Share

Bertahan Demi Nenek

Nenek Asih bertanya dengan lirih, “Nduk, kenapa kamu yang ngepel lantai? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?”

“Punya kok, Nek. Tapi Mbok Sri tugasnya masak dan urus keperluan dapur yang lainnya. Aya Cuma bantuin nyapu sama ngepel aja,” jawab Cahaya apa adanya.

“Cahaya nyapu sama ngepel lantai sendirian?” tanya Nenek Asih lagi. “Emangnya mertuamu punya pembantu berapa?”

“Dua, Nek. Tapi yang satu laki-laki, namanya Kang Asep. Kang Asep tugasnya bersihin halaman, ngerawat tanaman sekalian jadi satpam di sini,” jelas Cahaya dengan penuh semangat.

“Tapi nyapu sama ngepel rumah sebesar ini sendirian pasti capek banget, Nduk. Kenapa mertuamu nggak cari pembantu lagi buat bantuin kamu?”

“Ah, enggak kok, Nek. Aya kan udah terbiasa kerja kayak gini di rumah dulu. Jadi, Aya bisa kerjakan sendirian.”

Mendengar jawaban dari sang cucu yang sudah lama dirindukan membuat Nenek Asih terenyuh. Wanita tua yang membawa sekantong plastik berisi buah mangga dan rambutan itu kembali memeluk cucunya.

“Ya sudah. Yang penting Aya baik-baik aja kan? Aya sehat kan? Aya bahagia kan tinggal di sini?”

Pertanyaan Nenek Asih mampu meremas hati Cahaya. Seketika, wajah penuh kebencian suaminya menari-nari di depan mata. Dalam hati kecil gadis itu dia sangat ingin mengadukan semua perlakuan yang dia terima dari sang suami, tetapi ... sekuat tenaga Cahaya berusaha menahan agar kepedihannya tidak sampai dia luapkan kepada sang nenek yang bisa jadi malah membuat neneknya bersedih.

Dengan cepat Cahaya menyeka air mata yang hampir luruh dari kedua sudut matanya. “Alhamdulillah, Cahaya bahagia banget tinggal di sini, Nek,” jawabnya dengan menampilkan senyum manis agar sang nenek percaya dengan apa yang dia ucapkan.

“Alhamdulillah.” Nenek Asih membalas dengan perasaan lega.

Cahaya pun mengajak neneknya untuk masuk menuju ke arah dapur seraya menelusuri tiap sudut rumah mewah itu, Cahaya memberi tahu di mana kamar tidurnya bersama sang suami agar neneknya merasa senang. Dia juga menunjukkan bahwa ada beberapa kamar tamu dan meminta neneknya untuk mrnginap walaupun hanya satu malam.

Namun, Nenek Asih tidak bisa tinggal lama untuk kunjungannya kali ini, karena besok akan ada acara rumah tetangga sebelah mereka. Keadaan rumah yang sangat sepi karena Adam pergi ke kantor seperti biasa, sementara Bu Lastri baru saja pergi untuk shoping bersama teman-teman sosialitanya.

Sesampainya di dapur, Cahaya langsung memperkenalkan Mbok Sri kepada sang nenek dengan penuh bersemangat. Karena sama-sama berasal dari daerah Jawa, membuat Mbok Sri dan Nenek Asih merasa cocok dan percakapan pun mengalir hingga mereka saling berbagi banyak cerita. Cahaya mewanti-wanti pada Mbok Sri agar tidak menceritakan tentang ibu mertuanya yang memecat dua ART sebelum kedatangan Cahaya di rumah ini, karena hal itu pasti akan membuat sang nenek curiga dan bisa jadi malah akan menimbulkan permasalahan di antara keduanya.

“Nduk, sebenarnya Nenek ke sini bukan hanya karena Nenek kangen sama kamu,” ucap Nenek Asih kepada Cahaya selepas Mbok Sri pamit akan pergi belanja ikan dan sayur di pasar terdekat. Sebenarnya Nenek Asih sudah ingin berbicara empat mata dengan cucunya karena memang hal yang akan disampaikannya adalah hal pribadi, tetapi dia terus menunggu sehingga ketika Mbok Sri keluar untuk berbelanja, Nenek Asih segera membuka suara.

“Maksud Nenek apa?” balas Cahaya dengan penasaran.

“Sebenarnya ada satu rahasia tentang kamu yang nenek simpan selama ini.”

Kedua mata Cahaya melebar sempurna. “Rahasia? Rahasia apa maksud Nenek?” Cahaya benar-benar ingin tahu.

Nenek Asih terdiam sejenak, mengumpulkan kekuatan untuk mengungkap sebuah fakta yang sebenarnya dia ingin menyimpannya sendiri. Pada awalnya Nenek Asih berniat menutup rapat kebenaran ini. Akan tetapi, wanita tua itu telah berpikir beribu kali dan keinginan mengungkap rahasia itu semakin kuat. Bagaimanapun, Cahaya memang harus tahu kebenaran tentang dirinya.

Satu rahasia tentang sesosok bayi mungil cantik bermata indah yang ditemukan Nenek Asih sekitar 23 tahun yang lalu. Sebelum menetap di desa yang ditempatinya saat ini, Mbok Asih sempat tinggal di kota bersama suami dan anaknya. Di malam yang mencekam, wanita itu mendengar suara tangisan bayi dan setelah diperiksa, ada satu keranjang yang terbuat dari rotan tergeletak di depan pintu. Langkah Nenek Asih semakin mendekat ke arah keranjang dan didapatinya seorang bayi perempuan dengan pakaian yang indah sedang menangis kelaparan. Nenek Asih segera meraih tubuh mungil itu dan merawatnya hingga sekarang.

Mengetahui kenyataan tentang dirinya seketika membuat Cahaya diam membeku. “Jadi, sebenarnya Aya bukan cucu Nenek?” Antara percaya dan tidak, tetapi sang nenek mengangguk penuh keyakinan membuat derai air mata Cahaya luruh.

“Maaf, Nduk. Seharusnya Nenek memberi tahumu lebih awal, tapi setiap kali Nenek ingin bicara, lidah Nenek terasa kelu. Sebenarnya Nenek nggak sanggup kalau harus lihat kamu nangis kayak gini.” Nenek Asih tak kalah sedihnya dengan Cahaya. Dengan penuh kelembutan, wanita tua itu merengkuh tubuh cucunya seraya menangis.

Kejadian saling memeluk dan menangis berlalu hingga beberapa menit. Pikiran dan hati Cahaya pun mulai bisa menerima dan dia bertanya pada sang nenek. “Kalau Aya bukan cucu kandung Nenek, terus siapa orang tua Aya yang sebenarnya?”

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status