Hari demi hari berlalu. Pernikahan Cahaya dan Adam hari ini genap berumur satu bulan. Di usia pernikahan seperti ini biasanya pengantin sedang asyik-asyiknya menjalani hari-hari indah dengan berbulan madu. Melewati setiap momen saling mengenal lebih dalam dengan perasaan penuh dengan kebahagiaan.
Namun, hal-hal indah itu hanyalah impian belaka, karena kenyataannya Cahaya dan Adam tidak pernah tidur bersama. Ya, selama satu bulan mereka tinggal di atap yang sama, tetapi pasangan suami istri ini tidak pernah bersentuhan. Jangankan menyentuh, memandang wajah istrinya saja Adam merasa sangat jijik dan mual. Seperti malam ini, ketika pasangan suami istri itu di kamar, Cahaya yang baru keluar dari kamar mandi tidak sengaja menghalangi langkah Adam. Karena sakit perut yang berlebihan membuat Adam segera bergegas menuju kamar mandi setelah melihat Cahaya keluar. ‘Kamu ngapain masih di situ! Minggir!” teriak Adam pada Cahaya dengan sorot mata tajam. “Orang mau ke kamar mandi malah dihalangin!” Pria itu mendengus kesal. “Oh, maaf, Mas.” Dengan cepat Cahaya menyingkir dari hadapan pria itu dan menuju ke meja rias. Dia ingin berdandan dengan beberapa peralatan make up yang dia beli tadi siang. Atas bantuan dari Mbok Sri yang mengajaknya ke pasar untuk sekaligus berbelanja bahan masakan, Cahaya memanfaatkan uang yang diberi Adam untuk membeli bedak dan lipstik dengan warna berbeda dari yang dia punya. Cahaya memakai pewarna bibir itu dengan penuh semangat. Padahal, dia sudah sering mendapat penolakan bahkan hinaan dari sang suami, tetapi semangatnya untuk meluluhkan hati Adam tidak pernah menyurut. Cahaya berusaha keras untuk menjadi dekat dan dia yakin suatu hari nanti suaminya akan mulai tertarik padanya dan mencintai dirinya. Suara pintu kamar mandi terbuka, Adam keluar dari balik pintu dengan tatapan lurus ke depan. Jangankan memperhatikan wajah Cahaya yang sudah berhias, hanya sekedar menoleh pun rasanya ogah. Langkahnya cepat ingin segera menuju kamar tamu dan menghindari upaya sang istri yang ingin mendekati dirinya. “Mas,” panggil Cahaya dengan nada suara yang dilembutkan. Dia berharap suaminya segera menoleh dan melihat wajahnya. “Nggak usah panggil-panggil. Kalau perlu duit ngomong aja langsung!” Adam membalas dengan pandangan masih tertuju ke pintu kamar. Langkahnya memang berhenti, tetapi pria itu sama sekali tak sudi menoleh ke arah sang istri. Cahaya bangkit dari kursi depan meja rias, kemudian melangkah perlahan mendekati suaminya. “Bukan masalah uang, Mas. Uang yang Mas kasih kemarin masih kok.” “Lalu apa? cepetan ngomong, aku capek banget, ngantuk, mau tidur!” balas Adam lagi dengan ketus. “Emmm, coba Mas lihat penampilan Aya malam ini. Aya tadi siang beli lipstik warna baru, Mas. Bagus enggak? Aya juga pakai baju bagus, Mas. Baju ini dibeliin Ibu beberapa hari yang lalu. Kata ibu biar Mas Adam seneng. Mas lihat, deh. Cocok enggak sama Aya?” Layaknya seorang istri yang bersikap manja kepada suaminya, Cahaya mengatakan itu dengan berpindah posisi ke hadapan Adam agar sang suami benar-benar melihat penampilannya yang berbeda. Karena selain memakai lipstik baru, Cahaya juga sudah berpakaian baju tidur berwarna merah yang berbahan tipis dan menerawang, sehingga membuat kulit bagian perutnya tampak dari luar. Meskipun berkulit gelap, sebenarnya Cahaya memiliki wajah yang cantik. Dengan mata lebar dihiasi bulu mata yang lentik dan dengan bibir tebal yang kebanyakan orang menyebutnya bibir indah dan seksi. Bentuk tubuh gadis desa itu pun sebenarnya tidak terlalu buruk. Meskipun terlihat kurus ceking, tetapi bentuk dan ukuran onderdil bagian depan gadis ini bisa dibilang lumayan menggoda untuk dinikmati. Mungkin, jika pria lain yang saat ini berada di posisi Adam akan langsung melahap hidangan malam berupa gadis desa yang ada di hadapannya ini. Akan tetapi, tidak dengan Adam. Pria itu malah merasa jijik dan muak ketika melihat penampilan berbeda dari Cahaya. “Ck! Buat apa sih kamu pakai baju kayak gitu? Apa kamu pikir aku bakalan tergoda dan langsung mau menyentuhmu? Tidur denganmu layaknya pasangan suami istri?” “Memangnya kenapa, Mas? Kita kan memang pasangan suami istri. Kata ibu juga gitu, kan? Ibu pengen cepet-cepet punya cucu dari kita,” jelas Cahaya dengan nada melemah. “Apa? Cucu?? Maksudnya ... aku punya anak dari kamu?” tanya Adam dengan penuh keheranan. “No, no, no! Aku nggak mau punya anak sama kamu. Kalau aku punya anak sama kamu, pasti anakku bakalan item jelek sama kayak kamu!” Ucapan Adam membuat Cahaya tersentak. “Astagfirullah, Mas! Kenapa ucapanmu kasar banget. Bagaimanapun kondisi fisik kita, semuanya yang ngatur itu Allah. Mas pernah ngaji enggak sih? Kata pak ustaz kita tuh nggak boleh mandang orang dari fisiknya.” “Udah, udah! Kenapa malah ceramah sih?!” “Bukan ceramah, Mas. Aya cuman mau ngingetin Mas aja. Lagian, bagaimanapun kondisi fisik Aya, kan Aya sudah jadi istri Mas Adam.” “Kamu memang istriku, tapi cuman di buku nikah aja. Aku nikahin kamu hanya karena wasiat bapak. Kalau bapak nggak nyuruh aku nikahin kamu, nggak bakalan aku mau! Aku juga tahu alasan kamu mau menikah denganku karena aku anak orang kaya, kan? Kamu cuman pengen numpang hidup enak di sini!” Menerima ucapan kasar dari Adam seperti ini, Cahaya hanya bisa mengelus dada. Bukannya tidak merasakan sakit, tetapi karena saking seringnya dan bahkan hampir setiap hari dia menerima ucapan ketus dari suaminya itu membuat Cahaya mulai terbiasa. Yang bisa dilakukan gadis itu hanya diam dan pasrah. Namun, jika ucapan Adam sangat menyakitkan sehingga membuatnya merasa tidak sanggup untuk menahan lagi, hal terakhir yang bisa dilakukan Cahaya adalah dengan meluapkan keluh kesah dan tangisannya dalam sujud kepada Sang Pencipta. Karena Dia-lah Yang Maha Pengatur segala yang ada di dunia. Cahaya terus memohon kepada Allah agar suatu hari pintu hati suaminya terbuka dan mau memandang ketulusannya; bahwa Cahaya mencintai Adam bukan karena harta. Malam berlalu pagi pun tiba. Seperti biasa, setelah menyelesaikan pekerjaan mencuci pakaian sekaligus menjemurnya, Aya langsung bergegas menyapu lantai dan disambung dengan mengepel hingga bersih dan kinclong seperti perintah sang mertua. pekerjaan tambahan Cahaya saat ini adalah dia harus membersihkan semua kamar mandi beserta toiletnya. Tugas itu diperintahkan oleh Bu Lastri setiap dua hari sekali agar kerak di kamar mandi tidak menebal dan keadaan kamar mandi tidak licin yang bisa membahayakan nyawa. Ada-ada aja emang cara wanita kaya ini memperbudak menantu polosnya. Hari ini bukan jadwal menyikat kamar mandi membuat Cahaya sedikit agak santai dengan pekerjaan mengepel. Ketika sedang mengepel teras depan, pekerjaannya harus terhenti karena seseorang memanggil namanya. Suara wanita tua yang sangat dirindukan Cahaya, karena selama tinggal di rumah besar ini, Cahaya kesulitan menghubungi wanita yang menjadi satu-satunya keluarga yang dia punya. “Nenek ...,” panggil Cahaya dengan air mata tak terasa tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Dengan tatapan hangat, wanita tua yang bernama Nenek Asih itu menghampiri cucunya, melepas rasa rindu dengan pelukan penuh kasih sayang. Satu bulan bukanlah waktu yang singkat untuk seorang nenek yang baru pertama kali berpisah dari cucunya. Walaupun berat, tetapi Nenek Asih merasa tenang karena sang cucu dinikahi pria kaya dan nenek itu yakin bahwa hidup cucunya pasti nyaman. Namun, ada perasaan janggal di hati Nenek Asih dengan pemandangan yang baru saja dia saksikan. “Nduk, kenapa kamu yang ngepel? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?” BERAMBUNGNenek Asih bertanya dengan lirih, “Nduk, kenapa kamu yang ngepel lantai? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?”“Punya kok, Nek. Tapi Mbok Sri tugasnya masak dan urus keperluan dapur yang lainnya. Aya Cuma bantuin nyapu sama ngepel aja,” jawab Cahaya apa adanya.“Cahaya nyapu sama ngepel lantai sendirian?” tanya Nenek Asih lagi. “Emangnya mertuamu punya pembantu berapa?”“Dua, Nek. Tapi yang satu laki-laki, namanya Kang Asep. Kang Asep tugasnya bersihin halaman, ngerawat tanaman sekalian jadi satpam di sini,” jelas Cahaya dengan penuh semangat. “Tapi nyapu sama ngepel rumah sebesar ini sendirian pasti capek banget, Nduk. Kenapa mertuamu nggak cari pembantu lagi buat bantuin kamu?” “Ah, enggak kok, Nek. Aya kan udah terbiasa kerja kayak gini di rumah dulu. Jadi, Aya bisa kerjakan sendirian.” Mendengar jawaban dari sang cucu yang sudah lama dirindukan membuat Nenek Asih terenyuh. Wanita tua yang membawa sekantong plastik berisi buah mangga dan rambutan itu kembali memeluk cucunya.
“Siapa orang tua kandung Aya, Nek?” tanya Cahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa gerangan orang tua yang telah tega membuang dirinya dalam keadaan masih bayi. Derai air mata Cahaya masih terus mengalir hingga kerudung yang dia pakai hampir basah seluruh bagian depannya. Hal yang benar-benar di luar dugaan dan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahwa dia adalah seorang anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya dan berakhir menjadi gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Meskipun begitu, Cahaya tetap harus bersyukur karena yang menemukannya adalah Nenek Asih dan Almarhum suaminya yang baik hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang layaknya cucu sendiri.“Nek, kenapa diam aja? Tolong katakan, siapa orang tua kandung Aya?” tanya Cahaya lagi dengan memohon. “Nenek juga nggak tahu, Nduk. Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh orang tuamu. Yang Nenek tahu cuman namamu saja karena pada saat Nenek menemukanmu, kamu memakai gelang dengan tulisan Cahay
Cahaya membaca pesan di gawai pintar suaminya dengan tangan gemetar. Satu pesan singkat dengan panggilan mesra seketika mengalihkan pikiran dan hatinya. Nomor kontak bertuliskan CANTIKKU itu mampu membuat jantungnya berdegup beribu kali lebih kencang, sehingga Cahaya tiba-tiba merasakan tubuhnya membeku tak bisa digerakkan. “Apa yang kamu lihat?!” Setengah berlari, Adam menghampiri Cahaya dan langsung merebut benda pipih yang ada di tangan sang istri. Dengan wajah penuh amarah, Adam mengkritik sikap Cahaya karena sudah berani memegang handphone miliknya. “Siapa yang suruh megang HP-ku? Hah? Berani banget kamu ya?!” Cahaya masih mematung dengan tatapan kosong. Dia sama sekali tak menghiraukan ekspresi suaminya yang sedang marah karena pikirannya dan hatinya masih bergelut dengan pesan singkat mesra yang baru saja dia baca.“Dia siapa, Mas?” tanya Cahaya seraya menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya. “Maksud kamu apa?” Adam berlagak bodoh. Pastinya, karena tidak akan mungk
“Ibu tahu, kamu berhubungan lagi sama Nadia, kan?” Dengan tatapan tajam Bu Lastri bertanya kepada Adam. Sebelumnya perempuan itu memang sudah kenal betul dengan kekasih putranya yang bernama Nadia, karena Adam memang sering membawa pulang wanita cantik itu ketika ayahnya tidak ada di rumah. Akan tetapi, karena wasiat dari sang suami menyebabkan Bu Lastri lebih memilih Cahaya sebagai menantunya. Bagi Bu Lastri, tidak apa-apa mengorbankan cinta putranya demi mempertahankan harta kekayaan dan semua warisan. “Ibu tahu dari mana?” Adam bertanya balik. Padahal, pertemuannya dengan Nadia baru terjadi dua kali dan itupun mereka lakukan di restoran yang tersembunyi sepi dari pengunjung, tetapi bagaimana sang ibu bisa tahu? “Sudah Ibu bilang, Ibu tahu siapa yang ada di balik kontak nomor handphone-mu yang kamu namai CANTIKKU itu.”“Apa Ibu serius? Ibu tahu? Jadi ... sebenarnya Ibu tadi sudah tahu kalau Cahaya tidak asal bicara? Bahkan, Ibu juga tahu kalau yang mengirim pesan tadi adalah Nadi
Atas permintaan aneh dari wanita cantik yang diakui sebagai adik sepupu Adam, Cahaya terpaksa harus mencari toko daging yang masih buka. Benar saja, karena jam sudah hampir malam tidak ada toko daging yang masih buka di jam-jam seperti ini. Karena Cahaya pergi belanja hanya dengan berjalan kaki, dia tidak bisa menempuh jalan yang jauh. Langkahnya gontai dan dia berhenti di depan sebuah ruko yang kosong untuk beristirahat sejenak. Tiga menit terlewati, Cahaya berniat melanjutkan perjalanannya ke satu toko terakhir yang belum dia datangi. Langkahnya terhenti ketika ada seseorang memanggil namanya. “Non Cahaya sedang apa?” tanya perempuan setengah baya yang ternyata adalah Mbok Sri.Ya, mantan ART Bu Lastri itu sedang membeli obat di apotek dekat ruko kosong yang ditempati Cahaya beristihat. Cahaya pun menoleh mencari sumber suara dan dia terkejut ketika mendapati mantan ART di rumah ibu mertuanya kini berdiri di hadapannya. Cahaya baru teringat bahwa Mbok Sri pernah bercerita memilik
Setelah menyetujui keinginan gadis yang duduk di hadapannya, wanita anggun itu menatap lekat ke arah Cahaya.“Serius, namamu Cahaya? Ibu dulu juga punya anak perempuan manis bernama Cahaya. Tapi ....” Kalimat wanita itu terhenti seketika, menyebabkan rasa penasaran Cahaya tiba-tiba muncul. Mengingat dia bukan cucu asli dari neneknya, menjadikan pikiran kemungkinan dia putri wanita kaya itu pun datang. “Tapi kenapa, Bu? Apakah putri Ibu yang bernama Cahaya itu hilang? Diculik orang atau tertinggal di suatu tempat?” tanya Cahaya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Ah, tidak seperti itu,” balas Bu Salma dengan kembali tersenyum. “Putri kami yang bernama sama sepertimu meninggal sejak bayi karena penyakit kronis.”Jawaban dari Bu Salma seketika membuat Cahaya terdiam dan mengangguk paham. “Oh, seperti itu ya, Bu.” Entah mengapa, Cahaya merasa kecewa. Dari arah dapur terlihat Mbok Sri kembali dengan sekantong plastik berukuran sedang dan segera memberikannya kepada Cahaya. Setelah
Sudah tiga hari ini keadaan rumah yang ditempati Cahaya sangat sepi. Karena Adam dan ibunya sedang pergi ke luar kota membuat Cahaya sekarang tinggal di rumah ini sendirian. Sesuai dengan ucapan sang mertua ketika hendak berangkat tiga hari yang lalu, mereka akan menghadiri sebuah acara keluarga di rumah orang tua Nadia dan menginap di sana.Kenapa Cahaya tidak diajak? Kan dia istri Adam, otomatis juga menjadi bagian keluarga mereka, ‘kan?Betul!Akan tetapi, Bu Lastri melarang Cahaya ikut dengan alasan menjaga rumah karena saat ini mereka tidak memiliki ART lagi dan Kang Asep yang bertugas sebagai security sedang cuti untuk beberapa hari. Istri dan anak Kang Asep sedang sakit bersamaan dan membutuhkan perawaatan.Selama tiga hari Cahaya sendiri di rumah ini. Meskipun dengan perasaan sedikit takut, tetapi Cahaya harus memberanikan diri demi melaksanakan tugas yang diberikan ibu mertua padanya. Awalnya, Cahaya ingin menghubungi neneknya dan ingin meminta sang nenek untuk menemaninya.
“Bu, kenapa Nadia harus tidur di kamar kami? Selama menginap di sini, dia kan bisa tidur di kamar lain?” tanya Cahaya dengan polos, tetapi terkesan seperti protes menurut ibu mertuanya.“Nadia itu sedang hamil, jadi dia harus tidur nyaman di kamar yang ukurannya besar. Kalau kamar lain kan sedikit sempit dari kamar yang kamu pakai selama ini. Kasihan dong bayinya kalau kekurangan udara karena lkamar tidurnya sempit. Udah! Nggak usah banyak protes! Cepatan angkatin semua pakaian-pakainmu ini pindah ke kamar tamu!” Bu Lastri menjawab dengan sangat ketus. “Nadia beneran hamil ya, Bu? Emangnya kapan nikahnya? Terus suaminya mana? Kok nggak ikut nginap di sini?” tanya Cahaya lagi dengan penuh kepolosan. Karena dari pertama bertemu wanita cantik itu, Cahaya tidak pernah melihatnya datang bersama pria lain selain Adam. Cahaya juga belum pernah mendengar berita pernikahannya, tetapi kenapa tiba-tiba dia dikabarkan berbadan dua. “Cahaya, bisa diem enggak? Udah, nggak usah banyak nanya lagi,