Share

CAHAYA, Glow Up Setelah Disia-siakan
CAHAYA, Glow Up Setelah Disia-siakan
Penulis: Heaven Nur

Malam Pertama Tanpa Sentuhan

“Enak banget kamu ya, baru dateng udah leyeh-leyeh aja! Cepetan ganti baju! Bantuin cuci piring di belakang!” Dengan nada kesal, seorang wanita paruh baya menunjuk gadis berkulit sawo matang yang masih mengenakan gaun pengantin untuk membantu pekerjaannya di dapur.

“Maaf, Bu. Sekarang?” Gadis polos bernama Cahaya itu mengajukan pertanyaan untuk memastikan. Maklumlah, malam pengantin baru. Masa iya, pengantinnya disuruh cuci piring.

Bukannya langsung patuh, tetapi malah bertanya membuat sang ibu mertua semakin geram, sehingga kedua matanya melotot penuh amarah. Bahkan perempuan yang baru saja mendapat gelar ibu mertua itu mulai mengangkat kedua tangan ke pinggang. “Pastinya sekaranglah! Kalau nunggu tahun depan, ya keburu lumutan tu piring-piring! Kamu pikir cucian piring numpuk dan dapur kotor karena bekas acara siapa? Semua kekacauan ini karena acara pernikahan kamu! Jadi kamu harus ikut tanggung jawab!”

Tanpa berani protes dan bertanya apa pun lagi, Cahaya mengangguk paham. “Iya, Bu. Aya ganti baju dulu.”

“Cepetan!” seru Bu Lastri, sang ibu mertua seraya menutup pintu kamar dengan sangat kasar.

Sebenarnya Cahaya baru saja masuk ke kamar suaminya untuk beristirahat selepas menemani beberapa tamu yang datang, tetapi dia harus memenuhi perintah ibu mertua dan menunda waktu untuk beristirahat. Gadis desa yang kini telah resmi menjadi seorang istri itu bersusah payah melepas pernak-pernik aksesoris yang menempel di kepala dan meletakkannya asal di atas meja. Tanpa menghapus riasan yang melekat di wajah, Cahaya segera menarik selembar daster motif bunga dan jilbab instan dari tas yang dia bawa dari desa, kemudian memakainya.

“Cahaya! Cepetan!!” Teriakan Bu Lastri mampu membuat jantung Cahaya berdegup dua kali kencang. Bukan berdegup karena membayangkan malam pertama, tetapi karena dia ketakutan. Lebih tepatnya takut jika berbuat salah di mata ibu mertua. Dia teringat nasihat dari neneknya agar menjadi istri dan menantu yang patuh pada suami dan mertua.

Seperti nyonya besar yang memanggil babunya, Bu Lastri kembali berteriak hingga Cahaya benar-benar muncul di hadapan. Dengan tatapan sinis dan sebelah tangan bertolak pinggang, sang mertua memberi instruksi pada si menantu tentang apa yang harus dikerjakan. Selain mencuci piring Cahaya juga harus menyapu dan mengepel lantai dapur hingga bersih, dan semua pekerjaan harus selesai malam ini juga. Bu Lastri melarang Cahaya tidur sebelum semua perintah yang diberikan sudah diselesaikan dengan benar.

Tanpa bertanya apa pun lagi, Cahaya segera berdiri di depan wastafel dan mulai mencuci satu per satu piring kotor yang menumpuk. Bukan hanya di atas, tetapi tumpukan piring dan beberapa alat dapur yang lain terlihat berjejer mengantri di lantai, tepat di samping kaki Cahaya berdiri.

Setelah satu jam lebih, gadis itu akhirnya menyelesaikan tugas dari ibu mertua di hari pertama dia menjadi menantu. Rasa lelah menghampiri membuat pinggang dan punggung Cahaya terasa berat dan kaku. Diliriknya jam bundar yang tertempel di dinding waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Selain rasa penat dan kantuk yang menyerunya untuk cepat-cepat merebahkan diri, pengantin baru itu ingin segera menemui pasangannya karena sejak perkenalan hingga acara resepsi pernikahan selesai, keduanya tidak ada obrolan serius yang membicarakan hal pribadi masing-masing.

Cahaya ingin menghabiskan malam ini bersama dengan suami, mengenal pria itu lebih dalam, berbagi cerita apa pun agar bisa lebih dekat dan melakukan hal indah yang pasti diidamkan seluruh pemuda pemudi.

Dibukanya pintu kamar yang terbuat dari jati berukiran indah dengan sangat pelan. Berharap sosok pria yang beberapa jam yang lalu menghalalkannya itu menyambutnya dengan senyuman. Namun, Cahaya harus menelan kekecewaan. Hati yang sedari tadi berdebar bahagia tiba-tiba hampa karena pria yang dia bayangkan sedang menunggunya di atas ranjang ternyata tidak ada di kamar.

DI mana Mas Adam? Kok nggak ada di kamar? Apa mungkin sedang mandi?

Cahaya melangkah mendekati pintu kamar mandi yang terletak di ujung ruangan, tetapi masih di dalam kamar. Keluarga Adam termasuk salah satu keluarga kaya di kota ini, jadi wajar memiliki rumah dengan ukuran kamar yang luas lengkap dengan kamar mandi.

Gadis itu diam di depan pintu kamar mandi, mendengarkan dengan seksama, tetapi tidak ada suara apa pun dari dalam. Cahaya memutar badan, melangkah perlahan dan mulai menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Diraihnya gawai pipih dari atas nakas dan menyalakan layar, membuka beberapa folder gambar yang sempat dia abadikan tadi siang untuk mengusir kantuk yang datang . Tak mungkin kan dia tidur lebih dulu, sementara malam ini adalah malam istimewa bersama sang suami.

Malam semakin larut, suasana pelaminan pun telah sepi. Hanya terlihat beberapa pria yang mengumpulkan gelas plastik bekas minuman para tamu dan beberapa pria terlihat berkumpul di teras rumah, sementara para tetangga yang lain telah pulang ke rumah masing-masing.

Perut mungil Cahaya tiba-tiba bereaksi ketika hidungnya tak sengaja mencium aroma sedap yang menyeruak dari arah dapur. Entah masakan apa yang sedang dihangati oleh Bu Lastri di dapur, tetapi bau masakan itu tampak begitu lezat di benak Cayaha. Karena rasa gugup dan antusiasme yang terlalu tinggi membuat gadis itu melupakan makan siang. Dia baru teringat bahwa perutnya memang belum diisi sejak keberangkatan dari desa tadi pagi, sehingga membuat cacing-cacing di perutnya meraung-raung berharap untuk dikasihani.

Padahal tadi baru dari dapur, tetapi entah mengapa tak ada rasa lapar sama sekali.

Ah, nanti aja kalau Mas Adam sudah masuk kamar, aku akan minta dia buat temenin aku makan di dapur. Akan kutahan dulu rasa laparku. Biar so sweet juga kan nanti bisa makan bareng sama suami sebelum malam pertama.

Lamunan gadis desa yang mulai malam ini akan tinggal di kota itu mampu membuatnya senyum-senyum sendiri. Dengan perasaan yang tak bisa dijelasksan, Cahaya mengedarkan pandangan memerhatikan kondisi kamar pengantin yang dihias indah dengan nuansa biru muda dan putih penuh dengan bunga bermekaran. Tampak sangat indah seperti hatinya saat ini. Gadis itu mengalihkan pandangan ke atas kasur yang membuat hatinya semakin bergetar dan jantungnya seakan terpompa lebih kencang. Bagaimana tidak, gadis desa itu melihat hiasan dari tumpukan kelopak bunga mawar merah yang dibentuk hati di atas kasur yang akan menjadi saksi bisu malam pertamanya. Malam yang sebelumnya tak pernah dia bayangkan akan dilewatinya dengan siapa, tetapi kini sudah sangat jelas bahwa pria itu adalah Adam, pemuda beralis tebal dan bermata tajam dengan tubuh atletis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Terdengar derit pintu terbuka membuat Cahaya terhenyak dan segera menoleh. Benar saja, sosok yang sedari tadi berputar-putar di hati dan pikiran Cahaya kini berdiri tegap di depan mata. Sayangnya, pria yang bernama Adam itu mendatangi istrinya dengan memasang wajah masam.

“Mas ....” Cahaya memanggil suaminya dengan penuh kebahagiaan.

Akan tetapi, sosok pria yang dipanggil masih terdiam membeku.

“Mas dari mana? Aya pikir tadi Mas mandi, tapi pas Aya periksa di kamar mandi, nggak ada orang.” Dengan senyum termanisnya Cahaya menghampiri Adam, berharap pria yang dia kagumi akan membalas dengan hal yang sama.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Adam meniup napas kasar dan membuang muka, tetapi Cahaya masih berusaha memahami keadaan sang suami.

“Mas pasti capek kan? Sini, Mas ... Aya pijitin biar enakan. Habis itu bawa istirahat.” Cahaya duduk di atas ranjang dan menepuk pelan kasur memberi isyarat pada Adam agar segera menyusulnya. Meskipun dalam hati Cahaya saat ini benar-benar tak karuan karena baru pertama kali berada dalam satu kamar bersama seorang pria, tetapi dia sudah siap lahir dan batin untuk menjadi istri dari seorang Adam.

Adam kembali menarik napas berat dan mengembuskannya dengan sangat kasar. Sorot mata tajam menyala seperti amarah sedang berada di ujung tanduk, pria itu berkata, “Enggak perlu! Aku mau tidur di kamar lain!”

“Tapi, Mas. Malam ini kan malam pertama kita.” Cahaya kembali berucap dengan tatapan nanar, tetapi hal itu malah membuat pria yang berdiri di hadapannya semakin muak.

“Apa? Malam pertama?? Jangan mimpi! Aku nggak sudi menyentuhmu! Apa kamu nggak sadar bagaimana kondisi wajahmu itu? Meskipun dipolesi riasan semahal apa pun, nggak akan mengubah kenyataan bahwa kamu itu jelek!”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status