Seorang wanita cantik yang terlihat seumuran dengan Bu Lastri bangkit dari sofa empuk dan melangkah cepat menghampiri dua wanita yang baru datang. Dengan tatapan sinis seperti sedang menginterogasi, wanita bernama Bu Emma memindai sosok Cahaya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Dari mana kamu mungut sampah ini, Jeng? Bukannya katamu pacar Adam itu gadis yang cantik, putih dan mulus? Lha ini apa?? Hitem kucel, pakai kerudung lagi? Nggak level banget sama kita-kita. Ya enggak?”sambung Bu Emma seraya menoleh ke arah segerombol wanita yang sama-sama terperangah ketika melihat bestie mereka memperkenalkan menantunya. Ucapan teman dari ibu mertua ini mampu menggetarkan hati Cahaya. Rasa penasaran karena dia mau dibawa ke mana seketika berubah menjadi rasa hina. Cahaya mengedarkan pandangan ke arah di mana para wanita yang hampir semua memasang tatapan sinis kepadaaanya. Benar saja, meskipun sudah tidak muda, tetapi mereka semua memang sangat cantik. Dengan kulit cerah terawat dan riasan wajah dari salon ternama ditambah dengan pakaian mereka yang super bagus dan modis membuat mereka terlihat seperti sekumpulan para ibu suri raja. Rambut mereka pun tak kalah cantik karena disanggul indah dengan aksesoris berkilau yang pasti sangat mahal harganya. Dilenkapi dengan sepatu dan tas yang mereka kenakan juga dari merk terkenal menampilkan mereka adalah para wanita berkelas yang hanya berteman dengan yang sederajat dengan mereka. Sementara Cahaya? Penampilan Cahaya yang hanya memakai gamis putih sederhana tanpa motif dengan kepala tertutup jilbab segi empat yang berwarna sama membuat gadis itu tampak biasa-biasa saja. Sebenarnya, penampilan Cahaya sudah sangat layak dan sopan jika orang yang memandang adalah orang yang mengerti arti kesederhanaan. Karena sejatinya status semua manusia sama di mata Tuhan, hanya iman dan ketakwaanlah yang menjadi penilaian. Akan tetapi, tidak di mata para wanita kelas atas yang sekarang berada di hadapan Cahaya ini. Mereka hanya mengutamakan penampilan luar daripada kecantikan hati dan keimanan. Apa lagi melihat kondisi fisik Cahaya yang berwarna gelap, ditambah wajahnya yang baru kemarin muncul beberapa jerawat. Karena mungkin tanggal datang datang bulan hampir dekat membuat wajah Cahaya yang biasanya mulus mulai tumbuh banyak jerawat. “Jangan gitu, Jeng Emma. Gini-gini dia emang istri dari anakku. Almarhum suamiku sendiri yang memilih gadis ini untuk dijadikan menantu kami,” jawab Bu Lastri dengan senyum penuh arti dan seketika mampu membuat hati Cahaya sedikit terhibur. Meskipun para wanita itu menghinanya, setidaknya ada ibu mertua yang akan membela. Mendapat jawaban dari Bu Lastri yang terkesan lebih membela menantunya menyebabkan perubahan di wajah Bu Emma. “Nurut banget sama suami punya mantu jelek kayak gini. Kalau aku sih, ogah!” Dengan penuh kesombongan, Bu Emma memutar badan dan kembali ke sofa tempatnya duduk semula. Merasa diabaikan, Bu Lastri segera bertindak. “Cahaya, sekarang kita pulang.” Dengan cepat wanita itu menarik lengan Cahaya menuju pintu keluar. Dia berniat mengantar Cahaya pulang agar bisa kembali lagi ke tempat ini untuk memberikan penjelesan kepada para teman-teman kayanya. Pastinya, penjelasan penting tentang alasan dia menerima menantunya sehingga para wanita kaya itu tetap mau berteman dengannya. Bodohnya, Cahaya malah merasa tersanjung dengan tindakan yang ditunjukkan Bu Lastri kepadanya. Dengan mengajaknya pulang, Cahaya berpikir bahwa ibu mertua ingin melindungi dirinya dari semua penghinaan. Sampai di rumah, Bu Lastri menyuruh Cahaya untuk masuk terlebih dahulu. Wanita itu pamit pada Cahaya akan pergi ke suatu tempat karena ada urusan. Cahaya menganggguk paham seraya tersenyum tanpa menyadari bahwa ibu mertuanya akan kembali ke tempat yang sama untuk membicarakan dirinya. Benar saja, Bu Lastri yang sudah terbiasa menyetir sendiri itu memutar balik mobilnya untuk kembali menuju restoran yang dia tinggalkan beberapa menit yang lalu. Untung saja semua wanita itu masih berkumpul di sana, karena memang uang arisan masih belum terkumpul semua. Ada beberapa anggota yang memberi kabar masih di perjalanan. “Ngapain kamu ke sini lagi?” tanya Bu Emma dengan tatapan sinis. “Maaf, Jeng Emma. Aku ngelakuin semua tadi agar menantuku tidak curiga.” Bu Lastri menjawab seraya duduk mendekati temannya yang ternyata dia adalah ketua dari perkumpulan ini. “Maksud Jeng Lastri apa?” Bu Emma menoleh dengan kening yang mengerut. “Bukannya tadi Jeng Lastri bilang kalau aku menghina menantumu itu jelek?” “Aku nggak bilang gitu lo, Jeng. Tadi itu aku cuman mau buat dia percaya aja sama aku. Supaya dia nurut sama aku dan mau ngelakuin semua yang aku suruh.” Mendengar ucapan Bu Lastri hampir semua wanita yang ada di ruangan itu serentak menyahut, “Maksudnya?!” Bu Lastri tersenyum, kemudian kembali melanjutkan, “Yah, sebenarnya aku nerima dia jadi mantuku cuman buat pengehematan aja. Dia kan dari desa, otomatis pintar kerjaan rumah dan urursan dapur. Jadi, aku mau jadikan dia pembantu gratisan di rumahku.” BERSAMBUNGHari demi hari berlalu. Pernikahan Cahaya dan Adam hari ini genap berumur satu bulan. Di usia pernikahan seperti ini biasanya pengantin sedang asyik-asyiknya menjalani hari-hari indah dengan berbulan madu. Melewati setiap momen saling mengenal lebih dalam dengan perasaan penuh dengan kebahagiaan.Namun, hal-hal indah itu hanyalah impian belaka, karena kenyataannya Cahaya dan Adam tidak pernah tidur bersama. Ya, selama satu bulan mereka tinggal di atap yang sama, tetapi pasangan suami istri ini tidak pernah bersentuhan. Jangankan menyentuh, memandang wajah istrinya saja Adam merasa sangat jijik dan mual. Seperti malam ini, ketika pasangan suami istri itu di kamar, Cahaya yang baru keluar dari kamar mandi tidak sengaja menghalangi langkah Adam. Karena sakit perut yang berlebihan membuat Adam segera bergegas menuju kamar mandi setelah melihat Cahaya keluar. ‘Kamu ngapain masih di situ! Minggir!” teriak Adam pada Cahaya dengan sorot mata tajam. “Orang mau ke kamar mandi malah dihala
Nenek Asih bertanya dengan lirih, “Nduk, kenapa kamu yang ngepel lantai? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?”“Punya kok, Nek. Tapi Mbok Sri tugasnya masak dan urus keperluan dapur yang lainnya. Aya Cuma bantuin nyapu sama ngepel aja,” jawab Cahaya apa adanya.“Cahaya nyapu sama ngepel lantai sendirian?” tanya Nenek Asih lagi. “Emangnya mertuamu punya pembantu berapa?”“Dua, Nek. Tapi yang satu laki-laki, namanya Kang Asep. Kang Asep tugasnya bersihin halaman, ngerawat tanaman sekalian jadi satpam di sini,” jelas Cahaya dengan penuh semangat. “Tapi nyapu sama ngepel rumah sebesar ini sendirian pasti capek banget, Nduk. Kenapa mertuamu nggak cari pembantu lagi buat bantuin kamu?” “Ah, enggak kok, Nek. Aya kan udah terbiasa kerja kayak gini di rumah dulu. Jadi, Aya bisa kerjakan sendirian.” Mendengar jawaban dari sang cucu yang sudah lama dirindukan membuat Nenek Asih terenyuh. Wanita tua yang membawa sekantong plastik berisi buah mangga dan rambutan itu kembali memeluk cucunya.
“Siapa orang tua kandung Aya, Nek?” tanya Cahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa gerangan orang tua yang telah tega membuang dirinya dalam keadaan masih bayi. Derai air mata Cahaya masih terus mengalir hingga kerudung yang dia pakai hampir basah seluruh bagian depannya. Hal yang benar-benar di luar dugaan dan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahwa dia adalah seorang anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya dan berakhir menjadi gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Meskipun begitu, Cahaya tetap harus bersyukur karena yang menemukannya adalah Nenek Asih dan Almarhum suaminya yang baik hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang layaknya cucu sendiri.“Nek, kenapa diam aja? Tolong katakan, siapa orang tua kandung Aya?” tanya Cahaya lagi dengan memohon. “Nenek juga nggak tahu, Nduk. Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh orang tuamu. Yang Nenek tahu cuman namamu saja karena pada saat Nenek menemukanmu, kamu memakai gelang dengan tulisan Cahay
Cahaya membaca pesan di gawai pintar suaminya dengan tangan gemetar. Satu pesan singkat dengan panggilan mesra seketika mengalihkan pikiran dan hatinya. Nomor kontak bertuliskan CANTIKKU itu mampu membuat jantungnya berdegup beribu kali lebih kencang, sehingga Cahaya tiba-tiba merasakan tubuhnya membeku tak bisa digerakkan. “Apa yang kamu lihat?!” Setengah berlari, Adam menghampiri Cahaya dan langsung merebut benda pipih yang ada di tangan sang istri. Dengan wajah penuh amarah, Adam mengkritik sikap Cahaya karena sudah berani memegang handphone miliknya. “Siapa yang suruh megang HP-ku? Hah? Berani banget kamu ya?!” Cahaya masih mematung dengan tatapan kosong. Dia sama sekali tak menghiraukan ekspresi suaminya yang sedang marah karena pikirannya dan hatinya masih bergelut dengan pesan singkat mesra yang baru saja dia baca.“Dia siapa, Mas?” tanya Cahaya seraya menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya. “Maksud kamu apa?” Adam berlagak bodoh. Pastinya, karena tidak akan mungk
“Ibu tahu, kamu berhubungan lagi sama Nadia, kan?” Dengan tatapan tajam Bu Lastri bertanya kepada Adam. Sebelumnya perempuan itu memang sudah kenal betul dengan kekasih putranya yang bernama Nadia, karena Adam memang sering membawa pulang wanita cantik itu ketika ayahnya tidak ada di rumah. Akan tetapi, karena wasiat dari sang suami menyebabkan Bu Lastri lebih memilih Cahaya sebagai menantunya. Bagi Bu Lastri, tidak apa-apa mengorbankan cinta putranya demi mempertahankan harta kekayaan dan semua warisan. “Ibu tahu dari mana?” Adam bertanya balik. Padahal, pertemuannya dengan Nadia baru terjadi dua kali dan itupun mereka lakukan di restoran yang tersembunyi sepi dari pengunjung, tetapi bagaimana sang ibu bisa tahu? “Sudah Ibu bilang, Ibu tahu siapa yang ada di balik kontak nomor handphone-mu yang kamu namai CANTIKKU itu.”“Apa Ibu serius? Ibu tahu? Jadi ... sebenarnya Ibu tadi sudah tahu kalau Cahaya tidak asal bicara? Bahkan, Ibu juga tahu kalau yang mengirim pesan tadi adalah Nadi
Atas permintaan aneh dari wanita cantik yang diakui sebagai adik sepupu Adam, Cahaya terpaksa harus mencari toko daging yang masih buka. Benar saja, karena jam sudah hampir malam tidak ada toko daging yang masih buka di jam-jam seperti ini. Karena Cahaya pergi belanja hanya dengan berjalan kaki, dia tidak bisa menempuh jalan yang jauh. Langkahnya gontai dan dia berhenti di depan sebuah ruko yang kosong untuk beristirahat sejenak. Tiga menit terlewati, Cahaya berniat melanjutkan perjalanannya ke satu toko terakhir yang belum dia datangi. Langkahnya terhenti ketika ada seseorang memanggil namanya. “Non Cahaya sedang apa?” tanya perempuan setengah baya yang ternyata adalah Mbok Sri.Ya, mantan ART Bu Lastri itu sedang membeli obat di apotek dekat ruko kosong yang ditempati Cahaya beristihat. Cahaya pun menoleh mencari sumber suara dan dia terkejut ketika mendapati mantan ART di rumah ibu mertuanya kini berdiri di hadapannya. Cahaya baru teringat bahwa Mbok Sri pernah bercerita memilik
Setelah menyetujui keinginan gadis yang duduk di hadapannya, wanita anggun itu menatap lekat ke arah Cahaya.“Serius, namamu Cahaya? Ibu dulu juga punya anak perempuan manis bernama Cahaya. Tapi ....” Kalimat wanita itu terhenti seketika, menyebabkan rasa penasaran Cahaya tiba-tiba muncul. Mengingat dia bukan cucu asli dari neneknya, menjadikan pikiran kemungkinan dia putri wanita kaya itu pun datang. “Tapi kenapa, Bu? Apakah putri Ibu yang bernama Cahaya itu hilang? Diculik orang atau tertinggal di suatu tempat?” tanya Cahaya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Ah, tidak seperti itu,” balas Bu Salma dengan kembali tersenyum. “Putri kami yang bernama sama sepertimu meninggal sejak bayi karena penyakit kronis.”Jawaban dari Bu Salma seketika membuat Cahaya terdiam dan mengangguk paham. “Oh, seperti itu ya, Bu.” Entah mengapa, Cahaya merasa kecewa. Dari arah dapur terlihat Mbok Sri kembali dengan sekantong plastik berukuran sedang dan segera memberikannya kepada Cahaya. Setelah
Sudah tiga hari ini keadaan rumah yang ditempati Cahaya sangat sepi. Karena Adam dan ibunya sedang pergi ke luar kota membuat Cahaya sekarang tinggal di rumah ini sendirian. Sesuai dengan ucapan sang mertua ketika hendak berangkat tiga hari yang lalu, mereka akan menghadiri sebuah acara keluarga di rumah orang tua Nadia dan menginap di sana.Kenapa Cahaya tidak diajak? Kan dia istri Adam, otomatis juga menjadi bagian keluarga mereka, ‘kan?Betul!Akan tetapi, Bu Lastri melarang Cahaya ikut dengan alasan menjaga rumah karena saat ini mereka tidak memiliki ART lagi dan Kang Asep yang bertugas sebagai security sedang cuti untuk beberapa hari. Istri dan anak Kang Asep sedang sakit bersamaan dan membutuhkan perawaatan.Selama tiga hari Cahaya sendiri di rumah ini. Meskipun dengan perasaan sedikit takut, tetapi Cahaya harus memberanikan diri demi melaksanakan tugas yang diberikan ibu mertua padanya. Awalnya, Cahaya ingin menghubungi neneknya dan ingin meminta sang nenek untuk menemaninya.