akan langsung menceraikannya nanti. "Mas ...," panggilnya. Aku menoleh sebentar, kemudian kembali lagi menatap ponsel. "Ada yang ingin aku katakan," ucapnya dengan ragu-ragu. Namira tak pernah seperti itu sebelumnya. Dia langsung to the point selama membicarakan sesuatu. Kali ini berbeda. Apa dia akan mengaku telah menjalin hubungan dengan ayahku? "Mas ... Aku hamil," Namira menggigit bibir, kemudian menunjukkan tes kehamilan dengan dua garis di sana. Aku melirik benda pipih itu sekilas, kemudian menghela napas perlahan. "Anak siapa?" Aku menatap datar ke arahnya. Senyum di wajah Namira pudar, dari menatap wajahku dengan lekat. Mungkin sedang mencari keseriusan di mataku. Jika sebelumnya, Namira tidak ketahuan selingkuh. Mungkin aku akan bahagia dan langsung memeluknya. Tapi kini, tidak! Aku tidak yakin jika yang di dalam rahimnya adalah anakku. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Namira dengan mata nanar menatapku. "Aku hanya bertanya itu anak siapa, memang apa salahnya?" "Pertanyaanmu itu tidak masuk akal!" "Lalu pertanyaan yang masuk akal itu, seperti apa?" "Atau ... aku harus bertanya, siapa Ayah bayi itu? Iya?" Kulihat mata Namira berkaca-kaca, apa dia terluka? Atau hanya pura-pura agar aku percaya? “Mas, kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menyakitiku!” Aku mengabaikannya lalu fokus memainkan ponselku lagi. Namira mengambil sweater miliknya, kemudian memakainya dan keluar dari kamar. Mau kemana dia malam-malam seperti ini? Apa dia mau menemui kekasihnya itu dan mengadu? Adukan saja, aku tak perduli! *** Aku menenggak beberapa minuman alkohol di bar, sesungguhnya aku sangat terluka mengetahui Namira hamil. Aku tidak tahu itu Anakku atau bukan, pikiranku sangat kacau. Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Aku tertawa sumbang dan menangis di sana, beberapa pengunjung memandangku dengan aneh, aku begitu sangat ... terluka. Tak berselang lama, seseorang datang menghampiriku yang tak lain adalah Hana. Dia menatapku dengan iba. "Aidan kenapa kau sekacau ini?" Aku terisak. Menatap Hana dengan mata berkaca-kaca. "Namira, Han. Namira ...," "Ada apa dengannya?" "Namira selingkuh ... dia menghianatiku!" Hana menghela napas. "Sudah kubilang, Namira memang bukan wanita baik-baik." "Kau tau Hana, yang jadi selingkuhan Namira adalah ayahku ... ayahku Hana! Aku harus bagaimana? Haruskah aku bahagia?" Aku kembali meraung. APA! "Memang benar-benar si Namira, itu!" Hana terlihat kesal. "Kenapa tidak kamu balas saja si Namira dengan menyelingkuhinya balik?" Aku menatap Hana lekat. Terpengaruh dengan kata-katanya. Benar, tidak ada salahnya jika aku berselingkuh, toh, Namira yang memulainya lebih dulu. "Ma--maksudmu?" Tanyaku berpura-pura tidak mengerti. "Namira menyakitimu dengan berkhianat, kenapa kau tidak membalasnya dengan selingkuh juga." Aku bergeming, mempertimbangkan. "Dengan siapa aku melakukannya? Aku tidak memiliki kenalan wanita, ada ... tapi tidak terlalu dekat. Rasanya canggung meskipun sekedar berpura-pura." “Aku tau dengan siapa.” jawab Hana. Aku menatapnya dengan lekat. Menunggu jawabannya. “Siapa?” tanyaku. Hana tersenyum "Denganku." jawabnya.Hari itu keran di dapur rusak, Aku tidak tahu harus menghubungi siapa, sedangkan Mas Aidan tak suka jika aku mengganggunya saat sedang bekerja. Pernah waktu itu aku memintanya untuk pulang sebentar karena listrik korslet. Dan, dia malah menyuruh orang untuk datang memanggilkan petugas PLN. Tanpa tau betapa ketakutannya diriku.Jadi, di saat seperti ini. Hanya ada satu orang yang selalu kumintai bantuan yaitu ... Ayah.Ayah mertua yang sudah seperti Ayahku sendiri, dia begitu menyayangiku melebihi Mas Aidan--putranya.Mas Aidan tidak suka jika aku merepotkannya apalagi dalam urusan perdapuran. Urusan dapur adalah urusan wanita. Apa dia tidak pernah melihat chef di tv kebanyakan laki-laki? Dasar--suamiku itu.Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menghubungi Ayah, aku mengambil ponsel di atas nakas. Sudah beberapa hari tidak membukanya. Sibuk dengan urusan di rumah. Aku terkejut saat melihat balasan chat yang tidak pantas.Aku merasa tidak pernah mengirimkan chat semacam itu apalagi unt
POV AidanAku merasa puas saat melihat Namira terluka, Aku memang mabuk, tapi tidak terlalu parah.Namira membuka sepatuku, aku mengangkat sudut bibir sebentar lagi Namira akan membuka jas yang aku kenakan.Dan benar saja, Namira melakukannya, kulihat tangannya terhenti kala melihat ruam merah di leherku, yang aku buat sendiri dengan cara mengeroknya.Namira meninggalkanku, aku bangun, kemudian tersenyum saat dirinya telah hilang dibalik pintu.Bagaimana? Sakit bukan? Itu yang aku rasakan, apalagi kau selingkuh dengan orang yang aku kenal. Tidak habis pikir dengan dirimu Namira, kamu berselingkuh dengan Ayah Mertuamu sendiri.Aku menerima usul Hana untuk membalas Namira, Hatiku terlalu sakit untuk menerima penghianatannya.Aku bangun hendak minum, tenggorokanku rasanya haus sekali. Aku membuka pintu perlahan berharap tidak kepergok oleh Namira.Aku berbalik mengumpat di balik tembok saat melihat Ayah dan Namira berada di ruang tamu.Mereka sedang membicarakan apa? Aku menajamkan indra
Siapa yang mengirimnya? Apakah Hana? Apa tujuannya.Aku akan menanyakannya nanti, kulihat Namira menangis, aku hendak memeluknya dan menjelaskan kesalahpahaman ini, namun lagi-lagi aku teringat perselingkuhannya dengan Ayah, aku urungkan niatku dan berlalu pergi dari kamar. Aku mencoba untuk menghubungi Hana, saat panggilan tersambung aku langsung menodong Hana dengan pertanyaan. "Hana apa maksudmu, mengirimkan foto kita yang sedang berpegangan tangan pada Namira?" "Oh maaf Aidan, aku hanya ingin membantumu, aku tidak tau jika kau akan semarah ini," "Membantu apa?""Membalas Namira, bukankah kau ingin Namira merasakan apa yang kau rasakan,"Ada benarnya juga apa kata Hana, tapi kenapa di lubuk hatiku yang terdalam aku tidak suka melihat Namira terluka. Tapi Namira sendiri tega menyakitiku."Oh seperti itu,"Panggilan ku tutup saat Hana telah menjelaskan maksudnya. Aku kembali ke kamar, kulihat Namira sudah berhenti menangis, baguslah.Hari-hari berlalu aku lebih sering menghabiska
POV NamiraBaru saja sebentar tangan mas Aidan ku letakkan di atas perut, ia malah langsung menariknya, aku terkejut."Ada apa, Mas?" tanyaku.Dia lekas menggeleng. "Tidak, aku baru ingat jika masuk pagi,"Ada apa ini, mengapa gelagatnya sangat aneh akhir-akhir ini? Apakah Mas Aidan ada masalah di kantor. Kenapa ia tak pernah bercerita? Sepertinya, aku harus segera menyelidikinya.Setelah mengantar Mas Aidan di pintu, aku mengulum senyum, berharap mendapatkan ciuman di kening seperti biasanya, Namun, setelah menunggu lama, lagi-lagi aku tidak mendapatkan itu.Mas Aidanku telah berubah. Dia tak seperti dulu, yang akan berputar arah pulang ke rumah lagi saat terlupa memberiku kecupan.Aku masuk ke dalam rumah saat mobil Mas Aidan sudah tak terlihat lagi, kuhempaskan tubuh ini di sofa, rasanya semenjak hamil tubuhku terasa sangat lelah. Bukan hanya tubuh, tapi juga hatiku._[Sore hari]Tok tok tok!Terdengar suara ketukan di pintu saat aku dengan membaca buku ibu hamil di ruang tengah.
POV AidanTanganku terkepal saat nomor tidak di kenal mengirimkan foto Namira dan Ayah sedang berpelukan, aku menjadi emosi, dan melempar barang-barang di atas meja kerja, kemudian Hana datang."Aidan kau kenapa, tenang kan dirimu,""Kau lihat Hana, liat! Mereka sudah berani terang-terangan saat aku tidak ada di rumah,"Aku ingin berusaha untuk tidak peduli, Namun nyatanya hati ini masih saja merasakan sakit."Mungkin itu tidak sengaja, Dan.""Tidak sengaja Bagaimana, sedangkan kemarin Namira bilang Ayah sudah pulang. Lalu untuk apa mereka janjian kembali? Aku tidak mengerti!"Aku benar-benar emosi, aku mengacak rambut kasar."Kau jangan mau kalah Aidan, jangan mau kalah dari Namira,""Aku akan membantumu, tenang saja," Hana mengusap kepalaku yang sedang menelungkup di atas meja.Dia sangat ... perhatian."Ayo kita pulang, kamu tunjukan pada Namira, bahwa kamu bukanlah manusia lemah,"Aku mendongak, menatap Hana lekat, ia tersenyum kemudian mengangguk meyakinkanku.Aku akan mengikuti
"Adalah apa Mas? Ayo katakan?""Adalah ..." Aku menjeda kalimatku. "Bukan anakmu? Benar begitu, kenapa kau tega tidak mengakui darah dagingmu sendiri mas? HAH?" Namira menangis.Aku terduduk, kemudian menatapnya tajam."Wajar aku berpikiran seperti itu, jika kau tidak memulainya dengan selingkuh!"Emosiku meluap-luap. Kemudian mencengram kuat pergelangan tangannya."Akhh sakit," "Siapa yang selingkuh Mas, aku tidak pernah selingkuh," jawabnya. "Kau tidak usah mengelak lagi Namira," kataku ketus. "Mengelak Bagaimana, aku tidak pernah selingkuh!" Namira bersikeras mengelak. "Kau berselingkuh dengan Ayah, ayahku ayah mertuamu!" Hardikku, semakin ku kuatkan cengkramanku pada tangannya. Namira terbelalak mendengarnya.Kemudian ia menggeleng kuat."Aku tidak pernah selingkuh Mas, kau salah paham," lirih nya. "Aku tidak salah paham, aku melihat sendiri chat mesra yang kau kirimkan kepada ayah, di malam itu di mana kita selesai bercinta," jelasku padanya. "Apa kau tidak pernah berpiki
Setelah tiba di rumah sakit, Namira langsung dinaikkan ke atas brangkar, dan dimasukkan ke dalam ruang IGD. Aidan bergegas mengurus segala persyaratan dari pihak rumah sakit, entah mengapa kini dirinya menjadi cemas memikirkan Bagaimana kondisi Namira di dalam.Aidan mondar-mandir, menunggu dokter yang sedang menangani Namira itu keluar, ia menghembuskan napas kasar.Setelah menunggu selama 30 menit, Dokter wanita yang mengenakan hijab itu keluar, wajahnya sendu, kemudian menatap Aidan."Anda siapanya?""Saya, suaminya Dok,""Yang sabar ya Pak, Janin Bu Namira tidak bisa di selamatkan, ia mengalami pendarahan yang cukup hebat."Aidan menghela napas, Entah mengapa ada rasa sesak di dalam dadanya, namun ia tidak merasa bersalah sedikitpun."Baiklah, Lalu bagaimana kondisi istri saya sekarang dok?""Bu Namira sedang beristirahat sekarang, mohon jangan diganggu dulu. tunggu beberapa jam kemudian setelah kondisinya pulih, baru Anda bisa masuk. ""Baik Dokter, terimakasih,"Dokter wanita it
"JADI KAU YANG MENGIRIMKAN PESAN ITU?!"Suara Bariton seorang pria muncul dari belakang. Mata Saras langsung membola.Saras langsung menunduk tangannya tiba-tiba gemetar."Ss-s-saya..." ucapnya terbata. "KATAKAN!" sentak Aidan dengan suara tinggi, dadanya bergemuruh tangannya terkepal."Kau yang mengirim pesan itu pada Ayahku, iya?" Hardiknya. Saras bergeming tangannya memainkan ujung baju, peluh keringat membanjiri pelipis nya."Saya minta maaf, Tu-tuan," lirihnya. Aidan memejamkan mata, kemudian menghembuskan nafas kasar, kemudian jari telunjuknya diarahkan pada Saras."Jika kau adalah laki-laki sudah ku hajar kau," ucap Aidan dengan Gigi bergemelatuk.Emosinya sudah meluap meluap, kemudian memukul pintu dengan kuat.BRAKK!Saras terperanjat mendengar suara tersebut."Saya minta maaf Tuan, tolong jangan pecat saya," "Saya tidak akan memecatmu